Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jaya Suporno

Guru Besar Semprot
Daftar
18 Jul 2012
Post
2.016
Like diterima
3.113
Lokasi
Ruang Nostalgia
Bimabet
The Naked Slave
J A Y A S.




Jeannie menjual kepėrȧwȧnȧnnya di sebuah forum online, membuatnya berakhir sebagai budak sex seorang putera mahkota mafia berbahaya

Jeannie terjebak dalam intrik antar keluarga para gangster yang memperebutkan hegemoni dunia kejahatan.

Bisakah Jeannie bertahan?

Ataukah, justru, ia yang akan tampil sebagai Ratu Kejahatan....

_________________________________________________

Jaya S Production 2020
 
Terakhir diubah:
P R E A M B U L E
⚠️Baca Dulu⚠️


Cerita ini hanyalah fiktif belaka, segala kesamaan nama, tempat, dan kejadian hanyalah kebetulan belaka

Cerita ini ditulis untuk hiburan semata tanpa maksud melecehkan agama, kepercayaan, atau suku tertentu. Segala kesalahan penafsiran yang timbul, bukan menjadi tanggung jawab penulis.

Hak cipta berada di tangan penulis. Cerita ini ditulis hanya dan hanya di plaform Semprot.com dan WP, dilarang men-copy sebagian atau keseluruhan isi.

Jangan lupa komen yang banyak gan, sundul terus.

Selamat membaca.

Salam, Jaya S.
 
Terakhir diubah:
Prolog
The Slave Auction


Tama, The Slave Trader


Park Jun Woo

________________________________________________

“Item terakhir. Slave Number 13. Indonesian, 18 years old. Kita mulai dari berapa?”

Jeannie berdiri di atas podium bulat, telanjang, dan satu-satunya penutup tubuhnya adalah kalung besi yang terhubung dengan rantai. Lamu sorot besar menyinari kulitnya yang tak berhalang, menimbulkan kilapan-kilapan erotis diatas lapisan minyak cendana yang dibalurkan ke sekujur tubuhnya yang mulus tak berbulu.

Lengan kirinya tersilang di depan dȧdȧ. Sementara telapak kanannya menekap pada di antara paha, melindungi sedikit dari kehormatannya yang masih tersisa.

Wajahnya yang bersemu menunduk dalam-dalam, tak mampu menatap balik ke arah belasan orang yang duduk di bantal-bantal sutera sebuah amphitheatre setengah lingkaran, bernafsu, menjerit dalam berbagai dialek dan bahasa:

Cap no, Pak Cik!” tawar seorang Tauke dari Singapura.

“Bah, Masa cuma dua belas juta? Perawan loh ini!” The Slave Trader memegang rantai di leher si gadis telanjang, tatapannya nyalang, menantang pandang pada peserta lelang.

Quatorze Million!”

“Empat belas juta! Good!” Juru lelang makin antusias. “Ayo! Siapa lagi”

Di antara semua keriuhan itu, seorang pria berwajah oriental memindai sang budak dari kejauhan, matanya yang beriris hazel mentap tajam bagaikan seekor predator apeks yang memindai mangsa.

Pelelangan Budak? Ia bahkan tidak akan berada di tempat ini kalau tidak diajak oleh sahabatnya.

Terdiam, pria dalam setelan sutera mewah itu, membiarkan para Crime Lord kelas teri memperbutkan tubuh seorang budak yang masih perawan, tapi lagi-lagi, ada sesuatu dari tubuh telanjang itu yang mengusik sesuatu di bawah sadarnya, intuisi, sesuatu yang tak pernah ada dalam hidupnya selama ini.

“Dua puluh lima juta! Dua puluh lima juta! Tawaran terakhir, dua puluh lima juta!” The Slave Trader membakar hasrat para peserta lelang yang sudah tidak sabar menikmati tubuh sang budak.

"Tiga puluh!" suara itu akhirnya keluar dari kerongkongannya.

"TIGA PULUH! TIGA PULUH JUTA UNTUK TUAN YANG DI SANA!!! ADA YANG BERANI LEBIH?!!"

---Hening, terdengar suara kasak-kusuk yang berdengung. Harga itu terasa terlalu gila. Bahkan untuk menebus tubuh seorang perawan.

"TERJUAL!"
 
Terakhir diubah:
Fragmen 1
The Girl Who Sold Her Virginity



Jeannie


?????

_____________________________________________________​

Beberapa minggu sebelumnya....

"Now take your clothes off."

"M-maaf?"

"Aku bilang, lepaskan bajumu," suara bariton itu memiliki nada otoritatif, yang entah kenapa, membuatnya merasa terintimidasi.

Tangan Jeannie agak bergetar, baru saja ia memasuki pintu ruang casting, tapi laki-laki asing itu sudah memintanya melepas pakaian.

Seorang fotografer, ia kira, mengunci pintu di belakangnya. Brewok lebat merimbuni tulang rahangnya yang tegas dan hidung mancung khas Persia. Rambut ikalnya lebat sebahu, digelung dalam man bun di belakang kepala. Tubuhnya yang tegap tinggi bak anggota militer dibalut celana jins dan kemeja lengan panjang putih yang digulung sesiku. Aroma parfum musk bercampur odor tembakau menguar dari dada bidang dan kemeja yang terbuka setengah. Sepatu kulit. Arloji Rolex Submariner. Jeannie bisa melihat sepasang lengan kukuh yang menggenggam sebuah kamera Leica M3.

Sepasang matanya menatap, tajam, ─bukan dalam makna seksual yang kau jumpai dari CEO playboy ataupun tukang kebun cabul dalam cerita-cerita erotis picisan, melainkan melainkan tatapan predator apeks yang memindai dari ketinggian, mata seorang Kaisar, ─tatapan yang menuntut, dan kau seolah tak memiliki pilihan lain kecuali menurut.

Jeannie tidak bisa menyembunyikan getaran ketika jari-jarinya membuka satu persatu kancing kemeja satin longgarnya, mengungkap sepasang gumpalan daging kenyal yang ditopang cup kawat berwarna merah marun yang tampak kekecilan.

Lalu gesper sabuknya, dan reitsleiting di bagian belakang yang ditarik ragu-ragu, Jeannie berbalik memunggungi dan menurunkan rok panjang sederhana warna krem yang segera bergabung bersama penutup tubuhnya yang sudah terlipat rapi dalam sebuah keranjang rotan.

Terdengar suara rana kamera yang terbuka, lalu jepretan diafragma, pertanda ia sedang diabadikan dalam kondisinya yang paling memalukan. Jeannie langsung menunduk, wajahnya agak bersemu, menyadari bahwa tubuhnya hanya ditutup sepasang pakaian dalam mini berpotongan seksi, ─demi Tuhan, Jeannie bahkan baru membelinya dua hari yang lalu hanya demi mengikuti audisi terkutuk ini!

"Your first time?" lelaki tampan itu bertanya simpati, menyadari getaran tak nyaman dari gerak tubuh Jeannie.

Jeannie mengangguk pelan. Seharusnya sejak awal ia menyadari segala resiko dan kemungkinan ketika memutuskan untuk datang ke tempat ini.


The Explicit, hanya itu satu-satunya petunjuk beserta serangkaian alamat di daerah Pecinan yang tertera pada sebuah kartu nama yang sudah luntur. Diperlukan perjuangan melewati gang-gang becek dan beberapa kali bertanya kepada para penjual rokok dan pramuria untuk sampai di sebuah bangunan bekas ruko yang sudah tutup.

Aroma sengak kencing bercampur alkohol tercium. Dentum suara house music terdengar dari klub karaoke murahan di kejauhan. Cahaya neon bertuliskan 'Explicit' berwarna merah hati membias cabul di atas wajah Jeannie. Hampir saja ia mengira salah alamat ketika seorang centeng berwajah seram membuka pintu harmonika dan memerintahkannya masuk.

Rumah produksi mewah yang disamarkan dengan ruko murahan, Jeannie baru menyadari bahwa pertokoan kumuh di depan hanyalah fasad yang menipu. Sebuah lorong panjang terhubung dengan komplek studio. Beberapa staf produksi hilir mudik membawa draft naskah dan lampu sorot, dan dari bilik-bilik studio di kiri kanannya terdengar suara rintihan nikmat, membuat di sepanjang lorong itu Jeannie hanya bisa menunduk malu.

Hati-hati, teman-temannya mewanti-wanti, karena yang kau lakukan saat ini adalah tiket sekali jalan. Agensi yang dimiliki keluarga Triad itu tak selamanya memiliki reputasi yang bagus. Diorbitkan menjadi bintang porno, dijual ke menjadi pekerja seks komersial, banyak sudah Jeannie mendengar selentingan berita miring yang menjadi buah bibir di kalangan para model amatir, tapi kali ini ia harus mengambil semua resiko itu.

─terlebih lagi, ini adalah keputusannya. Dan Jeannie harus mengatakan itu berulang-ulang kepada dirinya sendiri, menguatkan hati.

"What are you waiting for?" suara sensual itu membuyarkan lamunannya.

"S-semua?" tanya Jeannie tergugu.

"All of em," tegasnya sambil memasang kamera video pada sebuah tripod.

Ya Tuhan, inilah dia, wajah Jeannie bersemu merah muda ketika lampu blitz itu berkilas ke untuk kesekian kali. Rana kamera yang terbuka merekam tubuhnya yang hanya terbalut pakaian dalam ke dalam gulungan perak halida. Sang fotografer tak ingin kehilangan sedetikpun kesempatan, setiap gerakan remaja yang kikuk itu, lalu airmukanya yang malu-malu itu, seolah menjadi santapan lezat bagi sepasang mata elang yang tak berhenti memindai mangsa.

Gadis 18 tahun itu menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya yang terakhir, sebelum menjangkau ke belakang punggung, melepas tiga buah kait besi bersama kutang dari bahan sutera sintetis.

Sepasang bukit indah dadanya segera terbebas dari kurungan, putih dan menggantung sempurna dengan puncak-puncaknya yang berwarna merah hati dan mencuat oleh rasa malu. Celana dalam Jeannie yang menyusul berikutnya, pita karetnya ditarik pelam menuruni pinggul diikuti sepasang tungkainya yang berjingkat gugup, meloloskan penutup terakhir itu dalam satu gerakan canggung.

Lengan Jeannie segera tersilang menutupi sedikit kehormatannya yang masih tersisa.

"And the shoes too."

"Eh?"

"Juga arloji, ikat rambut, dan anting-anting," suara bariton itu berkata, tegas. "Jangan takut, kami akan menyimpankan. Lagipula, kau tidak akan memerlukannya lagi."

Rambutnya yang ikal sebagu segera tergerai, jatuh membingkai wajah manis yang dipulas riasan seadanya, tapi hidung bangir, bibir penuh yang sensual, dagu yang meruncing alami, sang fotografer segera menyadari potensi sensualitas dari gadis berbulu mata lentik itu. Sepasang matanya yang beriris hazel tampak cemerlang, dan pipinya yang dipenuhi rona-rona malu membuat remaja pemalu itu tampak begitu mengundang untuk disantap.

Gemetar di tubuh Jeannie semakin kentara ketika tak ada satupun lagi benda di atas kulitnya yang tersisa.

Terlihat kilapan lambu blitz ketika ia menunduk untuk merapikan tas kecil dan bajunya-bajunya di dalam keranjang rotan. Belahan pantat dan bongkahan intim yang menggunduk di bawahnya pastilah terlihat jelas dalam posisinya yang membungkuk.

Lengan kirinya tersilang di depan dada, menutupi tajuk-tajuknya dan sedikit dari areola. Sementara telapak kanannya menekap pada di antara paha tanpa mampu menutupi ribunan lebat pada pangkal-pangkalnya.

Lelaki itu tersenyum kecil, mengarahkan ujung lensa pada wajah Jeannie yang menunduk malu.

"Turunkan tanganmu," suara itu terdengar seperti titah Kaisar, dan lagi-lagi, bagaikan seorang hamba yang patuh, Jeannie tersihir oleh tatapan tajam sang pemuda dan menurunkan tangan ke samping badan, membiarkan bagian depan tubuhnya terungkap utuh tanpa penghalang hanya untuk dilahap oleh diafragma kamera yang mengatup berkali-kali, payudara, pusar, pangkal paha, sang fotografer membidikkan lensa sepuas hati.

─Lampu Blitz terlihat membias di atas kulit Jeannie yang telanjang, mulus, dengan sedikit freckles dan urat-urat kebiruan yang membayang di bagian leher. Pigmennya yang mengarah ke putih langsat menunjukkan adanya percampuran darah Asia Timur dengan Melayu.


Sepasang payudaranya tampak membusung dalam ukuran 34 C, jaringan ikat glandula mammae yang menarik kencang membuat gumpalan kenyal itu seolah tak terpengaruh gaya berat, membulat indah, dan jauh dari kata kendur. Dua buah areola berikut tajuk ranum berwarna merah hati terlihat menghiasi pada puncak-puncaknya, bagai sepasang buah ceri. Jeannie memiliki tubuh yang atletis, setidaknya, itu yang dikatakan teman-temannya dulu, barangkali karena rajin bersepeda, tapi itupun rasanya, bagi Jeannie terlalu berlebihan.

Jeannie tidak pernah merasa dirinya menarik. Pinggangnya yang ramping bak gitar Katalonia, sebelum meliuk montok pada pinggul dan pantatnya selalu tersembunyi dalam seragam longgar. Perutnya yang rata bukan karena ia menginginkan demikian, tapi mengayuh sepeda tiap hari untuk mengantar nasi bungkus ke kios-kios mau tak mau menghanguskan lapisan lemak yang mati-matian dibakar cewek lain dengan zumba.

Kedua pahanya sintal dengan tungkai-tungkai tinggi jenjang yang berpangkal pada segitiga kehitaman di bawah perutnya, kalau kau jeli memperhatikan, akan terlihat kilapan indah cairan kewanitaan dari bulu-bulunya yang ikal.

"Are you excited?" terlihat senyum kecil di sudut bibir si mata elang.

"A-aku... t-tidak... a-aku...—"

"Tidak usah malu, itu reaksi normal. Rileks... Lagipula kau akan terbiasa," ia menekan tombol shutter untuk terakhir kali. "Kau membawa kartu identitas?"

Jeannie mengangguk gugup. Remaja itu diperintahkan duduk di atas sebuah sofa hitam dari bahan kulit. Sebotol air mineral dingin merek Equil ada di meja kecil di sebelahnya. Jeannie dipersilahkan minum.

Sang fotografer bermata elang itu menggulung rol film dan memasukkan gulungan baru, memberikan kesempatan bagi mata Jeannie untuk mengedar.



Ruangan itu studio foto, sepertinya. Terdiri dari empat dinding kedap suara berwarna putih dan sebidang yang ditutupi backdrop warna hitam. Peralatan fotografi; soft box dan standar reflektor terlihat berdiri bersama kabel-kabel yang bersaling silang di lantai yang ditutupi karpet tebal warna putih. Rak kayu terlihat pada salah satu sudut, berisi bermacam properti pemotretan: cambuk, borgol, mouthgag, penis buatan dari karet. Jeannie bergidik ngeri.

"Sekarang naikkan kedua kakimu ke atas sofa, dan buka pahamu lebar-lebar," aura kaisar itu tiba-tiba menyentaknya dari lamunan mesum.

"Eh?!"

"Lakukan saja."

Tubuh Jeannie agak gemetar diperintahkan melakukan pose memalukan itu, dan lagi, ia benar-benar takut diperkosa!

"Jangan takut, saya tidak akan merusak barang dagangan," suaranya terdengar acuh tak acuh.

Jeannie menelan ludah.

barang dagangan. Jeannie segera teringat akan statusnya sebagai komoditi.

——Cinderella for Sale. Sebuah thread (utas) yang dilihatnya di sebuah forum dewasa mengantarkan Jeannie ke tempat ini. Jejaring gelap di mana tempatnya selama ini menghabiskan waktu sembunyi-sembunyi dalam massage board internet bawah tanah yang dikelola oleh mafia dan bandar judi, membaca cerita porno dan mencari teman chatting sekali-sekali, itu saja, tak pernah lebih.

Jeannie mengira sang Thread Starter (TS) hanya bercanda ketika mencari perawanan untuk dilelang, tapi tag [VERIFIED], dan nominal tak tanggung-tanggung dalam US Dollar membuatnya tergerak untuk mengirimkan private massage (PM), iseng saja barangkali, tapi pesan yang berbalas tak lama kemudian memintanya nomor yang bisa dihubungi. Mereka bertukar nomor WA, dan Jeannie diminta mengirimkan foto tanpa busana (Jeannie mengirimkan satu).

─tak lama, seorang kurir datang mengantarkan sehelai kartu nama, memintanya datang untuk audisi, dan di sinilah ia.

"Kau yakin melakukan ini?" suara itu, kali ini terdengar simpati.

Jeannie mengangguk, ragu.

"Kalau tak yakin, kau bisa pulang, sekarang. Karena setelah ini kau tidak bisa lagi kembali," ia berkata, tegas, sedikit mengintimidasi.

"Tak apa!" sergah Jeannie cepat. "L-lagipula saya benar-benar memerlukan uang itu."

Sang pemuda bermata elang tersenyum tipis. "Good. Now let's get over it, will you? Semakin mudah kamu bekerja sama, semakin cepat ini selesai."

─dan lagi, Jeannie merasakannya, tatapan seorang Alfa pemilik otoritas tertinggi bagi para betinanya, tatapan yang membuatnya tak lebih dari seorang budak yang hanya mampu mengangguk patuh.

Debar jantungnya bertambah cepat tiga ketukan. Percampuran rasa malu, tegang, dan erotis membuat wajah Jeannie yang manis dihiasi oleh rona-rona merah muda yang membuat pipinya bertambah menggemaskan! Wajahnya terasa panas, dan ruangan berpendingin itu bahkan tak dirasakannya lagi, karena keringat mulai menitik di sana-sini dan meliputi tubuh telanjang Jeannie dalam kilapan-kilapan eksotis.

Perlahan, Jeannie merebahkan punggungnya di sandaran sofa. Desakan rasa panas yang membara dari bagian tubuh bawahnya menggerakkan otot-otot tubuh Jeannie dengan sendirinya, ─walaupun itu, (ya tuhan, Jeannie mengutuki dirinya sendiri) bertentangan dengan hati nuraninya.

Desahan lirih terdengar ketika sepasang tungkainya yang jenjang naik ke atas sofa dan terbuka lebar-lebar dalam 'pose M', memamerkan gundukan intim yang merekah merah muda layaknya sekuntum teratai segar yang ranum dan perawanan.

Pemuda berambut ikal itu berjongkok di antara pahanya yang membuka, dan lensa kameranya kini mengarah tepat pada bagian tubuhnya yang paling rahasia. Ya Tuhan, Jeannie menutup kedua matanya, bulu-bulu halus di tubuhnya langsung meremang hebat menyadari bahwa di bawah tubuhnya kini berlutut seorang pemuda jantan, sementara ia telanjang bulat dan mengangkang pasrah, membiarkan bagian bawah terahasianya terpampang utuh dan menjadi santapan lensa makro yang mengedip berkali-kali.

"Bulu-bulu ini, kau harus merapikannya," ia berkata santai, mengomentari bagian paling privat tubuh Jeannie seolah sedang me-review Gunpla.

"D-diam!" wajah Jeannie langsung merah padam mendengar kata-kata melecehkan itu.

Sekilas, agak samar-samar, Jeannie bisa menangkap seringai jahil dari bibir yang dirimbuni brewok tebal.

"Sekarang aku ingin melihatmu seutuhnya," lagi, suara itu terdengar menuntut.

"A-apa?"

"Aku perlu melihat bagian dalam dari... ─you know.... the private thing," suaranya berdehem pelan.

"J-jangan bercanda," keluh Jeannie.

"Kau tahu, bagaimanapun juga, ini adalah audisi," ia terdiam sebentar, "─atau kau mau aku yang melakukannya?"

"J-jangan!"

Senyum kemenangan terlihat tipis di balik brewoknya. Entah kenapa, Jeannie mulai menangkap sisi 'nakal' dari laki-laki berwajah jantan itu.

Ya Tuhan, ampunilah, desah Jeannie pasrah sebelum mengatupkan matanya rapat-rapat.

Seperti isi perintah, tangan Jeannie menjangkau ke bawah. Gemetar, jari-jarinya bergerak menguak sepasang bibir yang telah mengembang penuh, menampakkan dirinya secara utuh kepada pemuda jantan yang kini berlutut di antara pahanya.

Sebentuk ceruk kesuburan yang berhiaskan kilapan-kilapan cairan cinta kini terpampang indah. Lembah-lembahnya telah merekah, basah, dialiri dengan kehangatan yang meleleh dari dalam rahim. Sepasang bibir yang membasah di antara bukit kecil yang ranum, lepitan bibir-bibirnya yang kemerahan itu mengapit liang liat yang terlihat berdenyut, jari Jeannie mengungkap lebih jauh, sebuah tonjolan kecil terlihat mencuat di balik selaput kulit yang agak tebal.

Wajahnya merah padam dicekam rasa malu, tapi semakin mengerikan rasa malu itu, kau tahu, semakin deras pula kehangatan yang meleleh dari dalam liang senggama. Tubuhnya yang telanjang gemetar hebat, berusaha menahan rasa nikmat akibat pandangan orang asing pada bagian tubuhnya yang paling intim.

"Tubuhmu indah," lagi, ia menilai seperti juri yang mengaudisi, tanpa kehilangan ketenangan.

Dada Jeannie berdesir indah mendengar pujian itu.

Lobus frontal otaknya membajak marwah dan harga diri, membuat bagian paling jujur dari dirinya menyambut dengan cairan pelumas yang menanti penetrasi, seolah ada sisi submisif dalam diri Jeannie yang tak sabar menunggu perintah selanjutnya dari sang majikan.

Jeannie menikmati tatapan sang pemuda jantan yang memindai setiap lekuk dan liku tubuhnya yang telanjang; bibirnya yang membasah, sepasang payudara montok yang naik-turun terenggah, lalu perut rata dan hamparan segitiga kehitaman di pangkal-pangkalnya. Entah kenapa partikel feromon bercampur odor maskulin itu terasa memabukkan, dan Jeannie tak bisa menahan diri untuk tidak bisa terengah, bayangan mental mengenai tubuhnya yang telanjang dan berada dalam rengkuhan otot-otot liat itu membuatnya semakin kehilangan nalar, Jeannie ingin tubuhnya dipenuhi, dan rasanya, ia tak akan menolak jika pemuda itu meminta!

"Kau terangsang?" ia bertanya, kali ini Jeannie merasakan nada jahil dalam suaranya.

Jeannie mengangguk, polos.

Good. Now masterbate.”

“Eeeeh?”

“Aku memerlukan beberapa sampel rintihan, tentu saja," ia mendekatkan tripod kamera video, sebuah mikrofon eksternal terpasang di atasnya. "Lagipula, aku tahu.... kau menginginkan nya, bukan?"

Jeannie pernah masturbasi beberapa kali, terutama ketika membaca cerita-cerita seronok di forum dewasa, tapi kali ini, dia dipaksa untuk memainkan belahan memek di depan seorang lelaki tampan, tapi… benarkah Jeannie ‘dipaksa’?

"Kenapa? Atau mau aku yang melakukannya?" Seringai alfa keluar di wajah sang pemuda.

"J-j-jangan! B-biar a-aku saja!!!" Tangannya gemetar.

Ujung jarinya yang mulai pertama, membelai lembut tonjolan kecil yang mencuat ddari antara belahan rapat labia, diusapnya pelan, perlahan, seperti membelai permukaan sutera halus yang bisa pecah dalam sentuhan, menimbulkan gelombang rasa nikmat yang menjalar dari pangkal paha yang bermuara menuju tajuk-tajuk dadanya yang meremang, menegang, menuntut sentuhan yang sama, dan Jeannie tahu kemana harus mengarahkan tangannya yang kedua.

Gumpalan kenyal dadanya itu segera tenggelam dalam remasan, dan tajuk ranumnya harus lumat di antara jemari yang bergerak memilin, mencubit, membuat bongkahan putih itu terlihat semakin mengkal dalam cumbuannya. Sementara tangan yang lain yang terjepit di antara kedua paha bergerak meracap, mengaduk, menimbulkan suara berkecipak mesum tatkala lendir itu menyemburat jatuh.

Tubuhnya yang telanjang bulat menggeliat di bawah tatapan laki-laki asing, membuat birahi Jeannie semakin terbakar hebat. Bulir-bulir keringat terlihat membasahi pada leher dan pundak, sehingga kulit putihnya mengilat erotis bersama rona-rona birahi yang terlihat di sana sini, dan sang pemuda tak ingin kehilangan satu momen pun kesempatan, mengabadikan setiap gelinjang dan desahan seorang perawan yang sedang mencumbui tubuhnya sendiri.

Paha Jeannie semakin lebar membuka, dan gerakan jemarinya semakin cepat pula, pertanda pendakian birahi itu semakin dekan menuju ambang, wajahnya yang polos-manis dipenuhi dengan tetesan keringat, kepalanya menengadah, bibirnya mengenggah, basah dan meminta sebuah kecupan, tapi laki-laki itu hanya duduk di sebelahnya mengusap ujung-ujung rambutnya yang membasah.

“Kau sudah sudah sangat basah.... Ekspresimu, Nona... Sangat merangsang.....”

Jeannie menggangguk dalam ekstase, bibirnya hanya bisa menjawab dengan desahan gelisah “sssssh…. aaaaaaah…. sssssssh…. tuan… sentuh…. akuhhhh…. kumohon….. ”

Pemuda brewok itu menyeringai, “kau serius? jangan menyesal telah meminta,” tatapannya berubah cabul, Jeannie bahkan tak sempat bereaksi karena di detik selanjutnya tangan-tangan kukuh itu sudah merengkuh bongkahan payudaranya yang lain, kasar, meremas, menarik puting susunya dalam sebuah cumbuan maha-erotis yang membuat ceracau cabul terpaksa keluar dari bibirnya yang suci.

Dan bibir brewok itu akhirnya terbenam, tepat di antara leher dan pundaknya yang basah, tubuh telanjang Jeannie harus tunduk pada cumbuan kasar seorang dewa seks, yang melumat habis segala lendir dan birahinya, lalu, ketika jari-jari kokoh itu menjangkau jauh hingga lubang anusnya, Jeannie meledak.

Lengkingan jeritan orgasmik terdengar bersamaan dengan cairan squirt yang menyemprot deras dari lubang kencing, tubuhnya yang polos mengejang hebat dalam pelukan otot-otot maskulin yang memeluknya erat, “Aaaaah! Aaaaaaah! Aaaaaaaah! Jeannie nyampe tuaaan… Jeannie nyampeeeeeh…,” desahnya dalam lumatan bibir jantan itu.

Jeannie masih mengejang beberapa kali, melepaskan residu-residu orgasmiknya yang meleleh deras membasahi sofa kulit, lalu, ketika badai orgasmenya mereda, remaja telanjang itu mendapati dirinya yang terenggah dalam buaian tubuh maskulin sang pemuda. Kecupan-kecupan lembut masih jatuh di atas wajahnya yang berpeluh, dikuti belaian-belaian mesra pada kepalanya yang bersandar di atas dada bidang itu.

