AFFAIR IN INVESTIGATION
Seorang pria duduk di belakang meja kebesarannya, raut wajah ambisius tergambar jelas di wajah tampannya, menampakkan segala kekuasaan yang dimiliki pria tersebut. Dialah Ricard Herlambang, seorang direktur keuangan dengan seluruh
image-nya sebagai pria tampan dan sukses di perusahaan Q&U Group. Setelah hampir tiga tahun bekerja di salah satu anak perusahan yang berada di Singapura
, saat ini Ricard kembali ke negaranya sendiri dan bekerja di perusahaan utama. Segala keputusan mengenai keuangan perusahaan, kini berada di bawah kendali pria berusia 40 tahun tersebut. Ricard adalah pimpinan yang dikenal keras, bahkan tidak segan memecat anak buahnya.
Di seberang meja besar sang direktur keuangan, seorang kepala sub divisi keuangan tengah duduk tertunduk. Wajahnya begitu tegang, hatinya benar-benar menciut dan merasakan ketakutan yang luar biasa. Kedua orang itu masih terdiam, sang kepala sub divisi keuangan yang menundukkan kepala tidak berani memandang wajah atasannya. Berbanding terbalik dengan Ricard yang tengah menatap orang di depannya sangat tajam.
“Bapak Dimas tau ...? Apa kesalahan besar bapak ...?” Ricard berkata sarkastis. Kepala sub divisi keuangan yang bernama Dimas Adi Nugroho tidak menjawab dan hanya tertunduk.
“Gak bisa menjawab?” Sang direktur keuangan bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekati Dimas.
“Bapak fikir aku bicara dengan patung? Jangan diam saja! Bapak sudah membuat perusahaan merugi besar! Bapak ini pimpinan, ada anggota yang harus bapak pertanggungjawabkan kinerjanya ...!” Tatapan Ricard menusuk, seakan ingin menelanjangi Dimas.
“Maafkan atas keteledoran saya.” Perasaan tidak enak menyergap Dimas, merasa gelisah dan takut untuk mendengar pernyataan berikutnya yang akan keluar.
“Maaf??? Apa dengan kata maaf bisa memperbaiki ini semua??? Tidak bapak! Bapak harus bertanggung jawab ... Sekarang saya perintahkan untuk mengembalikan kerugian perusahaan ... Saya kasih waktu seminggu ... Jika gagal, bapak tau sendiri akibatnya ...!” Kata-kata itu langsung membuat kepala Dimas terangkat. Dimas hanya bisa memandang wajah atasannya sekarang, lidahnya terasa kelu, tenggorokkan tercekat, tidak bersuara bukannya berarti dia setuju dengan perintah itu. Dia hanya tidak tahu harus menanggapinya seperti apa.
“Keluarlah!” Perintah Ricard kemudian.
Dimas keluar dengan kepala yang tertunduk, matanya memerah, air mata yang ingin jatuh ditahannya. Mengembalikan kerugian perusahaan dalam satu minggu adalah sesuatu yang mustahil diwujudkan. Kondisi keuangan perusahaan sudah sangat terbatas akibat kegiatan usaha yang tidak lagi berjalan normal. Kondisi ini diperparah oleh terjadinya kebocoran keuangan perusahaan yang jumlahnya bernilai puluhan milyar rupiah.
Dengan muka kusut masai, Dimas membantingkan pantatnya ke kursi kerja lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sembari melipat kedua tangannya di belakang kepala. Kehancuran karirnya sudah di depan mata. Apa yang selama ini ia takutkan akhirnya terjadi juga. Beberapa petinggi perusahaan telah menggunakan uang perusahaan dengan skema pembiayaan
start-up. Namun sebenarnya dana itu dipakai untuk kepentingan pribadi mereka.
Jam antik berdentang dengan bunyi yang rendah, mengisi keheningan ruangan. Jarum pendek menunjuk angka lima dan jarum panjangnya menunjuk angka dua belas. Karena sudah waktunya pulang, Dimas pun lantas merapikan meja kerjanya sebelum beranjak pulang. Setelahnya, ia berjalan menuju lobby perusahaan sambil menelepon seseorang dengan menggunakan
smartphone-nya.
“
Hallo ... Pah ...” Suara istri Dimas di seberang sana.
“Mamah udah di lobby?” Tanya Dimas sambil mempercepat langkahnya.
“
Barusan nyampe ... Mamah tunggu di tempat biasa ya?” Jawab sang istri yang sering kali menjemput suaminya jika dia sedang suntuk di rumah seperti saat ini.
“Iya ...” Kata Dimas singkat seraya memutuskan sambungan teleponnya.
Dimas bergerak menuju pintu lift yang terbuka. Setelah berada di dalam lift, telunjuknya memijit nomor satu dan tak lama berselang pria itu sampai di lantai satu. Setiba di lantai satu, segera saja Dimas menghampiri istrinya yang tengah berbincang-bincang dengan seseorang di bagian barat lobby perusahaan. Tiba-tiba sepasang mata Dimas menyipit dan langkahnya pun melambat tatkala mendapati Ricard, direktur keuangan yang tadi memarahinya, adalah orang yang menjadi lawan bicara istrinya.
Dimas akhirnya memutuskan untuk tidak mengganggu mereka. Laki-laki itu bergerak ke sebuah pilar besar untuk menyembunyikan dirinya. Bukan apa-apa, Dimas tidak ingin dimarahi lagi oleh Ricard, apalagi di depan istrinya. Sebagai laki-laki dia tentu tidak ingin harga dirinya terinjak-injak. Hampir tiga menit, Dimas berdiri di balik pilar dan baru kemudian menengok ke arah di mana istrinya berada. Ternyata, Ricard sudah meninggalkan tempatnya. Buru-buru Dimas berjalan menuju istrinya yang terlihat gelisah.
“Maaf ... Papah barusan sembunyi dulu ... gak pengen ketemu pimpinan baru ...” Dimas berucap pada istrinya sesaat setelah berada dekatnya.
“Pimpinan baru?” Istri Dimas bergumam dengan kening mengkerut tipis.
“Ya ... Dia adalah direktur keuangan yang baru ... Ngomong-ngomong, apa mamah kenal sama dia?” Dimas mengakhiri ucapannya dengan sebuah pertanyaan.
“Baru saja kenal ... gak tau tuh ... Dia ujug-ujug ngajak kenalan ...” Jawab istri Dimas sambil mengulum senyumnya yang tak bisa ia tahan.
“Hhhhmm ... Habis, mamah cantik sih ...” Dimas menggombali istrinya. Memang tidak berlebihan, istrinya yang telah dinikahinya setahun yang lalu bernama Karina, memiliki paras yang cantik dan rupawan. Selain itu, di usianya yang menginjak 28 tahun, Karina masih memiliki tubuh yang seksi disertai wajah dan postur tubuh layaknya mirip anak SMA. Belum lagi ditunjang cara berpakaian yang
up to date mengikuti anak muda zaman sekarang. Hingga tidak heran jika banyak orang yang tak percaya jika Karina sudah menikah dan berumur 28 tahun.
“Ihh ... Papah ...! Ayo pulang ...!” Ucap sang istri manja seraya meraih tangan Dimas.
Keduanya berjalan kaki menuju mobil yang terparkir tak jauh dari lobby perusahaan. Dimas membiarkan istrinya berada di belakang kemudi sementara laki-laki itu duduk kurang tenang di sebelahnya. Hiruk-pikuk suasana jalanan yang macet seolah tidak berpengaruh sedikit pun ketika pikiran Dimas melayang pada kejadian di kantornya tadi, bahkan ucapan Karina tidak sepenuhnya ia dengar.
“Papah kenapa sih? Ngelamun terus?” Akhirnya Karina mengetahui kalau Dimas tidak fokus dengan pembicaraannya.
“Papah punya masalah ...” Lirih Dimas seraya menghela nafas berat.
“Masalah apa?” Tanya Karina terkejut sambil menoleh sekilas wajah suaminya yang memang tampak lesu dan tidak bergairah.
“Fuuutthhh ... Papah kayaknya sebentar lagi dipecat ...!” Satu kalimat terlontar dari mulut Dimas dengan suara yang berat. Karina pun terperanjat, untung saja ia masih bisa fokus pada kemudinya.
“Dipecat?! Kok bisa?!” Karina benar-benar terkejut. Wanita itu sampai menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
“Papah harus bertanggung jawab atas kerugian perusahaan ... Ini salah papah ... Papah membiarkan kecurangan terjadi, padahal papah tau ... Para petinggi perusahaan menggunakan uang perusahaan secara illegal dan itu gak bisa papah cegah ...” Dimas memutuskan untuk berkata jujur kepada Karina.
Karina menatap tajam ke arah Dimas mencoba menembus pikiran suaminya. Karina tidak menyangka kalau orang yang sangat diandalkannya kini tersandung masalah yang begitu berat. Terlihat oleh Karina wajah Dimas semakin pucat seperti tak ada darah yang mengalir di sana.
“Maafkan papah ...” Lirih Dimas, begitu kalut bercampur takut yang teramat.
“Kenapa papah membiarkan itu terjadi?” Tanya Karina dengan nada yang terdengar lembut namun serius.
“Papah takut dipecat makanya papah biarkan ...” Jawab Dimas dengan suara yang sarat kejujuran.
Alasan Dimas membuat Karina terhenyak, karena ia yakin kalau suaminya berkata apa adanya. Dimas adalah korban konspirasi dan korupsi di perusahaannya. Kini perasaan wanita itu berkecamuk hebat, semua perasaan bercampur, namun yang pasti perasaan sedihlah yang paling dominan. Karina menggenggam tangan Dimas untuk memberi ketenangan dan kekuatan karena Karina sadar kalau dukunganlah yang diperlukan Dimas saat ini.
“Sudahlah ... Jangan terlalu dipikirkan ...” Ucap Karina lembut sembari menggoyang kecil jemari Dimas.
“Maafkan papah ...” Kembali Dimas mengungkapkan penyesalannya.
Karina tersenyum, kemudian melajukan lagi mobil menuju rumah kediaman mereka dengan perasaan yang tak menentu. Walau demikian, Karina tetap berusaha memperlihatkan ketegaran dan semangat hidupnya. Berbeda dengan sang istri yang terus memperlihatkan ketegaran, Dimas terlihat lebih lemah.
Sekitar dua puluh menit berselang, suami istri tersebut sampai di rumah kediaman mereka. Dimas langsung menuju kamarnya kemudian mandi untuk menyegarkan badan dan pikirannya. Sementara Karina mempersiapkan minuman segar untuk suami tercintanya di dapur. Karina duduk di kursi meja makan. Pikiran wanita itu mengawang, memikirkan cerita suaminya sambil mengaduk-aduk minuman es jeruk. Sesekali desah nafas kasarnya berhembus.
Tak lama kemudian, Dimas datang menghampirinya. Es jeruk yang baru saja dibuat Karina langsung disambar laki-laki itu. Bunyi tegukan terdengar tidak cukup hanya sekali. Rupanya Dimas benar-benar kehausan. Karina pun memperhatikan suaminya dengan tatapan sendu dan senyuman sedihnya.
“Pah ... Apakah papah akan berdiam diri saja, tidak mau mencoba membuka kebenaran?” Tanya Karina sesaat setelah Dimas meletakkan gelas di atas meja.
“Percuma ... Terlalu banyak dan terlalu kuat orang-orang yang akan berhadapan dengan papah ... Orang-orang di divisi pengawasan pun akan melawan papah karena mereka juga menikmati uang perusahaan ...” Dimas terlihat sangat rapuh, ia seperti pasrah dengan segalanya.
“Pah ... Jangan gampang menyerah ... Coba cari solusi dengan berpikir jernih ...” Ucap Karina lemah lembut. Dimas pun menatap Karina, begitu terasa kebenaran dari ucapan istrinya. “Kesalahan takkan menjadi kebenaran walaupun berulang kali digaungkan. Sebaliknya, kebenaran tetaplah kebenaran walau tak seorang pun melihatnya. Kebenaran akan tetap ada meski tak seorangpun berada di belakangnya.” Lanjut Karin berfilosofi.
Dimas semakin tergugah hatinya. Timbul tekad untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sedetik kemudian, Dimas menceritakan permasalahan keuangan yang sedang melanda perusahaannya. Karina tidak merasa sulit sedikit pun mengikuti alur cerita Dimas karena sebenarnya Karina pernah bekerja sebagai seorang konsultan keuangan. Sembari menikmati minuman dingin, suasana diskusi pun semakin menghangat. Dimas kembali menerangkan celah-celah yang digunakan para petinggi untuk ‘mengeruk’ uang perusahaan secara illegal.
“Kalau begitu, semua data ada di tangan direktur keuangan.” Karina menyimpulkan.
“Benar ... Papah pun yakin kalau dia terlibat dengan konspirasi ini.” Respon Dimas mengiyakan kesimpulan istrinya.
“Kalau begitu sebaiknya papah selidiki ... Kalau bisa, dapetin pembukuannya ... Mamah yakin dia bikin dua ... Satu yang palsu dan satu yang asli ... Temukan yang aslinya ...” Karina memberikan saran yang sangat masuk akal.
“Hhhhmm ... Benar juga ... Pembukuan yang asli bisa dijadikan alat bukti ...” Gumam Dimas sembari memainkan dagunya yang berbulu tipis.
“Benar pah ... Semangat ...!” Ucap Karina lalu memberikan pelukan hangat yang erat kepada suaminya agar menerima dan memahami keadaan.
Tak terasa waktu pun berlalu beberapa menit. Dimas dan Karina telah mengganti topik pembicaraan mereka. Dimas pasrah, dia lebih memilih melupakan sejenak masalahnya dengan ngobrol bersama istri tercinta, berharap beban di otaknya bisa berkurang. Hingga akhirnya obrolan mereka berlanjut di kamar tidur dan mereka terlelap setelah kantuk menyerang begitu dalam.
Keesokan Harinya ...
Hari masih terlalu pagi untuk memulai aktifitas, langit masih berwarna kelabu dan udara masih berkabut. Dimas merapatkan mantelnya sebelum memasuki mobil. Wajah Dimas tampak kuyu. Lelah tak hanya dirasakan tubuhnya, namun juga otak laki-laki itu yang tak henti berpikir tentang masalah yang sedang ia hadapi. Tak berselang lama, suara deruman mobil meninggalkan rumah. Mobil merah itu melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, seperti terburu-buru mengejar sesuatu. Hanya setengah jam Dimas berhasil mencapai kantornya di mana suasana masih sanagt lengang.
Dengan langkah cepat ia menuju ruang direktur keuangan yang selalu menjadi neraka baginya. Dimas mulai mengotak-atik kunci pintu menggunakan kawat. Pintu pun berhasil dibuka. Dengan cepat Dimas menutupnya kembali setelah berada di dalam ruangan. Dimas berhasil mencapai kursi kerja atasannya, lalu tangan kanan laki-laki itu terulur, menyalakan komputer di meja kerja tersebut.
Dimas langsung mengoperasikan komputer milik direktur keuangan, dan tidak sampai satu menit, layar komputer telah menampilkan data-data keuangan. Dimas mengeluarkan berkas laporan keuangannya dari dalam tas. Tidak memakan waktu yang lama, Dimas menemukan kejanggalan data. Banyak angka yang telah berubah. Tidak perlu melanjutkan sampai selesai, dengan penemuan ini cukup baginya untuk membongkar kebusukan yang terjadi di perusahaan ini. Flashdisk langsung dipasang kemudian Dimas meng-
copy seluruh data yang ada. Keringat dingin mulai menyelimuti keningnya. Telapak tangan dan kakinya terasa seperti es. Proses meng-
copy data pun selesai dan tanpa berlama-lama Dimas segera mencabut flashdisk lalu mematikan komputer dengan mencabut kabel power komputer secara langsung.
Baru saja dua langkah meninggalkan meja, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka yang disusul dengan teriakan, “JANGAN BERGERAK!” Saking terkejutnya, Dimas merasa jantungnya seakan terhenti berdenyut. Saat itu juga Dimas merasa dunia berhenti berputar dan kehilangan pijakan. Dimas membeku, ia merasakan dinginnya moncong pistol mengarah ke kepalanya. Dimas tidak berdaya, benar-benar tidak berdaya, dia merasa dirinya seperti terbelah menjadi dua.
“Geledah dan borgol dia!” Perintah kepala security kepada dua anak buahnya.
Dimas tidak bisa berkutik saat digeledah lalu dibawa oleh petugas security ke sebuah ruangan. Tak ada yang diperbuatnya selain diam dan mengikuti perintah. Di pojok ruangan, Dimas merenungi nasibnya dengan khusyuk. Laki-laki itu menghipnotis dirinya sendiri bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Dia ...??!!!” Tiba-tiba suara bernada tak percaya terdengar jelas di telinga Dimas. Dimas pun menoleh ke sumber suara. Si pemilik suara menatap marah dengan penuh emosi. “Apa yang kau lakukan, keparat!!!” Lanjut si pemilik suara yang ternyata sang direktur keuangan, Ricard, sambil mendekatkan sebuah flashdisk ke wajah Dimas.
“Bu..Bukti ... A-aku me..me..mencari bukti ...” Dimas berusaha melawan walau untuk mengucapkan satu kata saja tampak kepayahan.
“Bukti??!! Bukti apa?? Sungguh perbuatan yang melewati batas!!! Kau akan merasakan akibatnya!!!” Desis Ricard geram penuh ancaman.
Suratan takdir tidak bisa dihindari, akhirnya Dimas dinyatakan bersalah dalam sidang internal perusahaan. Dewan Direksi dan Komisaris menyatakan kalau laki-laki yang menjabat sebagai kepala sub divisi keuangan telah melakukan pelanggaran kode etik serta kejahatan pencurian data perusahaan. Dimas hanya bisa tertunduk saat digelandang polisi. Ia harus merasakan dinginnya sel penjara atas tuduhan pencurian data perusahaan.
----- o0o -----
Karina mulai tidak terkendali, ia panik sepanik-paniknya. Seseorang telah memberitahukan bahwa suaminya berada di kantor polisi sebagai tertuduh atas kejahatan pencurian data perusahaan. Dengan sangat tergesa-gesa, wanita itu pergi ke kantor polisi tempat Dimas ditahan dengan menggunakan taksi online. Kejadian ini menegaskan jika dirinya merasa bersalah yang telah memberikan saran dan semangat kepada Dimas agar mencari bukti data keuangan yang asli.
Sesampainya di kantor polisi, Karina diantar oleh seorang aparat kepolisian ke sel tahanan tempat Dimas ditahan. Karina agak mempercepat langkahnya dan menghampiri sebuah sel. Dua orang laki-laki dengan wajah tertunduk frustasi hinggap di dalam jeruji besi yang mengerikan itu. Salah seorang laki-laki menengadahkan kepalanya dan ketika melihat seorang wanita berdiri di depan selnya. Ia langsung bangkit dan menyandarkan kepalanya di balik jeruji besi. Karina hampir meneteskan air matanya melihat laki-laki yang ada di hadapannya ini.
“Papah ...” Panggilnya dengan nada bergetar hampir menangis. Ia memegang tangan laki-laki itu yang memegang jeruji besi yang membatasi jarak mereka.
“Mamah ...” Dimas merespon sedih terasa ada beban berat di pundaknya.
“Maafin mamah ... Maafin mamah ...” Karina tak mampu menahan air matanya lebih lama lagi.
“Gak apa-apa mah ... Ini sudah resiko ... Jangan menangis ...” Dimas memegang tangan istrinya yang sedang terisak.
“Pokoknya papah harus keluar ... Mamah akan berusaha mengeluarkan papah dari sini!” Tekad Karina yang masih merasa bersalah. Karina menyesal telah memberikan saran yang salah. Kini hanya penyesalan di dalam hatinya. Tak seharusnya kemarin ia menyuruh Dimas mencari laporan keuangan yang asli.
“Mah ... Sini telinga mamah ...” Ucap Dimas yang direspon langsung oleh Karina dengan mendekatkan telinganya ke bibir Dimas walau agak heran dan kaget.
Dimas membisikkan sesuatu pada telinga Karina. Baru saja beberapa detik, mata Karina membelalak dengan mulut menganga lebar, sesekali menggelengkan kepala. Tampaknya wanita itu terkejut dengan apa yang dibisikkan oleh Dimas. Beberapa saat kemudian, Dimas menyudahi bisikannya.
“Tidak pah ... Bukan begitu ...” Lirih Karina masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Mah ... Percayalah ...!” Pinta Dimas memelas. Karina memandang wajah Dimas lekat-lekat ingin mengetahui kesungguhan dan kejujuran suaminya seraya memikir dan menimbang-nimbang.
“Huuuffftt ... Baiklah ... Mamah berjanji, papah akan segera keluar dari penjara ini.” Karina melepaskan tangannya sendiri. Dimas mengangguk sambil tersenyum.
“Waktunya sudah habis nyonya ...!” Polisi yang mendampingi Karina memberikan instruksi agar Karina segera menyudahi pertemuan dengan Dimas.
Dengan sangat berat melangkah, Karina pun berlalu dari hadapan suaminya. Karina berjalan keluar kantor polisi, dan langsung membuka pintu taksi online yang disewanya dan masuk ke dalamnya. Taksi bergerak perlahan keluar dari pelataran kantor polisi. Karina menatap lurus ke depan memandangi hiruk pikuk jalanan lewat kaca depan taksi. Tetapi, yang Karina pikirkan bukan kendaraan-kendaraan yang berada di jalanan dan bukan pula apa yang akan dilakukan untuk mengeluarkan suaminya. Pikirannya tertuju pada kalimat terakhir yang diucapkan Dimas tadi di kantor polisi.
Satu jam sudah Karina berada di dalam taksi online. Saatnya untuk turun dan memasuki rumahnya. Karina duduk di sofa ruang tengah. Karina memang bersedih, hati dan pikiran wanita itu begitu kacau memikirkan nasib suaminya. Seharian Karina merasa tidak tenang karena otaknya terus berputar-putar memikirkan perkataan Dimas. Namun akhirnya, Karina mempunyai kesimpulan sendiri. Apa pun akan dia lakukan untuk mengeluarkan Dimas dari penjara sekaligus membersihkan nama baiknya.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Karina telah siap dengan dandanan terbaiknya dan berdiri gelisah di pinggir jalan, persis di depan gerbang rumah. Dan tak lama kemudian, sebuah taksi online berhenti di depannya sang supir taksi keluar dari mobil lalu bertanya pada Karina.
“Mbak Karina ya?” Tanya supir taksi, Karina menjawab dengan anggukan. “Silahkan!” Lanjut si supir seraya membukakan pintu belakang taksi. Karina pun masuk dan duduk manis di sana.
Taksi meluncur pelan menyusuri jalanan yang sangat macet. Pasalnya, pada jam pulang kerja kawasan yang dilalui Karina dikenal sangat padat. Untung saja supir taksi cukup cekatan dan mengenal daerah ini sangat baik. Taksi menerobos ‘jalan tikus’ membuat perjalanan Karina tidak banyak memakan waktu.
Saat taksi berhenti di depan rumah yang Karina tuju, seketika keberanian untuk turun terasa menciut. Karina bertanya dalam hati, “
Apa ini keputusan yang benar?” Karina bahkan sempat berpikir masih bisa putar balik sekarang. Wanita itu terus berfikir keras untuk memutuskan tetap turun atau pergi dari rumah ini tanpa masuk. Karina tidak tahu dan termenung cukup lama.
“Sudah sampai, Mbak.” Perkataan supir taksi menghentikan perang batinnya. Antara harus turun atau kembali saja.
“I..Iya, Pak ...” Karina sodorkan uang sesuai tarif lalu keluar dari taksi.
Masih dengan perasaan gugup luar biasa, Karina melangkah masuk melewati pagar hijau rumah itu. Terus berjalan menuju pintu utama rumah. Karina berdoa dalam hati bersamaan dengan tangan terangkat lalu mengetuk pintu. Beberapa saat tak ada tanda-tanda orang yang akan membuka pintu. Hingga ketukan ketiga, barulah terdengar suara seseorang dari dalam rumah. Pintu terbuka, seorang laki-laki tampan keluar dari balik pintu sembari menggendong bayi lucu. Sebuah tatapan heran sambil mengernyitkan dahi menghiasi wajah laki-laki tampan di depan Karina.
“Malam pak ... Apakah ini dengan Pak Gilang?” Tanya Karina pelan, masih terus berusaha mengontrol rasa gugupnya yang makin menjadi.
“Benar ... Maaf, siapa anda?” Tanya laki-laki si pemilik rumah yang bernama Gilang kepada Karina.
“Perkenalkan ... Saya istri Dimas ...” Karina memperkenalkan diri tanpa menyebutkan nama.
“Oh ... I-Iya ... A-ayo masuk ...!” Ajak Gilang terbata-bata karena merasa terkejut dengan kedatangan istri rekan kerjanya yang tersandung kasus di perusahaan. Gilang mengetahui kalau Dimas sedang ditahan polisi.
“Terima kasih ...” Lirih Karina yang mulai sedikit tenang.
Gilang memberikan jalan kepada Karina untuk masuk ke dalam. Si empunya rumah mempersilahkan duduk tamunya sebelum bergerak ke ruang tengah. Tak lama, Gilang datang kembali ke ruang depan dengan mendorong sebuah kursi roda yang ditempati seorang wanita sembari membawa baki berisikan minuman hangat dan cemilan. Karina bisa menebak kalau wanita di kursi roda itu adalah istri Gilang.
“Aduh ... Jangan merepotkan mbak ...” Karina langsung merespon atas keramah-tamahan tuan rumah.
“Nggak kok mbak ... Ini cuma air hangat saja ...” Jawab si wanita itu sambil meletakan baki di atas meja. “Maaf loh mbak ... Seadanya saja ...” Lanjutnya. Kemudian wanita itu dibawa suaminya mendekat pada Karina. “Oh ya mbak ... Yanti ...!” Wanita berkursi roda tersebut mengulurkan tangannya pada Karina.
“Karina ...” Sambutnya dengan senyum ramah.
“Oh ya mbak ... Saya turut bela sungkawa ... Kata Mas Gilang, suami mbak ditahan polisi ...” Ucap Yanti membuat Karina tersenyum malu.
“Makasih mbak ... Makanya saya datang ke sini untuk membicarakan masalah ini dengan suami mbak ... Saya berharap ada titik terang atas kasus yang menimpa suami saya ...” Papar Karina setengah tidak enak hati.
“Dimas terlalu nekad, mbak ... Buat apa dia masuk ke ruangan pimpinan dan mencuri data dari komputernya ...” Tiba-tiba Gilang bersuara dengan nada yang terdengar menyalahkan Dimas.
“Karena suami saya sedang ditekan, mas ... Suami saya disangka merugikan perusahaan, padahal ada ketidakberesan dalam laporan keuangan ... Suami saya ingin membuktikannya ...” Cerocos Karina merasa tidak terima dengan penghakiman Gilang.
“Begitukah?” Gilang memekik kecil, terkejut dengan penjelasan Karina. Gilang pun duduk dekat Karina saking penasarannya. “Kabar yang beredar di kantor cuma berkisar tentang pencurian data oleh Dimas.” Lanjut Gilang dengan mimik penasaran tingkat dewa.
“Jadi ceritanya begini mas ...” Karina mengawali cerita tentang masalah yang berkaitan dengan suaminya.
Diawali dengan dipanggilnya Dimas oleh Ricard yang kemudian Ricard menuduh Dimas sebagai biang keladi kerugian yang dialami perusahaan. Karina menceritakan secara detail bagaimana kejadian yang sebenar-benarnya. Karina juga menerangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat saja terjadi, salah satunya kecurigaan terhadap direktur keuangan yang bermain di belakang. Karina menyusun kata demi kata secara runtut sehingga Gilang dan istrinya menjadi mengerti duduk persoalannya.
“Mas Dimas menyuruh saya untuk mendatangi Mas Gilang ... Karena katanya hanya Mas Gilang yang bisa membantunya ...” Pungkas Karina sedikit terisak-isak.
“Membantu? Membantu apa? Saya bukan orang keuangan! Saya benar-benar buta dengan masalah keuangan perusahaan ...” Gilang bingung setengah mati, kenapa rekannya mempunyai pemikiran seperti itu.
“Saya bisa mas ... Kebetulan saya pernah bekerja di perusahaan konsultan keuangan ... Hanya saja, saya perlu akses ke dalam ...” Ungkap Karina.
“Hhhhmmm ....” Gilang bergumam pelan. Alis Gilang saling bertautan pertanda sedang berfikir keras untuk memikirkan sesuatu. Setelah beberapa detik Gilang pun berkata, “Begini saja ... Bagaimana kalau mbak nya saja yang membuat akses ... Maksud saya, mbak kerja di perusahaan saya di bagian keuangan ... Nanti mbak rancang sendiri cara bisa mendapatkan data yang mbak mau ... Hanya itu yang bisa saya lakukan ...” Gilang menjelaskan idenya.
“Boleh juga itu mas ... Ide yang cemerlang ...” Karina tersenyum senang. Ide Gilang tentu disambut gembira oleh Karina walau masih terselip rasa was-was dan juga khawatir.
Akhirnya, Gilang bersepakat untuk memasukkan Karina ke dalam perusahaan. Gilang pun memberitahukan persyaratan-persyaratan yang harus dilengkapi Karina. Bagi Gilang tidak sulit untuk menempatkan Karina di bagian keuangan perusahaan sebab Gilang adalah Direktur HRD di perusahaan itu.
Obrolan pun semakin menghangat dan melebar. Seakan mereka semua adalah teman lama yang sudah saling mengenal baik satu sama lain. Gilang dan Yanti tak henti-hentinya memberikan semangat agar Karina tidak ragu dengan keputusannya untuk membantu suaminya mengungkap keburukan-keburukan di perusahaan tempat kerjanya nanti. Tak pelak, tekad Karina membulat sempurna dan hatinya berkata, “
Aku harus bertindak, dan aku sudah siap menghadapinya dengan resiko apapun.”
Malam semakin larut, Karina ingin segera pulang ke rumah dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Karina berpamitan kepada tuan rumah serta menolak diantar oleh Gilang. Tak lama menunggu, taksi online datang dan langsung membawa Karina pergi dari situ. Selama perjalanan Karina berusaha memantapkan hati dan membuang perasaan negatifnya jauh-jauh. Karina yakin, kalau masalah yang ia hadapi akan dapat diselesaikannya.
----- o0o -----
Kondisi yang aksesible, tidak perlu antri dengan yang lain, pengurusan cepat serta bebas hambatan karena layanan prioritas ini hanya diperuntukkan orang yang dibawa Direktur HRD. Proses perekrutan seperti ini sesungguhnya melanggar aturan perusahaan, tetapi tak satu pun yang berani memprotes. Karina langsung bekerja di divisi keuangan sebagai staf. Beruntung, wanita itu langsung diterima baik oleh rekan-rekan sekerjanya.
“Bu Karina ... Dipanggil pimpinan menghadap ...” Seorang wanita cantik menyapa ramah ketika Karina sedang mengerjakan laporan.
“Baik, mbak ...” Sahut Karina sembari berusaha menahan gejolak hatinya yang sedang melompat-lompat. Hari ini juga ia langsung berhadapan dengan targetnya.
Karina pun berdiri lalu mengikuti langkah wanita cantik itu dari belakang menuju ruangan atasannya. Walau hatinya masih tidak enak, masih ada rasa ragu, Karina terus mendekat ke arah pintu di mana atasannya berada. Pintu pun terbuka dan langsung saja Karina melihat wajah pria itu. Wajah yang pernah ia temui ketika pria itu memperkenalkan diri di lobby perusahaan ini beberapa waktu yang lalu.
“Siang pak ...” Sapa Karina sembari membungkuk hormat pada pria itu.
“He he he ... Selamat datang di perusahaan kami ... Silahkan duduk ...” Ucap Ricard tampak sumringah dan mempersilahkan wanita itu duduk. Dari sorot matanya, tampak kekaguman yang sangat pada penampilan Karina kali ini.
“Terima kasih ...” Balas Karina yang kemudian mendekat ke meja kerja atasannya lalu duduk manis di kursi yang tersedia. Wanita itu menatap lurus ke wajah atasannya dan ia bisa menangkap sorot mata atasannya yang mengagumi dirinya.
“Hhhhmm ... Kamu dibawa Gilang ke sini ... Tapi, tak apalah ... Memang perusahaan ini sedang membutuhkan tenaga keuangan yang berpengalaman ...” Ricard berujar sembari memperhatikan
curriculum vitae dari wanita di hadapannya.
“Kebetulan Bapak Gilang menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan pada saya ...” Ucap Karina yang mulai bisa menguasai diri. Tidak lupa ia memberikan senyuman termanisnya pada Ricard sehingga laki-laki itu tampak sedikit gelisah.
“Begitukah? Padahal saya belum menginstruksikan apa-apa sama Pak Gilang ... Tapi sudahlah, kamu sekarang sah menjadi pegawai di sini ... Mudah-mudahan betah dan bisa bekerja dengan baik ...” Kata Ricard sembari matanya menatap intens Karina. Dan Saat pertama kali melihat wanita itu beberapa hari yang lalu, memang Ricard sudah mengagumi atas kecantikannya. Sekarang Karina sudah ada di depan matanya, tentu saja kesempatan ini tak akan ia sia-siakan.
“Terima kasih, pak ...” Karina memberikan senyuman termanisnya lagi kepada Ricard. Wanita itu terus melancarkan serangan jitu asmara membara.
Seperti sihir, senyuman wanita itu membuat Ricard ingin terus menatapnya. Bahkan sampai tak menyadari debaran-debaran aneh yang muncul seketika itu juga. Ricard amat mengagumi kecantikan Karina. Bagi Ricard ini adalah hari ini keberuntungannya. Bisa bertemu lagi dengan wanita cantik ini. Dalam hati ia berterima kasih pada rekan kerjanya yang sudah mengajak wanita ini bekerja di divisinya.
“Maukah kamu makan siang denganku?” Ajak Ricard tiba-tiba tanpa rasa malu.
“Hi hi hi ... Malu dong pak ... Masa pegawai baru udah mau diajak atasan ...” Ucap Karina yang sengaja bergaya kemayu untuk memancing adrenalin Ricard.
“Gak usah malu ... Anggap aja angin lalu komentar-komentar mereka ...” Ujar Ricard sedikit memaksa. Karina pun menangkap isi hati dan pikiran atasannya. Ini adalah progres yang cukup signifikan. Namun, Karina berfikir ini belum saatnya. Lalu wanita itu coba mencari alasan.
“Saya tidak enak sama Pak Gilang ... Beliau mengajak saya juga ...” Kilah Karina.
“Oh begitu ... Baiklah saya tidak bisa memaksa ... Sekarang, kembalilah ke tempat kerja.” Perintah Ricard sedikit kecewa.
“Baik pak ...” Ucap Karina.
Karina bangkit dari duduk kemudian berlalu dari hadapan Ricard. Hatinya tersenyum puas karena telah menemukan celah untuk memuluskan misinya. Karina dengan santai keluar ruangan, pengalaman barusan membuat dirinya semakin percaya diri. Meski terlihat sepertinya akan mudah, tetapi perasaan khawatir dan was-was Karina tetap ada. Ia harus tetap waspada jika sesuatu yang di luar dugaan terjadi.
Baru saja akan duduk di kursi kerjanya, tiba-tiba suara sirine tanda istirahat menggema. Karina pun menerima ajakan rekan-rekan sekantornya untuk istirahat dan makan siang di kantin. Saat berjalan menuju kantin, Karina bertemu dengan Gilang yang hendak makan siang. Kali ini Karina tidak bisa menolak ajakan Gilang untuk makan siang bersama. Keduanya pun akhirnya menuju restoran dengan berjalan kaki, karena restoran yang dituju berada persis di samping gedung perusahaan tempat mereka bekerja.
“Bagaimana? Sudah ketemu Ricard?” Tanya Gilang sesaat setelah mereka mendapatkan meja di dalam restoran.
“Sudah ...” Jawab Karina singkat sambil tersenyum.
“Hhhhmm ... Mbak harus hati-hati sama dia ...” Ucap lirih Gilang.
“Mas ... Jangan panggil mbak lagi ya ... Panggil nama saja ...” Ucap Karina memohon sesuatu pada Gilang.
“Oh ya ... Habisnya takut gak sopan ...” Gilang mengungkapkan alasannya.
“Aku kok merasa tua kalau dipanggil mbak ... Hi hi hi ...” Ungkap Karina sambil terkekeh geli.
“Iya ... Iya ... Tapi ingat ... Jangan terlalu dekat dengan Ricard ... Bahaya ...” Gilang melanjutkan nasehatnya yang terpotong tadi.
“Loh kenapa?” Tanya Karina heran.
“Karena si Ricard itu ... Ya, bisa dikatakan playboy ...” Ungkap Gilang.
“Hi hi hi ... Bukankah itu salah satu cara aku untuk memasuki wilayah kerjanya? Biar aku bisa mudah mendapatkan apa yang aku perlukan ...” Jelas Karina.
“Ya juga ... Tapi saya keberatan kalau ... Kamuuu ... Eeuu ... Gini, saya gak enak meski si Ricard tau kamu masih
single, tapikan kenyataannya kamu istri Dimas ... Sahabat saya ...” Gilang membelokan ucapanya dengan nada lirih.
Karina menatap wajah Gilang. Walau terkesan biasa-biasa saja, namun ada perhatian yang ia rasakan dari laki-laki di hadapannya. Perhatian yang diberikan Gilang membuat Karina merasa berarti. Teristimewa, laki-laki ini baru dikenalnya belum melebihi satu hari.
“Iya mas ... Saya akan menjaga diri ...” Ucap Karina seolah tahu kelanjutan ucapan Gilang.
Detik demi detik, menit demi menit mereka lalui dengan obrolan hangat. Keduanya terlihat menikmati makan siang mereka, kini mereka menikmati hidangan penutup yang telah tersaji di atas meja. Setelah makan siang selesai, Karina dan Gilang kembali ke kantor sekitar pukul 13.00 siang. Keduanya melanjutkan aktivitasnya masing-masing hingga jam kerja usai.
“Karina ...” Suara bass menggema di lobby perusahaan. Seseorang memanggil dirinya. Karina pun menoleh ke arah sumber suara dan ternya pemilik suara adalah Gilang.
“Eh mas ... Belum pulang?” Tanya Karina heran melihat Gilang masih berada di sini, padahal sudah lewat setengah jam waktu berhenti kerja.
“Belum ... Ada
meeting mendadak tadi ... Ayo! Saya antar pulang ...” Ucap Gilang. Karina langsung merasa tak enak hati.
“Nggak usah repot-repot, Mas ... Aku bisa pulang sendiri ...” Karina berusaha menolak namun dibalas oleh senyuman tipis Gilang.
“Tidak merepotkan, kok ... Lagi pula kita kan searah ...” Karina masih ragu. Rasanya sangat sungkan. “Ayo!” Ajak Gilang lagi.
Gilang dan Karina berjalan beriringan ke arah mobil Gilang yang sudah terparkir di depan gedung. Laki-laki itu membukakan pintu mobil dan mempersilakan Karina untuk masuk. Setelahnya, Gilang masuk dari arah yang satunya. Sepanjang perjalanan keduanya ngobrol santai dan sesekali tertawa. Karina menceritakan bagaimana Ricard memperlakukannya sebagai pegawai baru. Gilang hanya tersenyum-senyum saat mendengarkan cerita wanita di sampingnya. Perjalanan pun tak terasa karena keasikan mereka. Karina turun dari mobil sementara Gilang langsung menancap gas berlalu dari rumah Karina.
Karina bergerak masuk ke dalam rumahnya. Wanita itu langsung duduk di sofa ruang tamu. Ia mengulum senyum sambil menyandarkan punggung di sofa. Tampangnya seperti detektif yang sudah berhasil memecahkan suatu kasus. Hari pertama kerja telah dilaluinya. Namun, hal tersebut baru merupakan langkah awal dalam merealisasikan misinya. Masih ada langkah-langkah berikutnya yang harus ia lewati. Karina berharap rencananya berjalan sesuai seperti yang diharapkan.
----- o0o -----
Seminggu Kemudian ...
Malam datang begitu cepat. Karina masuk ke dalam kamar usai makan malam kemudian berendam di
bathtub untuk menyegarkan tubuhnya yang terasa letih. Setelah berpakaian, ia langsung berbaring di atas kasur. Sebenarnya ada yang sangat ia inginkan sebelum terlelap. Tapi ia tak bisa berharap banyak. Ia hanya bisa menahannya lalu menarik selimut menutupi tubuhnya seraya menghela nafas berat.
Malam itu Karina berharap suaminya ada di sampingnya. Karina menggigil tak nyaman, membutuhkan belaian secara desperatif. Berkali-kali Karina menahan nafas karena sisi rasionalitasnya hampir goyah yang diakibatkan ledakan hormon. Jiwanya meronta-ronta minta dipuasi hasratnya. Karina juga merasakan detak jantungnya bertambah cepat dan tubuhnya mulai menghangat seperti ada api yang menyala di dalamnya. Karina merasakan organ intimnya berdenyut-denyut, desakan seksualnya menyeruak.
Saat itu juga Karina mulai mendesah-desah dan berkeringat, gerakannya mendadak menjadi gelisah. Karina perlahan mulai meremasi payudaranya sendiri dengan gerakan lembut. “Oohh ... Oohh ... Aahh ....” Karina mengerang-erang lirih sambil terus meremasi payudaranya. Tak lama kemudian, wanita itu mengelus-elus vaginanya, jari-jari tangan Karina dimasukan ke liang vaginanya sendiri dan mengaduk-aduk liang vagina itu sambil sesekali mendesah dan mengerang. Ia benar-benar membutuhkan pelampiasan saat ini.
Tiba-tiba nada dering
smartphone milik Karina berdering keras, dering
smartphone itu membuyarkan fokusnya. Tubuh Karina menegap begitu mengetahui nama sang pemanggil yang tertera di layar
smartphone hitamnya. Setelah menghela nafas panjang jari Karina menggeser tombol hijau di layar
smartphone-nya itu.
“Hallo ...” Sapa Karina pada penelepon di seberang sana.
“
Karina ... Bisakah kamu datang ke EXO Nightclub sekarang?” Tanya Richard yang terdengar agak berteriak di seberang sana berlatarkan suara hingar bingar di telinga Karina.
“Sekarang?” Tanya Karina yang tidak lagi sungkan kepada atasannya itu.
“Iya ... Sekarang ...” Suara keras Ricard terdengar lagi.
"Em ...” Karina bingung. Belum sempat menjawab, Ricard langsung menyambar pembicaraan.
“Oke ... Saya tunggu ya ...” Ucap Ricard lagi lalu terputus sambungan telepon.
Karina duduk merenung sambil memeluk lutut. Punggungnya bersandar pada kepala tempat tidur. Batinnya mulai gelisah dengan keheningan ini. Ia memainkan jemarinya, ia bahkan berjuang untuk menelan ludahnya sendiri. Misi ini membuat tawa Karina menghilang, lalu digantikan segaris senyum masam. Sejak seminggu yang lalu, bahkan sampai detik ini, dia masih ragu bahwa misinya bisa memperbaiki keadaan. Tapi sekarang, sudah terlambat untuk memutuskan mundur. Karina pun menepis keraguan, lalu melangkah ke depan lemari untuk merias diri.
Tak lama berselang Karina sudah siap dengan penampilannya. Perempuan cantik itu memilih dress selutut yang ketat sehingga menampakkan lekuk tubuhnya yang proposional dan indah. Dalam sepuluh menit taksi online telah tiba di depan rumahnya. Karina langsung saja memasuki taksi online tersebut untuk mengantarkan dirinya ke EXO Nightclub.
Tidak lebih dari lima belas menit, Karina sudah berada di tempat tujuan. Karina masuk ke dalam nightclub yang disambut oleh suara musik yang memekakan telinga. Banyak wanita dan pria yang sedang berjoged di bawah lampu kerlap kerlip. Dengan mata menyipit Karina berusaha mencari keberadaan Ricard di antara kerumunan banyak orang. Wanita itu terus mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru club, lalu perhatiannya teralih oleh sebuah lambaian tangan dari Ricard. Karina berjalan menerobos kerumunan dan sampailah ia di sofa pojok di mana Ricard berada.
“Hai ...” Sapa Ricard sambil berdiri menyambut kedatangan Karina.
“Sudah lama?” Tanya Karina sebari duduk di sebelah atasannya.
“Lumayan ... Tiba-tiba saja aku ingin ke sini dan mengajakmu bersantai di sini.” Jelas Ricard sambil meletakkan lengannya di bahu Karina tanpa ragu.
“Bersantai katamu?” Karina berani mencandai Ricard karena memang sudah terjalin kedekatan di antara mereka.
“Ha ha ha ... Di sini tempatnya kalau aku mau bersantai ...” Ricard tertawa keras.
“Baiklah ... Apa acara kita selanjutnya ...?” Karina berkata menantang.
“Kamu mau menghabiskan malam denganku?” Tanya Ricard tanpa basa-basi. Karina memandang wajah Ricard lalu tersenyum dan menganggukan kepala. “Good girl ... Mari kita nikmati malam ini ...” Lanjut Ricard lalu menuangkan
wine ke dalam gelas kemudian memberikannya kepada Karina.
Malam itu mereka habiskan dengan bercerita, bercanda dan tertawa bersama hingga malam pun semakin larut. Sudah tiga botol lebih
wine mereka habiskan. Keduanya sudah dalam efek alkohol tetapi Ricard masih terjaga karena pria itu tidak mudah mabuk, sedangkan Karina sudah meracau tidak jelas bahkan untuk berjalan saja sangat sulit.
“Sepertinya di atas kepalaku banyak sekali burung-burung kecil ...” Racau Karina yang menatap ke arah atas dengan tatapan mabuk.
“Sudah cukup minumnya ... Kamu mabuk sekarang ...” Kata Ricard sambil tersenyum.
“Tidak ... Tidak .... Aku tidak mabuk ...” Racau Karina sembari menggerakan kedua tangannya di depan.
“Aku masih sanggup berjalan ...” Ucap Karina yang mulai berjalan bolak-balik di sekitar sofa dengan langkah gontai.
Ricard hanya memperhatikan sembari duduk, wanita itu benar-benar menggemaskan jika sedang mabuk seperti ini. Sejak tadi Karina hampir saja terjatuh karena tak sanggup menopang tubuhnya. Hingga Ricard harus turun tangan langsung, laki-laki itu menghampiri Karina lalu menarik lengan Karina kebahunya sementara tangan kanannya bertengger manis di pinggang wanita itu.
“Sebaiknya kita pindah ke tempat yang lebih privasi.” Bisik Ricard dengan libidonya yang mulai meninggi.
“Kemana?” Tanya Karina setengah sadar.
“Ayo! Ikut saja.” Ucap Ricard dengan seringai mesum di wajahnya.
Pria itu memapah Karina ke arah pintu keluar
nightclub sementara Karina terus meracau tidak jelas. Karina sudah benar-benar mabuk mencapai level mabuk berat. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang akan dilakukan Ricard selanjutnya, tidak sadar dengan dirinya sendiri dan bahkan tidak mengenal dirinya sendiri.
Ricard terus memapah Karina hingga sampai ke mobilnya. Wanita yang sedang mabuk berat itu didudukan pada jok samping kemudi, lalu Ricard bergerak ke arah pintu sebelahnya. Laki-laki itu segera saja duduk di belakang kemudi mobil. Dan tak lama, mobil tersebut meluncur meninggalkan area parkir
nightclub. Ricard memacu sangat kencang mobilnya, berharap segera sampai di tempat yang ia tuju.
Sudah hampir pukul sebelas malam, Ricard terus memacu mobilnya sangat kencang. Sementara Karina yang masih dalam pengaruh alkohol terus meracau dan tertawa seperti orang gila sepanjang perjalanan. Ricard pun tersenyum penuh kemenangan dan merasa beruntung karena sebentar lagi ia akan menikmati tubuh montok itu yang selama satu minggu ini ia idam-idamkan.
Setelah setengah jam memacu mobilnya, Ricard sampai juga di basement sebuah apartemen. Ricard lalu membawa Karina ke kamar apartemen yang sengaja ia beli untuk digunakan sebagai tempat ‘indehoy’ dengan para wanitanya. Sesampainya di kamar apartemen miliknya, Ricard membawa Karina yang masih setengah sadar ke kamar tidur. Dibaringkannya tubuh wanita itu di atas kasur. Kemudian pelan-pelan, tangan Ricard menyingkap rok Karina dan menari-nari di sekitar pinggul dan pahanya. Sejurus kemudian, Ricard sudah habis melucuti pakaian wanita yang sedang mabuk itu.
Diperlakukan demikian, Karina hanya bisa membiarkan Ricard dengan sesuka hati mempermainkan tubuhnya. Kesadaran Karina yang tinggal sedikit tak mampu menghentikan aksi atasannya itu. Apalagi saat Ricard mulai menindih dan menciumnya dengan membabi buta sambil meremas-remas apa saja yang bisa laki-laki itu remas. Karina tampak menggigit kuat bibirnya ketika kewanitaannya berhasil dimasuki kejantanan Ricard. Tanpa daya, Karina membiarkan dirinya menjadi alat pemuas nafsu birahi atasannya.
Perlahan kesadaran Karina memudar. Bahkan desahan dan erangan nikmat Ricard yang tadinya terdengar agak nyaring, seakan semakin lenyap dari pendengarannya. Namun tak Karina pungkiri bahwa ada sedikit rasa nikmat yang ia rasakan di bawah sana, tetapi Karina tidak bisa menikmatinya lebih lama. Wanita itu mulai memejamkan mata dan godaan untuk tidur terasa sangat nikmat, membuat semuanya gelap dan tak lama Karina tidak ingat apa-apa lagi.
Waktu terus merayap. Sinar matahari sudah menembus tirai jendela. Karina membuka mata dengan perlahan dan sebuah dengkuran pelan langsung menyapa indra pendengarannya. Karina memandang wajah laki-laki yang persis berada di depan wajahnya itu. Hati Karina menjerit seolah ingin memberontak, melawan keadaan yang sedang ia hadapi. Namun ia sadar, ada misi yang harus segera ia selesaikan. Demi suami tercinta, Karina kembali membulatkan niat untuk tetap yakin meneruskan misinya.
“Bangun, sayang ...!” Ucap lembut Karina tapi penuh kepura-puraan sambil mengusap wajah Ricard yang masih tertidur. Ricard pun membuka mata lalu tersenyum.
“Masih terlalu pagi ... Aku masih mengantuk ...” Kata Ricard sembari merapatkan badannya pada Karina, tetapi Karina segera saja bangkit lalu turun dari tempat tidur.
“Aku hari ini ada keperluan penting yang gak bisa ditinggal ...” Ucap Karina sambil memunguti pakaiannya yang bergeletakan di lantai.
“Bisakah kamu tunda sebentar saja ...?” Pinta Ricard.
“Maaf ... Aku harus segera pergi!” Karina tetap pada pendiriannya.
Karina kemudian berjalan ke arah kamar mandi yang temaram. Dia melihat bathtub. Andai saja lelaki itu bukan si keparat yang telah menjamah tubuhnya, dia pasti berendam terlebih dahulu. Namun, dengan cepat Karina mengambil
shower. Membilas tubuhnya dengan busa sabun. Menghilangkan jejak kotor lelaki itu di tubuhnya. Tak terasa air matanya berlinang dan menetes lembut di pipi. Karina merasa sakit karena telah menggadaikan tubuhnya dan menjual mukanya demi menyelamatkan suami tercinta.
Selepas mandi dan berpakaian rapih, tak lupa ia oleskan benda berwana merah muda di bibir dan menyisir rambut, ya cukup seperti itu saja, wajahnya terlihat sangat cantik maka tak heran banyak pria yang memujanya. Karina bergegas meninggalkan apartemen itu tanpa bisa ditahan lagi oleh Ricard. Setelah di luar apartemen, Karina menaiki salah satu taksi yang berjejer di depan area apartemen. Setelah menyebutkan suatu alamat, taksi pun meluncur mengantarkan Karina ke tempat tujuan.
Di setengah perjalanan, tiba-tiba Karina melihat sebuah taman kota yang asri dan indah. Dan seketika itu juga, Karina menyuruh berhenti supir taksi. Ia membayar ongkos taksi, lalu melangkah turun. Dengan langkah gontai, Karina memasuki taman kota yang terlihat sangat sepi. Akhirnya Karina duduk di sebuah bangku sembari memperhatikan hamparan air danau kecil di hadapannya. Karina meneteskan kembali air matanya. Dan Karina pun memejamkan mata. Ia telah mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. Demi suami, ia rela bahkan merelakan tubuhnya di jamah Richard. Batinnya meronta tersiksa saat mengingat Ricard menindih tubuhnya.
“Karina ...” Terdengar suara bass mengagetkan dari arah samping. Karina tersentak dari lamunannya dan mengalihkan pandangan, menatap pria yang baru saja menegurnya. “Kamu kenapa menangis?” Tanya Gilang yang langsung saja duduk di samping wanita itu. Karina menunduk seraya mengusap pipinya yang basah oleh air mata.
“Ti..Tidak apa-apa ...” Getaran dari nada suara Karina tidak bisa membohongi perasaannya. Dan itu sangat terbaca oleh Gilang.
“Maaf kalau aku mengganggumu ... Tadinya aku mau belanja di supermarket di sebelah sana ... Tapi waktu aku melihatmu berjalan ke sini ... Eem, lantas aku mengikutimu ...” Ucap Gilang. Tetapi sepertinya Karina tidak terlalu memperhatikan ucapan Gilang. Wanita itu masih asik membersihkan pipi dan matanya. “Karina ... Ada apa?” Tanya Gilang dengan suara lembutnya membuat Karina kembali menangis.
Secercah rasa iba pun menyeruak di batin Gilang. Tangisan Karina membuat lapisan hati Gilang terkuak seakan ikut merasakan kesedihannya. Gilang akhirnya memberanikan diri untuk memeluk tubuh Karina. Perlahan Gilang mengambil tubuh Karina lalu diletakkan bersandar di tubuhnya. Karina pun membenamkan wajah di ceruk leher Gilang. Tumpah sudah semua air mata kesedihan wanita itu di leher Gilang. Semua yang mengganjal di hatinya, ia tumpahkan semuanya. Segala kesedihan yang Karina rasakan, ia ungkapkan melalui air mata. Air mata yang mengatakan semua. Benar-benar menyesakkan.
“Kamu akan sedikit lega ... Kalau mau berbagi kesedihan denganku ...” Ucap Gilang mencoba menghibur wanita dipelukannya itu.
“A-aku ... Hanya ingin menangis ... Huuu... Huuu...” Tangis Karina semakin keras.
“Tidak ada masalah yang selesai dengan menangis ...” Bisik Gilang sembari mengusap-usap punggung Karina.
“Temani saja aku menangis ... Huuu... Huuu...” Pinta Karina yang tidak juga menghentikan tangisnya.
Gilang mengeratkan pelukan, Gilang sangat tahu apa yang Karina rasakan. Laki-laki itu mengusap rambut Karina dengan sayang, menguatkan Karina melalui pelukan hangatnya dan menyalurkan ketenangan melalui usapan pada rambut lembut milik Karina. Sementara itu, Karina merasakan ketenangan dalam pelukan dan usapan tangan Gilang. Hal yang jarang Karina dapatkan, sentuhan lembut membelai kepalanya.
Beberapa menit berselang, Karina menguraikan pelukannya. Ia merasa sedikit tenang dan lega. Karina kemudian menyeka air matanya sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dalam alam pikirnya, Karina bertekad kalau dia harus kuat mental dalam menghadapi tantangan ini. Gilang yang berada di samping Karina terus memperhatikan tingkah wanita tersebut.
“Maafkan, mas ... Baju mas jadi basah ...” Karina mengawali pembicaraan.
“Gak apa-apa ... Apakah sekarang sudah bisa bercerita ... Kenapa kamu bersedih ...?” Tanya Gilang.
“Tidak mas ... Aku tidak akan menceritakannya ...” Sanggah Karina sambil tersenyum.
“Ooo ... Ya sudah ... Kalau begitu, sekarang kamu mau ke mana?” Tanya Gilang yang merasa lega karena Karina sudah bisa tersenyum lagi.
“Saya mau pulang mas ... Kalau mas mau ke mana?” Karina balik bertanya.
“Aku mau belanja ke supermarket itu ...” Kata Gilang sembari telunjuknya mengarah ke sebuah supermarket yang letaknya tidak jauh dari situ.
“Oh iya ... Kebetulan juga ... Aku mau beli sesuatu ... Yuk, kita ke sana!” Ajak Karina yang disambut Gilang dengan anggukan kepala.
Segera saja keduanya menuju dan memasuki supermarket yang cukup luas dengan barang-barangnya yang lengkap tentu saja. Mereka mencari satu tempat berisikan bahan masakan, lalu kembali menyusuri beberapa minuman dingin serta sayur di sana. Mereka berjalan dengan pelan, sambil bersenda gurau satu sama lainnya. Keduanya terlihat begitu kompak dan serasi, namun siapa yang menyangka bahwa mereka adalah orang yang belum lama saling kenal.
“Mas ... Kita ke sana dulu ...!” Ajak Karina yang teringat dengan bumbu masakan yang harus ia beli.
Karina berjalan terlebih dahulu dan Gilang pun mengikutinya dari belakang sambil menjinjing keranjang belanjaan. Tiba-tiba kaki Karina terpeleset hingga ia kehilangan keseimbangan dan tubuhnya condong ke belakang. Melihat kejadian itu, dengan sigap Gilang yang berada di belakang meletakan jinjingan sembarang dan langsung menangkap tubuh Karina yang akan jatuh. Hap! Gilang berhasil menangkap tubuh ramping Karina, namun tanpa diduga mata mereka saling bertemu. Tidak hanya sekedar bertemu tetapi mata mereka saling bertamu seakan ada magnet yang tak bisa mereka lepas, jarak wajah mereka sangat dekat bahkan hidung mereka hampir bersentuhan.
Mata keduanya saling bertatapan dan menghantarkan sinyal-sinyal aneh yang merasuki diri keduanya. Celakanya, sinyal aneh itu tidak bisa ditolak, gelenyar rasa bahagia menelusup ke rongga dada. Di saat mata mereka bersitemu, saling memandang, di saat itu pula jantung mereka berdetak dengan begitu aktif, berdebar dengan ritme yang begitu cepat. Seolah berteriak, berseru kencang, mengumandangkan semua rasa atas nama cinta. Begitu lama kejadian itu terjadi dan akhirnya mereka sadar. Gilang membenarkan posisi Karina dan terlihat dari tingkah keduanya seperti gugup.
“Ma..Maaf ...” Lirih Gilang tak enak hati setelahnya.
“Aku yang maaf ...” Ucap Karina tak kalah lirih.
Karina secepatnya berjalan menjauhi Gilang. Entah kenapa hatinya begitu hangat dan bahagia saat berada di pelukannya. Sementara Gilang pun mempunyai perasaan yang sama. Laki-laki itu tidak mampu menahan gejolak di hatinya. Gilang coba bertahan, tetapi semakin ditahan rasa itu semakin bergejolak minta dikeluarkan.
“Mana yang mau dibeli?” Tanya Gilang saat berada dekat dengan Karina.
“Eh ... Em ... Mana ya?” Karina terlihat sekali gugup.
“Coba cari di sana?” Kata Gilang yang belum normal detakan jantungnya.
“Oh ... Ini ... Yuk ...!” Karina menemukan apa yang dicari.
Tanpa melirik barang lain, mereka pun langsung berjalan ke kasir yang ternyata sepi. Gilang membayar semua belanjaan dan setelahnya mereka keluar supermarket lalu menghampiri mobil Gilang yang terparkir agak jauh dari supermarket. Tanpa berkata-kata, Gilang membuka pintu mobilnya sebelah kiri, mempersilahkan Karina masuk ke dalamnya. Karina pun tanpa ragu memasuki mobil itu dan duduk manis di jok depan samping kemudi. Tak lama berselang, Gilang membuka pintu sebelahnya, setelah meletakkan belanjaan di jok belakang, laki-laki itu pun duduk tegak di belakang kemudi.
“Kita meluncur ...” Ucap Gilang sekedar basa-basi berusaha menghilangkan kecanggungan. Hanya beberapa detik berselang mobil pun bergerak.
“Mas ... Sudah seminggu aku bekerja ... Tapi belum juga menemukan titik terang ...” Ungkap Karina mulai berbicara serius.
“Masalahnya apa?” Tanya Gilang sambil melirik sekilas ke arah Karina.
“Data-data keuangan terlihat normal-normal saja ... Aku kayaknya harus mendapatkan arsip-arsip berbentuk kertas hasil
print out ...” Papar Karina.
“Hhhmm ... Aku tau tempatnya ...” Kata Gilang setengah bergumam.
“Maksud mas?” Tanya Karina heran.
“Berkas-berkas penting perusahaan yang sudah tidak terpakai biasanya dibakar ... Ada orang yang khusus membakar berkas-berkas penting itu ...” Ungkap Gilang sembari mengeluarkan
handphone-nya dari saku celana. Sambil menyetir, Gilang mencari nomor kontak orang yang akan dihubungi. Dan tak lama Gilang berhasil menemukan nomor kontak tersebut dan langsung menghubunginya.
“
Hallo Pak Gilang ...!” Seru seseorang di sana.
“Pak Gino ... Apakabar ... Lama tak bersua nih ...” Kata Gilang menyapa.
“
Baik Pak Gilang ... Ada apa ya ...? Kayaknya mau ngasih rezeki ... Ha ha ha ...” Canda Gino diakhiri dengan tertawa.
“Ha ha ha ... Pak Gino tau aja ... Em, ada sedikit rezeki dari saya ... Tapi, saya minta bantuan bapak dulu ... Bagaimana?” Kata Gilang.
“
Bantuan apa ya pak ... Tapi untuk Pak Gilang ... Saya selalu siap membantu ...” Ucap Gino bersemangat.
“Apakah berkas-berkas perusahaan di tempat Pak Gino sudah dibakar?” Tanya Gilang.
“
Berkas-berkas untuk tiga bulan terakhir, masih ada di gudang Pak ... Apakah bapak mau mencari berkas?” Gino pun bertanya.
“Iya ... Ada berkas yang ingin saya cari ...” Tandas Gilang sambil tersenyum saat menoleh Karina yang sedang menatapnya.
“
Boleh pak ... Nanti saya antar ...” Gino merespon baik.
“Apakah nanti agak siang, Pak Gino ada di gudang?” Tanya Gilang.
“
Kebetulan saya sekarang ada di gudang ...” Jawab Gino.
“Baiklah ... Saya segera ke sana ...” Ucap Gilang bersemangat.
“
Baik Pak ... Saya tunggu ...” Kata Gino. Sambungan telepon pun terputus, Gilang menyimpan lagi
smartphone-nya di dashboard mobil.
“Mudah-mudahan kita bisa menemukan berkas yang kita cari ...” Gilang berkomentar tentang rencananya.
“Biar aku saja yang cari ... Mas cukup nganter aku saja ...” Karina merasa keberatan kalau Gilang ikut mencari berkas yang ia perlukan.
“Tidak ... Aku akan menemanimu ...” Ucap Gilang tandas.
“Terima kasih ya mas ...” Lirih Karina yang sebenarnya merasa senang dengan adanya Gilang yang akan menemaninya mencari berkas bukti penyelewengan keuangan perusahaan.
Gilang menjawabnya dengan tersenyum dan laki-laki itu masih tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Tidak ada logika yang mampu memecahkan ini semua. Gilang tak menyangkal bahwa dirinya bisa begitu cepat menyayangi wanita di sampingnya ini. Antara maju terus atau surut ke belakang. Tidak Gilang pilih keduanya. Gilang membiarkan rasa itu mengikuti arus waktu kehidupan. Biarkan waktu yang menjawabnya. Ternyata, detik demi detik, rasa itu makin kuat mengakar dalam diri Gilang.
Gilang pun sampai di rumahnya. Setelah menyerahkan belanjaan pada istrinya, Gilang langsung menuju perusahaan tempat di mana ia dan Karina bekerja. Hanya seperempat jam keduanya telah sampai di lokasi. Secepatnya Gilang dan Karina bergerak ke gudang penyimpanan berkas yang akan dihancurkan. Gilang dan Karina disambut Gino dengan wajah sumringah.
“Pak Gino ... Saya minta ... Tolong rahasiakan kalau saya dengan dia mencari berkas di sini ...” Ucap Gilang sembari menempelkan amplop ke tangan Gino.
“Siap Pak ... Tenang saja ... Rahasia terjamin ...” Ungkap Gino sangat senang seraya memasukan amplop pemberian Gilang ke dalam saku celananya.
“Ayo!” Ajak Gilang pada Karina.
Pencarian pun dimulai. Gilang dan Karina membongkar tumpukan berkas yang menggunung dan kebanyakan sudah berdebu. Satu per satu diperiksa oleh Karina dengan cara membaca cepat karena sebagian data keuangan telah berada di otak wanita itu. Pencarian itu bukanlah hal yang mudah, tetapi semangatlah yang membantu Karina untuk terus mencari dan mencari.
Tak terasa sudah hampir enam jam Karina memilih dan memilah berkas-berkas yang akan ia bawa ke rumah untuk diperiksa. Keringat mulai membasahi dahinya. Berkali-kali Karina menyeka keringatnya. Karina memandang lelah setumpuk berkas yang akan ia bawa.
“Sebenarnya masih banyak ... Tapi sementara cukup segini dulu ...” Ungkap Karina dengan nafas sedikit terengah-engah.
“Ya sudah ... Ayo kita periksa!” Kata Gilang.
“Kita??” Karina menahan senyum.
“Loh ... Kenapa? Kamu meragukan kemampuanku?” Tanya Gilang bernada canda sambil menalikan setumpuk berkas dengan tali plastik.
“Hi hi hi ... Katanya tidak mengerti masalah keuangan.” Ucap Karina mengulangi ucapan Gilang saat mereka baru saling bertemu.
“Kalau secara ekspert aku memang kalah denganmu ... Tapi aku setidaknya ditempa oleh pengalaman ... Sedikitnya aku mengetahui perhitungan-perhitungan keuangan perusahaan ... Tinggal poles sedikit, aku bisa mengalahkanmu ...” Ucap Gilang setengah membual.
“Hi hi hi ... Oke ... Oke ...” Karina tertawa lirih melihat Gilang yang begitu percaya diri.
Saat matahari mulai tergelincir ke arah Barat, Gilang dan Karina keluar gedung arsip tersebut. Hari ini Karina menjalani harinya tidak seperti hari-hari biasa. Karina merasa sangat bahagia, sampai-sampai rasa penat pun tak terasa di badan. Di tempat ini, ada perasaan aneh yang menggelayutinya. Entah perasan aneh apa yang sedang merayapi hatinya. Karina seperti pernah merasakannya namun ia masih belum bisa menangkap jelas apa itu. Terdorong oleh rasa aneh itu, Karina kemudian melingkarkan tangannya ke lengan Gilang, sambil melangkah bersama menuju mobil Gilang terparkir.
Gilang pun tak jauh berbeda. Tatapan dan sentuhan Karina mampu menyelami sebuah hati yang berpenghuni namun ada celah kecil yang telah ditemukan. Karina telah berhasil menemukan celah kecil menuju pintu hati laki-laki itu. Gilang merasa bahwa wanita di sampingnya ini telah berhasil membuat ia tak berdaya dengan kenyamanan yang telah disematkan pada balik celah kecil pintu hati yang kapan saja bisa menjadi celah besar bila wanita itu tepat mengenai dan mengeksekusinya.
Sesampainya di mobil, kedua orang tersebut langsung memasukinya dan tak lama meninggalkan gedung perusahaan tempat mereka bekerja. Sepanjang jalan Karina sibuk memeriksa berkas yang berhasil dikumpulkan. Sesekali membolak-balik beberapa berkas, lalu disusun kembali menurut tanggalnya, hingga dirinya terpaku pada sebuah berkas. Gilang melihat perubahan Karina pun agak terperangah.
“Ada sesuatu yang menarik?” Tanya Gilang penasaran.
“Ya ... Mungkin laporan yang dipermasalahkan oleh suamiku ...” Karina pun memeriksa beberapa lembar berkas yang lainnya. Dia memisahkan lembar-lembar yang hanya ditandatangani oleh suaminya. “Aku curiga ini dimanipulasi ... Ini bukan tanda tangan dan tulisan suamiku ...!!" Ujar Karina pelan.
“Hhmmm ...” Gilang bergumam dan tetap fokus pada jalan.
“Mas ... Kita harus ke rumahku ... Ada yang akan aku periksa data di komputer suamiku ...” Tiba-tiba Kania teringat akan suatu file pekerjaan suaminya yang selalu di-
backup-nya.
Tanpa banyak bertanya, Gilang membelokan mobilnya di persimpangan berikutnya menuju ke rumah Karina. Karina pun masih berkutat memeriksa berkas selama perjalanan. Gilang sesekali melirik ke arah spion memandang wajah Karina yang nampak serius memeriksa arsip, lembar demi lembar. Hati Gilang semakin gelisah saat menatap wajah cantik Karina. Timbul rasa kagum pada sosok Karina yang begitu serius menangani kasus yang dihadapi suaminya.
“Mas ... Coba liat ini ...!” Karina menoleh dan tanpa sengaja Karina memergoki Gilang yang memandanginya. Sejenak kedua insan itu saling bertatapan wajah. Getaran-getaran cinta mulai lagi menggelitik di hati mereka, terlihat dari tatapan keduanya yang saling mengagumi.
“TIIIIIIINNNNNN....!!!” Klakson mobil dari arah berlawanan menyadarkan mereka.
“Maaasss ... Aaawwaaassss ...!” Teriak Karina terkejut melihat mobil yang dikendarai Gilang keluar jalur. Dengan sigap Gilang mengendalikan kembali mobilnya kembali ke jalur sebenarnya.
“Haaadduuhh ...! Hampir saja ... Kenapa ngeliatin aku?!” Kata Karina setengah sewot pada Gilang yang ceroboh.
“Eeeuuu ... Maaf ...” Gilang berkata pelan sambil merasakan jantungnya yang hampir copot.
Kepala Gilang bersandar di kemudi sambil merasakan kekagetan yang luar biasa. Gilang tiba-tiba merasakan sebuah sentuhan di lengannya. Sentuhan lembut yang membuat laki-laki itu melupakan rasa kaget yang dirasakannya. Gilang dan Karina saling memberikan senyum sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Hanya setengah jam mereka pun sampai di kediaman Karina. Kini, Gilang dan Karina sudah berada di ruang tengah menghadapi sebuah
laptop yang sudah siap dioperasikan. Keduanya duduk berdampingan sambil serius menghadapi dan menatap data-data yang tersaji di layar
laptop dan setumpuk berkas yang harus diperiksa.
Karina terus menganalisis data-data yang memaksa hampir setiap sel dalam otaknya bekerja keras demi memecahkan dan menemukan ketidaksesuaian dalam laporan keuangan. Sementara itu, Gilang hanya diam. Menatap kosong deretan angka-angka yang menurutnya sangat memusingkan. Karina menghela nafas belum menetralkan pikirannya yang terus bekerja.
“Istirahat dulu ...” Ujar Gilang dan Karina menoleh sesaat setelahnya.
“Katanya mau bantu?” Kerling Karina genit. Bahkan, bibirnya membentuk senyuman yang menggoda.
“Iya ... Tapi ...” Gilang masih menatap bingung pada berkas yang ada di tangannya.
“Hi hi hi ... Lebih baik bantu yang lain ... Gimana?” Ucap Karina yang merasa lucu melihat mimik wajah Gilang.
“Apa itu?” Gilang meletakkan berkas yang sedari tadi hanya dipelototinnya saja.
“Em ... Bagaimana kalau memikitku?” Karina tersenyum nakal.
“Bagian mana?” Tanya Gilang bersemangat sembari matanya sengaja diarahkan pada gundukan daging di dada Karina.
“Iih ... Mesum ...” Pekik Karina seraya menghalangi dadanya dengan kedua tangan.
“He he he ... Maaf bercanda ... Mana yang pegal?” Gilang terkekeh.
“Semuanya ... Kecuali yang ini ...” Karina menegaskan ucapannya dengan menekan lengan pada dadanya.
“Oh iya ... Berarti yang itu dipijit juga ...” Canda gilang menjadi-jadi dengan menggerakan kepalanya ke arah selangkangan Karina.
“Iiihh ... Dasar mesum ...!” Seru Karina lalu tangannya mencubit perut Gilang.
“Aaawww ... Iya ... Ampun ...” Pekik Gilang sambil tersenyum.
Candaan mereka berlanjut beberapa saat. Mereka bercanda seperti anak kecil berebut sesuatu yang tidak layak mereka rebutkan, kejar-kejaran hingga lelah lalu kembali duduk di sofa. Sesungguhnya meski tak saling mengakui, tetapi sebenarnya mereka saling menginginkan.
“Kok duduknya jadi berjauhan? Sini duduk di sini!” Kata Gilang sembari menepuk tempat di sisinya.
“Gak!” Karina berakting cemberut.
Gilang menggeser duduknya hendak mendekati Karina, namun wanita cantik itu segera bangkit. Secepat kilat tangan Gilang meraih tangan Karina lalu ditariknya sehingga tubuh Karina jatuh di pangkuan laki-laki itu. Tanpa menunggu lama tangan Gilang menarik Karina ke dadanya, dipeluk dan didekapnya wanita cantik itu, kemudian diciuminya wajah Karina. Akhirnya kedua bibir mereka saling bertemu. Lama kedua bibir itu bertautan, membuat jantung keduanya berdegup lebih cepat dari biasanya. Gilang dan Karina merasakan sebuah sensasi indah yang sangat menggairahkan. Api Asmara pun mulai berkobar-kobar menggerayangi seluruh pori-pori di sekujur tubuh mereka. Semua itu membuat keduanya ingin selalu menemukan sensasi aneh yang menggairahkan. Kedua insan terus berusaha mencari-cari dan menggalinya lebih dalam di sudut-sudut tersembunyi dari tubuh masing-masing.
Gilang mulai menarik resleting di punggung Karina dan dress tersebut langsung turun dengan bebas. Karina pun tak mau ketinggalan, dengan sangat cepat kemeja dan celana panjang Gilang pun lolos dari tubuhnya. Tak sampai di situ, dengan sangat tergesa-gesa mereka melucuti sendiri kain yang tersisa di tubuh masing-masing. Kini tak selembar benang pun yang menempel di tubuh mereka.
Gilang kembali menarik tubuh Karina ke dalam pelukannya. Dalam satu hentakan kuat, Tubuh Karina sudah berada dalam gendongan Gilang. Laki-laki itu membawa Karina masuk ke sembarang kamar dan langsung menidurkan tubuh wanita itu di atas ranjang. Gilang pun naik dan berbaring di sebelah Karina. Saat itu, birahi telah menguasai seluruh pikiran mereka.
Kemudian keduanya menyatukan bibir mereka, saling memberikan oksigen. Mendekatkan tubuh mereka dan saling merengkuh untuk memberikan kehangatan. Tangan Gilang bahkan sudah meremas gundukan kenyal yang sejak tadi ingin dinikmatinya. Karina memejamkan mata ketika sentuhan dingin merayap-rayap di bibirnya. Ditambah dengan sentuhan lembut yang mempermainkan gunung kembarnya. Sampai kecupan tersebut mulai terlepas dan dilanjutkan dengan Gilang yang terus turun menuju ke arah gundukan kesayangannya.
“Maasss ...” Desah Karina dengan suara serak.
Karina merasa pria yang tengah bersamanya hanya mempermainkannya saja. Tangan Karina dengan cepat langsung menarik kepala Gilang dan menyentuhkannya ke arah puncak gunung dan langsung merasa begitu nikmat. Ditambah dengan salah satu jari Gilang yang tengah bermain di lubang miliknya. Tidak lama kemudian, Karina merasa ada yang hendak keluar dari mulut organ intimnya. Gilang yang menyadarinya langsung mempercepat gerakannya. Dia memaju-mundurkan jari tengahnya dan membuat Karina beteriak kencang.
“Maaassss ... Aaaacchhh ...!” Teriak Karina ketika cairan cintanya meluncur deras.
Gilang tersenyum dan melepaskan jarinya. Karina yang masih memejamkan mata merasa kembali semangat saat benda kenyal lain menyentuh tempat nikmatnya. Gilang menjulurkan lidah dan mulai menyapu cairan kental yang baru saja keluar.
“Maasss ... Sudah, massss ... Aku gak..ku..kuat ...” Ucap Karina dengan napas tersengal.
Gilang hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Karina. Tangannya memegang kaki wanita tersebut dengan kencang dan mengarahkannya ke atas untuk mempermudah usapannya.
“Mmmaaassss ...!” Teriak Karina ketika Gilang dengan gencar mempermainkan lubang kenikmatannya.
“Apa, sayang ...?” Ucap Gilang yang menahan keinginannya untuk segera memakan Karina.
“Masukan, Mas ...! Aku gak tahan ...!” Rengek Karina dengan mata merem-melek.
Gilang yang mendengar segera mendongakan kepala, menatap Karina dengan pandangan lekat. Gilang pun segera mengatur posisinya. Karina hanya diam dan merasakan benda asing mulai menembus harta berharganya. Keningnya mengernyit menahan rasa yang terasa berbeda dengan sebelumnya, sampai sebuah lolongan keras terdengar. Gilang berhasil menyatukan tubuhnya dengan Karina.
Dua insan berlawan jenis bercinta dengan ganas. Pertempuran itu berlangsung seru dan hangat. Dua tubuh telanjang mereka bergulat berbalut keringat. Bibir mereka saling berpagut, sesekali mendesah. Bunyi tepukan basah menandai ketika selangkangan mereka bertemu. Karina memeluk Gilang erat, kuku panjang di jemari lentiknya menggores punggung. Ia melenguh dan memaki, menyemangati Gilang untuk menyerang lebih ganas lagi.
Pada akhirnya Karina menghela napas perlahan ketika Gilang mulai menarik benda tegang dari sarangnya dan kembali memasukannya. Gilang terus mengulanginya lagi dan lagi dengan kecepatan konstan sampai Karina hampir mencapai puncaknya. Gilang segera mempercepat gerakan.
“Karina ...!” Gilang mengeluarkan seluruh cairan yang dimilikinya.
“Maaasss ...” Teriak Karina yang langsung memeluk tubuh Gilang erat.
Pertempuran itu berakhir dengan satu serangan terakhir dari Gilang, diiringi lenguhan panjang Karina. Keduanya langsung diam dan menikmati puncak keduanya yang bersamaan. Setelahnya mereka terbaring telentang bersebelah, dada naik turun dalan nafas yang terengah. Karina biarkan cairan cinta Gilang meleleh di antara kedua paha mulusnya membasahi kasur. Napasnya tersengal. Mata Karina bahkan terasa begitu berat dan akhirnya memejam sempurna. Dia merasa tubuhnya lelah. Gilang mengecup pelan kening Karina dan menatap mata yang masih terpejam.
“Tidurlah, sayang ... I love you ...” Bisik Gilang tidak mendapat respon dari Karina.
Karina sudah terlelap dalam tidurnya. Dia merasa tubuhnya seperti baru saja lolos karena puncak kenikmatan yang terasa begitu hebat yang baru saja diterimanya. Bahkan, dalam sepanjang hidupnya dia tidak merasakan senikmat seperti saat ini. Gilang pun memilih berbaring di dekat Karina. Tangannya menarik selimut tebal dan menutupi tubuhnya dan Karina.
----- ooo -----
Beberapa Hari Kemudian ...
Siang itu, bola mata hitam Karina sejak tadi setia memandangi layar komputer. Wanita itu tengah memeriksa data keuangan, ada begitu banyak hal yang harus diperiksa. Belum lagi, ia harus menemukan data keuangan asli selama satu tahun terakhir. Selagi matanya terus memandang, otaknya bekerja. Otaknya terus bekerja hingga ia menjentikkan jarinya. Karina lantas membuka catatan hasil pemeriksaannya pada berkas keuangan yang telah diperiksanya beberapa hari yang lalu dan mulai mencocokkan data tersebut dengan laporan keuangan yang terdapat di layar komputer.
“Bu Karina ... Dipanggil pimpinan ke ruangannya ...” Tiba-tiba Karina terhenyak oleh suara dari sekretaris Ricard.
“Oh ... Iya ...” Dengan panik Karina melipat catatannya lalu memasukan catatan itu dalam laci meja kerja.
Tanpa banyak bicara, Karina mengikuti langkah sang sekretaris menuju ruangan kerja Ricard. Karina langsung saja masuk ke ruangan Ricard sambil melayangkan senyum termanisnya kepada sang pimpinan. Ricard pun membalas senyuman Karina sembari bangkit berdiri.
“Silahkan duduk ...!” Ricard menyambut Karina sangat ramah.
“Terima kasih.” Lagi-lagi Karina memberikan senyum yang membuat Ricard sedikit menahan nafas.
“Begini ...!” Ucap Ricard memulai pembicaraan seriusnya setelah Karina duduk manis di hadapannya. “Aku akan mengajakmu tugas luar kota beberapa hari. Cepat buat surat dinasnya ke bagian tata usaha, nanti kalau setelah selesai bawa lagi ke sini akan aku tandatangani ...” Lanjut Ricard yang sukses membuat Karina terkejut hebat.
“A-apakah harus saya, pak? Apakah tidak ada pegawai yang lain, yang lebih pantas daripada saya?” Karina berusaha menolak secara halus.
“Oh ... Tidak ... Aku akan membawa beberapa pegawai ... Termasuk kamu ...” Ungkap Ricard tandas dan lugas.
Karina sadar, begitu dia menerima ajakan Ricard, dia harus menyiapkan diri untuk sakit hati. Sesungguhnya Karina sangat keberatan dengan ajakan dinas luar kota bersama Ricard. Karina harus memutar otak mencari alasan untuk menolak ajakan Ricard. Tak lama berselang, tiba-tiba pintu ruang kerja Ricard diketuk dari luar lalu sekretarisnya masuk.
"Maaf, pak ... Bapak dipanggil Bapak Sigit untuk menghadap ...” Ucap sang sekretaris sambil membungkukan sedikit badannya.
“Pak Sigit ...?!” Ricard terperanjat mendengar
owner perusahaan memanggil dirinya. “Karina ... Tunggu sebentar di ruanganku ... Nanti kita lanjut lagi perbincangan kita ... Aku harus menemui pemilik perusahaan ...” Ujar Ricard sembari tergesa-gesa meninggalkan tempatnya.