THE LUCKY BASTARD – PART 16
------------------------------------------
"Ngobrol apa sayang?" tanya Nica dengan senyumnya.
"Nanti aja pas makan siang atau pulang ya...." jawabku dengan senyum yang kaku.
Selain beres-beres, rapat progress menyita energi cukup banyak untuk hari ini. Team leader seperti aku dan Anggia yang paling banyak capek pada rapat. Kadang aku iri dengan divisi IT, yang isinya satu kantor ini cuma seorang, dan ruang lingkup pekerjaannya tidak bertemu dengan klien, hanya masalah jaringan internal, hardware, dan updating dan lisensi software. Mbak Vania menjabarkan list pekerjaan yang akan masuk. Beberapa diantaranya membutuhkan travelling, baik dalam dan luar negeri. Anggia senang dengan banyaknya proyek yang membutuhkan jalan jalan. Sedangkan aku super malas. Tahun depan Mas Akbar akan pergi ke Jepang. Tapi hanya sendirian. Dan Anggia merengek bercanda ingin ikut. Kami di rapat hanya menertawai tingkah konyolnya.
Karena rapat sangat menyita waktu, jadi kami makan siang di kantor, di ruang rapat. Aku menyempatkan diri untuk merokok di luar sebentar.
"Kasian kamu sibuk banget hari pertama...." Nica mengagetkanku.
"Iya" balasku singkat sambil tetap menatap jalanan.
"Jangan kebanyakan bengong" tatapnya khawatir. Aku hanya meliriknya dam senyum. "Ngomong-ngomong akhir taun ini, kamu gak kemana mana kan?" tanyanya.
"Kenapa emang?"
"Ke Aussie nemenin aku yuk" ajaknya
"Ketemu kakak kamu?"
"Iya" pikiranku mendadak bercabang. Antara ajakan Anggia, atau Aussie, atau malah hal yang sebenarnya ingin kusampaikan pada Nica?
"Gimana?" tanya Nica memastikan.
"Belum tau. Nanti malem lanjut ngobrol lagi ya" jawabku tak jelas.
"Aku pengen liburan sama kamu" senyumnya. Aku hanya membalas senyumnya, memegang kepalanya dan mengacak rambutnya, tak menjawab pertanyaannya. Aku kemudian berlalu, masuk ke dalam, meninggalkannya di luar tanpa jawaban.
------------------------------------------
"Mampus gue" umpat Mas Akbar.
"Kenapa mas?" celetuk Mbak Kinanti, ibu-ibu berkerudung, orang finance dan admin.
"Pokemonnya lepas"
"Kirain apa...." keluh Mbak Kinanti. Di dalam ruang rapat itu, kami sedang break sebentar, di tengah rapat progress yang menjemukan. Selain Aku dan Anggia sebagai team leader, tentunya ada Mas Akbar dan Mbak Vania, Mbak Kinanti, Andrew orang IT satu-satunya dan Johar, bussiness development merangkap leader untuk team moving image.
"Dah bilang Nica?" bisik Anggia.
"Belom"
"Payah"
"Dia ngajakin gue ke Aussie soalnya"
"Asik dong"
"Gue belom bilang iya"
"Lah bego"
"Kok bego"
"Kan asik liburan ama pacar"
"Tau dari mana" jawabku sinis. Aku mendadak mengingat liburan-liburanku dengan Dian. Bali. Singapura. KL. Yogyakarta. Bandung. Dieng. Aku mendadak menelan ludah. Sulit sekali untuk bilang ya dan tidak. Terlebih saat suasana pikiranku sedang sangat kalut sehabis liburan.
"Ntar malem gue omongin" infoku ke Anggia.
"Kebanyakan nunda lu"
"Berisik"
"Emangnya gue petasan berisik"
"Ini bedua berantem mulu deh" sela Mbak Vania. "Udah breaknya. Lanjut lagi. Sekarang Johar deh, mau tau gue mau naro apa lo buat materi video profile perusahaannya" tunjuknya ke Johar yang sedang asyik browsing sosmed dan kaget setelah ditunjuk.
------------------------------------------
"Kamu udah makan?" tanya Nica di dalam mobil
"Belum" jawabku pelan.
"Makan dong, aku temenin deh..."
"Nanti aja di apartemen"
"Udah malem sayang... Ntar sakit lagi lho...." sakit lagi. Mungkin ada baiknya. Tapi membayangkan pertemuan dengan Dian membuat aku mual. Sudah berapa lama ini isi kepalaku selalu berkutat pada sejarahku dan Dian. Tapi kalau bertemu dengannya, aku pasti dengan otomatis gemetar atau kabur. Sebenarnya aku mau apa? Hubunganku dengan Nica tampak sempurna, tapi sempurna menurut siapa? Aku kasihan makin lama hubungan ini jadi seperti sepihak saja. Aku sangat pasif dan tampak tak pernah memberi respon apapun kepadanya sejak kejadian yang melibatkan Bram sebulan lalu. Nica terlalu banyak mencurahkan hatinya ke diriku. Sedangkan aku ke siapa? Kepalaku sibuk memikirkan hal lain di luar dirinya, hanya badanku saja yang bersamanya.
"Jadi ikut kan sayang?" tanya Nica. Pasti soal Australia. Aku termangu mendengarnya. Terdiam. Melihat terus ke arah jalan.
"Sayang" tegur Nica
"Hm?"
"Kamu ngelamun lagi"
"Oh" jawabku pelan. Nica tampak berusaha sabar menghadapiku. "Ikut kan? Biar kamunya refreshing juga"
"Gak tau"
"Kok gak tau?" muka Nica menunjukkan kekecewaan.
"Kamu gak mau pergi bareng aku?" tanyanya dengan nada kecewa.
"Aku gak bilang gitu"
"Kok kayaknya gak suka"
"Jangan nebak-nebak dong"
"Sayang...." Nica tampak merajuk. "Kamu lagi mikirin apa sekarang?" tanyanya kecewa. "Kamu kayak lagi gak ada disini" selidiknya. Aku diam saja. Menatap mata Nica pun aku tidak berani.
"Kamu lagi mikirin apa sayang?" Nica tampak bingung.
"Kita"
"Mikirin aku dan kamu?"
"Iya"
"Mikirin apanya? Kita baik-baik aja kan?" nada bicaranya berubah menjadi sedih.
"Menurut kamu gimana?" tanyaku balik.
"Kita....."
"Udah gak kayak dulu lagi kan?" potongku.
"Kita baik baik aja" tegas Nica.
"Itu kan menurut kamu" jawabku pelan. Terus terang aku jadi sedih. Nica sangat submissive, selalu bermental melayani dan mengutamakanku. Sedangkan aku bertolak belakang dengannya. Aku hanya diam saja sejak sebulan berlalu. Aku semakin tidak nyaman dengan pikiranku sendiri.
"Aku harus gimana lagi?" tanya Nica. Suaranya mengindikasikan dia mulai menangis. "Aku tau kamu jadi dingin banget sama aku" dan hening.
"Kamu gak ada harus ngapa ngapain, kamu gak salah apa-apa" balasku.
"Tapi kamu terus-terusan dingin sama aku..." tangis Nica. "Apa yang Dian punya dan aku gak punya??" tanyanya dalam tangisannya.
"Ini bukan masalah kamu dan dia.. Ini masalahku" jawabku.
"Aku udah bilang kan..... Masalah kamu masalah aku juga.... Aku sayang kamu...." rengek Nica.
"Kita bukan suami istri. Gak ada kewajiban kamu untuk beresin masalahku" jawabku kepadanya dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku merasa mual.
"Apa yang Dian punya dan aku gak punya? Apa yang udah Dian lakuin ke kamu selama ini, sampe-sampe walau kamu udah disakitin, kamu tetep maunya sama dia kan?" perkataan itu menusuk hatiku. Menusuk sangat dalam. "Jangan bahas orang lain. Dia gak ada hubungannya sama kita" jawabku.
"Kamu jadi dingin ke aku karena mikirin dia terus kan?" tanya Nica dengan air mata bercucuran. Sudah dua kali aku membuatnya menangis dalam mobilku seperti sekarang ini.
"Nica, dia gak ada hubungannya sama hubungan kita"
"Pasti ada"
"Aku gak tega liat kamu terus-terusan ngasih semuanya ke aku, sedangkan aku gak ada sedikitpun usaha buat nyayangin kamu"
"Itu karena aku kurang kan! Kamu tinggal bilang aku harus ngapain..... Apapun boleh buat kita sayang...." rajuknya dengan gencar.
"Jangan berlebihan"
"Pasti kamu bisa sayang lagi sama aku! Aku cuma tinggal ngelakuin yang kamu minta kan?"
"Gak sesederhana itu"
"Kamu maunya apa?"
"Nica... Jangan kayak gitu..."
"Apapun yang kamu mau"
"Apapun?" tanyaku.
"Iya"
"Jangan buang waktu kamu sama aku lagi" Nica mendadak terdiam mendengar jawabanku. Yang bisa kudengar hanya tangisannya, pelan, yang tersamar oleh suara kendaraan di luar mobil dan angin malam itu.
"Aku harus gimana kalo gak sama kamu?" tanyanya masih dalam tangis.
"Sebelum ketemu aku kamu gak kenapa napa kan?"
"Sebelum ketemu Dian kamu juga sama kan?" tanyanya balik.
"Dia gak ada hubungannya sama kamu" balasku
"Tapi ada hubungannya sama kamu"
"Nica...."
"Please, aku mesti gimana lagi?"
"Udah aku bilang, gak usah buang waktu lagi sama aku"
"Aku nggak mau"
"Mana bisa kita berhubungan kayak gitu. Kamu rela ngabisin energi kamu buat orang yang ga punya perasaan sama kamu lagi?" jelasku.
"Tapi kamu dulu punya"
"Sayangnya sekarang gak kayak gitu lagi"
"Please......"
Tangannya menggamit tangan kiriku. Digenggamnya dengan erat. Bergantung seolah tidak akan pernah lepas.
"Nica..."
"Please...."
"Jangan bikin aku kasian sama kamu"
"Sayang....."
"Kalau dasarnya kasian, kamu gak akan dapat kebahagiaan dari pasangan kamu" sejujurnya sangat berat mengatakannya. "Jangan buang waktu kamu sama aku" lanjutku. "Aku cuma orang yang terlalu banyak mikir. Terlalu banyak galau. Mungkin emang kita kayaknya gak cocok tapi dipaksain" Nica dengan lemas melepas tangannya. Diam membahana di seisi mobil.
"Kita baik-baik aja kan?" tanya Nica
"Maksudnya?"
"Iya kan? Kita omongin di apartemen aja, aku nginep, pasti abis itu baik lagi kan kita....." tangisnya sudah berhenti. Tapi nada bicaranya masih sesak.
"Gak kayak gitu cara kerjanya..." sanggahku
"Kemarin kita masih biasa-biasa aja..."
"Itu kan menurut kamu"
"Apa yang beda dari aku sama Dian?" Nica terus bertanya. "Kenapa kamu terus gak bisa lupain dia? Kasih tau apa yang bisa kulakuin supaya kamu bisa lupain dia... Please....." aku menghela nafas. Aku memang ingin melupakan Dian. Tapi bukan seperti ini caranya. Aku berjuang, tapi ingatan itu kembali lagi. Aku tak bisa hanya ada di dalam hubungan yang satu arah seperti ini. Lebih baik aku sudahi saja. Aku tak ingin melukai Nica lebih dalam lagi.
"Nica. It doesn't work" aku menarik nafas panjang. "Aku gak mau kamu kejebak sama aku yang dingin sama kamu. Ini yang terbaik" Nica diam saja. Menunduk. Mukanya menyiratkan ekspresi sedih, marah, kecewa dan semuanya.
"Aku gak bakal bisa lupain kamu" bisiknya.
"Aku juga. Tapi kita gak bisa dalam situasi kayak gini terus" jawabku.
"Apa ada cara buat kita bareng?" aku hanya menggeleng saja tanpa bahasa.
------------------------------------------
Mobil berjalan dengan pelan. Menembus jalanan malam Jakarta, tanpa suara. Bahkan suara angin dan jalan raya pun seperti tak terdengar lagi. Hanya suara tangis pelan dari kursi penumpang yang mewarnai malam itu. Kacamata yang basah, muka yang merah dan nafas yang memburu. Itulah suara yang kudengar malam ini. Aku bahkan tak mampu melirik perempuan yang innocent itu. Aku melukainya, melukai harapannya, dan semua itu kulakukan untuk kepentinganku sendiri. Entah kepentingan apa.
Tubuhnya meringkuk lemah di kursi, dengan tangan memeluk kakinya. Kepalanya disandarkan ke pintu mobil, tak peduli bentuk rambutnya rusak. Mata yang tanpa dosa itu terus mengucurkan air mata tanpa henti. Air mata yang kuharap bisa kukeluarkan, untuk ikut merasakan dan meringankan bebannya. Tapi mataku terus terpaku ke jalan, menyuruhku untuk terus diam. Terus diam tanpa ekspresi. Mual. Mual hebat yang mungkin baru bisa reda ketika kau mencabut kelaminmu sendiri. Wajahku mungkin pucat. Mungkin. Aku bahkan tak berani melirik ke spion. Perjalanan ke rumah Nica kali ini terasa seperti berabad-abad lamanya. Tiap kerikil yang dilindas oleh mobilku sangat terasa efeknya di punggungku. Sangat menyakitkan. Matanya terus meneteskan air mata, gemetar, tak mau melirik sedikitpun ke arah kanannya.
Hal yang tersulit adalah turun dari mobil. Nica terus diam tanpa suara, berusaha terlihat tegar di depan siapapun yang nanti akan menyambutnya di rumah. Gerakan-gerakan tanpa suara itu mulai terlihat. Dengan pelan dia keluar, tanpa bicara apapun. Merayap menuju arah pintu. Aku telah melukainya sangat dalam.Menghibur memeluknya hanya akan menjadikanku lebih jahat lagi padanya. Bicara padanya hanya akan merusak hatinya lebih dalam lagi. Dan aku hanya bisa melihatnya berjalan gontai masuk ke dalam rumahnya. Melangkah dengan enggan, kadang terhenti untuk sekedar mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Aku tetap di parkiran, menunggu sosoknya hilang dari pandangan.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Pantes" ketus Anggia. "Pantes dari tadi pagi gw didiemin ama si Nica. "Gara gara elu ternyata" aku hanya menghela nafas mengangkat tanganku.
"Mau gimana lagi"
"Ya urusan kalian sih ya..." balas Anggia pelan sambil menyetir. Kelompok makan siang yang tadinya terdiri dari tiga orang kini menjadi dua.
"Ke elu sendiri gimana?" tanyanya ke aku
"Dingin"
"Soal kerjaan?"
"Biasa aja"
"Balik manggil Mas lagi?"
"Iya"
"Bagus dong"
"Gak sebagus yang lo bayangin Nggi"
Keputusan untuk berpisah semalam membuatku lega, tidak menjadikan Nica sebagai pelampiasanku atas rusaknya hubunganku dan Dian lagi. Tapi semalam juga bukannya tanpa masalah. Walaupun akhirnya ia menyerah, tapi aku merasakan aura suram dan dendam dari diri Nica. Aku menghela nafas dan memainkan korek api di tanganku.
"Weekend abis gereja gw ke tempat lo ya" celetuk Anggia.
"Ngapain?"
"Nengok orang jomblo" seringainya.
------------------------------------------
BERSAMBUNG