Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG MY LOVE JOURNEY 2 (Boski Storys)

My Love Journey 2 – Boski Storys






CHAPTER 1.5






Rizki


Dengan langkah gontai, seperti enggan menerima kepindahan kami sekeluarga. lalu aku bersalin baju seragamku dengan pakaian kaos oblong hitam cap buaya dengan celana pendek adidas kw, maklum gue masih kecil cuy masih es-em-pe jadi untuk masalah pakaian kagak dipermasalahkan. Bodo amat mo lutut dibilang kopong atau betis kayak pager bambu, semua lewat kayak kentut dalam hitungan detik. Blas, blas, bla, angine tak tercium lagi. Yang jelas, aset satu-satunya yang berharga si burung keramat yang baru numbuh bulu tetap terjaga di sarangnya kagak kedinginan. Hahaha. Setelah beres, lalu aku keluar kamar.

“Bluug” Pintu kamar kututup kembali lalu berjalan menuju di mana seluruh keluarga berkumpul.

"Sayang, makan dulu gih, sebelum kita pergi! Pasti belum makan siang ‘kan? Ibu udah masakin sayur kesukaan kamu." ujar ibu yang telah berdiri di samping meja makan dengan membuka tudung saji.

Aroma sayur kacang, tempe goreng, tongkol goreng dan sambal terasi, mulai tercium menggugah selera makanku, padahal emang perut dah keroncongan.

"Kok, Ibu belum siap-siap sih?" tanyaku heran melihat Ibu masih berpakaian yang sama.

"Emang kenapa musti ganti, kita mau bersih-bersih kok, bukan mau shoping? Jadi tanggung, kepalang kotor." jawab ibu sambil menyodorkan piring padaku lalu menyajikan nasi ke atasnya.

"Makasih Bu. Ayah sama Kak Widya sudah makan?" tanyaku pada Ibu yang masih berdiri di sampingku.

"Ayah udah, kakakmu keliatan tadi udah, saat pulang sekolah." jawab Ibu sambil menuangkan sayur kacang lalu mencomot tongkol goreng dan tempe goreng ke atas piringku. Setelah beres, Ibu menemaniku makan.


"Nyam, nyam,.. Bu, keliatannya Rizki bakalan nambah deh makannya, mantap masakannya." Disela makan memuji ibuku.

Itulah Ibuku, kalo udah masak untuk cita rasanya tak diragukan lagi tapi untuk menu i,ni, emang tak ada duanya meski dibilang kampungnya tapi kalo dimakan anget-anget pokoknya ajib dah.

"Kenapa sih Bu, kalo Rizki lagi makan Ibu selalu nemenin, trus liatin aja. Nyam, nyam?" tanyaku tanpa berhenti makan.

"Emang gak boleh...??" tanya Ibu sedikit menggoda.

"Bukannyah gak boleh sih tapikan risih diliatin terus nyam, nyam.. " lanjutku

"Habis kamu kalo makan kayak Ayah, buat Ibu jadi ngangenin! " jawabnya sambil menyomot tempe goreng lalu diberikan lagi ke atas piringku.

"Ah Ibu, bikin ill feel aja! Bahas Ayah, noh orangnya ada di depan!" ketusku.

"Hihi marah." Ledek Ibu.

Kucomot tempe goreng lalu saat hendak dimakan.

Haaap. Tiba-tiba, Kak Widya merebut makanan dari tanganku.

"Kakakkk....! Kak, jangan seenaknya rebut dong!" ketusku, sambil kutepis tangan Kak Widya.

"Apaan sih, pelit amat?" Sambil menarik tangannya.

"Udah, udah, kalian tuh ribut mulu. Udah pada gede juga, nih." Ibu menegahi dengan mengasongkan piring berisikan tempe padaku.

"Huuu aleman lu!!" Ledek Kak Widya menoyor kepalaku sambil duduk di kursi dekat tempat makan.

"Ga sopan." Dengan maksud hendak memukulnya, tertegun kudibuatnya melihat goyangan pantat Kak Widya dari belakang. Tapi bukan hanya karena goyangannya, cara berpakaian Kak Widya yang sangat seronok. Dia memakai celana katun super pendek berwarna hijau muda tak dapat menyembunyikan kulit putih pahanya dan tonjolan pantatnya, belum lagi memakai kaos putih gombrang, lubang lehernya pun tak mampu menutup pundak mulusnya, terlihat tali BH berwarna hitam.

Sedikit meneguk lidah melihat keseksian Kak Widya.

"Udah makannya lanjut, malah ngelamun." Ibu menyadarkanku.

Kulanjutkan lagi makan yang sempat tertunda tadi.

Bener-bener enak masakan Ibu, ditambah Ibu yang selalu nemenin makan. Ibu memang wanita pujaan seorang lelaki.

"Kok, ngunyahnya sambil melamun sih?" Ibu menatapku dengan senyum.

Duh Tuhaan! Senyum Ibu, bener-bener buat dag dig dug aja, masih saja Ibu terlihat semakin cantik di usianya yang akan menginjak 40-an. Jikalau Ibu itu istriku, aku gak akan kayak Ayah yang sering ninggalin dia.

"Kesambet kali dia, Bu." Kak Widya ikut mengomentari di tempat duduknya.



Dia mengubah duduknya, mengangkat kakinya lalu bersila di kursi. Kulit putih hingga ke pangkal paha pun semakin terlihat jelas olehku, tonjolan di pangkal paha pun makin jelas. Kak Widya mengibaskan rambutnya, membuat lubang kerah kaos yang kedodoran makin membuat bergeser hingga pangkal lengannya, ujung mata ini rasanya tak ingin lepas dari pemandangan ini.

"Apaan sih lu, nyela aja?" ketusku sambil melemparkan wajah jutek padanya menepis otak kotorku.

Ya ampun Kak Widya, CD hitamnya keliatan. Kak Widya merubah posisi duduknya, semakin mengangkatkan lipatan kakinya yang bersila saat menertawakan keketusanku. Membuat burung dalam sangkar ini bereaksi melihat kemolekan tubuh Kak Widya.

"Eehh, wait! Apa-apaan nih gue? Masa’ gue jadi bernafsu ama kakak gue sih, tadi gue mikirin Ibu, sekarang Kak Widya. No, no. Gue bukan pencinta incest, gue normal. Ayo Rizki buang pikiran lu, jauh-jauh..!" Pikirku dengan memukul kepala sendiri.

"Lah, kenapa kamu?" Ibu melihat aksiku barusan.

"Bu, suruh Kak Widya ganti baju, risih Rizki liatnya!" Sambil menunjuk ke arah Kak Widya.

Ibu pun menoleh ke arah Kak Widya yang memang sedari tadi tak memperhatikan Kak Widya terus memandangiku.

"Astaga Widya! Kamu tuh, kalo duduk yang bener dong! Itu celana dalam kamu sampe ngintip, apa gak malu ama adik kamu?" Ibu hanya memarahi duduknya.

Kak Widya pun cengengesan lalu menurunkan kakinya.

"hihi biar Bu, amal dikit buat si oon ini biar tau kalo kakaknya itu cantik dan seksi, lagian siapa suruh dia liatin paha aku, kecuali dia punya otak mesum ke kakaknya hihi?" jawabnya tanpa ada rasa malu malah meledekku.

"Cih, siapa pula yang punya otak mesum ke lu? Cantikan Ibu dari pada lu, pantat tempos aja lu banggain, cowok juling yang muji lu cantik." jawabku sambil menyudahi makanku.

Kak Widya lalu berdiri mendekatiku lalu berbalik memperlihatkan bokongnya dengan sedikit goyangan erotis. Bikin aku meneguk ludah melihat aksi di hadapanku.

"Tempos dari Hongkong. Barusan aja, lu ngiler liat pantat gue." Ledeknya setelah memergokiku, memperhatikan goyangannya membuat aku salah tingkah.

"Hahaha...” Tawanya puas. “Tuh ‘kan bener? Dasar, kecil-kecil otaknya dah mesum!”

"Ibuuuuu...!" Rengekku.

"Udah, udah. Widya kamu tuh ya, ke adik tingkahnya. Udah sana, bantuin Ayah naikin barang barang ke mobil!" Lerai Ibu.

Setelah Kak Widya pergi.

"Kok Ibu cuma gitu doang marahinnya? Gak suruh ganti sih, ‘kan malu diliatin ama orang, bahaya mengundang kriminal." gerutuku.

Ibu hanya tertawa kecil melihat sikapku.

"Duh anak bungsuku segitu perhatian sama kakaknya," ucap Ibu sambil mengucek-ngucek rambutku.

"Dah sana, bantuin ayah!" lanjutnya.

Entah kenapa, mendengar kata Ayah? Seketika rasa manjaku, pada Ibuku hilang. Ya, inilah respek pada sosok Ayah. 15 tahun aku terlahir, jika aku hitung kebersamaannya mungkin tak lebih dari 10 persen menemaniku. Ayah yang selalu sibuk tak pernah meluangkan waktunya untukku, wajar jika aku tak merasa dekat dengannya.

"Males ah, Bu!" jawabku sambil meninggalkan ruang makan menuju ruang TV.

Ibu yang mengerti dengan perubahan sikapku hanya diam lalu dia membereskan piring yang kupakai tadi.

Saat sedang asik menonton televisi, ibu lalu duduk di sampingku.

"Kok kamu di sini gak bantuin ayah?" tanya ibu.



Aku tak menjawab lalu kusandarkan kepalaku dan kupeluk lengan Ibu, rasa nyaman yang kudapat saat memeluk dirinya.

"Ibu tau kamu marah sama Ayah, tapi kamu jangan terlalu hanyut akan kemarahanmu saja, Ayahmu itu sangat hebat, dia Ayah yang bertanggung jawab akan keluarganya dan juga pekerjaannya. Memang Ayah selalu keras ke kamu, bukan berarti Ayah kamu tak menyayangi kamu, dia ingin kamu itu lebih dewasa, kamu anak laki satu-satunya bagi Ayah." ujar Ibu sambil mengusap kepalaku, makin kubenamkan wajahku di lengannya.

"Dia memang sering meninggalkan kita, tapi tak pernah sekalipun melupakan kita. Eh, tau gak kamu! Kenapa Ibu selalu menemani kamu makan?" Ibu membangunkanku. Kujawab dengan gelengan kepala lalu Ibu memegang kedua pipiku.

"Saat Ayah pergi, rasa kangen Ibu padanya terobati dengan melihat kamu sedang makan, kamu terlihat mirip Ayah saat kamu makan dari kamu mengunyah, berbicara dan tersenyum pada Ibu dan rasa rindu pada Ayah langsung hilang begitu saja." Terang Ibu.

“Oh, ini alasannya Ibu selalu nemenin aku makan! Pantas aja, duh jadi gak enak tadi pikirannya macem-macem ke Ibu! Padahal Ibu, sedang ngobatin kangennya ke Ayah.” Gumamku membatin.

"Ibu harap kamu mengerti akan sikap Ayah. Ingat, dia adalah Ayah kamu satu-satunya! Jangan sampe kamu menyesal, nantinya!" Lanjut Ibu menasihatiku.

"Bu, gimana dah siap? Ayo pergi!” Tiba-tiba Ayah datang. Rizki, kamu bukan bantuin Ayah malah bermanja-manja sama Ibu. Gak malu sama Kak Widya."

"Tadi dia makan dulu Yah. Ayo kita pergi! Riz, kamu cek jendela ya, kita pasti pulangnya malam." ujar ibu memberitahu.

"Baik Bu!" jawabku singkat lalu kukerjakan perintah Ibu.

"Ayah tunggu, di mobil!" ujar ayah tegas.

Dalam perjalanan, aku hanya diam. Aku yang duduk di tengah dengan Kak Widya yang asikk nyerocos dengan Ayah dan Ibu. Kadang aku iri dengan Kak Widya, dia lebih dekat dengan Ayah. Apalagi segala permintaannya selalu Ayah penuhi tak seperti aku.

"Dek, kamu kok diem aja dari tadi?" Kak widya yang menyadari diamku.

Aku hanya memalingkan wajahku ke jendela mobil, lagi-lagi Ayah tak berkomentar hanya melihat aku dari kaca spion.

"Iiihhh Dek, tega ngacangin kakak sih!" Sambil mencubit pinggangku.

"Awww... Apaan sih, kak? Iseng aja." jeritku menahan sakit di pinggang, saat kuperhatikan Kak Widya.

"Bu, kok nggak nyuruh Kak Widya nyuruh ganti baju sih." Baru sadar ternyata Kak Widya masih memakai baju tadi.

"Iiihhh otak mesumnya jalan lagi! Yah, liat nih anak laki Ayah! Otaknya dah mesum." Ledek Kak Widya. Ibu hanya tertawa tanpa berkata.

"Bodo akh!" Gerutuku karena merasa tak ditanggapi oleh Ibu. Kembali kulemparkan pandanganku ke luar jendela dan kembali diam menikmati kesendirian.
.
.
.
Tak terasa kami hampir sampai di tempat tujuan. Di suatu persimpangan jalan menuju rumah Nenek kulihat segerombolan pemuda sedang berkumpul, saking banyaknya mereka , sebagian dari mereka menghalangi akses jalan masuk.

"Genk kuda liar, ini sih musuh Bang Mamat." Gumamku membatin saat melihat logo atribut pada jaket mereka, sedikit mengulas nama genk Bang Mamat itu genk sertu (bukan pangkat dalam kemiliteran tapi SERTU itu singkatan dari SERdadu kuTU loncat hahaha).

Tin... tin... Ayah mengklakson mereka agar mereka menyingkir dari jalanan, tapi malah mereka memperhatikan mobil Ayahku dengan tatapan permusuhan.

"Ehhh, itu Candra...! Iya bener Candra." tiba-tiba kak Widya meloncat seperti cacing kepanasan saat ada yang dia kenali di antara mereka.

Kak Widya membuka jendela lalu berteriak. "CAANDRRAAA..!! " Kak Widya melambaikan tangan sambil memanggil seorang lelaki di antara mereka, merasa dipanggil lelaki yang bernama Candra mendekati mobil.

"Wiiiddyaaa..!" lelaki itu menyebut nama kakakku.



Dari sikapnya seperti terkejut melihat Kak Widya ada di sini. Kuperhatikan sosok wajah lelaki itu. Ya, lumayan ganteng. Pantes Kak Widya, bak cacing kepanasan melihatnya.

"Kok lu ada di sini sih?" Tanya lelaki bernama Candra.

"Gue mau pindah rumah ke daerah sini, tuh di jalan **!" terang Kak Widya.

"Ooh rumah Nenek Wira, kamu pindah ke sana! Emang hubungan kamu, apanya dengan Nenek Wira?" ujar Candra yang mengenali Nenekku, banyak orang memanggil Nenekku dengan nama Kakekku. Kakekku bernama Wiradinata.

"Itu Nenek Gue!" terang Kak Widya.

"Bisa kalian tak menghalangi jalan." Tiba tiba suara tegas dari Ayah terdengar saat Ayah membuka jendela memperlihatkan wajahnya.

"Ehhh..!!" Candra yang mengenali sosok Ayah mendadak berubah sikap, lalu menyuruh rekan-rekannya agar membuka jalan.

Ayah pun memajukan kembali kendaraannya terdengar suara Kak Widya meminta lelaki yang bernama Candra agar menemuinya di sana.

"Siapa dia kak?" tanya ibu.

"Temen SMP." jawab Kak Widya sambil terlihat wajahnya yang berseri-seri.

"Jangan banyak bergaul, sama cowok macam mereka!" ucap Ayah tegas menasihati Kak Widya.

"Ih ayah! Cuma berteman kok, gak boleh?" sahut Kak Widya sedikit cemberut.

"Ayah hanya bilang jangan terlalu banyak bergaul, bukan tak boleh berteman." jawab Ayah, Kak Widya tersenyum matanya mengedip ke arahku.

Lagi-lagi Ayah mengizinkan Kak Widya berteman sama anak genk musuh bebuyutan kelompokku, makin panas aja nih perasaan ini. “Lihat aja kak, gue ancurin yang namanya Candra sama antek-anteknya!” Gumamku dalam hati.

T,ak terasa di waktu senja, perjalanan ini telah sampai ditujuan. Ya, rumah peninggalan Kakek Nenek dari Ayah yang letaknya lumayan jauh 20 km dari rumah dinas Ayah. Tapi kalo dari arah sekolahku sih jika ditarik garis lurus sama jauhnya antara rumah dinas Ayah dengan sekolahku.

Akhirnya akupun turun dari kendaraan, kupandangi rumah peninggalan Kakek. Rumah tua bermodel bangunan peninggalan bangsa B<elanda dengan halaman depan yang lumayan luas, meskipun rumput liar yang telah tumbuh tinggi menutupi halaman, tapi masih terlihat sisa-sisa keasrian dari rumah ini.




Rara


"Fuuuft, cape... Biiii!" teriakku memanggil asisten rumah tangga sambil menurunkan kantung belanja bulanan.

Wanita setengah baya diikuti seorang anak kecil berumur lima tahun mengikuti di belakangnya. Dia adalah Bi Ijah, Bi Ijah ini pembantu rumah tangga yang telah merawatku sedari dulu. Dia bersama suaminya dan putra bungsunya selalu mengikuti Papahku ke mana dia pindah sedangkan anak pertamanya tinggal bersama orang tua Bi Ijah di kampung. Suaminya Pak Husin adalah supir pribadi Papah yang ditunjuk oleh kantor Papah, meskipun dibilang hanyalah sorang supir Pak Husin ini telah diangkat menjadi karyawan tetap atas rekomendasi Papah sebagai balas budi dia atas memberikan izin istrinya untuk merawatku mulai dari bayi sampai saat ini. Sedikit bocoran, Papah bekerja di salah satu BUMn di mana negara ini tak akan mengalami kegelapan di malam hari, hihi sekedar intermezo aja.



Kembali ke Pak Husin dan Bi Ijah....

Pak Husin telah mengabdi bersama Ayah, saat aku dalam kandungan dan di saat aku terlahir Papah mencari seorang asisten rumah tangga untuk merawatku saat dia bekerja pada Pak Husin yang pada akhirnya menawarkan diri agar istrinya yang saat itu putra sulungnya berumur lima tahun untuk menggantikan sosok Mamah dalam merawatku.

"Bi, Pak Husin dah sampe belum?" tanya Papah.

"Tadi mah, di telepon lagi di kapal Den. Sebentar lagi, nyampe ke pelabuhan." jawab Bi Ijah lalu meraih kantong keresek yang kupegang. Saat ini Pak Husin sedang disuruh Papah untuk mengambil barang-barang yang tersisa di rumah yang lama.

"Teteh, beli apa?" tanya Angga sambil mengintip bungkusan keresek belanjaan, anak bungsu Bi Ijah yang sedari tadi ikut meyambut.

"Huss Angga, eunging.. Awon!!" Larang Bi Ijah pada Angga. Angga pun menurut lalu mundur ke belakang Ibunya.

“Hihihi...” Aku tertawa melihat Angga yang ketakutan padahal aku tak melarangnya.

Aku dan Papah tak membuat jarak pada mereka, kami menganggap mereka adalah bagian keluarga kecil kami, tapi tetep saja Bi Ijah dan Pak Husin selalu saja selalu membuat jarak dengan alasan bagaimana pun juga kami tuh majikan mereka.

"Biar aja Bi, namanya juga anak-anak. Nih buat Angga, Papah belikan ini!" ujar Papah, lalu merogoh salah satu plastik dan mengeluarkan sebuah bungkusan mainan dan coklat.

"Aciiikkk..." sambutnya riang langsung merebut lalu membuka bungkusan mainan.

"Angga....!!" Bi Ijah seperti mengingatkan pada Angga dan anak sekecil Angga pun mengerti dia langsung berdiri mendekat Papah dan meraih tangan Papah.

"Maacih, Pa. Maacih Teteh!" sambil mencium tangan Papah lalu menyusul tanganku.

"Iya sayang. Jangan nakal dan jangan cengeng ya! Ntar Teteh gak dibeliin lagi!" jawabku.

"Bi, bawa dulu belanjaan itu ke ruang tengah!" perintah Papah.

"Baik den."

"Ih Papah! Nih pembalut, kenapa beli lagi? Trus ngapain banyak-banyak ini lagi pantiesnya emangnya mo buka toko apa!!" Dumelku melihat beberapa bungkus pembalut ama pantiesliner padahal stok di lemari sudah seabreg hampir-hampir menuhin rak.

"Kan untuk kamu, takut kehabisan." ujar Papah sambil mengeluarkan belanjaannya.

"Tanya dulu dong, kalo mo beli! Udah habis apa belum, Papah tuh kebiasaan. Nih lagi ngapain beli bedak, sabun pembersih wajah sama beberapa kosmetik!" ocehku kesal sambil kulempar ke atas meja.

"Ya, buat kamu sayang. Mulai sekarang kamu harus merawat kecantikan wajah kamu." Jawab Papah tanpa menoleh.

"Ini apaan lagi?" Omelku sambil mengangkat tinggi-tinggi celana dalam dan Bra. Entah model apaan? Yang jelas, aku gak suka. Terkesan kayak cewek murahan kalo kupakai.

"Ya, buat kamu." Lagi-lagi Papah ngejawab singkat.

"Pah, Rara tuh udah gede dan Rara bisa beli sendiri kebutuhan Rara. Model apaan ini? Jijik lihatnya juga. Bi, nih buat Bibi aja. Rara nggak suka." Kataku sambil meletakkan semua barang yang dibelikan Papah.

"Neng Rara, masa’ buat Bibi? Nggak akan muat atuh, lihat ukurannya kecil gini! Udah bagus kok, kalo Neng Rara pake." Bujuk Bi Ijah.

"Fuuuff. " Papah hanya diam, lalu beranjak begitu saja ke kamarnya.



“Duh jadi nggak enak gini sama Papah, padahal Papah udah beliin buat aku. Tapi ‘kan nggak segitu juga kali, masa’ aku mesti pake celana dalam transparan gini, trus nih kutang akhhh! Pokoknya, nggak suka.” Omelku dalam hati.

"Tuh Neng, Papahnya ‘kan marah! Jangan gitu, atuh neng! Papah teh, sayang sama neng. Padahal Bibi tau, Papah Neng bela-belain nahan rasa malu, beli daleman untuk Neng. Papah Neng tuh, kepengen Neng terlihat cantik." ujar Bi Ijah sambil merapihkan belanjaan.

"Tapi ‘kan Bi, nggak gini juga. Ajakin kek Rara, kalo emang mau beliin. Biar Rara yang milih." Sahutku dengan bibir cemberut.

"Ya, Bibi harap Neng maklum. Papah Neng kepengen keperluan Neng dipenuhi, yang seharusnya mendiang Mamah Neng yang urus itu semua." ujar Bi Ijah membuat hati ini makin bersalah sama Papah. Ya, hanya Papah yang selalu merawat dan memperhatikanku segala kebutuhanku setelah Mamah tiada.

"Neng, bener kata Papah Neng. Kalo dipikir-pikir Neng itu cantik, putih, hmm.. dan sexy." Bi Ijah memperhatikanku dengan seksama.

"Apaan sih Bi? Udah deh, jangan kayak Papah!" ketusku.

"Ihhh si eneng mah! Sini-sini, biar Bibi buktikan!" ujarnya sambil menarikku ke arah cermin di dinding.

"Lihat Neng, di kaca!!" ujar Bibi memposisikan aku di hadapan kaca cermin.

"Tuh lihat wajah Neng, cantik ‘kan? Padahal, kulitnya kering kebakar gini! Sini Bibi rapihkan rambutnya!" Lanjut Bibi merapihkan rambutku.

"Lihat di kaca Neng, sama coba senyum dikit!" perintah bibi, aku ikutin maunya Bibi.

"Tuh ‘kan bener, cantik kieu. Duh meni geulis kieu, anak Bibi teh!" puji Bi Ijah yang memang selalu menganggap aku sebagai anaknya.

"Nih, nih, lihat Neng!" Bibi membuka kancing seragamku lalu menunjukannya padaku.

Kumelihat perbedaan warna kulit, di leher dan dadaku.

"Putih ‘kan..?" Bi Ijah tersenyum.

"Pada dasarnya, Neng itu kulitnya putih. Dasar aja Neng, yang suka panas-panasan. Apalagi kalo udah main sepeda sama nonton konser musik nu brang, breng, brong, teu pararuguh, sampe lupa waktu." Candanya.

"Ih bibi! Itu namanya musik metal Bi, metal! " sahutku sambil mengacungkan jari simbol musik itu.

"Akh, pokokna mah, bibi mah teu suka! Asa ngararacleung tai ceuli bibi kalo dengerinnya, mending dangdut bisa ngageol." Ujarnya sambil menari menggeolkan pinggulnya.

“Hihi.” Aku cekikikan, geli melihat aksi dan tingkah Bi Ijah.

"Mah, Mah, ai Bapak pulangna kapan?" tanya Angga sambil menarik-narik baju Bi Ijah.

"Bentar lagi juga pulang, kunaon kasep?" jawab Bibi sambil jongkok menanggapi putra bungsunya.

"Mau liatin, mobil baru ke Bapak." Jawabnya sambil menunjukan mobil yang dibelikan Papah lalu kembali asiik memainkan mobil-mobilannya.

Bibi pun kembali berdiri di sampingku.

"Bibi mah nggak apa-apa Neng mau suka musik apa aja, tapi perhatikan sama tubuh Neng, sayang kalo nggak keurus gini, nanti Neng nggak punya pacar loh?" candanya dengan genit.

"Apaan sih? Rara untuk sementara nggak akan mikirin punya pacar titik!" sahutku sambil mendorong tubuh Bibi.

"Yeee, lihat aja ya! Cepet atau lambat Neng pasti akan kesemsem sama seseorang. Bibi yakin itu." Ujarnya dengan yakin seakan menyumpahiku.

"Gak Akaann!! " jawabku tegas sambil menyilangkan tanganku.

"Ya udah, sekarang mah Neng ganti pakaian dulu trus minta maaf ke Papah Meng, Jig!" jawabnya lalu kembali ke meja lalu membawa belanjaan ke belakang.

"Angga, ayo!" ujar Bi Ijah, Angga pun mengikuti Ibunya.

"Kadang saat melihat Angga, ingin rasanya punya Adik. Andaikan saja Mamah masih ada. Tapi.. Akh, ngehayal lagi maafin Rara, Mah! Kalo Rara masih nggak nerima Mamah pergi." Kataku dengan tangan meminta maaf pada foto yang menempel di dinding.

Aku pun langsung masuk ke kamar untuk berganti pakaian.



Beberapa saat kemudian

Setelah berganti pakaian, aku masuk ke dalam kamar Papah. Kulihat Papah yang meringkuk sendirian sambil memeluk guling di atas ranjang. Matanya terpejam terlihat wajahnya yang teramat letih dan lelah.

Sedih rasanya melihat Papah kalo tidur sendirian, tapi 15 tahun Papah nggak pernah mengeluh atau memperlihatkan atas kesendiriannya. Dengan perlahan aku naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papah dari belakang

"Eeh!" Papah terkejut saat aku memeluknya, kepalanya menoleh ke belakang.

"Pah, maafin Rara ya. Bukan maksud Rara untuk menyakiti Papah." ujarku pelan.

"Hmmm!" Papah bergerak merubah posisi tidurnya jadi berbalik menghadapku, tangannya memelukku dan mencium keningku.

"Gak papa, malah Papah yang salah. Papah selalu memaksakan keinginan Papah." Jawab Papah sambil mengelusku, kusandarkan kepala ini pada dada Papah sambil memeluk tubuhnya dan merasakan belaian lembut penuh rasa kasih sayang di kepalaku ini.

"Papah selalu saja menganggap kamu masih anak kecil, seandainya saja Mamah masih ada, mungkin Mamahmu yang tahu keinginan kamu, nggak seperti Papah ini!" Lanjutnya terlihat dari suaranya yang mencoba untuk tegar.

"Pahh!! " Seruku makin mengeratkan pelukanku pada Papah.

"Entar kalo Papah belanja lagi, Papah ngajakin kamu, biar nggak salah lagi." ujarnya, hihi kadang suka geli denger janji Papah dah terlalu sering bilang kalo belanja ngajakin aku, tapi yah gitu ujung-ujungnya belanja sendiri.

"Ga usah janji deh, bosen dengernya ujung-ujungnya tetep aja sendirian. Eummm Rara tau deh, Papah kalo belanja nggak ngajakin Rara, pasti Papah ngecengin SPG, SPG yang sexy-sexy ‘kan di sana, biar bebas liatinnya!" ocehku dengan sedikit merengut kecewa.

"Ehhh, bbukan ggiitu!" Papah sedikit panik.

"Kan Papah belanja, sekalian pulang kerja. Jadi nggak bolak-balik, capek kalo bolak-balik." Lanjutnya.

"Hihi, nggak Papah kok Papah ngecengin cewek[cewek di sana! Masih pantes kok, Papah dapetin cewek muda."ucapku tertawa kecil dengan sedikit memuji, memang Papahku ini terbilang awet muda di usianya yang telah menginjak kepala empat.

"Entahlah Ra, Papah belum kepikiran ke sana! Bagi Papah, ngebesarin kamu adalah yang utama." Papah menghela nafas sambil menatap langit-langit kamar. Seperti memikirkan sesuatu.

"Eh, ngomong-ngomong! Tadi di mobil, Papah senyum-senyum sendirian. Ada apa sih, kok nggak cerita ke Rara?" tanyaku sedikit mengalihkan perhatian Papah.

"Kok kamu tau sih, Papah senyum-senyum sendirian, tadi?" tanya Papah merasa terkejut lalu melepas pelukanku dan menatapku. Wajahnya terlihat memerah, menahan malu. Tingkah konyolnya, saat mengemudi diperhatikan olehku.

"Iihhh Papah, lagi kasmaran ya! Siapa dia, Pah? Cerita dong, ke Rara, di mana Papah ketemunya? Kok nggak dikenalin Rara, sih? " Aku memberondong Papah dengan pertanyaan-pertanyaan yang terucap dari mulutku sambil merubah posisi dengan duduk bersila di sampingnya.

"Kalo nanya tuh, satu-satu sayang?" jawabnya berseri sambil menjiwil hidungku.

"Ihhh, jawab Pah!" Seruku gemes sambil menepis tangan Papah dengan penasaran.

"Kamu tau ‘kan, Papah pernah cerita ke kamu, Papah nggak akan menikah lagi, kecuali dengan satu orang." ujar Papah memulai bercerita.



Ya, saat aku lulus SD. Pernah aku menanyakan, “kenapa Papah tak menikah lagi?” Papah menjawab. “Tak akan mencari wanita dan menikahinya, dia berucap hanya satu orang wanita yang pantas menggantikan Mamah tapi tak terucap siapa wanita itu”.

Aku hanya diam mendengar penjelasan Papah.

"Papah tadi ketemu dia saat belanja. Papah nggak nyangka, dia masih seperti dulu saat Papah mengenalnya!"

"Haaa yang bener Pah!” ucapku antusias setelah mendengar Papa cerita. “Siapa Pah, ehh namanya, trus Papah ngelamar dia nggak?"

"Husshh...! Kamu ini, baru ketemu langsung lamar aja." Jawab Papah.

"Ya, kali aja dia nungguin Papah." jawabku seenaknya, “Hehehe...” Papah hanya terkekeh.

"Bagi Papah bertemu dengannya saja, udah cukup bahagia. Seakan beban rasa bersalahku padanya hilang begitu saja." Nada Papah langsung berubah melankolis.

"Ra, sekarang kamu udah gede. Mungkin Papah akan bercerita kenapa Papah, hingga kini menunggu dia?" Lanjut Papah. Aku pun merubah posisi duduk menjadi tengkurep di sampingnya dengan menopang daguku. It’s show time. Hehehe... Rasa penasaranku pada sosok wanita yang tak pernah Papah ceritakan padaku.

Papah meraih sesuatu dalam laci lalu memegangnya dan mulai dia bercerita.

"Papah sebelum menikah dengan Mamah kamu, Papah tuh sempat berpacaran dengan seseorang. Bahagia Papah bisa mendapatkannya, sampe-sampe terucap janji Papah akan menikahinya, tapi Eyangtik kamu menyuruh Papah pulang saat Papah lulus kuliah. Waktu itu, Papah merasa dimomen bahagia Papah yang bisa menyelesaikan kuliah Papah sudah mempersiapkan diri untuk bercerita dan memperkenalkan wanita itu ke keluarga. Sebelum pulang Papah berjanji akan menceritakan hubungan Papah dengan dia pada Eyangtik dan Eyangkung. Dan secepatnya, akan membawa mereka untuk melamarnya. Tapi ternyata saat Papah sampai di rumah, telah hadir banyak orang yang seperti menunggu Papah. Papah pun heran, entah mengapa mereka sampe begitu? Yang Papah tau, memang kondisi Eyangtik-mu sedang sakit parah. Pikiran Papah saat itu, hanyalah keadaan Eyangtik, Papah langsung bergegas masuk ke dalam rumah." Papah menghentikan ceritanya untuk mengambil nafas sejenak.

"Tapi ketika Papah di dalam, kondisi Eyangtik tak seperti Papah duga. Di atas dipan Eyangtik masih terbaring lemas. Papah lihat Eyangkung kamu sedang berbincang dengan seseorang tak kukenal dan di sampingnya seorang wanita yang menunduk malu ketika Papah perhatikan. Setalah Papah salim ke Eyangkung dan Eyangtik, Eyangkung menyuruh Papah untuk duduk kemudian Eyangkung menceritakan mengapa Papah untuk segera pulang ternyata Papah telah dijodohkan dengan wanita itu dan beberapa hari ke depan akan segera diresmikan wanita itu menjadi istri Papah. Dengan terkejut Papah menolak maksud perjodohan itu dengan alasan Papah sudah memiliki kekasih. Tapi Eyangkung menolak dan tak akan menerima kekasih Papah, ditambah Eyangkung menjelaskan bahwa perjodohan dan pernikahan Papah adalah permintaan Eyangtik."


"Papah saat itu, melihat kondisi Eyangtik jadi Papah tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menerima perjodohan ini. Singkat cerita, Papah telah menikahi wanita pilihan Eyangtik yaitu mendiang Mamah kamu." Lagi-lagi Papah menghentikan ceritanya dengan mengambil nafas.

"Papah di sini merasa bersalah pada kekasih Papah! Kesalahan pertama Papah yang diperbuat Papah yaitu Papah nggak menemuinya hingga sampai saat ini dan menceritakan apa yang terjadi, Papah yang selalu saja menghindar darinya tak pedulikan perasaannya.”

“Kesalahan Papah yang kedua dan juga kebodohan Papah yang sangat fatal adalah Papah nggak bisa menghilangkan bayangan wajah, senyum, tawa dan segalanya yang ada padanya. Saking terobsesinya Papah padanya, memandang Mamahmu pun seperti dirinya. Setiap hari, Papah selalu membandingkan Mamah kamu dengannya. Begitu pun saat tidur bersama, Papah menganggap Mamahmu adalah dirinya." Papah tak melanjutkan ceritanya hanya meneteskan air matanya penuh dengan penyesalan.

"Papah yang dingin dan selalu mendiamkan Mamah tak membuat Mamahmu berpaling dari Papah. Dia tetep setia di samping Papah, tapi Mamahmu tetap tersenyum meskipun mendapatkan perlakuan Papah yang tak mengenakan padanya. Semakin hari Papah semakin menyadari ketidakadilan pada Mamahmu ini. Hingga dua tahun pernikahan, barulah Papah pahami bahwa Mamahmu lah pendamping Papah yang selalu sabar dengan Papah. Tapi sayang Mamah hiks, Mamahmu ada kelainan dalam rahimnya. Beberapa kali Mamah keguguran, saat akan memasuki pernikahan tahun kelima, Mamah baru bisa mempertahankan kehamilannya. Hiks... Papah merasa berdosa akan semuanya di saat itu tak memungkinkan untuk melahirkan. Papah mesti memilih antara Mamah dan kandungannya. Tapi Mamahmu tetap ingin kandungannya dipertahankan dan akhirnya Mamahmu dipanggil oleh-Nya saat melahirkanmu, hiikss Papah merasa berdosa pada Mamahmu." Tak kuasa aku pun ikut menangis terhanyut mendengar cerita Papah.

"Saat mendengar tangis pertamamu di samping Mamah yang telah tiada, serasa hantaman palu di dada. Beribu sesal dan dosa Papah pada Mamahmu yang terlambat mencintainya, membuat Papah semakin terpuruk. Di situ Papah berjanji tak akan menikah lagi dan akan mencintaimu sepenuh hati, menggantikan cinta Mamahmu yang telah Papah sia-siakan. Tapi saat Papah membersihkan lemari pakaian Mamahmu, Papah menemukan ini." Papah menyodorkan sepucuk surat yang sudah kumal termakan oleh waktu.


Aku membaca surat itu.




Untuk Mas Aryo tersayang

Mas maafkan aku, maafkan aku yang telah merebut kamu dari kekasih hatiku, aku tau Mas tak bisa melupakannya, setiap kau berada di sampingku kau selalu menganggapku adalah dia.

Ya, akupun telah bersalah tak kuasa menolak pernikahan ini, tapi aku harus menerima nasibku untuk menjadi pendampingmu meski kamu tak menganggapku ada, tapi aku akan selalu mencintai Mas selayaknya seorang istri.

Mas, makasih Mas telah menerima cintaku bukti cinta Mas adalah benih yang kukandung ini.

Mas jika aku tak berada di sampingmu, tolong rawat anakku ini, beri anakku kasih sayang dan cinta dari Mas yang dulu pernah hilang padaku.

Oh ya Mas, aku harap Mas cari mbak Ratna Lamar dia bujuk dia untuk jadi ibu dari anakku ini, aku berdoa di sana semoga dia mau menerima dan menyayanginya.

Mohon maaf jika aku tak menjadi seorang istri yang mas Aryo harapkan.



Wassalam

Istrimu Indri,
yang selalu mencintai kamu selamanya.






Tak terasa air mata ini, menetes membaca tulisan Mamah membuatku terenyuh. Ternyata Mamah sangat tersiksa batinnya begitu pula Papah yang harus mencoba mencintai wanita yang dijodohkannya.



"Papah bertemu dia di sana, Papah curahkan segalanya padanya dan ya, Papah merasa beban Papah berkurang." Papah mengakhiri ceritanya.

"R.. A... T.. N... A." Aku bergumam mengeja nama yang tertera dalam surat Mamah.

"Sudah lah nggak usah kamu fikirkan lagi, Papah udah bahagia hidup berdua sama kamu, Ra." ujar Papah.

"Papah nggak melamar dia?" tanyaku dengan hati-hati.

"Apaan sih kamu? Dia udah punya keluarga, masa’ Papah ngerebut istri orang. Udah akh, tidur! Kamu ‘kan besok mesti berangkat lebih awal ‘kan. Besok kamu pake si Nemo ‘kan, nanti malam Pak Husin dateng bawa si Nemo." jawab Papah mengalihkan pertanyaanku.

Sakit hati ini mendengarnya Papah yang selalu mengorbankan perasaannya, sama seperti Mamah.

Muuahh.. Kukecup pipi Papah.

"Pah, Rara pengen tidur di sini sama Papah, boleh kan?"sambil memeluk erat tubuh Papah.



Papah tak menjawab hanya membalas pelukanku dengan mata terpejam, aku pun semakin menbenamkan wajah ini di dada Papah, kehangatan Papah membuatku tertidur dalam pelukannya.

*

*

*


Keesokan harinya.....


"Bii...! Mana telor ceploknya?" tanyaku dan langsung nimbrung di dapur saat Bibi menyiapkan makanan.

"Bentar Neng, tadi Bibi mesti ke warung beli telor, telor stoknya pas mau Bibi masak udah busuk, sambil menunjuk ke arah mangkuk berisikan telur busuk.

Sejenakku berfikir, lalu berkata. "Bi ntar kalo beres bungkusin plastik telur busuknya ntar aku buang di jalan soalnya bau kalo di buang di sini!" suruhku, Bibi pun mengangguk.

"Monyet buluk, tunggu pembalasanku!" Gumamku dengan tersenyum licik.

"Bi, aku mandi dulu! Jangan lupa plastikin, telur busuknya!" Aku pun mempersiapkan diri untuk ke sekolah.
----




Rizki


"Ademnya, rumah ini!" ujar Kak Widya yang tak ragu langsung duduk di soffa tua di teras rumah peninggalan Nenek.

"Widya kamu maen duduk aja, lihat pantat kamu!" ujar Mamah yang menunjuk debu pada pantat Kak Widya.

"Hihi biar Bu, makanya Widya pake baju ini juga pasti bakalan kotor." jawabnya tapi tetap saja dia berdiri sambil menepuk-nepuk pantatnya. Lalu berdiri berlari masuk ke dalam rumah.

Sedang aku memperhatikan foto keluarga di dinding ruang tamu yang telah usang dan penuh debu, di mana aku yang masih balita di pangku Nenek Wira. Sedangkan Kak Widya (4 tahun) berdiri di sela paha Kakek Wira yang duduk manis sedangkan Ayah dan Ibu berdiri di belakang mereka. Tercipta suatu kehangatan dalam keluarga. Tercipta dalam senyum mereka. Begitu juga aku, aku yang masih di bawah satu tahun, tampak sumringah di pangkuan Nenek.

Ayah adalah anak tunggal dari Kakek dan Nenek Wira, begitu juga dengan Ibu yang juga anak tunggal. Hanya saja, aku tak mengenal Kakek dan Nenekku, jauh sebelum Ibu menikah mereka telah meninggalkan dunia saat menunaikan ibadah haji. Ya, mereka menjadi korban suatu kecelakaan yang menggemparkan seluruh dunia. Beribu umat telah meninggal di sebuah terowongan dan salah satunya orang tua Ibu. Setelah mereka meninggal, Ibu diasuh oleh adik nenek yaitu ibunya tante Halimah, makanya aku dan tante Halimah hubungannya sangat dekat, begitulah kira-kira.

Kembali ke sosok Kakek dan Nenek Wira, aku mengetahui dari cerita bahwa Kakek Wira merupakan pejuang veteran jaman kemerdekaan sedangkan Nenek adalah salah satu anggota PMI ketika saat itu mereka bertemu saat Kakek dirawat akibat luka tembak. Kakek dan Nenek Wira tak lama menikah, lama mereka untuk memiliki keturunan hingga akhirnya ayah lahir. Ayah satu-satunya keturunan mereka, maka tak salah jika mereka selalu memanjakan cucu-cucunya. Itu yang aku dengar dari Ibu. Ya, aku akui rasa sayang mereka sama halnya seperti Ibu dan tante Widya, Sayang saat aku masuk sekolah dasar Kakek dipanggil oleh Sang Illahi. Sedang Nenekku telah berpulang saat aku kelas 1 SMP.

Kadang aku merindukan kehadiran mereka, kasih sayang mereka yang ditumpahkan padaku menutupi peran Ayah yang selalu sibuk bertugas, tapi semenjak mereka tak ada mulai terasa sosok seorang Ayah dan kesibukannya mulai merasukiku, aku merasa kesepian tak ada yang mengawasiku saat aku nakal, tak ada yang membelaku saat kuterjatuh, tak ada lagi tempat aku bermanja selain Ibu dan Tante Halimah.

"Bu, kamar ini aku yang nempati yah!" Terdengar teriakan Kak Widya di balik dinding ruang tamu.

"Iya." jawab Ibu dari belakang. Ya, harus kuakui. Rumah ini, memang lumayan besar. Tiga kamar, ruang tengah merangkap ruang makan, 2 kamar mandi dan dapur dan di samping rumah ada ruangan menempel seperti garasi mobil tapi aku jarang sekali masuk ke sana. Boleh dibilang tak pernah masuk. Kata Nenekku dulu, itu adalah gudang tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Kakek.

Aku pun melihat-lihat, ruangan yang lain. Suasananya hampir tak berubah, saat Nenek masih hidup. Semua perabotan masih ada di tempatnya, hanya saja terlihat cukup kotor penuh dengan debu.

"Sayang, kamu ‘ntar tidur di kamar itu ya!" Aku yang sedang mengenang masa kecil di rumah ini dikejutkan oleh suara Ibu sambil menunjuk kamar samping.

Aku pun mulai membuka kamar.



Klik... Kunyalakan lampu kamar.



Terasa suasana kamar yang begitu lembab sekian lama tak pernah diisi lalu kuamati se-keliling ruangan ternyata hanya berisikan lemari jati tua dan meja belajar.

"Gimana kamu suka?" Lagi-lagi Ibu mengejutkanku.

"Nih sapunya, bersiin cepet keburu malam! Terus buka jendelanya, supaya debunya keluar!" Perintah Ibu.

Lalu kuraih sapu yang diberikan Ibu tapi sebelum menyapu aku buka jendela dan ternyata di balik jendela kulihat adalah suatu ruangan yang mulai temaram karena tak terjamah sinar matahari. sesekali kudengar raungan suara motor dari arah jalan raya di balik pintu ruangan itu.

Ya, di balik jendela kamar adalah ruangan garasi yang kuceritakan tadi. Lalu kubuka lebar-lebar. Kuperhatikan lagi ruang garasi itu, tertata rapih tumpukan barang-barang peninggalan Kakekku, hingga aku tertuju pada suatu barang yang tertutup kain khas warna tentara membuatku tertarik untuk melihatnya. Saat kuhendak meloncati jendela.

"Riz, bantuin kakakmu di depan sana!" Lagi-lagi aku dikagetkan tapi sekarang Ayahlah yang menyuruhku.

Seperti biasa, aku merasa malas jika diperintah Ayah dengan enggan aku pun kembali ke depan rumah.

"Dek angkatin nih sampah ke depan, trus bakar biar nggak numpuk banyak!" Belum juga nyampe dah disuruh. Tanpa banyak bicara aku pun langsung meraup sampah, kubawa ke tempat sampah depan rumah, hingga seluruh sampah yang menumpuk telah berpindah ke bak sampah.

Breemmm....

Breemmm....

Dua motor melewatiku yang hendak membakar sampah. Tatapan mata mereka mengarah ke aku dengan tajam seperti mengenaliku. Aku pun membalas tatapan mereka, kulihat salah satu dari mereka adalah teman Kak Widya yang tadi bertemu di jalan.

"Mau ngapain mereka, mau cari gara-gara?" saat mereka melewatiku. Akh peduli amat, kunyalakan korek yang kubekal tadi lalu mulai membakar sampah lalu kutinggalkan masuk ke dalam kamar untuk kembali membersihkan tempat untuk tidurku.

Tak terasa aku asiik membersihkan kamar, hingga suara deruman motor terdengar lagi melewati rumah ini tapi terasa lebih lama seperti yang berhenti sejenak, tanpa rasa curiga aku pun melanjutkan pekerjaanku lagi.


15 menit kemudian.....

"Sayang, udah beres belum?" tanya Ibu.

"Udah Bu. Ada yang bisa Rizki bantu?" Aku coba menawarkan diri.

"Gak usah, Ibu udah beres di dapur. Kamar depan untuk ibu juga udah beres. Oh iya, kalo mau bantu ayah beresin halaman belakang!" tawar Ibu, membuatku malas mendengarnya.

"Males akh, Bu, biar aja ayah sendiri." Ibu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya.

"Oh ya, Bu. Kak Widya ke mana, kok nggak kedengeran suaranya?" Baru sadar Kak Widya tak ada batang hidungnya.

Aku pun menuju depan rumah di mana terakhir aku dengan Kak Widya bertemu, tapi ternyata Kak Widya pun tak terlihat di sana.

"Ke mana Kak Widya, kok nggak keliatan?" tanyaku dalam hati.



Api dalam bak sampah akan hendak padam tetapi gundukan sampah belum sepenuhnya terbakar, kuraih batang besi di samping pintu garasi lalu kubalikan sampah yang tak terbakar.

Terdengar dari kejauhan persimpangan jalan suara motor dan sorot lampunya. Lalu berhenti dan lampunya padam begitu saja di sana.

Tak berpikir apa-apa, hingga tiba-tiba teringat sesuatu.

"Anjjiing, pasti kakak di sana!" Aku pun bergegas menuju tempat tadi motor berhenti tak ketinggalan batang besi kubawa di tanganku. Semakin dekat aku pun mulai mengendap-endap berjalan ke persimpangan jalan. Terdengar suara tawa perempuan dan beberapa lelaki di sana.

"Itu suara Kak Widya!" Dengan yakin, aku pun semakin mendekat dan ketika di ujung persimpangan, aku mengintip di balik pagar rerumpunan tanaman.

Aku melihat, Kak Widya dikelilingi oleh empat orang lelaki sedang asikk mengobrol. Salah satunya yaitu Candra, candra yang duduk di motor disandari oleh tubuh Kak Widya. Tangan kanannya memeluk pinggang Kak Widya, terlihat sesekali tanggan kirinya mengelus paha Kak Widya yang hanya bercelana pendek.

Yang membuat heran, Kak Widya malah cekikikan tertawa melihat dirinya dilecehkan oleh Candra. Begitu juga lelaki lainnya yang melihat aksi Candra hanya tertawa.

"Eh, kok kepala Kak Widya malah nyandar ke si Brengsek Candra?" Gumamku, karena kurang jelas sedang apa akhirnya kuberanikan diri mendekati.

Duaaarrr... Bagaikan petir di siang bolong.



Aku melihat ada pergerakan pada dada di balik pakaian Kak Widya, sedang yang lainnya hanya cengegesan tertawa melihat mata Kak Widya yang merem melek seperti menikmati sesuatu. Sesekali tubuhnya mengelinjang, baru kusadari bahwa tangan Candra telah menyelinap ke balik pakain Kak Widya.

Panas hati ini, melihat Kak Widya diperlakukan seperti it,. apalagi di hadapan para lelaki. Dengan cepat sambil berteriak kuayunkan batang besi pada mereka.

"WANJJJIINGGGG, DASAR PEREK TAK TAHU MALU." Secepat kilat kuhantamkan batang besi mengarah pada lengan yang menyelinap pada Kak Widya,

Teriakanku membuat Kak Widya, Candra dan yang lainnya terkejut dengan kedatanganku. Pukulanku meleset hanya mengenai stang motor, lalu Candra dan Kak Widya menghindari pukulanku yang kedua dengan amarah yang membara, kutendang motor yang diduduki Candra tadi hingga masuk ke dalam got.

"APA-APAAN SIH, KAMU DEK?" Kak Widya memarahiku.

"ANJING LU, YA. LU DI GREPE-GREPEIN SAMA ORANG DILIATIN ORANG BANYAK CUMA DIEM AJA. LO ITU PEREK, DIJUAL BERAPA TUBUHLU KE DIA?" Makiku yang semakin emosi apalagi ke-3 teman si Candra menertawakanku, hanya Candra yang terdiam melihatku marah.

"JAGA MULUT KAMU DEK!" Kak Widya balik memarahiku.

"ALAAAH DASAR CEWEK MURAHAN LU, EMANG GUE GAK LIAT TOKET LU DIGREPE-GREPE DIA." Dengan mengacungkan batang besi ke arah Candra.

PLAAAKKK

Kak Widya menamparku tak terima dengan ucapanku.

Aku pun membalas menampar keras Kak Widya sambil memaki dia.

Plak...



Plak

"ANNJJIING LOOO, WANITA MURAHAN DASAR LONTE... PEREK... DIBAYAR BERAPA LU NGELAYANIN KE-4 COWOK INI?" Makiku saat menampar Kak Widya. Dia pun terhuyung jatuh menerima tamparan kerasku. Kulihat dia menangis bersimpuh di tengah jalan tapi aku tak peduli.

Lelaki yang tadi menertawakanku, tiba-tiba diam melihatku yang begitu murka. Kuacungkan batang besi pada mereka.

"ANJIIING, SINI KALO BERANI! KENALIN GUE BOSKI. LU UDAH BUAT KAKAK GUE JADI PEREK-PEREK LU, BERARTI LU UDAH SIAP NANGGUNG AKIBATNYA!!" Teriakku pada mereka. Mendengar suara teriakanku membuat para warga di sekitar berhamburan keluar.

"Sudah, sudah Dekkk! Maafin kakak...! Huuhuu.. Jangan buat kakak malu..! Huuhuu..." kak Widya mengiba sambil memeluk kakiku. Candra dan yang lainnya tetap diam hanya dari segi postur tubuhnya telah bersiap-siap jika terjadi serangan dariku.

"DIAM ANJIIINGGGG...! LO BUKAN KAKAK GUE... LU CUMA LONTE!" makiku makin menjadi pada kak Widya. kulihat dari kejauhan Ayah dan Ibu berlari ke arahku.

Dengan refleks kuhempaskan tubuh Kak Widya lalu menyerang Candra dan kawan-kawan.

"AANJJJINNGGG, RASAKAN INI!"

Ssuingg.... kibasan batang besi yang sembarang ke arah mereka, Candra hanya berkelit menghindari seranganku..

Breemmm

Tiga orang teman Candra langsung kabur menggunakan motor yang lain meninggalkan Candra seorang diri.

"LU INGET WAJAH INI, GUE BOSKI ANAK GENK SERTU..!!" Sedikit mengintimidasi Candra, dengan amarah aku ayunkan batang besi pada kepala Candra dengan sekuat tenaga,

Zuuuiing...

Tiba-tiba tanganku ada yang menahannya.

"HENTIKAN RIZKI!" Ayahku menahan pukulanku. Aku meronta-ronta melepaskan tangan dari cengkraman Ayah.

"LEPASSINNN...! GUEE MAU HABIISIN NI ORANG...!!" Teriakku, sekilas warga telah berkumpul di sekelilingku dan Candra.

"LEPPAAASSIN!!" Aku terus meronta melepas genggaman Ayah.

Plaaakkk



Tamparan Ayah yang keras menghantam pipiku, terasa pusing, membuat aku ambruk di hadapan Ayah.

Dalam keadaan terhuyung huyung kulihat Ibu memeluk menenangkan Kak Widya.

"HUAHAHAHA... HAHAHA, HIIIKSSS.. HAHAHA...." Aku tertawa dalam tangis kala melihat Ibu yang menenangkan Widya dan Ayah yang telah menamparku.

"KAMU APAA-APAAAN, MAU MUKUL ORANG...? KAMU MAU JADI JAGOAN SEKARANG!! " Tanya Ayah memarahiku.

"HAHAHA.. HAHA HIIKKSS HAHA" Aku kembali tertawa dalam tangis sungguh miris melihat nasib ini.

"LIAT SODARA-SODARA!!" Aku berteriak tiba-tiba pada para warga di sana.

"KALIAN LIAT...! GUEEE.. DI SINI, MAU NGEHAJAR INI ORANG SAMA KAKAK GUE YANG UDAH LAKUIN HAL MESUM DI LINGKUNGAN KALIAN HAHAHA!" Aku teriak seperti orang gila kuluapkan segala amarah di dada.

"Dekkk, jangaaan maafin kakak!!" Terdengar suara lirih dipelukan Ibu.

"TAPI KALIAN LIAT, APA YANG TERJADI? GUE YANG DIMAKI, GUE YANG DIHAJAR AMA BOKAP GUE, JELAS-JELAS BOKAP GUE LEBIH BELAIN ANAK KESAYANGANNYA YANG JADI LONTE, YANG UDAH DIGREPE-GREPE AMA DIA." Sambil menunjuk pada Candra dan Kak Widya yang meronta ingin menghentikan aku tapi ditahan oleh Ibu.

"ANAK BAJINGAN KAMU, JAGA MULUT KAMU!!" Ayah kembali menghajarku, dua kali pukulannya mengenai wajahku, selebihnya warga telah menahan amukan Ayah.

"KALIAN LIAT KAN! BUU.. TADI AKU MINTA KE IBU... APA IBU GAK INGAT APA PERMINTAAN AKU?" Ibu seketika menangis, mungkin dia ingat permintaanku tadi.

"AKU MINTA SUPAYA KAK WIDYA UNTUK..."

"SUDAH CUKUP SAYANGG... CUKUP.. IBU SALAH... TOLONG HENTIKAN..!" Ibu memotong ucapanku.

"OOH BERARTI IBU MENGIZINKAN KAK WIDYA JADI PEREK, JADI LONTE.. YANG TUBUHNYA BISA DINIKMATIN ORANG. HIKKS...." Akupun mulai tak kuasa meneteskan air mata. Tak kukira aku bisa berkata begitu pada Ibu.

"BRENGSEK KAMU, KAMU BENER-BENER KURANG AJAR!" Ayah meronta melepaskan pegangan para warga lalu meloncat mencoba menendang dadaku.

"AYAH JANGAN!" Terdengar teriakan Ibu, tapi...

Kucoba menahan dengan kedua tangan di depan dada.

Buggghh

Tendangan keras Ayahku membuatku terhempas.

"Mmpuaaah." Air ludahku kuludahkan agar bisa mengurangi rasa sakit.

Aku hanya menatap Ayah penuh amarah, beralih pandangan ke arah Kak Widya dan Ibu yang menangis berpelukan. Lalu aku bangkit dan berbalik berlari terus berlari meninggalkan mereka.

Terdengar teriakan Ibu memanggil namaku, untuk kembali tapi aku tetap tak peduli.







Bersambung
 
Terakhir diubah:
Akan dimulai petualangan Boski dengan kehidupan kerasnya setelah kabur dari rumah. Siap2 si Candra dan ganknya habis dibantai.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd