Aku adalah anak seorang juru kunci sebuah gunung di tengah pulau. Hidupku jauh ditengah hutan lereng gunung. Gunung ini namanya gunung Inggil. Dimana bapakku adalah penjaganya. Waktu aku masih umur 5 tahun, gunung ini sempat meletus. Simbok bercerita kalau diwaktu itu adalah panggilan untuk bapakku. Banyak pesan yang ditinggalkan untuk kami berdua. Semenjak bapak pergi memenuhi panggilan, hingga kini tak pernah kembali.
12 Tahun telah berlalu. Satu pesan yang Simbok selalu sampaikan. Dulu ketika aku kecil, aku selalu bilang ingin menjadi seorang Ratu. Bapak selalu tertawa kalau mendengarnya. Hingga saat panggilan itu tiba, bapak berpamitan sembari mengatakan “aku pergi untuk menjalankan tugasku dan untuk impian anak kita”. Begitulah kata terakhir bapak sembari keluar rumah memecah hujan abu yang mulai berjatuhan.
Gubug reot peninggalan bapak ini menjadi tempat berteduh terbaik yang bisa aku dan simbok tempati. Sepetak ladang disamping rumah menjadi sumber makanan selain mengais dihutan dan sedikit kiriman beras dari kerajaan yang tak menentu tibanya. Beras itu dikirim oleh utusan Sang Raja sebagai balas jasa pengabdian Bapak kepada kerajaan. Ketika utusan itu bercerita tentang Raja hyangagung, selalu bersemangat. Nadanya begitu tinggi tat kala menyebutkan Nama Raja yang sangat perkasa. Kemegahan istana dan singgasananya. Kuat tentaranya. Dan cantik nan ayu nya Ratu serta para dayang nya.
Lalu??...siapakah aku ini? Bagai pungguk merindukan rembulan. Akankah harapan dan perjuangan Bapakku akan terwujud? Kini aku harus menerima terlebih dahulu takdirku sekarang.
Aku adalah … Sari!
PART 1 : ‘KERE MUNGGAH BALE”
Eps. 01
Di tempat nan gelap ku duduk terdiam. Tak tahu dimana, harus apa, dan baru apa aku ini. Tiba – tiba seberkas bayangan yang sangat pekat berdiri dihadapanku.
“Waktunya telah tiba Sari! Bersiaplah!”. Suaranya keras dan berat membuat tubuhku merinding, mulutku terkunci tak dapat berbicara. Rasa takut berkecamuk. Kupejamkan mata dan kupaksakan mulut ini berteriak minta tolong. “Toloooong… toloooong..” sekuat tenaga kupaksakan.
Sari! .. Sari!.. Bangun Sari! Teriak simbok sembari menepuk pipiku.
Akhirnya terbuka juga mata ini. Keringat dingin kurasakan di leher dan jidatku. Nafasku terengah – engah. “Mbok, aku dimana mbok? Tanyaku masih setengah sadar.
Senyum sumringah Simbok sembari mengelus tanganku. “Ya dirumah to ndok! Mau dimana lagi? Mau di Goa atas sana? Jawab simbok terheran.
Kupegang erat tangan simbok. “Mbok. Aku ktemu lagi dengan sosok itu! Sudah 3 malam ini mimpi ketemu dia terus! Aku takut mbok!”.
“weeee…… Perawan simbok! Lihat apa hayoo kamuuu…?? Takut itu nya yaaa…??? Cieeee….
“lah… maksud simbok apa sih? Ngimpi mbok… Ngimpi!!! Dia gede… item … Terus…“ jawabku coba menjelaskan.
“Waaaaahh…sudah gede.. item lagi… idaman tuh!” sahut simbok sambil cengengesan.
“iya mbok… suaranya keras… dia bilang ke sari kalau waktunya sudah tiba. Sosok itu kayak penghuni di Goa lembah Manah sana Mbok! Mbok udah 3 hari ini Sari mimpi ini berulang. Ada apa ya mbok? Aku Takut! Jawabku sambil menatap mata simbok dengan cemas.
Raut wajah simbok terheran – heran. “Loh .. loooh… ketika kamu ngigau, kamu itu gak minta tolong Sari! Kamu bilang kalau kamu itu siap! Sudah siap! Sudah siap! Begitu Sari. Makanya simbok pikir kalo kamu sudah ketemu jodohmu di alam mimpi”. Jawab simbok.
Kedua tangaku diraih simbok dan coba menenangkan aku. “Ya sudah. Nanti siang, kamu gak usah bantu simbok cari kayu bakar. Ada bekal sedikit yang simbok petik malam tadi. Bawa itu ke Eyang Resi Wikromo. Lantas, ceritakan semuanya ke Eyang. Jangan lupa, tanyakan juga cara menangkalnya. Simbok kawatir kalau ada sesuatu yang terjadi ke awakmu ndok!”. Ucap simbok menegaskan.
Simbok melanjutkan perkataanya. “O..iya. satu lagi. Kalau simbok bilang itu dengerin!. Kalau selendang kotor itu segera cuci. Darah haid gak bagus kalau kamu pakai tidur ndok! Bisa didatengin hantu lho kamu!!” ucap simbok serius.
“Ah..simbok.. sukanya nakutin aja!”. jawabku sambil menjewer pipi simbok.
Pagi itu kulalui dengan serba tergesa – gesa. Menimba air sambil mandi di belik tengah hutan. Maklum karena jarak belik sampai rumah hampir setengah jam perjalanan, tanpa terasa matahari sudah tegak. Segera aku bersiap. Selendang yang telah aku cuci gak bakalan kering karena baru bisa jemur siang ini. Menurut cerita simbok, selendang ini merupakan barang yang sangat mewah yang hanya bisa dibeli atau diperoleh dari/oleh keluarga kerajaan. Bahkan bapak dulu harus menunggu 5 tahun baru dikasih oleh Raja sebagai hadiah. 2 Selendang, 1 berukuran kecil dan lainnya berukuran besar.
“Sini Simbok rapiin penampilanmu ndok!” Kata simbok sambil mendekatiku.
“gak seperti biasanya aja mbok? Selendang ku kan belum kering mbok?” jawabku.
Sambil senyum simbok memutarku hingga aku berhadapan dengannya. “Ndok.. kamu udah perawan. Kamu udah besar. Kalau mau ketemu siapapun ya dandan apa adanya yang bisa dipakai. Rambut kamu ditata rapi & diikat dengan tali. Susu kamu juga harus ditutup daun talas, juga dah simbok siapin. Pelepah penampung darah haid mu juga sudah simbok siapin. Berikut talinya. Sementara untuk selendang, kamu pakai kain punya simbok. Kecil tak apa, Cuma untuk menutup pelepahnya saja cukup”.
“Ya mbok… “ Jawabku.
Setelah semua siap, lantas aku berpamitan ke Simbok karena aku harus berangkat sendirian ke rumah Eyang Wikromo. Matahari mulai condong ke barat, tandanya aku harus segera bergegas, supaya tidak kemalaman. Karena kalau kemalaman sangat berbahaya menyusuri hutan dimalam hari.
“Seumur – umur ini pakaian paling lengkap yang pernah aku pakai. Tali anyaman dari rotan aku kenakan di kepala, kata simbok ini untuk penanda kalau aku masih perawan. Dada ku juga sudah tertutup dengan anyaman daun talas yang telah diikat dan ditata rapi. Kalau hari biasa mah gak perlu pakai. Simbok juga gak pernah pakai. Iya.. dibiarin menggantung begitu aja. Bedanya sih punya aku lebih kenceng dan bulat, punya simbok dah kayak wewe kata simbok. Puting juga beda warna. Punya simbok coklat kehitaman sedangkan punyaku masih merah muda. Tak apalah semua itu tertutup. Kata simbok ini yang harus dikenakan”. Cetusku dalam hati sembari berjalan menyusuri hutan kearah gunung ke rumah Eyang Resi Wikromo.
Beberapa kali aku harus berhenti istirahat. Jalannya menanjak dan menyusuri hutan. Haus, lelah dan lapar harus aku urus sendiri. Sedikit lega karena ini bukan pertama kali aku ke rumah Eyang. Walaupun sebelumnya aku bersama simbok, namun aku sudah sangat hapal arah nya.
“Duuuuh….”. Ucapku lirih sambil menahan perut ini yang terkadang merasa sakit tatkala darah kotor keluar dari kemaluanku.
Kulihat darah haid mulai mengalir melalui kakiku. Untung saja sudah sampai sungai kecil. Segera kulepas kain ku dan aku cuci daun penampung ini supaya tampungan kosong dan kupakai kembali.
“sreeeeekkk…sreeeekkk”. Suara langkah sesuatu diatas dedaunan terdengar tipis ditelingku.
Segera ku tengok kebelakang. Anehnya tak ada apapun dibelakangku, hanya jajaran ilalang setinggi perut dan barisan pohon pinus. Tanda – tanda hewan juga tak tampak, apalagi manusia.
Segera kuselesaikan ini dan ku sahut bawaanku. Kemudian, berjalan secepat mungkin yang aku bisa. Tak peduli apapun dibelakangku. Tapi sungguh tak bisa ku bohongi. Ada sesuatu sedang mengikutiku. Jika aku berhenti seakan dia juga ikut berhenti, ketika aku berlari, dia juga ikut berlari.
Kutengok langit mulai menguning, tanda bahwa malam akan segera tiba. Beruntung rumah Eyang Resi sudah mulai nampak. Obor penanda rumah mulai kelihatan. Tanpa di duga sore itu, dari kejauhan ada puluhan orang berada didepan rumah Eyang. Hal yang jarang aku temui sebelumnya.
Setelah aku mendekat, terlihat beberapa perempuan muda seusiaku berjajar rapi duduk didepan rumah eyang. Diikuti dibelakangnya yang ku kira adalah para orang tua mereka. Sungguh beruntung mereka masih mempunyai penjaga dalam perjalanan melelahkan ini.
Sambil menunduk dan berjalan pelan aku mendekati jajaran perempuan itu. Kurasakan semua mata tertuju padaku. Entah apa yang mereka perhatikan. Mereka seakan serius memperhatikanku. Ah.. persetan! tak peduli pada mereka.
Setelah aku duduk dibarisan paling kiri, ku lihatlah para perempuan itu. Bisa dikatakan akulah yang paling rapi. Yang lain ada yang dada dan susunya kelihatan. Ada yang tidak pakai pakaian sama sekali. Akhirnya kuberanikan diri bertanya kepada sekelompok gadis itu.
“Maaf mbak..sebenarnya ada apa ini? Malam ini kok rame sekali?” tanyaku kepada perempuan terdekat ku.
Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, kami yang berjajar semua disuruh untuk memasuki pendopo eyang Resi. Kami para perempuan semua masuk sambil dibagikan batu mantra dan pintu segera ditutup rapat – rapat.
Sampai didalam pendopo itu kami disuruh untuk duduk diam. Sepanjang mata memandang isi ruangan, tak tampak eyang Resi, adanya eyang Gimah. Eyang Gimah adalah istri dari eyang Resi Wikromo.
Eyang Gimah mulai berdiri. Matanya memandangi kami satu persatu. Setidaknya ada 40 gadis dalam pendopo ini termasuk aku. Kemudian sampailah pandangannya kearah ku.
“Sari, kamu berdirilah.. maju kemari!”. Pinta eyang Gimah sembari mengacungkan jari telunjuknya.
Mendengar perintah itu ada sesuatu yang janggal kurasakan. Tubuh ini, tangan dan kaki ini seakan - akan ada yang menggerakan. Ringan sekali aku melangkah kedepan kearah eyang Gimah. Setelah sampai, eyang Gimah segera memberikan perintah selanjutnya supaya semua memandangku dengan seksama dan teliti.
“Sari.. buka semua apa yang kamu kenakan!” perintah eyang Gimah.
“Tapi eyang,.aku sedang ..” / “sekkarang juga!” gertak eyang Gimah.
Sembari ketakutan, aku segera melepas kan satu persatu apa yang aku pakai. Penutup dada yang rapi dari simbok terpaksa aku lepas paksa sampai rusak. Begitu pula kain dan daun penampung darah. Anehnya, sama sekali tidak ada darah ditampungan itu. Padahal sebelumnya terus penuh. Kaki dan sekitar selangkangku juga bersih tak ada darah sama sekali.
Kini aku benar – benar telanjang bulat berdiri didepan. Dilihat semua perempuan yang duduk didepanku.
Perintah selanjutnya dari eyang Gimah. “sekarang semua harus melakukan apa yang Sari lakukan, tapi sambil duduk!” perintah eyang dengan sedikit menaikkan nada.
Kini semua tak ada sehelaipun pakaian yang dikenakan. Semua telanjang bulat…
Eyang Gimah memastikan semua sudah telanjang dan memberikan perintah selanjutnya. “Tes dimulai !!“…
BERSAMBUNG Eps. 02 …
12 Tahun telah berlalu. Satu pesan yang Simbok selalu sampaikan. Dulu ketika aku kecil, aku selalu bilang ingin menjadi seorang Ratu. Bapak selalu tertawa kalau mendengarnya. Hingga saat panggilan itu tiba, bapak berpamitan sembari mengatakan “aku pergi untuk menjalankan tugasku dan untuk impian anak kita”. Begitulah kata terakhir bapak sembari keluar rumah memecah hujan abu yang mulai berjatuhan.
Gubug reot peninggalan bapak ini menjadi tempat berteduh terbaik yang bisa aku dan simbok tempati. Sepetak ladang disamping rumah menjadi sumber makanan selain mengais dihutan dan sedikit kiriman beras dari kerajaan yang tak menentu tibanya. Beras itu dikirim oleh utusan Sang Raja sebagai balas jasa pengabdian Bapak kepada kerajaan. Ketika utusan itu bercerita tentang Raja hyangagung, selalu bersemangat. Nadanya begitu tinggi tat kala menyebutkan Nama Raja yang sangat perkasa. Kemegahan istana dan singgasananya. Kuat tentaranya. Dan cantik nan ayu nya Ratu serta para dayang nya.
Lalu??...siapakah aku ini? Bagai pungguk merindukan rembulan. Akankah harapan dan perjuangan Bapakku akan terwujud? Kini aku harus menerima terlebih dahulu takdirku sekarang.
Aku adalah … Sari!
PART 1 : ‘KERE MUNGGAH BALE”
Eps. 01
Di tempat nan gelap ku duduk terdiam. Tak tahu dimana, harus apa, dan baru apa aku ini. Tiba – tiba seberkas bayangan yang sangat pekat berdiri dihadapanku.
“Waktunya telah tiba Sari! Bersiaplah!”. Suaranya keras dan berat membuat tubuhku merinding, mulutku terkunci tak dapat berbicara. Rasa takut berkecamuk. Kupejamkan mata dan kupaksakan mulut ini berteriak minta tolong. “Toloooong… toloooong..” sekuat tenaga kupaksakan.
Sari! .. Sari!.. Bangun Sari! Teriak simbok sembari menepuk pipiku.
Akhirnya terbuka juga mata ini. Keringat dingin kurasakan di leher dan jidatku. Nafasku terengah – engah. “Mbok, aku dimana mbok? Tanyaku masih setengah sadar.
Senyum sumringah Simbok sembari mengelus tanganku. “Ya dirumah to ndok! Mau dimana lagi? Mau di Goa atas sana? Jawab simbok terheran.
Kupegang erat tangan simbok. “Mbok. Aku ktemu lagi dengan sosok itu! Sudah 3 malam ini mimpi ketemu dia terus! Aku takut mbok!”.
“weeee…… Perawan simbok! Lihat apa hayoo kamuuu…?? Takut itu nya yaaa…??? Cieeee….
“lah… maksud simbok apa sih? Ngimpi mbok… Ngimpi!!! Dia gede… item … Terus…“ jawabku coba menjelaskan.
“Waaaaahh…sudah gede.. item lagi… idaman tuh!” sahut simbok sambil cengengesan.
“iya mbok… suaranya keras… dia bilang ke sari kalau waktunya sudah tiba. Sosok itu kayak penghuni di Goa lembah Manah sana Mbok! Mbok udah 3 hari ini Sari mimpi ini berulang. Ada apa ya mbok? Aku Takut! Jawabku sambil menatap mata simbok dengan cemas.
Raut wajah simbok terheran – heran. “Loh .. loooh… ketika kamu ngigau, kamu itu gak minta tolong Sari! Kamu bilang kalau kamu itu siap! Sudah siap! Sudah siap! Begitu Sari. Makanya simbok pikir kalo kamu sudah ketemu jodohmu di alam mimpi”. Jawab simbok.
Kedua tangaku diraih simbok dan coba menenangkan aku. “Ya sudah. Nanti siang, kamu gak usah bantu simbok cari kayu bakar. Ada bekal sedikit yang simbok petik malam tadi. Bawa itu ke Eyang Resi Wikromo. Lantas, ceritakan semuanya ke Eyang. Jangan lupa, tanyakan juga cara menangkalnya. Simbok kawatir kalau ada sesuatu yang terjadi ke awakmu ndok!”. Ucap simbok menegaskan.
Simbok melanjutkan perkataanya. “O..iya. satu lagi. Kalau simbok bilang itu dengerin!. Kalau selendang kotor itu segera cuci. Darah haid gak bagus kalau kamu pakai tidur ndok! Bisa didatengin hantu lho kamu!!” ucap simbok serius.
“Ah..simbok.. sukanya nakutin aja!”. jawabku sambil menjewer pipi simbok.
Pagi itu kulalui dengan serba tergesa – gesa. Menimba air sambil mandi di belik tengah hutan. Maklum karena jarak belik sampai rumah hampir setengah jam perjalanan, tanpa terasa matahari sudah tegak. Segera aku bersiap. Selendang yang telah aku cuci gak bakalan kering karena baru bisa jemur siang ini. Menurut cerita simbok, selendang ini merupakan barang yang sangat mewah yang hanya bisa dibeli atau diperoleh dari/oleh keluarga kerajaan. Bahkan bapak dulu harus menunggu 5 tahun baru dikasih oleh Raja sebagai hadiah. 2 Selendang, 1 berukuran kecil dan lainnya berukuran besar.
“Sini Simbok rapiin penampilanmu ndok!” Kata simbok sambil mendekatiku.
“gak seperti biasanya aja mbok? Selendang ku kan belum kering mbok?” jawabku.
Sambil senyum simbok memutarku hingga aku berhadapan dengannya. “Ndok.. kamu udah perawan. Kamu udah besar. Kalau mau ketemu siapapun ya dandan apa adanya yang bisa dipakai. Rambut kamu ditata rapi & diikat dengan tali. Susu kamu juga harus ditutup daun talas, juga dah simbok siapin. Pelepah penampung darah haid mu juga sudah simbok siapin. Berikut talinya. Sementara untuk selendang, kamu pakai kain punya simbok. Kecil tak apa, Cuma untuk menutup pelepahnya saja cukup”.
“Ya mbok… “ Jawabku.
Setelah semua siap, lantas aku berpamitan ke Simbok karena aku harus berangkat sendirian ke rumah Eyang Wikromo. Matahari mulai condong ke barat, tandanya aku harus segera bergegas, supaya tidak kemalaman. Karena kalau kemalaman sangat berbahaya menyusuri hutan dimalam hari.
“Seumur – umur ini pakaian paling lengkap yang pernah aku pakai. Tali anyaman dari rotan aku kenakan di kepala, kata simbok ini untuk penanda kalau aku masih perawan. Dada ku juga sudah tertutup dengan anyaman daun talas yang telah diikat dan ditata rapi. Kalau hari biasa mah gak perlu pakai. Simbok juga gak pernah pakai. Iya.. dibiarin menggantung begitu aja. Bedanya sih punya aku lebih kenceng dan bulat, punya simbok dah kayak wewe kata simbok. Puting juga beda warna. Punya simbok coklat kehitaman sedangkan punyaku masih merah muda. Tak apalah semua itu tertutup. Kata simbok ini yang harus dikenakan”. Cetusku dalam hati sembari berjalan menyusuri hutan kearah gunung ke rumah Eyang Resi Wikromo.
Beberapa kali aku harus berhenti istirahat. Jalannya menanjak dan menyusuri hutan. Haus, lelah dan lapar harus aku urus sendiri. Sedikit lega karena ini bukan pertama kali aku ke rumah Eyang. Walaupun sebelumnya aku bersama simbok, namun aku sudah sangat hapal arah nya.
“Duuuuh….”. Ucapku lirih sambil menahan perut ini yang terkadang merasa sakit tatkala darah kotor keluar dari kemaluanku.
Kulihat darah haid mulai mengalir melalui kakiku. Untung saja sudah sampai sungai kecil. Segera kulepas kain ku dan aku cuci daun penampung ini supaya tampungan kosong dan kupakai kembali.
“sreeeeekkk…sreeeekkk”. Suara langkah sesuatu diatas dedaunan terdengar tipis ditelingku.
Segera ku tengok kebelakang. Anehnya tak ada apapun dibelakangku, hanya jajaran ilalang setinggi perut dan barisan pohon pinus. Tanda – tanda hewan juga tak tampak, apalagi manusia.
Segera kuselesaikan ini dan ku sahut bawaanku. Kemudian, berjalan secepat mungkin yang aku bisa. Tak peduli apapun dibelakangku. Tapi sungguh tak bisa ku bohongi. Ada sesuatu sedang mengikutiku. Jika aku berhenti seakan dia juga ikut berhenti, ketika aku berlari, dia juga ikut berlari.
Kutengok langit mulai menguning, tanda bahwa malam akan segera tiba. Beruntung rumah Eyang Resi sudah mulai nampak. Obor penanda rumah mulai kelihatan. Tanpa di duga sore itu, dari kejauhan ada puluhan orang berada didepan rumah Eyang. Hal yang jarang aku temui sebelumnya.
Setelah aku mendekat, terlihat beberapa perempuan muda seusiaku berjajar rapi duduk didepan rumah eyang. Diikuti dibelakangnya yang ku kira adalah para orang tua mereka. Sungguh beruntung mereka masih mempunyai penjaga dalam perjalanan melelahkan ini.
Sambil menunduk dan berjalan pelan aku mendekati jajaran perempuan itu. Kurasakan semua mata tertuju padaku. Entah apa yang mereka perhatikan. Mereka seakan serius memperhatikanku. Ah.. persetan! tak peduli pada mereka.
Setelah aku duduk dibarisan paling kiri, ku lihatlah para perempuan itu. Bisa dikatakan akulah yang paling rapi. Yang lain ada yang dada dan susunya kelihatan. Ada yang tidak pakai pakaian sama sekali. Akhirnya kuberanikan diri bertanya kepada sekelompok gadis itu.
“Maaf mbak..sebenarnya ada apa ini? Malam ini kok rame sekali?” tanyaku kepada perempuan terdekat ku.
Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, kami yang berjajar semua disuruh untuk memasuki pendopo eyang Resi. Kami para perempuan semua masuk sambil dibagikan batu mantra dan pintu segera ditutup rapat – rapat.
Sampai didalam pendopo itu kami disuruh untuk duduk diam. Sepanjang mata memandang isi ruangan, tak tampak eyang Resi, adanya eyang Gimah. Eyang Gimah adalah istri dari eyang Resi Wikromo.
Eyang Gimah mulai berdiri. Matanya memandangi kami satu persatu. Setidaknya ada 40 gadis dalam pendopo ini termasuk aku. Kemudian sampailah pandangannya kearah ku.
“Sari, kamu berdirilah.. maju kemari!”. Pinta eyang Gimah sembari mengacungkan jari telunjuknya.
Mendengar perintah itu ada sesuatu yang janggal kurasakan. Tubuh ini, tangan dan kaki ini seakan - akan ada yang menggerakan. Ringan sekali aku melangkah kedepan kearah eyang Gimah. Setelah sampai, eyang Gimah segera memberikan perintah selanjutnya supaya semua memandangku dengan seksama dan teliti.
“Sari.. buka semua apa yang kamu kenakan!” perintah eyang Gimah.
“Tapi eyang,.aku sedang ..” / “sekkarang juga!” gertak eyang Gimah.
Sembari ketakutan, aku segera melepas kan satu persatu apa yang aku pakai. Penutup dada yang rapi dari simbok terpaksa aku lepas paksa sampai rusak. Begitu pula kain dan daun penampung darah. Anehnya, sama sekali tidak ada darah ditampungan itu. Padahal sebelumnya terus penuh. Kaki dan sekitar selangkangku juga bersih tak ada darah sama sekali.
Kini aku benar – benar telanjang bulat berdiri didepan. Dilihat semua perempuan yang duduk didepanku.
Perintah selanjutnya dari eyang Gimah. “sekarang semua harus melakukan apa yang Sari lakukan, tapi sambil duduk!” perintah eyang dengan sedikit menaikkan nada.
Kini semua tak ada sehelaipun pakaian yang dikenakan. Semua telanjang bulat…
Eyang Gimah memastikan semua sudah telanjang dan memberikan perintah selanjutnya. “Tes dimulai !!“…
BERSAMBUNG Eps. 02 …