Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
Fragmen 3
The Hero With a Thousand Faces


Kefka

_______________________________________________​

My… my... my… what a mess….

Seorang pria dengan setelan sutra beraksen hijau jade melangkah memasuki TKP yang penuh dengan darah, Louis Vuiton-nya melangkah jijik di antara potongan tubuh dan isi perut, seolah tak sudi ujung mahal setelannya terkena percikan noda.

Rambut brunette-nya dipulas kilapan pomade, dan tubuhnya yang tinggi ramping dibalut vest ketat dari kulit. Sebuah sabuk dari bahan kulit sanca albino melingkar di pinggang, dengan gesper tembaga berbentuk ular yang yang memakan ekornya sendiri; Ouroboros.

Matanya melirik sekilas ke arah mayat si poni berambut jamet yang terbacok di kepala dan menjadi cover yasin.

Ia tersenyum kecil.

“Kali ini apa yang sudah kau lakukan, Jun Woo?”

“Kau tak punya mata, Kefka?”

Kefka mangangkat bahu ringan, dari belakangnya muncul belasan anak buah dalam balutan pakaian hazmat, face mask, dan masker N-95 meringkas mayat-mayat korban pembantaian ke dalam kantung sampah hitam dan melapisinya dengan lakban.

“Hati-hati cinta, yang berponi jamet ini dagingnya masih bisa kita jual kepada Pakde Sumanto pemilik Resto Bakso Rumah Dara, dan yang ini perutnya sudah rusak boleh kalian buang di tengah rel kereta sebagai pelajaran untuk kelompok lain,” ia mengedip dingin pada anak buahnya.

Matanya yang beriris jade beralih ke arah Jeannie dan Pio yang tak sadarkan diri.

“Lalu mereka? Kalau kau mau, aku bisa melenyapkan saksi-saksi ini sekalian,” Kefka berjongkok di depan Jeannie, mengusap bibirnya yang tebal. “Fufufu… Spesimen yang satu ini… menarik,” ia tersenyum dingin.

“Lalu Nona yang satu ini,” ─tangannya beralih mengusap dada mungil Pio yang terungkap. “ organ-organ dalamnya masih bisa dijual di pasar gelap, kuharap dia tak terjangkit STD.”

“Kefka! Don’t even try to think about it!” suara Altair terdengar menghardik, pria brewok itu muncul belakangan bersama sekelompok anggota geng.

Ah here we go again, Altair, the white knight in shinning armor.”

“Shut the fuck up,
jangan berpikir macam-macam, dan lakukan saja tugasmu.”

Kefka mengangkat tangan, “as your wish, my brother.

Pemuda berambut brunette itu mengeluarkan dua vial kaca berisi cairan berwarna hijau neon yang menyala dari balik jasnya.

“Ekstrak bunga Poppy, daun Khat, dan madu dari lebah Tibet yang mengisap nektar beracun, tambahkan sedikit fermentasi apel Malang sebagai pelarut, and voila, dua orang nona manis ini tidak akan ingat apa yang terjadi malam ini,” Kefka tersenyum dingin dan meneteskan konsentrat halusinogen itu di bibir Pio dan Jeannie, masing-masing satu tetes.

Terdengar suara lengguhan, bersamaan dengan zat yang mulai mengambil efek.

Mayat-mayat anggota geng motor sudah diangkut ke dalam truk sampah yang menunggu di luar, seperti juga motor-motor mereka yang sudah lebuh dulu dipereteli ke dalam sebuah kontainer lain. Sebuah tim kedua yang mengenakan boots plastik dan apron membersihkan ceceran darah dan menyemprotkan larutan peroksida untuk menghancurkan jejak DNA dan sidik jari. Seorang gadis berkacamata dan berponi sibuk dengan perangkat laptop, merekayasa rekaman CCTV.

For the god sake, Jun Woo, baru dua tahun kau duduk di kantor, sebegitu inginnya kau kembali menjadi kombatan?!” Altair membanting pintu mobilnya kesal.

“Kau yang terlalu lama.”

“Kau yang tidak sabar menunggu! Aku sedang Mabar bersama anak-anak!”

“Ini semua tak akan terjadi kalau anak buahmu mengurus mereka.”

“Mereka anak-anak SMA, for fuck sake! Dan kau membantai mereka seperti sedang melawan tentara bayaran dari Sierra Leonne!” sambut Altair gemas.

“Aku tak bisa menahan kekuatan.”

Kepala Altair meneleng tak percaya, “Seriously? Park Jun Woo? Murid dari Assasin Paling Mematikan di Dunia?”

You know, it’s just happened. Ketika aku sadar, aku sudah berdiri di atas tumpukan mayat.”

It’s not like you at all, mate. Belasan tahun kita berteman, tak pernah sekalipun kau spontan. Seorang Park Jun Woo yang meticulous, dan selalu menimbang segala sesuatu dengan rasio logika, kali ini mengikuti… something you called, naluri?”

Jun Woo mengangkat bahu.

“Ada sesuatu yang terjadi malam itu,” selidik Altair.

“Yea, massacre.”

Ada sesuatu yang membuat tombolmu terpantik dan membantai anak-anak itu. Something that provokes you.”

Park Jun Woo memalingkan wajahnya pada lampu jalan yang berkelebatan.

Or perhaps…” Altair tersenyum tipis ketika menemukan petunjuk. “someone.”

Fuck off,” dengus Jun Woo geram.

Muscle car warna hitam itu bergerak dalam kawalan, memasuki sebuah komplek hijau di sebuah bukit di pinggiran kota. Tembok-tembok tinggi terlihat di antara pepohonan trembesi dan kaliandra yang ditanam di halaman depan yang menyerupai kebun raya, dan mereka harus melewati jalan pribadi yang membelah hutan buatan hingga tiba di sebuah halaman intramuros dengan hamparan luas rumput gajah yang membentuk bentangan hijau serupa lapangan golf.

Sebuah kolam jernih berisi angsa-angsa putih memanjang di antara gerbang tengah dan istana putih sebagai titik pusat yang membentuk bagan-bagan konsentris, dan di sekelilingnya adalah komplek rumah-rumah dengan fasad kolonial, dan masing-masing memiliki halaman sendiri pula.

Berhenti di sebuah lobi rumah yang paling besar, Altair dan Jun Woo disambut dua orang bodyguard yang meminta mereka meninggalkan senjata sebelum memasuki metal detector.

Altair menghela napas malas, dan mengeluarkan sepucuk Glock 16 dari pinggangnya. Tak pernah sedikitpun merasa nyaman memasuki tempat ini, sekalipun ini adalah tempatnya dibesarkan. Penjaga berseragam yang berpatroli di sana-sini membuat tempat itu terlihat sebagai markas militer ketimbang tempat tinggal.

Seorang wanita muda bertubuh jenjang menyambut dengan tangan berkacak, tubuhnya yang ramping tinggi terbalut blazer hitam dan celana bahan, matanya yang dibingkai kacamata frameless langsung menatap jijik ke arah Jun Woo yang muncul dalam balutan sandal jepit swallow warna neon, celana panjang training, dan kaus Kecap Bango yang dibawakan Altair sebagai baju ganti di saat-saat terakhir.


Tara

“Tara?” mata Jun Woo menyipit curiga.

“Kali ini masalah apa lagi yang kau buat?” dengusnya, sinis, memperbaiki kaus Jun Woo yang kusut. “Oh lord, baju apa pula ini? Menjijikkan!”

“Itu bukan urusanmu.”

“Hari ini kau tak usah masuk kerja, beb. Papa ingin bicara langsung denganmu.”

Park Jun Woo mendengus dingin. “Aku sudah tahu.”

“Dan kau juga Al.”

Boy, you realy got a big trouble,” si brewok menggeleng putus asa.

Adalah Wangsa Mandala, keluarga konglomerat yang mengendalikan pemerintahan di balik layar. Pemimpinnya, Sidharta Wangsa Mandala sudah lama menarik diri dari kehidupan duniawi dan menyepi untuk mencari pencerahan hakiki, meninggalkan Alengka yang diurus oleh anak-anaknya.

Jataka anak kedua, memegang jabatan sebagai Komisaris Utama Alengka Group berikut gurita korporasi di bawahnya, sementara Padmabadra si bungsu berkuasa atas segala kegelapan dan dunia bawah.

─Sang Ratu Penguasa Dunia Hitam.


Jataka


Padmabadra

“Park Jun Woo. Sang CEO kita. Tahu kah kau apa yang sudah kau lakukan?” Jataka membuka suara. Nadanya berapi-api. “Kau sekarang adalah pimpinan korporasi, bukan bagianmu lagi untuk mengurusi permasalahan dunia hitam!”

“Kita memang menguasai Pemeritahan dari balik layar, tapi itu bukan berarti kau kebal hukum,” Padmabadra berkata, ada ketenangan dari nada suaranya, seperti danau kaca yang tak beriak, teduh, tapi menyimpan palung-palung dalam yang mematikan.

“Dasar tidak becus!” sambar Jataka. “Kau juga, Al! Jangan kira karena kau anak angkat keluarga kami, kau bisa bertindak seenaknya! Kelompok-kelompok liar seperti itu bisa timbul karena kau dan anak buahmu terlalu banyak bermain-main!”

Altair tersenyum hambar, tapi urat-urat wajahnya mengeras mendengar kata, ‘anak angkat’.

Padmabadra tersenyum meneduhkan. “Bukan maksud kami untuk terlalu keras, anakku. Tapi kalian ditempatkan di pucuk tertinggi Alengka, bukan tanpa alasan. Kalian menyimpan potensi, kami tahu itu,” matanya yang teduh beralih pada Jun Woo.

“Jun Woo. Kalau kau merasa pekerjaan kantor terlalu membebani, ambillah cuti dulu, ikutlah dengan Altair dan Kefka ke Slaver’s Bay akhir minggu ini. Dua tahun kau bekerja tanpa henti. Kau butuh liburan.”

Si brewok berusaha menahan senyum dan keinginan untuk berkata ─gua bilang juga apa.

Jataka mendengus congkak. “Untuk sementara, Radheya anakku akan mengurus dunia bawah, sementara adiknya Tara yang akan menangani urusan perusahaan.”

“Tapi tuan,─”

“Ini bukan hukuman,” suara Padmabadra berkata tenang namun berkuasa, “Ini adalah tugas.”

Tangannya bergerak mengulurkan sebuah amplop berwarna merah darah, logo ‘teratai berdarah’ tercetak di atas segel lilin.

Park Jun Woo membuka amplop dan membaca sebuah nama di dalamnya.


Tama, The Slave Trader

Adalah Tama, atau Mahessa Jayapratama, anak tertua dari Sidharta Wangsa Mandala yang diusir dari Indonesia oleh ayahnya karena bekerja sama dengan beberapa tokoh politik untuk menggulingkan Sang Jendral Besar tahun 1998.

Demonstrasi besar-besaran di gedung DPR berakhir dengan pembantaian ribuan mahasiswa, dan tokoh-tokoh politik yang mendukung reformasi dilenyapkan oleh Resimen Kalacakra, pasukan Black Ops milik ABRI. Sementara Tama, Sang Dalang, terpaksa melarikan diri ke luar negeri dan menjadi seorang eksil.

Tama mendirikan kerajaannya sendiri di negeri bekas Somalia di tepi Laut Merah, di mana dia membangun sentra perdagangan wanita penghibur dan budak yang dikenal dengan nama The Slavers Bay.

Ketiga bersaudara itu sempat rujuk ketika Sang Ayah memutuskan mundur dari dunia hitam, bahkan memulai bisnis perdagangan manusia, namun kali ini….

“Katakan kepada kakak kami, The Wangsa Mandala sent their regards.

Pemuda bermata Dewa Kematian itu tersenyum dingin.

─perintah asasinasi.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =


Kefka


Jeannie

My… my… kau tak tahu sedang terlibat dalam perkara apa, Nona…” desah Kefka begitu melihat remaja berwajah polos itu muncul di depan pintu ruang kerja beberapa hari kemudian..

Seorang gadis manis terlihat dalam terusan rajut warna kelabu dan cadigans warna senada, rambutnya dikuncir manis dengan ikat rambut sederhana, melangkah malu-malu sambil mengucapkan permisi.

─Ini adalah tahapan kedua, sama seperti yang dikatakan Altair waktu itu. Pesan WA dari pengirim misterius meminta Jeannie datang untuk medical check up di sebuah tempat di bilangan Jakarta Kota, gedung besar peninggalan Belanda yang dijadikan Rumah Sakit milik grup mafia.

Tegel berubin corak, langit-langit tinggi dengan kandil kuningan yang melingkar pada lobi terlihat menyambut bersama sebidang kaca fresco bergambar Medusa yang jatuh menjadi carik-carik cahaya warna-warni, lalu lagi, gadis itu mengucap permisi, sebelum seorang perawat mengarahkan masuk ke dalam kamar periksa.

“Marilah sayang, lepaskan pakaianmu,” laki-laki metrosėksual itu berkata lembut, suaranya mengambang di udara bersama aroma floral yang meruap dari tubuhnya yang ramping.

Laki-laki berambut brunette itu mengenakan kemeja lengan panjang dari bahan satin warna hijau gelap, dengan celana panjang berwarna lumut, dan di pergelangannya melingkar Tudor.

Ada yang menggentarkan dari caranya menatap, Jeannie belum tahu apa, karena berbeda dengan sepasang mata Kaisar Altair, atau tatapan dewa maut Jung Woo, mata lelaki beriris jade itu tak pernah sungguh menatap. Ada ruang kosong di belakang Jeannie tempat pandangannya jatuh. Ruang kosong di mana Jeannie tidak tahu, ia sesungguhnya sedang melihat apa, atau siapa.

“Maafkan ketidaksopanan saya, Kefka McTavish, at your service,” ia meraih pergelangan Jeannie dan mengecup punggung tangan layaknya seorang bangsawan.

Ruang periksa itu lebih mirip kamar mayat, dengan kelima bidang dinding yang dilapisi keramik dengan bercak coklat di sana-sini, lubang pembuangan terlihat di keempat sudut, dan kait-kait besi menggantung di langit-langit. Di tengah adalah meja besi dan di sisi lain adalah meja litotomi yang biasa kau temukan di dokter kandungan. Hanya aroma desinfektan yang tercium menyengat yang menyelamatkan tempat itu dari sisa-sisa aroma amis yang masih tercium, jika hidungmu jeli memperhatikan.

Kefka melepas jam tangan dan mengulung lengan kemeja, dan tangannya membasuh di bawah kucuran air dan sabun antiseptik, seorang dokter ia kira, terlihat dari gerakan yang sangat klinikal ketika mengenakan sepasang sarung tangan lateks setelahnya.

Ada sebuah partisi dari rangka besi kain hijau dengan rak stainless dan keranjang rotan, dan Jeannie diminta melepaskan pakaian di baliknya. Kefka yang menunggu di sisi satunya tak membuat hal ini menjadi mudah, justru pipi Jeannie yang semakin merona menyadari akan menelanjangi diri lagi di depan orang lain. Wanita dengan dada sintal itu menarik napas dalam dan melolosi terusan longgar itu dalam satu gerakan, sehingga penutup tubuhnya merosot jatuh mengungkap liukan erotis pinggang dan pinggul bak gitar katalonia.

Kefka hanya merespon dengan senyum tipis, memuji tubuh Jeannie yang nyaris tanpa lapisan lemak.

Finally, jadi ini adalah perawan suci yang disebut-sebut Altair? Kemarilah sayang, mendekatlah, jangan takut, saya akan membuat semuanya cepat, dan tanpa rasa sakit.”

Jeannie diambil sampel darah, diukur denyut nadi dan tekanan darah, semua itu dilakukannya tanpa sehelai benangpun di atas tubuhnya, di depan laki-laki tampan itu Jeannie diminta membuka mulut lebar-lebar dan diperiksa kelengkapan gigi geligi, lalu diukur berat badan dan tinggi. Jantungnya agak berdebar ketika Kefka berlutut dan melingkarkan meteran di tiga ukuran vital, dada, pinggang, dan pinggul, dan Kefka melakukan semua itu seolah sama sekali tak peduli dengan ketėlȧnjȧngan Jeannie.

“Sekarang naikkan kedua tanganmu,” Kefka berkata lembut, dan Jeannie gemetar menurut.

Sepasang ketiaknya yang mulus tanpa bulu segera terpampang, putih, dan menampakkan urat-urat kebiruan yang membayang. Lembut, tangan Kefka yang berbalut sarung tangan lateks bergerak menopang sepasang tangan Jeannie dari belakang.

“Rileks,” bisiknya di telinga Jeannie, sehingga ia bisa merasakan embusan napasnya yang bercampur aroma mentol, bersamaan dengan jari-jari lentik yang menangkup pada payudara sintalnya.

“─ah,” Jeannie memekik kecil. Lelaki berkulit putih itu mendekat, cukup dekat sehingga Jeannie merasakan serat-serat pakaian Kefka menempel di bagian belakang tubuhnya yang tėlȧnjȧng.

Sepasang telapak ramping itu menopang pada kedua bukit indah dada Jeannie, bergerak mengitar pada gumpalan kenyal dada, memijat, mencari apakah terdapat anomali dari gumpalan kelenjar bercampur jaringan ikat itu. Kefka melakukan semua gerakan itu seklinis mungkin, tapi sentuhan seorang dokter tampan pada bagian tubuhnya yang paling pribadi mau tak mau membuat sekujur tubuh Jeannie meremang dan ia menahan diri untuk tidak mengerang, terutama ketika jari-jari Kefka menjepit pada putingnya yang mencuat keras dari tengah aerola.

“Setelah tengah malam ini kau tidak akan mengenakan pakaian lagi, ─setidaknya sampai semua ini selesai, kau sadar dengan itu?” Kefka berkata lirih, masih, dalam posisinya yang setengah memeluk dari belakang.

Jeannie mengangguk, wajahnya bersemu.

“Sebelum berangkat kau akan dibius, setelah itu, kau akan terbangun di Slaver’s Bay. Maka sebelum itu, kami harus meyakinkan bahwa ususmu dikosongkan.”

“M-maksud a-anda?”

Come, darling, naiklah,” lembut, Kefka membimbing tangan Jeannie menaiki meja otopsi, Remaja telajang yang mulai terangsang itu pasrah saja ketika diminta merangkak dan menumpu dengan lutut dan telapak.

Wajah Jeannie langsung bersemu, menyadari betapa memalukannya posisinya itu.

Rileks,” Kefka mengerdip gemulai, mengeluarkan selang silikon dari atas rak besi berisi bermacam peralatan.

Jeannie memekik pelan ketika jari-jari Kefka yang telah dilumuri gel pelicin mempenetrasi lubang anusnya.

“Jangan tegang, sayang,” bisik Kefka lembut, karena otot-otot anal Jeannie yang kembang kempis menjepit telunjuknya di dalam.

Kefka menguak bongkahan montok pantat Jeannie, lalu, dengan lembut dan penuh perasaaan ujung-ujung licin jarinya diusapkan dalam gerakan memutar di sepanjang lubang pembuangan, meratakan gel pelicin pada otot-otot spinchter yang berbentuk cincin.

Tangan Kefka meraih sesuatu. Benda berbentuk silinder karet yang terhubung dengan tabung melalui selang panjang. Jeannie hanya merasakan ujung tumpulnya yang mencium lubang berbentuk bintang kecil di bawah pantatnya, diikuti desakan benda lunak s yang memasuki tubuhnya. Jeannie merintih lirih. Gel pelicin membuat tabung karet itu melesak dengan mudah di antara himpitan rapat otot-otot anal, dan terbenam tepat di mulut usus besar.

Remaja berdada sintal itu menggelinjang tak kentara, antara sakit, geli, juga erotis sekali rasanya dipenetrasi dari belakang. “Sssssssh… tuanh… Jeannie …. diapainh…. aaaaahhh.” Kefka memutar kenop pada tabung plastik, mengalirkan campuran minyak zaitun dan larutan kemikal ke dalam ususnya, memenuhi saluran penceranaan Jeannie dengan lelehan licin cairan pelumas.

“Nah, sekarang Nona harus menunggu, setidaknya,” Kefka melihat jam dinding kumal di dinding. “10 menit?”

Masih dalam posisi menungging dan tabung karet tertancap di lubang anus, Tubuh tėlȧnjȧng Jeanie mulai diliputi lapisan erotis keringat di sana-sini. Rasa malu mulai menyemburatkan rona-rona merah muda di kulitnya yang sensual, sementara Kefka yang berpaikan lengkap bersandar di tembok di depannya, mengamati wajah Jeannie yang menahan nikmat lekat-lekat. “Kenapa kau melakukan semua ini, Nona?” ia bertanya.

“Ibu saya… memerlukan uang untuk operasi…,” Jeannie menjawab terbata, dicekam rasa malu membuat sesuatu yang terletak di celah atas kewanitaannya membengkak hebat dan bisa meledak kapan saja.

Kefka tersenyum, “tak adakah alasan yang lebih klise dari itu?” sepasang matanya yang jade menangkap kilapan cairan bening tipis mengalir pelan dari dalam tubuh Jeannie, membasahi paha dan betis, bercampur dengan cairan enema yang meleleh dari belahan pantat.

Jeannie tidak menjawab. Perutnya terasa penuh.

Dokter berwajah tampan itu menguak bongkahan pantat Jeannie, menarik tabung enema perlahan. Terdengar suara ‘plop’ bebarengan dengan rintihan lirih Jeannie ketika benda itu tercabut dari dalam lubang anusnya.

Kefka meraih sebuah sumbat karet, berbentuk oval dan memasukkannya ke dalam lubang kecil yang tampak melar dan dilelehi cairan licin.

Jeannie mengernyit geli. Sumbat karet warna hitam sekarang tertancap menggantikan di antara pantatnya yang menungging tėlȧnjȧng. Tangan Kefka menjangkau dari celah di antara paha, beralih pada perut Jeannie yang rata, memijat pelan di tempat yang merupakan posisi usus besar, letaknya yang sedikit lebih tinggi dari kemaluan membuat Kefka seperti sedang mencumbui vȧgïnȧnya.

“Aah… ssssh… aaah…,” dan Jeannie tidak bisa untuk tidak mendesah.

“Seorang gadis miskin yang menjual keperawanan kepada pangeran tampan. Tsk,” bibirnya mendesis iba. “Kau tahu Nona, kalau kau mau, kau bisa jadi lebih dari ini,” Kefka mengusap pundak Jeannie yang tėlȧnjȧng, ada pigmen berwarna cokelat muda, sebuah tanda lahir, nyaris tak tampak karena tersamarkan oleh helaian rambut.

“Kau punya potensi, tapi manusia, seringkali mengunci dirinya sendiri, tunduk oleh takdir yang ditetapkan Dewa-dewa yang belum tentu ada.”

“S-saya tidak mengerti.”

“Kau percaya reinkarnasi, Nona?”

“Saya tidak percaya reinkarnasi.”

“Tak percaya, bukan berarti tak ada. Semuanya terhubung. Apa yang kau kira sebagai ketunggalan ternyata hanyalah bilangan fraktal dari milyaran kemungkinan, dan semesta tak pernah tunggal sejak awal. Akan selalu ada Kefka-kefka lain, Jeannie-jeannie lain di semesta yang tak berbilang, kita hanya saling bertukar nama, bertukar peran, namun semua akan mengarah ke ujung yang sama, muara yang sama pula.”

Kata-kata itu terdengar seperti enigma, tapi bulu kuduk Jeannie dirambati dengan perasaan déjà vu.

─lagi-lagi, sama seperti waktu itu, Jeannie merasa pernah mendengar kata-kata Kefka, entah di mana. Pandangan Kefka yang mengawang seolah menatap apa yang tidak bisa ditatap, namun belum sempat bertanya ketika perutnya tiba-tiba terasa melilit seperti datang dorongan buang air besar.

Kefka mengambil sebuah baskom, lalu, ketika sumbat itu dicabut, cairan enema bercampur fecal menyembur kencang dari dalam lubang pembuangan Jeannie. Wajahnya merah padam menahan malu, dan tangannya mengatup di depan bibirnya yang mengerang nikmat. Remaja bertubuh montok itu mengejang hebat, hujaman rasa nikmat akibat dipermalukan sudah mencapai titik kulminasi, membuat semburan cairan sqüïrt menyembur indah bersama puncak kenikmatannya yang tak tertahankan.

“Aaaaah… aaaah…. aaaaaaah...,” rintihan itu bahkan terdengar terlalu memalukan, tapi otot-ototnya seperti berada di luar kendali, yang ia bisa hanyalah mengejang dan mengejang, hingga sepasang sikunya kehilangan kekuatan untuk menumpu, dan Jeannie ambruk tertungging di atas wajahnya sendiri.

Kefka seperti bisa mengerti rasa malu Jeannie dan tak menyebut tentang ȯrgȧsmenya itu, ditatapnya lembut wajah Jeannie yang berpeluh, dan disekanya lubang pembuangan Jeannie dengan handuk hangat dari sisa-sisa kotoran, telaten, hingga yang tersisa saat ini hanyalah aroma harum dari minyak esensial yang berasal dari cairan enema.

Jeannie bahkan tidak bisa berpikir apa-apa lagi, remaja yang tak berpakaian itu hanya bisa menurut ketika dibimbing naik ke atas kursi litotomi yang biasa digunakan di dokter kandungan. Sepasang pegangan kaki, dan paha Jeannie dinaikan ke atas penyangga yang memaksa tungkainya membuka lebar, hingga bagian tubuh paling pribadi itu terbuka sempurna. Bersih, tanpa rambut sehelaipun. Kefka yang sudah berganti handscoon berjongkok dengan senter di kepala.

Tubuh Jeannie dipenuhi keringat mengkilat basah, mengangkang pasrah, ketika Kefka menguak dan memeriksa setiap detil dari organ intimnya yang berdenyut-denyut di bawah. Sepasang buah dadanya yang membusung mengikuti napasnya yang terengah, dan ia hanya berharap jangan sampai mendesah.

Dokter tampan itu memeriksa setiap detil bibir dan helaian merah muda yang berlipat-lipat segar, dan berkata bahwa organ reproduksi Jeannie sangat sehat, selaput daranya masih utuh, dan klïtȯrïsnya sangat sensitif pula, membuat Jeannie seharusnya bersyukur diberikan bagian intim sesėksi itu.

Lalu jari-jarinya beralih pada lubang pembuangan yang telah dibersihkan dengan enema. Kefka berlutut di depannya dan Jeannie bisa merasakan dengusan nafasnya di antara sėlȧngkȧngȧnnya. Jeannie merasakan belahan pantatnya dikuak pelan, dan sepasang jari hangat yang bergerak menembus lubang anusnya. Jeannie menggeliat sedikit, g ketika dia menggerakkan jarinya yang licin memutar, meraba otot-otot anusnya dalam satu gerakan lembut, untuk merasakan apakah ada tonjolan abnormal.

Geli sekali rasanya, dan Jeannie terpaksa mendesah pelan, sambil menutup bibirnya yang gemetaran. Jeannie merasakan jari Kefka menekan ke arahnya, meraba dengan lembut lubang anusnya yang imut, menggerakkan ujung jarinya yang licin dalam gerakan memutar di tepian. Tubuh montok Jeannie langsung menggeliat diiringi desahan nafas dari bibirnya. Jeannie hanya bisa menatap tak berdaya dengan bibir yang membuka pasrah sewaktu jari telunjuk Kefka yang licin itu sudah memenuhi lubang tubuhnya yang paling menjijikkan.

─Jeannie mendapatkan satu lagi ȯrgȧsme di sini, yang intim dan tak bersuara, hanya getaran halus, diikuti enggahan napas lega ketika desakan puncak kenikmatannya itu tiba.

Perfection,” senyum Kefka puas, bersamaan dengan seorang perawat laki-laki yang membawa masuk hasil pemeriksaan darah Jeannie.

Kefka memerintahkan perawat itu membawa Jeannie untuk melakukan pemeriksaan tambahan, Jeannie yang sudah terangsang hebat tidak bisa berpikir apa-apalagi ketika ia dibimbing berjalan melewati lorong rumah sakit yang dipenuhi pasien dari anggota mafia tanpa apa-apa lagi di atas tubuhnya. Beberapa pria berwajah seram bersuit-suit genit, dan gadis berdada sintal itu hanya bisa menyilangkan tangan menutupi bagian-bagian tubuhnya yang disukai pria, meski diam-diam, ia juga menikmati tatapan-tatapan liar para bajingan yang jatuh di atas tubuhnya yang tėlȧnjȧng bulat.

Selepas rontgen thorax dan MRI, Jeannie menjalani tes EKG dan VO2 Max di sebuah treadmill untuk mengetahui kapasitas paru, tubuhnya yang tėlȧnjȧng dipasangi berbagai macam kabel dan ia dipasangi masker oksigen, dan diperintahkan berlari sekuat yang ia bisa. Lelehan keringat memenuhi tubuhnya yang tėlȧnjȧng, dan sepasang bongkahan kenyal dadanya berguncang ketika ia berusaha menyesuaikan diri dengan kecepatan conveyer belt yang makin lama semakin cepat, tapi anak itu seperti tak kehabisan napas, staminanya seperti tak terbatas, hingga akhirnya beberapa petugas hanya menggeleng takjub, dan Jeannie diminta menuju sebuah tes terakhir.

Di sebuah ruangan kedap suara yang merupakan bangsal Psikiatri, Jeannie diikat dalam sebuah ranjang yang dipenuhi dengan berba gai macam sabuk penahan, sehingga tubuhnya yang tėlȧnjȧng berada dalam posisi seperti disalib dengan tangan merentang. Kabel-kabel kembali dipasangkan di sekujur tubuhnya, kali ini untuk mengukur gelombang otak.

Bibirnya disumpal mouthgag berbentuk bola karet. Sebuah kacamata VR yang menampilkan film porno POV dipasangkan di atas kepala, dan sebuah vibrator menempel di bagian tubuhnya yang paling sensitif, merangsang Jeannie untuk mengetahui berapa ȯrgȧsme maksimal yang bisa dicapai anak itu. Sepasang kabel stimulan yang terjepit pada ujung putingnya yang berukuran 34C, membuat Jeannie merintih-rintih nikmat hingga air liur meleleh dari mulutnya yang tersumpal mouthgag, dan sqüïrt banyak sekali. Karena di dalam Virtual Reality itu Jeannie seperti sedang digilir oleh preman-preman metropolitan.

10 jam dari pagi hingga jam 8 pagi hingga jam 6 sore, Jeannie dicabuli oleh ratusan preman, tukang pukul, begal, bahkan sesama wanita dalam Virtual Reality, dan sudah tidak terhitung pula ȯrgȧsme yang didapatnya, tapi alih-alih pingsan, Jeannie malah semakin mendamba, dan menggila, menginginkan kenikmatan yang lebih dan lebih, seolah ia adalah Dewi Sėks yang terlahir kembali di dunia….

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

The Hero with a Thousand Faces. Herakles, Perseus, setiap kisah memiliki cetak biru yang sama. A monomith. Seorang pahlawan yang memulai petualangannya dari sebuah dunia senerhana, dan dia harus meninggalkan hidupnya yang semula. Memasuki sebuah ranah tak dikenal….”

Suara itu terdengar nyaris dari kesunyian, Jeannie membuka mata dan mendapati dirinya terbangun dalam sebuah mobil yang mengantarnya untuk mengucapkan perpisahan terakhir kepada sang ibunda.

Kefka terlihat duduk di sampingnya, Altair dan seorang sopir menyetir di bangku depan.

“Kau sudah bangun, Nona?” Altair berkata. “Kau tertidur nyenyak sekali, sehingga kami tak ingin membangunkanmu.”

Hari sudah beranjak malam, dan Pio sudah menunggu bersama Laila di ruang tamu. Jeannie membuat kebohongan akan bekerja sebagai TKI di Dubai, tak lupa, Pio diajaknya bersekongkol dan berjanji akan menjaga ibunya.

Malam itu, Laila tak banyak bicara, hanya petuah-petuah yang ditelan dalam kesunyian. Sedapatnya Jeannie meresapi setiap nada suara itu, wajah renta itu, juga bau tubuh ibunya, yang pasti akan ia rindukan.

Lalu mereka sholat berjamaah untuk terakhir kali, dan kali ini, suara takbirotul ihrom itu terdengar bergetar, dan ibunya sujud lebih lama dari biasa, lalu, ketika bangkit, Laila mendapati titik-titik basah di antara sajadah dan doanya terpanjat dalam sunyi.

ini adalah hari di mana aku melangkah, ibunda
Sama seperti dulu ketika kau menuntunku dalam langkah pertama
Atau nafas dalam awal mula
Kali ini, aku akan merenangi dunia
menerbangi cakrawala
tapi langit akan selalu berujung pada awal yang sama
dan kau akan selalu menjadi rumah
juga sebuah tempat untuk pulang.


= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

─Sunyi. Mobil itu memasuki gerbang sebuah pangkalan angkatan udara. Sebuah Pesawat Antonov terlihat terparkir di landasan pacu, dan mobil Maybach hitam itu berhenti di sebuah hangar.

Pengawal bersenjata keluarga Wangsa Mandala terlihat di sana sini, dan Jeannie dipersilahkan menanggalkan semua yang melekat di tubuhnya

Jeannie menarik napas sebelum melepas bajunya untuk yang terakhir kali, dan Altair berjanji anak buahnya akan menyimpankan semua barang bawaannya.

Jeannie memasuki sebuah ruangan besar, belasan calon prostitute, dan puluhan budak tahanan politik yang dirantai berkumpul dalam kondisi tanpa busana.

Lalu Kefka dan anak buahnya memasukkan satu persatu manusia-manusia itu ke dalam tabung berisi cairan dan alat-alat penyokong hidup sembari menyuntikkan obat bius, dan nama mereka di panggil satu persatu, hingga akhirnya giliran tiba Jeannie.

Sleep tight, my little sleeping beauty,” Kefka tersenyum manis sebelum menyuntikan sebuah vial berwarna merah darah dalam pembuluh vena. Selang oksigen dimasukkan ke dalam kerongkongan, dan dalam lubang kencingnya dimasukkan kateter, bersama selang yang tengggelam dalam lubang anus.

Jeannie berbaring dalam tabung kaca yang seperti peti mati, dan ketika pintu kedap udara itu menutup, cairan kental keruh mulai menenggelamkan dirinya. Jeannie memberontak panik sebagai reaksi alami terhadap kondisi klaustrofobia. Tubuh tėlȧnjȧngnya meronta untuk terakhir kali sebelum akhirnya obat bius itu mengambil kendali.

Jeannie melemas, dan melemas. Kepalanya terasa ringan, dan semakin ringan. Hingga akhhirnya anak itu berhenti bergerak sama sekali.

Malam itu Jeannie bermimpi aneh sekali, tentang semesta yang tak berjelang.

Tentang sebuah bagan konsentris perlambang Samsara.

─sebuah Mandala.

To Be Continued.....
 
Terakhir diubah:
yaaa gitu dah hahahah
:papi:

Latar Orde Baru Refueled benar" membuat cerita ini semakin seru.

Carry on, let the legend continues...
heheheh... Cocok berarti tema alternate history ini ha...
suka banget sama cerita bang jay
:ampun:
Makasih ya gan.....

Baca terus ya gan

Lanjut huu
yoi, sudah ane lanjut gan

Lanjut dong gans
ni gan dah ane lanjutpun
 
De javu lagi...

:tendang:
:takut:

Juaraaaa nitip sendal hu
sipppp... Jgn lupa komenin terus ya sob

Nice Story hu
Majas,kosakata nice pokoknya
Berasa baca karya JK.Rowling
wadu, semoga ane dapat wangsit sajalah supaya ane dapat ide mantapun

sangat menarik, negeri antah berantah tapi masih menggunakan ABRI, coba Militer mungkin cocok
kan Orde Baru gan
Kalo sekarang TNI
Yaa nanggung amat Hu...
Kpn di bdsm in Jeannie nya...
kan udah diiket
Distimulasi
dan kembali terkesan dengan diksi.,
:tepuktangan: :tepuktangan::tepuktangan::ampun:
waduh terimakasih gan :ampun:
Bahasanya njiirrr...
Om jay..kosakata anda benar2 bikin kerutan di dahi makin nambah..
Kereennn
Wakakakaka
gitu ya gan, di bagian mananya gan
 
Aku sepertinya mengenal maestro yang satu ini.. hmmm udah 10th an kyknya baru bs bareng lg thread nya skrg.. salam hangat my brada :ampun: :ampun: :ampun:
 
Bimabet
Terimakasih atas update ceritanya suhu @Jaya Suporno ..
Bener2 penggambaran cerita yg detail..
Seolah terbawa masuk ke dalam cerita ..
Keren suhu..
Sepertinya Jeannie akan menjadi ratu..
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd