Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jeannie


Pio



_____________________________________________________​

“Gimana-gimana-gimana? Lu nggak diperkosa, kan? Lu nggak dijual sama Mafia jadi pemain bokep, kan?”

─seorang gadis berwajah lucu langsung mengerjap-ngerjap kepo begitu melihat Jeannie muncul dalam seragam biru-biru di sebuah Convenience Store 24 jam.

Pio namanya, sahabat Jeannie sejak di SMEA dulu.

Yang ditanya hanya tersenyum tipis, berpaling menghindar dan menyemprotkan pembersih jendela ketika shift kerjanya bermula.

“Ih, elu mah, gitu! Gua kan penasaran!” Pio yang seharusnya bertugas mengepel lantai menggoyang-goyang tubuh montok Jeannie.

Mereka sebenarnya sebaya, tapi tubuh Pio yang mungil dan wajahnya imut dengan kacamata dan poni lucu, membuatnya tampak seperti anak baru lulus SMP.

“Saya cuma disuruh foto naked,” jawab Jeannie pelan.

“Hah? Seriusan?”

Jeannie mengangguk. Wajahnya bersemu.

“Terus lu nggak disuruh nyepongin kontol gitu? Duh, gua langsung kebayang adegan bokep Casting Couch!”

Ilustrasi. Bokep Casting Couch.

Wajah Jeannie semakin menunduk.

“Enggak… tapi… saya…. disuruh… colmek.”

“Haaaaaaaaaaah!!! Yang bener?!!!” Rahang Pio seperti nyaris lepas mendengarnya

Jeannie menggangguk lagi. Wajahnya semakin bersemu.

“Direkam? Elu nggak takut hasil foto dan rekaman video lu pas lagi colmek dipakai memeras lu! Terus lu dipaksa jadi budak seks para gangster dan mafia! Terus lu dipaksa jadi bintang JAV! Terus lu dibugilin dan nggak dibolehin pakai baju selamanya!!!Terus,─”

“Stop! Itu mah cuma pikiran lu aja yang kebanyakan baca cerbung di forum esek-esek!” Jeannie membekap mulut Pio. Rona merah muda terlihat menyemburat di pipinya yang manis.

Pio menggeleng-geleng takjub, tak menyangka bahwa gadis pemalu di depannya akan melakukan hal segila itu.

Pio adalah orang yang paling tidak setuju ketika Jeannie memutuskan untuk menjual keperawanan untuk membiayai operasi ibunnya, selain klise (kaya plot cerita-cerita CEO), gila juga kalo elu mau ketemu sama orang nggak dikenal, meskipun alasannya untuk casting!

Pio sudah membayangkan adegan-adegan cabul dalam cerita stensilan yang dibacanya, di mana di tempat casting itu Jeannie dijebak dan digilir oleh para preman, atau yang paling gila, Jeannie dimutilasi dan jeroannya dijual pada penadah tranplantasi organ dalam!

─untungnya, melihat Jeannie muncul tanpa kekurangan apapun membuat Pio menghela napas lega.

“Gua cuma takut elu kenapa-kenapa,” kata Pio pelan.

“Makasih, Pio, hehehe… saya nggak kenapa-kenapa, kok.”

“Tapi kan,─”

Jeannie tersenyum getir. “Cuma ini satu-satunya jalan.”

Pio mengusap pundak sahabatnya, sebelum cepat tersenyum, “hey, tapi lihat sisi baiknya, lu bakal nyerahin virgin elu pada seorang CEO ganteng!”

Mau tak mau, Jeannie tersenyum juga melihat tingkah gadis lucu itu. “Idiiiih… itu mah, cuma khayalan Pio sajaaa…”

“Ehehehe, tapi seandainya gua masih virgin, rasanya gua bakalan mau kok, ngasih kesucian gua buat seorang CEO tampan, dingin, sadis, tapi posesif banget, kyaaaaah!!”

Jeannie menoyor kening Pio.

“Emang ada cowok semacam itu?”

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Fragmen 2
Man in The High Castle



Park Jun Woo


Altair

________________________________________________​

Park Jun Woo berdiri menghadap sebidang kaca tempered. Di bawahnya adalah lanskap kota yang dibalut dalam monokrom. Hujan yang turun sejak pagi menyisakan jejak-jejak air yang menuruni serat-serat silika yang memisahkan kemewahan dan segala kemiskinan di bawahnya. Dan itu adalah lantai tertinggi, dari gedung pencakar langit tertinggi pula, setidaknya, di Asia.

Wajahnya terpantul di kaca yang berembun. Tirus, dengan garis-garis wajah Asia Timur yang feminin. Rambutnya yang bergelombang tersisir rapi dalam kilapan pomade, orang mengira wajahnya hasil operasi, tapi demi segala Iblis, wajah rupawan itu adalah satu-satunya Mahakarya Tuhan yang dipahatkan dengan segala kesempurnaannya.

Ia tersenyum kecil, menyesap segelas teh hijau di hadapannya dengan tenang. Richard Mille melingkar di tangan kiri. Kemeja lengan panjang dari bahan sutera disetrika rapi. Vest ketat Armani dari bahan kulit yang membebat dada bidangnya. Lengkap dengan celana bahan yang membungkus tubuhnya yang maskulin.

Orang ini berbahaya. Kau akan tahu dalam sekali lihat. Ada intensitas yang merindingkan bulu roma dari caranya memandang. Sepasang matanya yang tenang dan tak menunjukkan emosi menimbulkan rasa tidak nyaman ketika beradu pandang.

“Sang Jenderal Besar sudah berusia 99 tahun, dan Wangsa Mandala sudah cukup lama berkuasa di balik layar. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi bila Sang Jenderal Besar wafat. Siapa yang akan memegang kuasa? Siapa yang akan menjadi pemimpin Orde Baru selanjutnya? Menantunya yang sekarang menjadi Panglima ABRI? Ataukah Panglima Terdahulu yang masih memiliki banyak pengikut?”

“Kudeta, Perebutan kekuasaan, kau mau bilang seperti itu?”

“Aku hanya memberikan sebuah preposisi dari berbagai kemungkinan.”

Orang di belakangnya menyeringai keji, “and let there be a chaos.

Seorang pria brewok dalam outfit casual duduk di atas sofa, merespon santai sambil memainkan stick Playstation 4, segelas kopi hitam tergeletak di meja bersama belasan puntung rokok yang terserak.

Jika Park Jun Woo pemimpin sisi putih dari Alengka, maka Altair adalah pemimpin sisi hitam dari Grup Konglomerat terbesar di Asia Tenggara itu.

Di saat Jun Woo memimpin rapat dengan para pemegang saham atau melakukan lobi-lobi tajam dengan anggota Dewan di Senayan, Altair mengurusi bidang usaha bawah tanah; bisnis-bisnis kotor grup Alengka, perjudian, perdagangan wanita, atau apapun yang tidak bisa ditampilkan di permukaan.

“Aku mendapat beberapa kandidat bagus untuk dibawa ke Slaver’s Bay.” Altair berkata setelah menyelesaikan satu pertandingan Fortnite. Lelaki berwajah maskulin itu menandaskan kopi pahit dalam gelas, dan melemparkan beberapa file di atas meja. Foto-foto wanita telanjang terselip di dalamnya.

“Kapan lelangnya?”

“Minggu depan. Dan aku sudah memesan tempat untuk dua orang.”

“Pelelangan Budak? Kau tahu aku tak pernah berminat dengan tempat itu,” Jun Woo menyahut, dingin.

“Ayolah. Bukan untukku pribadi. Aku memerlukan beberapa tenaga baru sebagai wanita penghibur di Burning Sky. Dan kau memiliki selera yang bagus mengenai wanita.”

Jun Woo menghela napas malas, tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah.

“Ayolah, man, aku tahu kau profesional sejati, tapi apa artinya kesuksesan hidup tanpa sedikit kesenangan?”

“Terima kasih, tapi aku memiliki banyak pekerjaan.”

Seriously, Park Jun Woo, Sang Prodigy? aku tahu kau bisa melakukan semua pekerjaan itu dengan mata terpejam.”

“Kita lihat nanti, oke?”

Fine,” dengus Altair, lalu melanjutkan lagi permainannya.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Banyak orang mengira, CEO perusahaan raksasa sepertinya bergelimang kenikmatan, menjalani pesta-pesta gila, dan meniduri banyak wanita. Terima kasih novel Fifty Shades of Grey yang telah mendistorsi fantasi gadis-gadis dan ibu-ibu muda tentang jabatan Chief Executive Officer.

─tapi tidak, terima kasih. Park Jun Woo memang selalu mendapat fasilitas nomor satu. Jet Pribadi dan akomodasi bintang lima. Namun Jun Woo tak pernah bisa menikmati semua itu secara karnal; telepon-telepon yang tak henti berdering, rapat-rapat panjang dengan pejabat-pejabat korup, dan segala tetek bengek yang tak mengizinkannya menikmati hidup barang sedetikpun.

Kau boleh mengira seorang CEO adalah pemilik perusahaan, tapi kenyataannya Park Jun Woo hanyalah karyawan yang digaji, yang membedakan lelaki berdarah dingin itu dengan seorang Cleaning Service adalah job desc-nya sebagai pemegang keputusan manajerial tertinggi.

Diperlukan perjuangan berdarah-darah untuk mencapai posisinya ini, terlebih lagi, bagi keturunan imigran Korea tanpa asal-usul yang jelas seperti Jun Woo. Pandangan Jun Woo berubah menegas, segala Raja dan Panglima tak selalu harus berasal dari Kasta Ksatria. Sama seperti Gajah Mada dan Ken Arok yang merangkak dari jalan-jalan tanah, ia akan membangun jalannya sendiri menuju Istana, dengan cara apapun.

─Pukul 10 malam ketika berkas terakhir itu selesai ditandatangani. Seorang supir sekaligus pengawal pribadinya menunggu di depan lobi bersama sebuah Land Rover warna hitam. Ringkas, versatille, taktis. Jun Woo tidak memerlukan kerepotan tambahan untuk mengkoleksi puluhan mobil eksotis.

Jakarta 2020. Jun Woo disambut oleh lampu-lampu neon warna-warni reklame di kanan kiri. Layar Amoled raksasa yang dipasang sebagai jendela gedung pencakar langit menampilkan hologram wajah Menteri Penerangan Harmoko yang membacakan Propaganda Pemerintah tentang Bahaya Laten Komunis.

54 tahun Orde Baru berkuasa, di semesta ini, reformasi 98 tidak pernah terjadi, Presiden kedua sudah berumur 99 tahun, dan ditetapkan menjadi Presiden seumur hidup dalam TAP MPR. Semua orang yang menentangnya akan dimasukkan ke Kamp Konsentrasi Pulau Buru.

Sebuah kereta monorel melesat di jalur MRT di antara gedung-gedung tinggi yang seolah berlomba mencapai puncak langit. Menara Babel. Kecongkakan manusia yang mengira bisa membangun tangga menuju Surga. Sementara di bawahnya adalah pemukiman kumuh yang memenuhi bantaran sungai, orang-orang yang berada di garis terbawah kemiskinan bergelut dengan kerasnya kehidupan. Dan kaca mobil mewahnya adalah batas terakhir yang memisahkan kemewahan yang ada di dalam tempat ini dengan kenyataan.

Sekelompok geng motor membunyikan klakson menyalip mobil Jun Woo sambil mengibarkan bendera bergambar kontol mencari toko sial untuk dijarah, sementara di pinggir jalan gerombolan barbarian bersorban menghakimi seorang PSK, wanita malang itu dipukuli beraramai-ramai karena dianggap merusak akhlak, dan yang paling mengerikan, tak ada satu pun yang peduli. Manusia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri hanya untuk bisa memiliki sedikit empati.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

“Di tahun 2020, mereka mem-vote kota ini sebagai kota terburuk untuk hidup, alasannya: angka kriminalitas yang terus meningkat, dan jutaan orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, , ─ tapi tetap saja, semua orang masih bermimpi untuk menemukan kejayaan di tempat ini.”

“Kota ini selalu memiliki seribu satu janji-janji… ─mungkin itu tipuan, atau ilusi… tapi gua yakin mimpi itu ada… menanti di suatu sudut sana… dan mimpi itu akan selalu membuat lu ngerasa bisa terus hidup di tempat terkutuk ini…─”

“─This is a city of dreams… and I’m a big dreamer.

“Pio, udah deh, jangan niruin dialog trailer Cyberpunk, game-nya nggak rilis-rilis juga.”

Pio tercengir bodoh, menoleh ke arah sahabatnya.

Aneh, adalah satu-satunya kata untuk mendeskripsikan seorang Viola Theresia Angelica, Jeannie tidak memiliki padanan kata lain untuk cewek yang selalu berhasil membuatnya geleng-geleng kepala itu!

Pio adalah masokhis garis keras. Tipe cowok idamannya adalah badboy yang abusif dan gemar KDRT. Dan menjadi budak seks seorang CEO tampan adalah cita-cita terbesarnya. Belakangan ini bahkan, gara-gara membaca salah satu cerbung bergenre snuff-gore, Pio mulai berfantasi diotopsi hidup-hidup, dia selalu terangsang ketika membayangkan tubuhnya dipotong-potong dan bisa orgasme hanya dengan membayangkan kematiannya sendiri.

“Pio, nanti saya numpang Pio pulang boleh, ya,” tanya Jeannie sambil menginput stok di komputer.

Pio mengangguk cepat. “Boleh-boleh-boleh, lagian gua takut pulang sendirian, sekarang lagi banyak geng motor, gua takut dibegal!”

“Pio, jangan menakut-nakuti saya!”

“Beneraaaan, gua kemaren baca koran Lampu Merah, ada ibu-ibu baru pulang kerja, dibegal sama geng motor, terus dia diperkosa di kebun karet, terus kepalanya dipengal!”

“Pioooooo….,” rengek Jeannie, lucu.

Pio sedang melayani seorang pembeli ketika mendengar suara belasan motor dari depan Indomaret tempatnya bekerja.

─Tuhan Yesus! geng motornya nongol beneran! batin Pio panik.

Tanpa ba-bi-bu, Enam orang menyerbu masuk ke dalam, sementara sisanya berjaga-jaga di luar sambil memecahkan kaca jendela.

Seorang Pemuda Berponi Barbar, yang sepertinya adalah adalah pimpinan mengacungkan parang di depan wajah Pio, memintanya mengosongkan isi cash register, sementara teman-temannya yang bertubuh cungkring berambut Jamet menjarah seisi toko, mengambili bengbeng dan coki-coki.

“CEPET!!! KELUARIN UANGNYA!!! ATO GUA BACOK KEPALA LU!”

Diancam senjata tajam, Pio langsung gemeter, anaknya yang emang parno bikin omongan Pio semakin ngaco!

“Ampun, bang… jangan bang… kasihan kucing saya baru beranak….”

“DIEM, LU! NGEBACOT SEKALI LAGI GUA MAKAN LU!”

Dibentak gitu, omongannya makin ngaco.

“Ampun bang… saya jangan dimakan….”

“BACOT! GUA PERKOSA JUGA LU LAMA-LAMA!”

“Kyaaaaah!” Pio memekik, tubuhnya yang mungil segera didorong telungkup di atas meja kasir, dipegangi beramai-ramai. Sementara Jeannie hanya bisa menggigil melihat perbuatan manusia-manusia bejat itu kepada sahabatnya, tapi itu pun tak bertahan lama, karena tatapan cabul anggota geng motor itu kini beralih kepada dirinya.


= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

“Kenapa berhenti?” Pria berwajah dingin itu menaikkan alis.

“Boss,” si sopir yang merangkap bodyguard menunjuk 30 meter di depan.

Belasan orang anak-anak STM berambut dicat ungu dan mengenakan hoodie AHHA palsu menyerbu masuk ke dalam toko Indomaret. Belasan orang anggota geng motor mengacung-acungkan parang ke arah seorang kasir yang gemetar ketakutan, sementara yang lain menjarah barang-barang dan memecahkan kaca jendela.

“Dari kelompok mana mereka?” Jun Woo mengernyit.

“Bukan dari siapa-siapa, cuma geng Motor anak STM, anak-anak kemaren sore. Tenang Bos, gua udah hubungin Bang Al, biar mereka diberesin,” sang bodyguard yang berambut gondrong menekan ponselnya.

Dua orang kasir di dalam menjadi bulan-bulanan, seorang yang berwajah lucu segera ditarik oleh tangan-tangan remaja dekil bau kencur, ditelungkupkan meja kasir dan digilir beramai-ramai, sementara seorang yang berwajah manis dipaksa menghisap kejantanan seorang geng klitih yang merem melek memperkosa kepalanya.

“Tsk,” Jun Woo membuka pintu mobil.

“Bos, Jangan! Bang Al dan anak-anak sedang otw ke sini!” cegah si bodyguard gondrong.

“Terlalu lama,” desis pria berdarah dingin itu sambil melonggarkan kancing kemeja.

“Bos Jun!”

“Mereka tidak pernah terlambat membayar uang keamanan kepada Alengka, bukan? Membiarkan anak-anak itu mengacau di daerah kekuasaan kita hanya akan membuat wibawa Alengka turun di mata para Crime Lords,” dengus Jun Woo.

“Bos Jun!” anak buahnya masih berusaha mencegah, “Sekarang elu udah jadi CEO! Bukan mainannya lagi tawuran kek ginian!”

“Tenang, gua bakal ngomong baik-baik,” sepasang matanya melirik dingin.

= = = = = = = = = = = == = = = = = = = = = = =​

Kegiatan mesum itu terhenti ketika seorang pria berwajah dingin melangkah masuk melewati pintu Indomaret.

Pandangan para anggota geng motor segera tertuju ke arah seorang pria tinggi tegap, berpakaian rapi layaknya seorang eksekutif muda, wajahnya tampan bahkan mengarah ke feminin, tapi sepasang mata yang menatap dingin itu seolah bisa membekukan darah.

Kegiatan mesum itu terhenti ketika seorang pria berwajah dingin melangkah masuk melewati pintu Indomaret.

Pandangan para anggota geng motor segera tertuju ke arah seorang pria tinggi tegap, berpakaian rapi layaknya seorang eksekutif muda, wajahnya tampan bahkan mengarah ke feminin, tapi sepasang mata yang menatap dingin itu seolah bisa membekukan darah.

“Selamat malam adik-adik, tapi rasanya kalian sudah bertindak terlampau jauh,” ia berkata tenang, mengambil sebotol minuman bernergi dari lemari pendingin.

Para anggota geng motor mengepung Jun Woo, masing-masing menyandang senjata tajam.

Park Jun Woo hanya tersenyum tipis, melepaskan arloji mahalnya. Ponsel, dompet dan barang-barang berharga segera bergabung di atas meja kasir.

“Dunia, terdiri dari tatanan-tatanan, termasuk dunia kejahatan.”

“Siape lu? Dari kelompok mana lu?!” Si Poni Barbar berdiri menantang dengan sebilah parang.

“Saya tahu darah muda kalian bergelegak, tapi tolong, dunia bawah pun memiliki aturan…─”

“Diem lu, jangan banyak bacot ato gua matiin lu sekarang!”

“─akhiri ini sekarang, dan tak akan ada yang terluka.”

“JANGAN BANYAK OMONG FUCEK!” jerit si Poni Barbar sambil mengayunkan parang.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Jeannie bahkan tak melihat apapun, hanya tendangan yang melesat tanpa bayangan di dada si Poni Barbar yang membuatnya terjengkang ke arah rak berisi jajanan.

“EH! BOS AING, LU APAIN, BANGSAAAAAAT!!!!” seorang berambut Jamet menerjang dengan sebilah celurit, tapi Jun Woo menyongsongnya tenang, sepasang kakinya melangkah ke kiri sehingga bacokan kasar itu hanya mengenai udara kosong.

Lalu dalam sepersekian detik itu, tangannya bergerak menepis, memuntir pergelangan, mengalihkan energi serangan musuh menjadi sebuah bantingan sekaligus melucuti persenjataan.

Senjata tajam itu segera beralih tuan, berputar lincah di antara jari-jari lentik Jun Woo yang memasang kuda-kuda dan membacokkan ke dada si Jamet yang masih mengaduh kesakitan.

Semburan darah segar segera mewarnai udara dari jantung yang bocor. “Kyaaaaaaah!!!!” Jeannie memekik ketakutan.

“ANJIIIIIIIIING!!!! TEMEN GUA LU MATIIIN!!!!” jerit seorang bersenjata pedang Katana dengan histeris, mengayunkan pedang dari negeri Sakura itu dengan membabi buta, dan Jun Woo bagaikan bisa membaca arah serangan, sepatu pantofel di kakinya bergerak lincah dalam serangkaian footwok indah dan membuat tebasan musuh hanya mengenenai bungkusan-bungkusan detergen, lalu ketika musuhnya kehabisan tenaga dan ayunan pedang itu berjeda, Jun Woo melesat dalam satu step in cepat, memendekkan jarak dalam sekejap mata.

Hanya diperlukan satu tebasan, dan anak itu langsung melotot sambil memegang lehernya yang menyemburkan darah segar, sebelum rubuh menimpa rak....

Lalu yang terjadi berikutnya adalah pembantaian. Celurit di tangannya seperti memiliki nyawa, meliuk, mengalir, menuntut tumbal nyawa, dan Jun Woo melakukan itu dengan lembut layaknya menari, sepasang kakinya bergerak indah bak melangkah di atas awan, menghindari bacokan demi bacokan dari para anggota geng motor.

Sebaliknya, satu persatu dari mereka bertumbangan di ujung celurit. Jeannie hanya bisa melihatnya dengan lutut gemetar, bagaimana lelaki tampan itu membantai anak-anak di bawah umur itu dengan tatapan dingin, hanya seringai lebar yang menghiasi sudut bibir pertanda menikmati.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =


Altair

Sementara itu…

“Bang Al! Bang Al! Abang Jun sedang dikeroyok oleh geng motor!” seorang anak buah melapor tergopoh kepada Altair yang sedang bermain PS4.

“Ah, shit here we go again,” dengus Altair malas. “Gua kira masa-masa jahiliyah itu sudah berakhir."

“Tidakkah kita harus membantu Abang Jun, bang!”

“Tak usah, anak-anak itu sekarang sudah mati. Siapkan tim untuk membersihkan TKP!”

“Tapi!”

“Elu nggak tahu..... Park Jun Woo is a man of focus… commitment… and sheer… ─fuckin will... Gua pernah dengar dia membunuh tiga orang di bar menggunakan sedotan…. bayangkan, a Foookin straw!!!”

Altair menoleh dengan air muka menggigil.

... and every story you heard about that man…, ia menelan ludah. “if nothing else... have been watered… down.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = == =​

Park Jun Woo berdiri di atas genangan darah, belasan mayat tergeletak tak bernyawa, sementara beberapa lagi kejang-kejang dicekam sakarataul maut, di kakinya berserak isi perut bersama kepala yang nyaris putus, dan ia melangkah di atas semua itu sambil tersenyum bagaikan seorang maestro yang mengagumi hasil karya ciptaannya.

Si Poni Barbar, satu-satunya yang masih tersisa, berlutut memohon ampun, kakinya gemetar, genangan kencing meleleh di antara dua pahanya.

“A-ampun…. bang…. a-ampun bang…. jangan matiin g-gua…. bang… besok gua UN, bang….” Si Poni Barbar menangis tersedu-sedu, “kasihan emak gua bang… emak gua nungguin di rum─”

─Crot!!!!

─kata-kata itu tidak selesai, bacokan celurit di batok kepala membungkam mulutnya selamanya.

Jun Woo hanya tersenyum tipis sebelum mencabut celuritnya dari tubuh yang segera ambruk tak bernyawa.

What a waste,” desahnya pelan. “Seandainya kalian mendengarkan kata-kata saya…” ia berkata, mengenakan kembali arloji mahalnya.

Matanya yang dingin beralih ke arah Jeannie yang meringkuk di pojokan.

Pio masih pingsan akibat diperkosa, menyisakan Jeannie yang hanya bisa menggigil melihat pria tampan dengan tubuh berlumuran darah melangkah mendekati dirinya sambil menggenggam sebilah celurit.

“Jangan sakiti saya tuan… saya mohon…. s-saya t-tidak a-akan bercerita kepada siapa-siapa…,” Jeannie menunduk gemetar, tak mampu menantang pandangan sang maut yang berdiri di hadapannya.

“Jangan salah sangka, aku tidak akan menyakitimu, tapi aku juga tidak berniat menolongmu,” ia berkata dingin, emosi bahkan tak menyisa dari suaranya,

Pria itu meraih dagu Jeannie yang belum selesai menggigil, memaksanya melihat ke dalam sepasang lubang hitam yang mampu meluluhkan daya hidup dan kesadaran.

Saat itulah, Jeannie bisa melihatnya.

─mata seorang Dewa Kematian.

To Be Continued....
 
Terakhir diubah:
mantap, mulai paham dan bisa mengikuti alur-nya. segera memikirkan ide-ide lagi...
 
Seperti biasa hasil karya suhu, seru dan menarik...makin penasaran lebih dalam sama ceritanya..Semoga lancar Hu
 
Wih seketika jdi grim reaper rupanya wkwkwkwk
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd