Chapter 04
Democracy
Rencana sudah dibuat, semua pihak yang terlibat pun sudah mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti rencana yang kami buat dengan baik. Terlihat matahari sudah berada di ufuk barat, langitpun mulai gelap. Ya, kami berencana masuk ke area TSM dengan cara memanjat tembok bagian timur yang relatif sepi. Rencananya, setelah masuk dari samping timur, aku dan Anin akan masuk kedalam Trans Hotel untuk mencari member yang mungkin saja masih selamat dan terjebak didalam Hotel tempat Ia dan teman-temannya menginap. Untuk mengalihkan perhatian para mayat hidup, Mbah berencana memasang bunyi-bunyi yang cukup keras untuk menarik perhatian mereka menjauh dari area TSM.
“Sekarang kita tinggal menunggu aba-aba dari Mbah Nin,” Kataku kepada Anin. Kami sudah sampai di mulut jalan kecil sebelah timur Turangga, dan bersembunyi di balik gerobak yang melintang menghalangi jalan tersebut. Terlihat puluhan Mayat hidup sedang berjalan tak tentu arah menyusuri sela-sela mobil yang ditinggalkan.
“Aku takut kak…” ucap Anin pelan sembari menggenggam tanganku erat.
Aku mengelus kepalanya, lalu berkata “tenang Nin, saya bakal ngejagain kamu, atau kalo kamu mau tinggal di gedung yang tadi juga gak apa-apa.”
Anin menghela nafas. “Gak apa-apa kak, aku pengen bantu kakak. Aku juga percaya kakak bakal jagain aku,” Anin tersenyum dan menatap mataku.
Deg, jantungku berdetak kencang melihat senyuman manis itu. Senyuman yang sangat manis membuat diriku hampir tidak dapat mengendalikan diri.
Aku menjadi salah tingkah dengan tatapannya yang manis. “I-ini Mbah mana y-ya?Kok belum ada kabar,” ucapku untuk mengalihkan kegugupanku.
“Mbah ganti, gimana persiapan nya?Udah bisa dimulai?ganti?” aku bertanya kepada Mbah melalui Radio. Anin hanya bisa tertawa kecil melihat kegugupanku.
“
Srrrkkk... Disini udah siap nak Al… Tapi mbah ga bisa lama… Takutnya jadi numpuk disini ganti…”Ucap Mbah diseberang Walkie.
“Siap mbah, kami tunggu, ganti.”
Aku mengakhiri percakapan di walkie tersebut.
“Siap ya Nin,” Ucapku kepada Anin yang hanya dibalas anggukan sembari menggenggam tanganku lebih erat.
TERET-TET-TET-TERET… TERET-TET-TET-TERET
Bunyi dari musik yang tidak asing ditelingaku.Aku sering mendengarkan lagu ini di komputernya Angga.
“Hahaha, aku ga nyangka Mbah ternyata wota,” ucap Anin sambil tertawa.
“Wota apaan Nin? Emang ini lagu siapa?” tanyaku.”Kakak gatau? Ini lagu JKT48 loh kak,
Hallowen Night. Kalo wota itu yang suka ngidol gitu lah kak, fans kami,” jawab Anin menerangkan. Akupun hanya bisa mengangguk karena memang hal tersebut baru aku ketahui.
Tak lama kemudian, para Zombie yang berada di jalan bergerak menuju arah dimana suara itu terdengar.
“Eh iya bener kak, itu mayatnya pada pergi!” sahut Anin setengah berbisik sambil menunjuk ke arah jalan.
Tak lama kemudian, jalanan di depan kami pun menjadi lebih sepi.
“Hayu Nin, ini kesempatan kita!” seruku kepada Anin. Kami pun berlari melintasi jalan utama.Sesosok mayat hidup yang menyadari keberadaanku mulai mendekat. Aku yang sigap mengayunkan belatiku ke arah kepalanya. Namun belati yang sedari tadi kugunakan sudah mulai tumpul tersangkut di kepala mayat hidup tersebut.Aku yang tidak bisa menarik belati tersebut melepasnya dan terus berlari menarik Anin masuk ke dalam jalan Cinta Asih.
“Kita manjat tembok bagian sini aja Nin.” Ucapku sembari berhenti di dekat konstruksi kios.
Nafas Anin tersengal-sengal. “Kamu gak kenapa-kenapa Nin?” Tanyaku kepadanya yang dibalas dengan gelengan kepala. “Sekarang gimana kak?” Tanya Anin kemudian.
“Kita panjat tembok ini Nin,” aku memperhatikan sekitarku. Tidak ada yang bisa digunakan untuk memanjat. “Kamu naik bahu saya aja ya Nin, nanti naik dulu aja di temboknya, sembari ngecekin di seberang tembok ini gimana keadaannya,” ucapku seraya berjongkok memunggunginya.
Lama kutunggu, Anin tetap tidak bergeming. “Ayo Nin cepetan,” sahutku.
“Aku berat loh kak,” ucapnya ragu. “Gak apa-apa Nin, saya kuat kok”. Aninpun duduk diatas bahuku. Kurasakan pantatnya yang empuk berisi dibahuku.
“Pegangan ya Nin, Hheeghh…” ucapku memegang pahanya sembari mencoba untuk berdiri.
”GYAA!” Anin berteriak kecil sembari menjambak rambutku.
“Aduh-duh Nin, rambut saya jangan dijambak!” aku mengaduh seketika rambutku dijambak olehnya.
Tak sadar aku menoleh keatas, terlihat bukit kembarnya berguncang dihadapan mataku. Anin pun terlihat cengegesan seraya berkata, “hehehe, maaf kak, habis aku takut.”
Aninpun mencoba memanjat tembok tersebut. Kakinya sudah berdiri di bahuku.
“Gimana keadaan disana Nin?” tanyaku dari bawah. “Aman kak.” Anin pun mencoba memanjat, kudorong pantatnya yang sekal untuk bisa duduk di tembok pembatas. Setelah memastikan Anin duduk dengan aman di tembok pembatas, akupun mencoba memanjat tembok. Anin terlihat membantuku naik namun usahanya hanya seperti formalitas, aku naik dengan usahaku sendiri. Setelah sampai diatas, akupun langsung melompat kedalam disusul oleh Anin.
Kami pun meneruskan perjalanan masuk melalui pintu samping hotel. Sebelum kami sampai, tiba-tiba kami dihadang oleh beberapa orang yang berjaga di pintu tersebut.
“Berhenti disana!!! Mau kemana kalian???” sahut salah satu pria yang berpakaian safari.
“Kami mau mencari teman kami pak,” jawabku. Aku lalu menoleh kepada Anin. Anin yang paham lalu menjelaskan kepada penjaga tersebut, “Kami mau nyari temen kami yang menginap disini pak. Dari hari rabu kami menginap di hotel ini, di kamar 602 sampai 607”
Pria yang ikut berjaga di belakang security tersebut tampaknya menyadari sesuatu.Ia pun menepuk bahu security seraya berbisik. Setelah pria itu selesai berbisik, Security itu pun terlihat menganggukan kepalanya.
“Oke, kalian berdua ikut kami,” ujar Pria tersebut. Kami pun dibawa masuk kedalam hotel.
Diluar dugaan, area didalam hotel terlihat sangat aman. Listrik pun masih berfungsi dengan baik. Terlihat banyak kerumunan orang yang berhasil selamat tengah berlindung di dalam hotel ini. Para kru hotel pun merawat mereka dengan baik. Tidak membedakan status. Sungguh pemandangan yang luar biasa, ditengah kekacauan yang terjadi diluar, aku bisa melihat orang-orang saling bahu membahu untuk bertahan hidup. Anin terlihat mencari teman-temannya di tengah kerumunan orang tersebut.
“
AAANIINN!!!”
Terdengar dari kerumunan seorang gadis meneriakan nama Anin. Kami yang hanya mendengar suara tersebut hanya bisa menengok kesana-kemari, mencari ke arah sumber suara. Tak lama datanglah seorang gadis cantik, sepertinya memiliki garis keturunan dari timur, berlari kecil menghampiri kami.
“KAK SINKAAAA!!” Teriak Anin sembari memeluk gadis yang datang menghampirinya.
“Huu... Aku kira ga bakal huuu... bisa ketemu sama kamu lagi. Kamu gapapa? Hiks.. hikss.. Yang lain.. hiks... gimana?” Tanya gadis itu sembari mengecek seluruh badan Anin dan sedikit terisak.
Tangis Anin dan gadis yang disebutnya Kak Sinka itu pun pecah disana. “Huuu… Huuu… Aku… Aku juga ga nyangka bisa ketemu kakak lagi, aku… aku… huuu…” Anin menangis dan tak bisa meneruskan perkataannya. Gadis yang dipanggil Kak Sinka tersebut langsung memeluk Anin yang sedang menangis dan mengelus punggungnya.
Cukup lama gadis tersebut menenangkan Anin hingga tangisannya mereda. Dan cukup lama pula akhirnya gadis tersebut menyadari bahwa diriku datang bersama Anin. Ia pun menoleh ke arahku.
“Eh, hiks... Tunggu, Kakak siapa? Kok bisa bareng sama Anin?” Ucap gadis itu yang masih memeluk dan mengelus kepala Anin.
“Eh, nama saya Alfiansyah.” Jawabku. Akupun lalu bercerita kenapa bisa sampai bertemu Anin hingga bisa sampai di kamar mereka.
“Syukur kamu sama Selin bisa selamat di luar,” ujar gadis tersebut. Iapun menarik nafas panjang. Kemudian ia menyeka air matanya.
“Ya udah, yang penting Anin sama Selin bisa selamat. Kakak nanti hubungin temen kakak ya, minta datang kesini aja, sekalian anterin Celine. Disini aman kok. ”Lanjut gadis itu.
“Oh iya, belum kenalan. Kenalin namaku Sinka Kak,” Ucapnya seraya mengajak berjabat tangan dan langsung aku sambut. “Sekarang ayo kita ke kamar dulu.”
Kamipun langsung menuju lift yang mengantar kami ke lantai 17. Di dalam lift, Sinka bercerita bahwa ada beberapa member yang terpisah saat kejadian, dan sampai sekarang belum diketahui keberadaannya. Lalu iapun bercerita tentang keadaan dalam hotel setelah
Outbreak.
“Ya disini intinya kami saling membantu Kak, supaya bisa tetep selamat.” Sinka menjelaskan. “Pihak hotel pun udah berupaya untuk berkomunikasi dengan pemerintah, namun sampe sekarang belum ada tanggapan,” lanjutnya. “Kami yang selamat disini sepakat untuk saling membantu satu sama lain, saling mencukupi kebutuhan masing-masing. Contohnya ya kayak sekarang ini, Desy sama Angel lagi ngumpul untuk pembagian jadwal buat keluar nyari perlengkapan yang dibutuhin sama semua orang bareng sama
survivor yang lain. Sedangkan Jinan, sampe sekarang kami juga belum tau keadaan nya, kemaren Jinan sama semua staf pergi ke Dago buat liputan.”
TING
Bunyi dari lift yang menandakan kami telah sampai di lantai 17. Kami pun keluar dari lift langsung menuju pintu kamar. Sinka lantas mengeluarkan kunci dan membuka pintu tersebut. Sebuah kamar yang berukuran cukup besar dan memiliki kamar tidur terpisah didalamnya.
“Kakak juga istirahat dulu aja disini, biar Anin istirahat di dalem, gak apa kan kak?” Tanya Sinka kepadaku.
Akupun hanya mengangguk dan menyimpan ranselku di sofa yang menghadap jendela. Sinka dan Anin langsung masuk ke dalam kamar. Kuurungkan niatku untuk membuka gorden karena aku tahu hanya akan melihat kekacauan diluar sana.
Kuambil Radio yang diberikan Mbah dari samping ranselku dan mengabarkan kepada Mbah dan Celine bahwa kami baik-baik saja, sembari menyeritakan tentang suasana hotel. Mbah hanya berkata, “
Sssrrkk… Kalian berdua istirahat dulu saja, pasti lelah. Srrrkk… Nanti kita bicarakan lagi kedepannya bagaimana setelah kalian istirahat biar bisa berpikir jernih.” Aku mengiyakan dan menutup komunikasi dengan Mbah.
Aku merebahkan diri di sofa hotel ini.Sungguh sangat nyaman bisa meluruskan punggung di sofa ini, khususnya setelah lelah bergumul panas dengan Anin di minimarket tadi.Pukul 19.35 Tak kusangka, belum genap 24 jam aku sudah menyetubuhi 2 gadis cantik, terlebih dalam keadaan genting seperti ini. Entah aku harus bersyukur atau bagaimana. Tak lama akupun terlelap.
.
.
.
Clek
Aku terbangun mendengar suara pintu yang dibuka.Terlihat Sinka keluar dari kamar. Mukanya seperti mencemaskan sesuatu. Ia melihat kepadaku.
“Eh, maaf kak, jadi kebangun ya?” Ucap Sinka.
Aku yang masih setengah sadar langsung mengecek arlojiku. Pukul 22.40. Sudah hampir 3 jam aku terlelap. Cukup lama juga.
“Gak apa-apa Sin, Anin gimana?” tanyaku.
“Anin baru aja tidur Kak, lumayan lama tadi nangisnya. Kayanya dia syok banget sama kejadian ini,” jawabnya, masih dengan muka yang terlihat khawatir.
“Kenapa Sin? Kok kaya yang cemas banget?” tanyaku kembali. “Nngg… Aku khawatir sama Desy sama Angel Kak. Mereka tadi kepilih jadi yang nyari perlengkapan buat kita
survive hari ini, diacak gitu. Kirain aku cuman bentar, tapi ini udah hampir 4 jam belum pulang-pulang,” jawabnya kembali.
“Aku jadi kepikiran buat nyusul mereka Kak,” Sinka mengutarakan rencananya kepadaku.
Aku yang masih setengah bangun hanya terbengong. Iya, aku bengong karena baru menyadari akan kecantikan Sinka. Kulitnya yang putih mulus sangat kontras dengan baju terusan sepaha berwarna marun yang ia gunakan. Baju yang ia gunakan terlihat cukup ketat sehingga kemolekan tubuhnya. Giginya yang gingsul seakan menambah manis wajahnya yang terlihat seperti keturunan dari Asia Timur ini.
“Kaaak… Kok malah bengong sih? Halooo…” Sinka pun mengguncang tanganku membawaku kembali ke alam nyata.
“Eh, iya, maaf. Ngumpulnya di mana Sin?” Tanyaku yang belum benar-benar terbangun itu.
“Ngumpulnya sih di
Convention Centre kak. Kakak kayanya masih capek. Aku tinggal dulu ya kakak, kakak istirahat aja dulu,” Ujarnya sambil sedikit senyum. Terlihat manis sekali.
Aku yang masih belum benar-benar bangun ini kembali melongo lagi. Sinka pun beranjak akan keluar ruangan. Sebelum keluar ruangan , ia menoleh kembali ke arahku kemudian berkata, “Kak, terima kasih ya udah jagain Anin ama Selin. Aku bener-bener makasih banget,” Sambil tersenyum manis. Setelah itu ia keluar dan menutup pintu.
Aku setengah tak sadar berjalan ke arah wastafel dan mencuci mukaku.
“Cantik banget ya...” gumamku sambil setengah melamun dan membilas muka. Setelah membilas muka, aku mencoba untuk menengok ke kamar tidur untuk melihat keadaan Anin. Terlihat Anin sedang tertidur lelap.
“
Kasian, pasti cape banget...” Gumamku sambil tersenyum kecil. Mendekati tengah malam begini, Celine dan Mbah pun mungkin sedang tertidur juga. Sadar tidak ada yang bisa kulakukan namun sudah terlanjur terbangun, tampaknya lebih baik aku menyusul Sinka saja.
Aku bergegas turun menuju
Convention Centre. Tidak banyak orang terlihat sebenarnya di dalam hotel ini. Mungkin hanya sedikit yang berhasil menyelamatkan diri masuk ke dalam hotel. Aku pun berjalan sambil sedikit melamun memikirkan langkah selanjutnya. Apa kita kembali ke tempat Mbah? Apa Mbah dan Celine yang harus kesini? Bagaimana kita ke Tegallega? Apa pilihan tepat kami pergi ke Tegallega? Aku terus berpikir tentang hal-hal yang harus dilakukan selanjutnya sambil berjalan menuju
Convention Centre.
Ketika sampai
Convention Centre, terlihat ada beberapa penjaga di sana. Terlihat Sinka sedang berbicara dengan salah satu penjaga. Sayup-sayup terdengar pembicaraan dari mereka. Seperti sedang memperdebatkan sesuatu.
“Ayo dong pak. Saya khawatir ama dua temen saya Pak, udah hampir 4 jam di tempat para makhluk itu. Udah lama banget ini Pak. Masa masih ga boleh nyusulin mereka?” Sinka memohon pada penjaga itu.
“Hmm saya ngerti mbak khawatir, tapi di luar sana bahaya. Saya ama temen-temen saya juga ga bisa ninggalin pos ini, soalnya harus ada yang jaga pintu ini dari makhluk-makhluk itu. Ga mungkin saya biarin adek pergi nyari temennya sendirian.” Jelas penjaga itu.
“Saya temenin kok Pak.” Ujarku.
“Kak Al?” tanyanya sedikit bingung. “Kak Al ga istirahat lagi?” tanyanya lagi.
“Nggak Sin. Tadi tidur sebentar udah cukup kok. Maaf ya tadi pas kamu ngajak ngomong masih sedikit linglung gitu, baru bangun banget,” Ujarku sambil sedikit tersenyum.
“Jadi Pak, gapapa kan kalau dia saya temenin? Siapa tau grup yang lagi nyari perlengkapan itu dalam masalah. Kita butuh orang sebanyak mungkin yang selamat dalam situasi kayak gini,” Aku mencoba membujuk penjaga itu.
“Hmmm oke deh kalo gitu. Ini kamu bawa tongkat ini. Buat ngehalau makhluk-makhluk itu,” Ujarnya sambil memberikan sebuah tongkat satpam kepadaku.
“Ngomong-ngomong Pak, grup pencari itu isinya siapa aja ya Pak? Biar saya tahu siapa saja yang mesti kami cari di luar,” Aku bertanya kembali kepada penjaga itu.
“Grup pencari yang cari itu 5 orang. Dua orang perempuan teman kalian itu, sementara tiga orang laki-laki” Jawab penjaga itu.
“Tiga laki-laki itu perawakannya berbeda-beda. Yang satu berkacamata, tubuhnya sangat kurus dan memakai kaos JKT 48. Namanya Jay kalo ga salah. Dia terlihat senang sekali pergi bareng dua temen kalian itu. Ngomongnya nyunda banget dan ga berenti-berenti ngomong ke dua temen kalian itu.” Penjaga itu memberikan deskripsi orang-orang yang mencari perlengkapan bersama teman-teman Sinka ini.
“Yang kedua Frans, badannya besar berotot. Kalau dia, saya hapal, soalnya dia yang biasa ngangkut logistik di hotel ini. Dia pakai seragam Office Boy hotel ini. Orangnya ga banyak bicara, kuat banget. Tapi pegawai perempuan suka risih sama dia karena tatapan si Frans ini tajem banget.” Lanjutnya menjelaskan orang kedua.
“Nah, yang ketiga menurut daftar ini sih namanya Joko. Dia pakai kaos putih lusuh gitu, ada handuk di lehernya. Dia supir truk logistik yang cukup sering ke hotel ini. Biasanya bawa air galon sama bahan makanan. Cuma ya karena bukan pegawai sini, saya baru tau namanya tadi. Ngomongnya ngapak, dan dia seru banget ngobrol sama temen kamu yang ngapak juga.”
Aku dan Sinka hanya mengangguk mendengarkan penjelasan dari lelaki itu. “Ayo Kak, kita cepetan pergi kedalem Mall,” ujar Sinka sembari menarik tanganku. “Iya Sin, bentar dulu. Makasih penjelasannya pak,” Ucapku kepada penjaga tersebut.
“Kalian nanti didalem hati-hati. Kalo lantai 3 Mall sudah kami amankan, elevator yang menghubungkan lantai 2 dan lantai 3 sudah kami tutup aksesnya, jadi kalian kalo mau turun bisa pake tangga darurat,” Ucapnya sembari membuka pintu penghubung ke arah Mall.
Kamipun masuk kedalam area Mall. Dari area Mall lantai 3, terlihat lobi utama Mall di lantai dasar, yang penuh dengan Mayat hidup, kutaksir ada 50an dari mereka yang sedang berkeliaran tak tentu arah di lantai dasar tersebut, entah di area lain.
“Banyak banget ya kak mereka dibawah,” Ucap Sinka kepadaku ketika melihat ke arah lobi bawah.
“Iya Sin, mungkin itu orang yang ga berhasil keluar dari Mall waktu kejadian. Semoga grup yang tadi nyari ga kejebak sama mereka,” Jawabku kepada Sinka.
“
Nngghhh…”
Terdengar sebuah lenguhan memecah kesunyian lantai 3 ini. Aku yang terkaget langsung melirik ke sekelilingku.
“Kenapa kak?” Tanya Sinka yang terheran akan sikapku.
“Kamu ga denger Sin? SShhh…” ucapku seraya meletakkan jari telunjukku di depan mulutnya. Sinka hanya menggeleng.
“Bentar Sin…” Aku menutup mataku seraya mencoba menanjamkan pendengaranku. Suara tersebut terdengar samar dan tertahan. Namun aku yakin sumber suara tersebut berada di toko sebelah kiri belakangku. “Sini Sin…” Bisikku kepada Sinka sembari mengajak Sinka menuju toko tersebut. Benar sekali, suara lenguhan yang tertahan makin jelas seiring dengan menghilangnya jarak kami dan toko tersebut.
Sesampainya di depan toko tersebut, kami tidak dapat masuk karena pintu toko tersebut tertutup. Akupun mencari celah untuk mengintip ke dalam toko tersebut. Tak sulit karena jendela toko tersebut tidak tertutup, serta terdapat cahaya dari dalam toko tersebut.
“
mmmhh…”
Aku sedikit tak percaya dengan apa yang kulihat di dalam. Terlihat 2 gadis yang bertubuh sangat kontras bertelanjang ria sedang melayani birahi 3 pria. Salah satu gadis yang berperawakan kecil sekal sedang meremas payudara ranumnya sendiri yang berguncang karena digenjot dari bawah oleh pria kurus berkacamata sembari menjilati jari pria tersebut. Disebelahnya terlihat gadis lainnya yang bertubuh tinggi semampai sedang menikmati sodokan pria yang sudah cukup berumur sembari mengulum penis pria lainnya yang bertubuh tegap.
Glek
Aku hanya bisa menelan ludahku. Diberi pemandangan panas ini pikiranku menjadi tidak karuan. Aku menoleh ke arah Sinka, ternyata diapun melihat adegan tak senonoh tersebut. Mukanya terlihat merah padam memperhatikan setiap adegan panas yang ada di dalam toko tersebut. Tak salah lagi, pria-pria yang ada didalam toko tersebut merupakan tim yang mendapat giliran untuk mencari perlengkapan. Perawakan mereka sesuai dengan deskripsi yang dijelaskan oleh penjaga tadi. Berarti, gadis-gadis yang sedang beradu peluh dengan para pria tersebut merupakan teman-teman Sinka.
“NNGGGHHHHHH!!!” pekik dari gadis yang berperawakan kecil. Dia mencengkram paha dari pria dibawahnya agar berhenti menggenjot sembari meresapi orgasme yang telah ia dapat. Kepalanya mendongak keatas, matanya merem melek seperti merasakan kenikmatan yang menjalar diseluruh tubuhnya.
Apalagi ini??
tbc