“Kau tahu, Nona? Kau benar-benar memiliki orgasme yang sangat seksi,” suara maskulin itu terdengar sensual sambil mengulum bibir Jeannie yang lembut. Sebelah dadanya masih hanyut dalam belaian, dan Jeannie merasakan ada yang mengeras di balik celana Jeans sang pemuda.

Seandainya diminta, Jeannie pun tak akan keberatan mengulum apapun yang menegang di baliknya, bahkan menelan utuh benih-benih kental itu jika perlu, tapi kecupan yang jatuh pada kening membuyarkan lamunannya.

Perfection.” si mata elang mengangguk puas, menggulung isi rol filmnya. "Terimakasih sudah menunjukkan orgasme-mu yang indah itu, sayang ..."

Kamera Leica yang dikemas dry box memberi isyarat bahwa sesi audisi malam hari ini selesai.

“S-sudah?” Jeannie seperti terkesiap dari dalam lorong karnal.

Pemuda brewok itu mengangguk tegas.

Canggung, Jeannie berdiri, dan kembali menutupi bagian intim tubuhnya dengan tangan, yang entah kenapa, setengah lega, setengahnya kecewa.

It’s a wrap. Kau bisa membersihkan diri dulu kalau mau,” ujung dagunya menunjuk sebuah bilik kaca di seberang ruang.

Jeannie berjalan kaku bagai seorang yang belum tersadar penuh dari sebuah mimpi indah. Ada sebuah bilik mandi kecil dengan shower di ruangan itu. Di dalamnya remaja telanjang itu menuntaskan apa yang seharusnya dituntaskan di bawah guyuran air hangat.

─sang pemuda tersenyum simpatik, mengulurkan sebuah kimono handuk.

"Kami akan menghubungi lagi. Acara lelangnya akan diadakan paling lambat, satu minggu lagi."

"B-begitu saja?"

"Yap."

Tangannya bergerak mengulurkan sehelai amplop berisi uang muka.

Jeannie merespon tergugu. "Lalu...?"

"Kami akan menghubungi. Tes kesehatan, you know, some medical stuff, untuk memastikan kau bebas dari sexual transmited disesase, tapi dari aku sih, fine, kau lulus," ia menyeringai tulus.


Ilustrasi. Aston Martin DB 5

─Jam 10 malam, Pemuda itu cukup gentleman untuk mengantar Jeannie pulang dengan mobil Aston Martin DB5, musik Rock n Roll meraung di sepanjang jalan, mengiringi dua orang itu bertukar cerita. Perlahan Jeannie tahu bahwa lawan bicaranya tidaklah seseram yang ia kira, dan sang pemuda menyadari bahwa Jeannie tidak sepemalu dugaannya. Jeannie sudah lulus SMA setahun lalu dan tinggal bersama sang ibu yang janda.

“Kau punya pacar?”

“S-saya pernah memiliki kekasih… sewaktu sekolah di SMEA,” desah Jeannie, malu sekali kenapa pertanyaan itu harus ditanyakan.

“Lalu?”

“Putus. Karena mantan pacar saya selalu meminta, bahkan memaksa, tapi…”

“─pintar, jangan mau jadi gadis bodoh yang menyerahkan keperawananan karena dijanjikan dinikahi,” suaranya terdengar menegas.

Entah kenapa, ada rasa aman yg datang bersama kata-kata itu.

"Kau kuliah?"

Jeannie menggeleng pelan. Angan-angan itu rasanya terlalu muskil untuk diwujudkan.

"Kalau kau mau, ─setelah semua ini selesai tentu saja─ kau bisa bekerja di tempat kami."

"Benarkah?" Mata Jeannie segera berbinar.

"Kau punya potensial, Nona. Model gravure, pemeran utama film dewasa, ladies escort profesional, apapun, kau tahu Explicit sudah mengorbitkan banyak bintang ternama."

"T-terima k-kasih... tapi rasanya saya belum tertarik," Jeannie menggeleng tersipu, tak bisa membayangkan apabila kewanitaannya ditutupi mozaik dalam situs Javlibrary.

Pemuda itu tertawa. "Tak ada yang kebetulan dalam sistem bernama Semesta, termasuk pertemuan kita. Rasi Bintang selalu memiliki rencana."

Ada sesuatu yang membuat Jeannie merasa mengenal orang itu lebih lama dari yang seharusnya, sehingga membuat bibirnya bergerak tak sadar, “A-anda tahu tuan…? tadi… sedetik saja….saya sempat terpikir bahwa anda akan,─"

"─ memperkosa? Hanya lelaki pengecut yang mengambil kesempatan dari wanita tak berdaya, Nona. Para fakboi itu bisa, tapi tidak aku," ia berkata tegas. "Untuk apa bercinta dengan wanita yang tak menghendaki tubuhku?"

Jeannie mengangkat muka dan mendapati sang pemuda bermata elang menatap lugas seperti menembus ke dalam jiwa. Ia bahkan belum tahu namanya.

"Altair, tapi Nona bisa panggil saya Al," ia berkata, seperti bisa membaca isi kepala.

Jeannie tiba-tiba terdiam. Rasanya ia pernah mendengar nama itu, entah di kehidupan yang mana, semua seperti sayup-sayup gema yang tersangkut di belantara samsara, di suatu tempat di mana tak bisa ia mengingatnya.

Altair─Sang Penerbang, batin Jeannie, nama sebuah rasi bintang, yang dalam latin berarti:

Elang.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Suara mesin jahit terdengar ketika Jeannie tiba di pintu rumah, dan pandangannya segera disambut gulungan kain dan aroma minyak angin.

Wajah ibunya terangkat ketika Jeannie melangkah dan mengucap salam.

“Dari mana?” wanita tua itu bertanya sebelum kembali menunduk. Tubuhnya yang renta terlihat tenggelam di antara gulungan kain.

“Toko. Lembur,” jawabnya berdusta.

Dan Jeannie tak punya hati, untuk menceritakan kebenaran.

“Kau sudah makan? Kalau belum, makanlah, tapi lodehnya sudah dingin,” ibunya terdiam sebentar, kepalanya menoleh pelan, matanya berkaca, “Lain kali kalau mau lembur, bilang dulu, supaya ibu tidak khawatir.”

Jeannie tersenyum hambar, tak memiliki keberanian untuk menantang tatapan sang ibunda. Intuisi seorang ibu membuat Laila selalu tahu kalau anaknya menyembunyikan sesuatu, dan terlebih lagi, Jeannie tak ingin menambah pikiran sang ibunda.

Setahun sudah Ibunya mengeluh sakit kepala, diikuti vertigo yang semakin hari semakin parah. Tumor jinak pada selaput otak, kata dokter syaraf. Tak berbahaya, katanya lagi, tapi bisa membesar jika tak segera dioperasi.

─seandainya ayahnya masih ada, batin Jeannie, seandainya laki-laki gagah itu masih mendampingi hidupnya, batin Jeannie lagi, maka sudah pasti dia tak akan menempuh jalan setan ini. Jeannie hanya bisa mengingat wajahnya yang samar di antara foto-foto tua dan tanda jasa, juga dari cerita sang ibu sebelum tidur; tentang seorang ayah yang tak pernah dikenalnya, tentang seorang Perwira yang gugur demi mempertahankan nusa bangsa.

Gelegar terdengar di langit mendung, lalu aroma petrichor, dan titik-titik yang turun dalam rinai gerimis, meringkus malam dan bangunan-bangunan tua di sekeliling mereka dalam selimut kelabu.

Terlihat lampu ruang depan yang dimatikan. Lalu gemericik bunyi air wudhu, dan langkah tertatih memasuki Langgar. Suara Basmalah. Lantunan ayat suci yang terdengar mengalun dalam kesunyian.

Suara tilawah wanita tua itu memelan.

Ada yang perlahan menetes dan membuat pandangannya mengabur.

Dan Jeannie hanya bisa memandangi titik-titik itu, berjatuhan satu persatu.

Lalu hujan pun luruh.

Gemuruh.

To Be Continued....
 
Terakhir diubah:
hehehe asyuik dapat kursi terdepan.....
lanjut gan, asyuik nih ceritanya.......
:jempol: :jempol: :jempol:
sip, agak mirip Naked Adventure genre-nya
Tapi dikasih tema Mafia/Gangster

Gimana gan
?

Btw, maksih udah baca dan dapat page one
 
mantap... suhu besar berkarya kembali
salam suhu, betul, ini genre-nya Eksibisionis-humiliation

Terus nulis kok, apalagi ada Lockdown.... Gak ada kegiatan...

Btw, makaish udah pejwan, sering2 komen ya hu
 
Wadidawww... akhirnya rilis juga ini thread ya om?

Nitip dagangan kondom bekas disini ya Om @Jaya Suporno
yoi, setelah ditimbang-timbang, di selesaikan di sini saja, biar lebih leluasa ngetiknya....

ada yang baru ni, ijin pasang tenda hu
yoi, kalau ada notif dikomen ya gan
Waaah ada subes turun gunung rupanya
.
.
Ijin ikut absen disini suhu @Jaya Suporno
kok turun gunung... kanan ane tidak pernah naik gunung gan... Belum ada sebulan ane namatin cerita di sini
Numpang masang tendaa om jayy!!
yoi.... Biar dapet notif gan
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd