PART I : THE DISPUTE
Angin pantai yang berhembus kencang serta debur ombak yang buihnya menerpa telapak kakiku menyadarkan diriku dari semua lamunan. Aku berjalan kembali setelah sebelumnya aku membantu seekor penyu yang atrol kesulitan untuk merangkak menuju daratan.
Kutatap kembali langit senja di cakrawala. Matahari sedikit lagi menyentuh bibir laut, memendarkan cahaya oranye yang mengkilat di lautan luas. Di garis pantai, tampak beberapa serdadu tentara sedang bahu membahu menggotong berbagai peralatan dan perlengkapan dari pos terluar di pulau ini ke dalam kapal patroli TNI AL yang berlabuh di sebuah dok kecil. Di belakang mereka tampak sebuah mercusuar yang terlihat menjulang dari balik hutan di ujung pulau.
Dari kejauhan terdengar suara burung burung yang berkicau di sekitaran hutan bakau, seolah tidak peduli akan terbenamnya matahari. Baru saja aku pergi dari sana, untuk menenangkan diriku diantara hutan bakau dan kicauan burung yang sahut menyahut. Melodi dari alam yang alamiah tidak pernah gagal dalam menenangkanku sekesal apapun diriku.
Salah satu perwira patroli menghampiriku dan mengajakku untuk melakukan upacara penurunan bendera. Para prajurit terlihat sudah berbaris rapi mendengarkan komandan mereka sedang berbicara di depan mereka.
Sangsaka Merah Putih yang masih berkibar meski ditiup angin laut itu perlahan lahan diturunkan dengan iringan hormat tangan kami semua yang berada dibawahnya. Sang Merah Putih kemudian dilipat dan dimasukkan kedalam kotak kayu ketika sampai di dasar tiang.
Kemudian satu persatu kami semua menaiki kapal patroli itu yang akan mengantarkan kami menuju KRI Bung Tomo yang menunggu di lepas pantai. Suasana haru meliputi semuanya saat kami sudah naik keatas geladak kapal dan kapal mulai angkat sauh menjauh dari dok. Semua tentara memandangi pulau itu untuk terakhir kalinya, tak jarang beberapa prajurit menitikkan air matanya.
Dari kejauhan terdengar bunyi klakson kapal laut yang tak lama kemudian dibalas oleh kapal ini. Itu adalah tanda, secara resmi kami menyerahkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia.
Pak.. Panggil salah satu prajurit yang berdiri di sampingku. Aku hanya menoleh saja tanpa menjawab. Hartoyo nama prajurit itu. Aku bisa melihat dari nama yang terjahit di seragamnya.
Sebenarnya seperti apa sih pak, persengketaan kedua pulau itu sampai kita bisa kalah? Tanya dirinya penasaran.
Aku menghembuskan nafasku dan mengingat kembali semuanya dari awal.
~ ~ ~
6 Juni 1997, Pulau Sipadan
Memang banyak penyu ya pak di sekitar sini? Tanyaku sembari memandang ke air laut yang jernih dan memperlihatkan keindahan terumbu karang dan seekor penyu yang sedang berenang.
Banyak memang.. Dari dulu pulau ini kan tempat penyu bertelur.. Sudah lama ada, dari jaman kompeni dulu sudah ada sepertinya.. Apalagi di Ligitan, penyu yang bersarangnya lebih banyak lagi. Jawab orang yang berada di depanku sambil mendayung sampan yang kutumpangi ini. Kalo tidak salah mereka juga yang membangun mercusuar tadi.. Eh apa orang Inggris ya? Lanjutnya mengingat ingat.
Pak Arai Danum, seorang nelayan yang berasal dari suku Dayak dan berdomisili di pulau Sebatik ini menjadi 'guide dadakan' ku ketika rombongan tim khusus kami tiba di Pulau Sipadan untuk menyurvei kondisi pulau yang menjadi sengketa antara Indonesia dengan Malaysia.
Yaampun, pulaunya hanya sebesar ini ya, Pak Danum? Tanyaku kaget ketika sadar sampan kecil yang mengangkut kami berdua ini telah tiba kembali di satu satunya Dok di pulau Sipadan dimana tur dadakan ku dimulai.
Ia tertawa mendengar pertanyaanku barusan. Yaa, memang segini saja besarnya.. Tapi lumayan lah bisa dijadikan tempat beristirahat kalau lelah melaut. Ucapnya santai sembari tetap mendayung sampan kecilnya ini mendekat ke dok untuk menurunkanku dari perahu. Disana rekannya juga sudah menunggu dengan kapal ikan yang lebih besar dari sampan yang kutumpangi kali ini. Setelah dia menurunkanku di dok, aku melihat dia mendayung sampan itu ke garis pantai dan menaruh sampan itu di sela sela pepohonan kemudian berjalan ke dok menghampiri diriku dan temannya.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya atas tur yang ia berikan kepadaku dan mencoba memberikan dia sedikit uang, ia dan temannya menolak pemberianku dan mempersiapkan kapal ikan mereka untuk segera pulang ke Sebatik. Aku memaksa memberikan uang itu hingga akhirnya Pak Danum menerimanya dan kemudian berlayar pergi tak lama kemudian.
Kemudian aku lalu kembali ke rombongan tim Satgassus (Satuan Tugas Khusus) Sipadan Ligitan yang sedang berdiskusi dengan beberapa utusan dari PBB yang mengawasi kinerja tim ini. Dalam hati diriku tertawa. Bagaimana tidak? Pulau yang besarnya tidak lebih dari beberapa kali lapangan bola ini menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai dari tahun 70an. Dan itu baru pulau ini, belum lagi pulau Ligitan yang letaknya tidak jauh dari pulau ini. Pulau tersebut bahkan luasnya lebih kecil lagi dari pulau ini..
Tim Satgassus adalah tim khusus bentukan pemerintah yang terdiri dari belasan professor, ahli kartografi, pejabat teras pemerintah, Sejarawan, serta ahli hukum laut dan Internasional. Tugas tim ini adalah untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan pemerintah dalam sengketa Sipadan Ligitan, dua buah pulau di tengah laut yang dilihat ke segala penjuru tidak terlihat apapun kecuali langit dan laut. Bahkan di kedua pulau ini pun tidak terdapat hasil bumi berharga seperti batubara, gas, ataupun minyak.
Tapi polemik yang kedua pulau ini timbulkan sedemikian dahsyatnya, penyelesaian secara diplomasi tidak membuahkan hasil meskipun sudah mencapai tingkat ASEAN, hingga akhirnya Presiden Soeharto menyetujui untuk menyelesaikan sengketa ini lewat jalur ICJ (International Court of Justice), sebuah organ PBB yang terletak di Den Haag dan bertujuan menyelesaikan sengketa sengketa Internasional dan mempunyai otoritas tertinggi untuk membuat hasil keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Selesai urusan di pulau ini, rombongan kami lalu dijemput oleh kapal patroli TNI AL KRI Kakap yang kemudian mengantar kami hingga ke Tarakan, sebuah kota di utara Kalimantan tempat kami menginap malam ini sebelum kami kembali ke Jakarta untuk membahas hasil survei di kedua pulau tersebut.
Di Jakarta, tim kami langsung rapat untuk mengevaluasi hasil survei di Ruang rapat di komplek Istana Negara. Ternyata benar laporan yang kami terima dari Bupati Nunukan, bahwa Malaysia 'curi start' dengan membangun serangkaian Cottage di Pulau Sipadan. Untunglah kami survei bersama tim PBB yang bisa melihat langsung kecurangan Malaysia.
"Mereka berupaya menggunakan prinsip Efektivitas di Pulau Sipadan.. " Kata Ibu Prof. Etty R. Agoes, pakar hukum laut & Internasional tim kami saat kami sedang berbincang santai.
Prinsip Efektivitas atau Effective Occupation adalah salah satu prinsip dasar Okupasi wilayah di dunia internasional. Inti dari prinsip itu adalah suatu wilayah yang di okupasi suatu negara harus dikelola secara efektif oleh negara tersebut agar bisa secara sah dianggap bagian dari negara tersebut.
Langkah Malaysia membangun Cottage di Sipadan adalah salah satu langkah Prinsip Efektivitas. Dengan membangun Cottage disana, Malaysia berupaya menunjukkan bahwa mereka telah mengelola Sipadan sementara Indonesia tidak melakukan apapun untuk mengelola wilayah yang dipersengketakan ini.
"Lalu kenapa kita tidak ikutan membangun saja di pulau itu?" Kata Pak Lukman sang Bupati Nunukan yang menjadi bagian dari tim ini dengan asal ceplos saja. Tapi sebenarnya masuk akal juga, kalau Malaysia membangun Cottage, kenapa Pemerintah kita tidak ikutan membangun juga untuk bersaing memperebutkan pulau itu?
Well.. Disitulah letak curangnya Malaysia..
Karena sebenarnya..
"Pemerintah kita dan Malaysia lewat Note of Understanding telah bersepakat menetapkan kedua pulau tersebut sebagai Status quo, Pak Lukman." Kata Ibu Etty mengucapkan apa yang kupikirkan. "Makanya ini Malaysia kok aneh betul, diam diam membangun Cottage tanpa sepengetahuan kita.. " lanjut Ibu Etty terlihat senewen.
"Sudah sudah, Bu Etty, lebih baik kita kembali memikirkan argumen hukum kita untuk Written Pleadings.. " Ucap Prof. Mochtar, tokoh hukum paling senior dan dihormati di Indonesia yang juga menjadi ketua tim Satgassus ini. Silahkan Pak Bagia.. Lanjut Pak Mochtar kemudian mempersilahkanku berbicara.
Di umurku yang ke 38 tahun ini, aku, Subagia Nugraha, adalah anggota paling muda diantara para ahli ahli disini yang rata rata berusia diatas 40, bahkan 50 tahun. Namun pengalamanku di dunia hukum bisa dibilang membanggakan.
Setelah lulus dari UNPAR, Aku mendapatkan beasiswa penuh untuk lanjut kuliah di Utrecht - Belanda dengan mengambil Hukum Laut sebagai bidangku. Kemudian aku sempat menjadi legal advisor di sebuah perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di Norwegia hingga akhirnya mendapat kesempatan mengejar gelar Ph.D di Harvard Law University atau setara S3 di Indonesia.
Menteri luar negeri saat itu, bapak Ali Alatas, memanggilku untuk bergabung dengan Tim Satgassus ini sebagai Advisor. Dia menjelaskan secara detail mengenai sengketa Sipadan Ligitan ini dan mengungkapkan pengalamanku bekerja di bidang negosiasi dalam masalah kelautan akan menambah kekuatan tim Satgassus untuk menangani sengketa ini.
Terimakasih Prof. Mochtar.. " Ucapku membuka suara. Semua perhatian langsung tertuju kepadaku yang berdiri di tengah ruangan sambil menyalakan mesin ohp untuk presentasiku ini.
"Begini bapak ibu sekalian, menurut teman teman sejarawan kita ini, Indonesia sebenarnya memiliki klaim otentik terhadap kedua pulau ini." Ujarku sembari melihat kepada para sejarawan yang duduk berkumpul di kiri ruangan. Setelah kembali dari kalimantan, aku dan para sejarawan langsung berkoordinasi mengenai latar belakang sejarah kasus ini dan menemukan beberapa hal menarik yang bisa digunakan untuk argumen hukum negara ini.
"Wilayah Nunukan, Sebatik, serta Sipadan dan Ligitan dulunya adalah bagian dari sebuah Kesultanan yang bernama Bulungan. Lalu Kesultanan Bulungan menyerah kepada Belanda dan akibatnya seluruh wilayah kekuasaannya jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. Kemudian seperti yang sudah kita ketahui, Soekarno lewat proklamasi mengklaim seluruh wilayah Belanda menjadi wilayah Republik Indonesia, termasuk Sipadan - Ligitan itu tadi.. " Lanjutku dengan memperlihatkan data data yang terpampang di ohp.
Prof. Etty tampak kaget dan senang dengan pemaparanku barusan. "Oh, anda bermaksud menggunakan teori rantai kepemilikan? Yasudah kalau begitu.. Gampang tugas kita, tinggal cari saja dokumen penyerahan kekuasaan Kesultanan Bulungan ke Belanda.. Dan kita berikan ke ICJ beserta bukti pengakuan Belanda terhadap negara kita." Ucapnya dengan antusias. Beberapa anggota tim tampak setuju dengan apa yang Ibu Etty bilang tadi.
Seandainya bisa semudah itu.. Sayangnya tidak..
Melihat keraguanku, Prof Etty langsung bertanya, "Ada yang salah dengan ucapan saya, Pak Bagia?"
"Sayangnya, Malaysia pun bisa mengajukan klaim yang sama, Ibu Etty.." Ucapku sambil mengganti kertas baru yang menampilkan data data dari Malaysia. "Di wilayah Sabah terdapat Kesultanan Sulu yang juga mengklaim memiliki wilayah hingga ke Sipadan - Ligitan. Dan mereka menyerahkan wilayah mereka kepada Spanyol yang kemudian menyerahkan kepada Amerika Serikat lalu diserahkan kepada Inggris yang kemudian seluruh wilayah kekuasaannya menjadi Federasi Malaysia.. " Lanjutku menjelaskan kepada semuanya. Semua orang tampak tersentak dengan data tersebut. Sama seperti diriku saat dijelaskan oleh para sejarawan tadi malam, mereka tidak menyangka bahwa klaim dari Malaysia pun sama kuatnya dengan klaim dari Indonesia.
"Pak Bagia, lalu apakah pihak Belanda dan Inggris pernah mengalami kesulitan dalam penentuan batas wilayah hasil kedua kesultanan tersebut?" Tanya Prof. Mochtar dengan ragu. Namun pertanyaan itu justru membuatku tersenyum, karena jawaban dari pertanyaan itulah yang menjadi kunci argumen hukum yang akan aku paparkan.
"Itu dia Prof!" Ucapku antusias kemudian kembali mengganti kertas bening ohp. "Belanda dan Inggris pada tahun 1891, mengadakan konvensi. Dalam salah satu pasalnya, terdapat pembahasan batas batas wilayah antara kedua pihak.. " jelasku sambil menunjukkan Peta Memori van Toelichting, sebuah peta yang mengilustrasikan tafsiran dari hasil Konvensi 1891. Dalam peta tersebut menunjukkan penarikan garis lurus ke timur dari Pulau Sebatik, semua yang berada di utara milik Inggris, sedangkan yang di selatan milik Belanda. Pulau Sipadan dan Ligitan, berada di selatan garis tersebut.
Kembali lagi semua yang hadir terlihat takjub akan informasi ini. Tampak jelas di mata mereka yang berbinar binar bahwa bukti kongkrit inilah yang akan memenangkan Indonesia dalam sengketa ini.
Sayangnya yang saya punya sekarang ini hanyalah salinan dan ilustrasi saja.. Potongku mengantisipasi antusiasme berlebihan. Ya, semua ini bukanlah dokumen asli. Aku tidak tahu berada dimana dokumen yang aslinya.
Oleh karena itu, yang kita perlu dapatkan adalah dokumen otentik mengenai perjanjian penyerahan kekuasaan Kesultanan Bulungan ke Belanda di tahun 1850 dan 1878. Lalu dokumen asli dan lengkap dari hasil Konvensi Belanda dan Inggris di tahun 1891. Bila kita tidak mendapatkan itu semua, maka argumen hukum ini akan lemah di mata hakim ICJ." Ucapku lagi menyampaikan kepada semua yang hadir untuk memfokuskan argumen kita dengan pengumpulan dokumen dokumen otentik perihal semua yang baru saja kuungkapkan dan seluruh orang dengan bulat menyetujui usulanku dan dengan demikian mengakhiri rapat malam itu.
END OF PART I
Terakhir diubah: