Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE LUCKY BASTARD (RACEBANNON - REVIVAL)

Penasaran lanjutan kisah di anggi. Hehe


Mantab om! :jempol:
 
wuiih ceritanya suhu rb emang yahuud semua,nunggu apdet nya ga nyampe lumutan,ijin ikut jaga tenda ya om :jempol:
 
THE LUCKY BASTARD – PART 16

------------------------------------------

desain10.jpg

"Ngobrol apa sayang?" tanya Nica dengan senyumnya.
"Nanti aja pas makan siang atau pulang ya...." jawabku dengan senyum yang kaku.

Selain beres-beres, rapat progress menyita energi cukup banyak untuk hari ini. Team leader seperti aku dan Anggia yang paling banyak capek pada rapat. Kadang aku iri dengan divisi IT, yang isinya satu kantor ini cuma seorang, dan ruang lingkup pekerjaannya tidak bertemu dengan klien, hanya masalah jaringan internal, hardware, dan updating dan lisensi software. Mbak Vania menjabarkan list pekerjaan yang akan masuk. Beberapa diantaranya membutuhkan travelling, baik dalam dan luar negeri. Anggia senang dengan banyaknya proyek yang membutuhkan jalan jalan. Sedangkan aku super malas. Tahun depan Mas Akbar akan pergi ke Jepang. Tapi hanya sendirian. Dan Anggia merengek bercanda ingin ikut. Kami di rapat hanya menertawai tingkah konyolnya.

Karena rapat sangat menyita waktu, jadi kami makan siang di kantor, di ruang rapat. Aku menyempatkan diri untuk merokok di luar sebentar.

"Kasian kamu sibuk banget hari pertama...." Nica mengagetkanku.
"Iya" balasku singkat sambil tetap menatap jalanan.
"Jangan kebanyakan bengong" tatapnya khawatir. Aku hanya meliriknya dam senyum. "Ngomong-ngomong akhir taun ini, kamu gak kemana mana kan?" tanyanya.
"Kenapa emang?"
"Ke Aussie nemenin aku yuk" ajaknya
"Ketemu kakak kamu?"
"Iya" pikiranku mendadak bercabang. Antara ajakan Anggia, atau Aussie, atau malah hal yang sebenarnya ingin kusampaikan pada Nica?

"Gimana?" tanya Nica memastikan.
"Belum tau. Nanti malem lanjut ngobrol lagi ya" jawabku tak jelas.
"Aku pengen liburan sama kamu" senyumnya. Aku hanya membalas senyumnya, memegang kepalanya dan mengacak rambutnya, tak menjawab pertanyaannya. Aku kemudian berlalu, masuk ke dalam, meninggalkannya di luar tanpa jawaban.

------------------------------------------

"Mampus gue" umpat Mas Akbar.
"Kenapa mas?" celetuk Mbak Kinanti, ibu-ibu berkerudung, orang finance dan admin.
"Pokemonnya lepas"
"Kirain apa...." keluh Mbak Kinanti. Di dalam ruang rapat itu, kami sedang break sebentar, di tengah rapat progress yang menjemukan. Selain Aku dan Anggia sebagai team leader, tentunya ada Mas Akbar dan Mbak Vania, Mbak Kinanti, Andrew orang IT satu-satunya dan Johar, bussiness development merangkap leader untuk team moving image.

"Dah bilang Nica?" bisik Anggia.
"Belom"
"Payah"
"Dia ngajakin gue ke Aussie soalnya"
"Asik dong"
"Gue belom bilang iya"
"Lah bego"
"Kok bego"
"Kan asik liburan ama pacar"
"Tau dari mana" jawabku sinis. Aku mendadak mengingat liburan-liburanku dengan Dian. Bali. Singapura. KL. Yogyakarta. Bandung. Dieng. Aku mendadak menelan ludah. Sulit sekali untuk bilang ya dan tidak. Terlebih saat suasana pikiranku sedang sangat kalut sehabis liburan.

"Ntar malem gue omongin" infoku ke Anggia.
"Kebanyakan nunda lu"
"Berisik"
"Emangnya gue petasan berisik"
"Ini bedua berantem mulu deh" sela Mbak Vania. "Udah breaknya. Lanjut lagi. Sekarang Johar deh, mau tau gue mau naro apa lo buat materi video profile perusahaannya" tunjuknya ke Johar yang sedang asyik browsing sosmed dan kaget setelah ditunjuk.

------------------------------------------

eco-dr10.jpg

"Kamu udah makan?" tanya Nica di dalam mobil
"Belum" jawabku pelan.
"Makan dong, aku temenin deh..."
"Nanti aja di apartemen"
"Udah malem sayang... Ntar sakit lagi lho...." sakit lagi. Mungkin ada baiknya. Tapi membayangkan pertemuan dengan Dian membuat aku mual. Sudah berapa lama ini isi kepalaku selalu berkutat pada sejarahku dan Dian. Tapi kalau bertemu dengannya, aku pasti dengan otomatis gemetar atau kabur. Sebenarnya aku mau apa? Hubunganku dengan Nica tampak sempurna, tapi sempurna menurut siapa? Aku kasihan makin lama hubungan ini jadi seperti sepihak saja. Aku sangat pasif dan tampak tak pernah memberi respon apapun kepadanya sejak kejadian yang melibatkan Bram sebulan lalu. Nica terlalu banyak mencurahkan hatinya ke diriku. Sedangkan aku ke siapa? Kepalaku sibuk memikirkan hal lain di luar dirinya, hanya badanku saja yang bersamanya.

"Jadi ikut kan sayang?" tanya Nica. Pasti soal Australia. Aku termangu mendengarnya. Terdiam. Melihat terus ke arah jalan.

"Sayang" tegur Nica
"Hm?"
"Kamu ngelamun lagi"
"Oh" jawabku pelan. Nica tampak berusaha sabar menghadapiku. "Ikut kan? Biar kamunya refreshing juga"
"Gak tau"
"Kok gak tau?" muka Nica menunjukkan kekecewaan.

"Kamu gak mau pergi bareng aku?" tanyanya dengan nada kecewa.
"Aku gak bilang gitu"
"Kok kayaknya gak suka"
"Jangan nebak-nebak dong"
"Sayang...." Nica tampak merajuk. "Kamu lagi mikirin apa sekarang?" tanyanya kecewa. "Kamu kayak lagi gak ada disini" selidiknya. Aku diam saja. Menatap mata Nica pun aku tidak berani.

"Kamu lagi mikirin apa sayang?" Nica tampak bingung.
"Kita"
"Mikirin aku dan kamu?"
"Iya"
"Mikirin apanya? Kita baik-baik aja kan?" nada bicaranya berubah menjadi sedih.
"Menurut kamu gimana?" tanyaku balik.
"Kita....."
"Udah gak kayak dulu lagi kan?" potongku.
"Kita baik baik aja" tegas Nica.
"Itu kan menurut kamu" jawabku pelan. Terus terang aku jadi sedih. Nica sangat submissive, selalu bermental melayani dan mengutamakanku. Sedangkan aku bertolak belakang dengannya. Aku hanya diam saja sejak sebulan berlalu. Aku semakin tidak nyaman dengan pikiranku sendiri.

"Aku harus gimana lagi?" tanya Nica. Suaranya mengindikasikan dia mulai menangis. "Aku tau kamu jadi dingin banget sama aku" dan hening.

"Kamu gak ada harus ngapa ngapain, kamu gak salah apa-apa" balasku.
"Tapi kamu terus-terusan dingin sama aku..." tangis Nica. "Apa yang Dian punya dan aku gak punya??" tanyanya dalam tangisannya.
"Ini bukan masalah kamu dan dia.. Ini masalahku" jawabku.
"Aku udah bilang kan..... Masalah kamu masalah aku juga.... Aku sayang kamu...." rengek Nica.
"Kita bukan suami istri. Gak ada kewajiban kamu untuk beresin masalahku" jawabku kepadanya dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku merasa mual.

"Apa yang Dian punya dan aku gak punya? Apa yang udah Dian lakuin ke kamu selama ini, sampe-sampe walau kamu udah disakitin, kamu tetep maunya sama dia kan?" perkataan itu menusuk hatiku. Menusuk sangat dalam. "Jangan bahas orang lain. Dia gak ada hubungannya sama kita" jawabku.

"Kamu jadi dingin ke aku karena mikirin dia terus kan?" tanya Nica dengan air mata bercucuran. Sudah dua kali aku membuatnya menangis dalam mobilku seperti sekarang ini.
"Nica, dia gak ada hubungannya sama hubungan kita"
"Pasti ada"
"Aku gak tega liat kamu terus-terusan ngasih semuanya ke aku, sedangkan aku gak ada sedikitpun usaha buat nyayangin kamu"
"Itu karena aku kurang kan! Kamu tinggal bilang aku harus ngapain..... Apapun boleh buat kita sayang...." rajuknya dengan gencar.
"Jangan berlebihan"
"Pasti kamu bisa sayang lagi sama aku! Aku cuma tinggal ngelakuin yang kamu minta kan?"
"Gak sesederhana itu"
"Kamu maunya apa?"
"Nica... Jangan kayak gitu..."
"Apapun yang kamu mau"
"Apapun?" tanyaku.
"Iya"
"Jangan buang waktu kamu sama aku lagi" Nica mendadak terdiam mendengar jawabanku. Yang bisa kudengar hanya tangisannya, pelan, yang tersamar oleh suara kendaraan di luar mobil dan angin malam itu.

"Aku harus gimana kalo gak sama kamu?" tanyanya masih dalam tangis.
"Sebelum ketemu aku kamu gak kenapa napa kan?"
"Sebelum ketemu Dian kamu juga sama kan?" tanyanya balik.
"Dia gak ada hubungannya sama kamu" balasku
"Tapi ada hubungannya sama kamu"
"Nica...."
"Please, aku mesti gimana lagi?"
"Udah aku bilang, gak usah buang waktu lagi sama aku"
"Aku nggak mau"
"Mana bisa kita berhubungan kayak gitu. Kamu rela ngabisin energi kamu buat orang yang ga punya perasaan sama kamu lagi?" jelasku.
"Tapi kamu dulu punya"
"Sayangnya sekarang gak kayak gitu lagi"
"Please......"

Tangannya menggamit tangan kiriku. Digenggamnya dengan erat. Bergantung seolah tidak akan pernah lepas.

"Nica..."
"Please...."
"Jangan bikin aku kasian sama kamu"
"Sayang....."
"Kalau dasarnya kasian, kamu gak akan dapat kebahagiaan dari pasangan kamu" sejujurnya sangat berat mengatakannya. "Jangan buang waktu kamu sama aku" lanjutku. "Aku cuma orang yang terlalu banyak mikir. Terlalu banyak galau. Mungkin emang kita kayaknya gak cocok tapi dipaksain" Nica dengan lemas melepas tangannya. Diam membahana di seisi mobil.

"Kita baik-baik aja kan?" tanya Nica
"Maksudnya?"
"Iya kan? Kita omongin di apartemen aja, aku nginep, pasti abis itu baik lagi kan kita....." tangisnya sudah berhenti. Tapi nada bicaranya masih sesak.
"Gak kayak gitu cara kerjanya..." sanggahku
"Kemarin kita masih biasa-biasa aja..."
"Itu kan menurut kamu"

"Apa yang beda dari aku sama Dian?" Nica terus bertanya. "Kenapa kamu terus gak bisa lupain dia? Kasih tau apa yang bisa kulakuin supaya kamu bisa lupain dia... Please....." aku menghela nafas. Aku memang ingin melupakan Dian. Tapi bukan seperti ini caranya. Aku berjuang, tapi ingatan itu kembali lagi. Aku tak bisa hanya ada di dalam hubungan yang satu arah seperti ini. Lebih baik aku sudahi saja. Aku tak ingin melukai Nica lebih dalam lagi.

"Nica. It doesn't work" aku menarik nafas panjang. "Aku gak mau kamu kejebak sama aku yang dingin sama kamu. Ini yang terbaik" Nica diam saja. Menunduk. Mukanya menyiratkan ekspresi sedih, marah, kecewa dan semuanya.

"Aku gak bakal bisa lupain kamu" bisiknya.
"Aku juga. Tapi kita gak bisa dalam situasi kayak gini terus" jawabku.
"Apa ada cara buat kita bareng?" aku hanya menggeleng saja tanpa bahasa.

------------------------------------------

Mobil berjalan dengan pelan. Menembus jalanan malam Jakarta, tanpa suara. Bahkan suara angin dan jalan raya pun seperti tak terdengar lagi. Hanya suara tangis pelan dari kursi penumpang yang mewarnai malam itu. Kacamata yang basah, muka yang merah dan nafas yang memburu. Itulah suara yang kudengar malam ini. Aku bahkan tak mampu melirik perempuan yang innocent itu. Aku melukainya, melukai harapannya, dan semua itu kulakukan untuk kepentinganku sendiri. Entah kepentingan apa.

Tubuhnya meringkuk lemah di kursi, dengan tangan memeluk kakinya. Kepalanya disandarkan ke pintu mobil, tak peduli bentuk rambutnya rusak. Mata yang tanpa dosa itu terus mengucurkan air mata tanpa henti. Air mata yang kuharap bisa kukeluarkan, untuk ikut merasakan dan meringankan bebannya. Tapi mataku terus terpaku ke jalan, menyuruhku untuk terus diam. Terus diam tanpa ekspresi. Mual. Mual hebat yang mungkin baru bisa reda ketika kau mencabut kelaminmu sendiri. Wajahku mungkin pucat. Mungkin. Aku bahkan tak berani melirik ke spion. Perjalanan ke rumah Nica kali ini terasa seperti berabad-abad lamanya. Tiap kerikil yang dilindas oleh mobilku sangat terasa efeknya di punggungku. Sangat menyakitkan. Matanya terus meneteskan air mata, gemetar, tak mau melirik sedikitpun ke arah kanannya.

Hal yang tersulit adalah turun dari mobil. Nica terus diam tanpa suara, berusaha terlihat tegar di depan siapapun yang nanti akan menyambutnya di rumah. Gerakan-gerakan tanpa suara itu mulai terlihat. Dengan pelan dia keluar, tanpa bicara apapun. Merayap menuju arah pintu. Aku telah melukainya sangat dalam.Menghibur memeluknya hanya akan menjadikanku lebih jahat lagi padanya. Bicara padanya hanya akan merusak hatinya lebih dalam lagi. Dan aku hanya bisa melihatnya berjalan gontai masuk ke dalam rumahnya. Melangkah dengan enggan, kadang terhenti untuk sekedar mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Aku tetap di parkiran, menunggu sosoknya hilang dari pandangan.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

desain10.jpg

"Pantes" ketus Anggia. "Pantes dari tadi pagi gw didiemin ama si Nica. "Gara gara elu ternyata" aku hanya menghela nafas mengangkat tanganku.
"Mau gimana lagi"
"Ya urusan kalian sih ya..." balas Anggia pelan sambil menyetir. Kelompok makan siang yang tadinya terdiri dari tiga orang kini menjadi dua.
"Ke elu sendiri gimana?" tanyanya ke aku
"Dingin"
"Soal kerjaan?"
"Biasa aja"
"Balik manggil Mas lagi?"
"Iya"
"Bagus dong"
"Gak sebagus yang lo bayangin Nggi"

Keputusan untuk berpisah semalam membuatku lega, tidak menjadikan Nica sebagai pelampiasanku atas rusaknya hubunganku dan Dian lagi. Tapi semalam juga bukannya tanpa masalah. Walaupun akhirnya ia menyerah, tapi aku merasakan aura suram dan dendam dari diri Nica. Aku menghela nafas dan memainkan korek api di tanganku.

"Weekend abis gereja gw ke tempat lo ya" celetuk Anggia.
"Ngapain?"
"Nengok orang jomblo" seringainya.

------------------------------------------


BERSAMBUNG
 
sayang beud tuh si nica ama aku, tp salut dia tetep masuk kerja meski hatinya remuk,

tanya nih master @racebannon , kemaren kan ada side story anggia, apa bakal di eksplor di tread ini? kalo iya, melalui pov anggia sendiri atau pov penulis? thanks

keep the faith
 
Sejujurnya sich pengen nya Anggia tuch jadian sama si AKU.. tapi suhu RB malah milih yg lain.. Good story suhu bisa memainkan emosional pembaca..
Setuju sama atas ane, side story nya dulu mending di jadikan satu aja suhu..
Semangat berkarya..
 
Cowok kayak si AKU ini, klo adikku sendiri sih, udah kugampar dari kemaren2.. Introvert, sibuk dgn kebaperannya sendiri. Sampe ngorbanin cewek2 di sekelilingnya, Dian, Anggi, Nica... Gak perjuangkan cintanya, tapi kontinya tetep aja gak tau diri...

The loser bastard with a lucky dick... ;)
 
Konflik perasaan yang hebat...... pernah ngerasain yg seperti ini.....emang ga mudah......bahkan sampe sekarang......

Beda nya cara pelampiasan nya.....
 
Baguslah lebih baik putus, ngapain juga cowok ga punya prinsip dibelain. Nica harus move on. Si "aku" kelaut ajalah biar dimakan hiu, cowok kok lemah gitu. Dimana-mana cowok lebih pake logika daripada perasaan. Sorry suhu... baper habis liat cowok model gitu.
 
Bimabet
THE LUCKY BASTARD – PART 17

------------------------------------------

kamar-10.jpg

"Morning sunshine..." suara manja Anggia di sebelah membangunkanku. Aku kaget. Melotot. Melihat jam, Jam 12 siang. Celingukan ke kanan kiri. Kenapa Anggia ada disini? "Kenapa kok linglung?" suara Anggia bergema di kepalaku yang kaget. "Apaan nih?" tanyaku setengah sadar. "Kita ML semalem" jawab Anggia dengan tenang. "ML?!? Masa?!" aku kaget. Memeriksa pakaianku, masih lengkap ternyata. Aku sedikit demi sedikit bisa melihat pakaian Anggia. Hot pants jeans, Kaos Incubus belel dari jaman dia kuliah, dan aku makin heran.

"BAHAHAHAHAHAHAHA!" tawa Anggia keras, disusul dengan tawa aneh Rendy dari luar kamar.
"Apaan?!" tanyaku kaget
"Bangun ah!" seru Anggia. Ternyata Anggia menjahiliku. "Gak bangun-bangun sih elo.... Tau gitu gw blowjobin sekalian" celetuknya kasar.
"Ya Allah... gitu banget yak...." terdengar bisik geli-geli risih Rendy dari luar kamar.

Aku bangkit dengan gusar. "Udah pada sinting ya lu semua".
"Lagian tidur ga pake dikunci kamarnya..." protes Anggia.
"Mulai ntar malem gue gembok" balasku pelan setengah tak sadar.

Aku bangun dan segera mandi. Mandi yang sangat lama. Masih terngiang-ngiang di kepalaku tangis Nica dan aksi diamnya seminggu ini. Setelah kejadian itu praktis obrolan di antara kami hanya soal masalah pekerjaan. Diluar itu nol besar. Anggia pun kena imbasnya. Karena kedekatannya denganku, Nica pun jadi menjauhinya. Apalagi di awal-awal hubungan kami berdua. Dia sempat menyuarakan rasa tidak nyamannya karena aku dan Anggia sangatlah dekat. Sungguh aneh berada di ruangan berdua dengan Nica, dengan suasana dingin yang menyelimuti. Tak jarang dia dan aku berpandangan, saling melihat. Setelah itu kami refleks membuang pandangan ke tempat lain. Orang-orang di kantorku tidak ada yang berani bertanya kepadaku ataupun Nica soal kami berdua. Mungkin mereka ingat waktu kejadian baru saja terjadi, reaksi-reaksi emosional yang kukeluarkan dulu. Kini mereka semua hanya membisu menanggapi kondisiku dengan Nica. Dalam hati aku berharap semua rasa tidak enak ini segera hilang dan Nica bisa lanjut dengan kehidupan percintaannya di tempat lain, tanpa harus memikirkanku yang masih terkatung-katung antara memori Dian dan masa depanku.

Selesai mandi, aku langsung menuju meja makan, mendapati Rendy sedang nonton TV dan Anggia yang sedang memainkan handphonenya di meja makan. Tanpa suara aku menyalakan rokokku.
"Gak ke gereja Nggi?" tanyaku.
"Kan ini sabtu bego"
"Oh iya" tampaknya aku sudah lupa hitungan hari. "Katanya mau kesininya minggu?" lanjutku.
"Gak jadi. Besok kakak gue ngajakin entah kemana abis gereja" jawabnya.
"Gimana ya rasanya nikah di gereja...." celetuk Rendy dengan penuh harap, melirik Anggia.
"Yang pasti kalo itu kejadian di gue, udah pasti gak sama elo sih Ren" ledek Anggia.
"Yah, hati orang siapa yang tau" jawab Rendy sekenanya.

Aku menghisap rokokku dalam-dalam.
"Ngapain kesini sih?" tanyaku
"Bali"
"Ngomongin Bali?"
"Iya lah, jadi ikut kan?"
"Jangan mentang-mentang gue baru putus terus langsung setuju pergi sama elo dong" jawabku agak panjang.
"Kalo cuma gue berdua Rendy, pasti dia disuruh pindah agama terus nikahin gue ama bokap" tunjuk Anggia ke Rendy. Rendy tersenyum penuh harap. "Tapi lo jangan ngarep" lanjutnya sambil menyeringai ke arah Rendy.

"Pede amat gue bakal langsung bilang iya" balasku.
"Udah pokoknya bulan ini gajian langsung beli tiket"
"Maksa"
"Kok gak bilang nolak kalo ga mau?"
"Masih belum tau" jawabku pelan.
"Susah amat sih jadi orang nentuin pilihan..." balas Anggia.

Aku menghela nafas. Bali. Memoriku bersama Dian banyak disana. Entah kenapa setelah aku berpisah dengan Nica, aku merasa agak ringan. Mungkin karena aku secara alam bawah sadar lepas dari perasaan tidak enakku kepada Nica, yang begitu luar biasa berkorban dan selalu mati-matian ingin menggantikan posisi Dian di dalam kepalaku. Di sisi lain hal yang sama membuatku merasa tidak enak padanya. Canggung. Kaku. Kami jadi seperti orang asing lagi.

"Yaudah deh"
"Yaudah apaan?"
"Gue ikut aja"
"Asiiiiiiik" Anggia tampak senang mendengarnya. Aku lebih memikirkan diriku. Aku harap kepergianku kesana bersama dengan teman teman baikku bisa membuat perasaan tidak enakku akibat drama tahun ini jadi ringan. Aku ke Bali. Nica sudah pasti ke Australia. Mudah-mudahan pertemuan dengan kakaknya bisa membuat dirinya cepat melupakanku dan move on.

"Jadi nanti kita minjem villa om gue di Ubud ya"
"Gaya amat Nggi" aku berkomentar
"Ada satu kamar utama di lantai atas, sama 4 kamar tamu dibawah"
"Gede dong" Rendy berkomentar
"Ada kolam renangnya tapi kecil lah"
"Buset" aku berkomentar
"Tapi mobil agak susah masuk jadi kudu diparkir agak jauh"
"Aneh amat" Rendy berkomentar. Anggia terlalu excited sehingga tidak menghiraukan ucapan kami. "Nica ikut kan?" tanya Rendy. "Engga Ren" jawabku. "Lho" "Lho? Lo belom cerita ke Rendy?!?!" teriak Anggia.

"Apaan nih?" Rendy bingung
"Gue dah ga bareng dia" jawabku.
"Boong lo"
"Beneran"
"Sayang amat"
"Mau gimana lagi"
"Kok bisa?"
"Ya udah ga nyaman aja Ren, mau apa?" aku mengangkat bahuku. Anggia hanya melirik kami berdua bolak balik.
"Lo mesti cari cewek di Bali" celetuk Anggia.
"Duh Nggi..." jawabku pelan.
"Loh... Gue aja mau cari cowok, bule ganteng gitu kali ya" khayalnya dungu.

"Jadi misal nih, kalo gw bule ganteng... Lo mau ama gw Nggi?" tanya Rendy tolol. "Ogah" ledek Anggia sekenanya.

Aku tersenyum dalam hati. Walau Dian, Nica, atau siapapun datang dan pergi di hatiku, mereka berdua, Rendy dan Anggia tidak akan pernah meninggalkanku.

------------------------------------------

Aku menonton TV dengan malas. Rendy sudah pergi entah kemana. Anggia malas-malasan di karpet kamar Rendy. Karena iseng, aku memeriksa media sosial. Facebook. "Dwi Attallyana Veronica is Single" dan beberapa komentar menyemangati dia. Mendadak aku mengetikkan sebuah nama di kolom search. "Dianti Paramita" kosong. Aku berpikir sejenak. Oh iya, aku lupa, aku dulu memblock nya dari facebookku. Mendadak jantungku berdegup kencang. Haruskah aku membuka blocknya? Dalam bingungku, akhirnya aku menutup facebook dan lantas membuka instagram. Kuketikkan lagi hal yang ingin kucari. "dianwp". Ketemu. Dan ternyata laman profilnya digembok. Bagus, menurutku, agar tidak semakin menyakitkan melihatnya.

Mendadak aku iseng memeriksa akun instagram Anggia, karena memang tadi dia memberikan tag aku dan Rendy di foto terakhirnya. Aku melihat foto itu. Foto selfie aku, Rendy dan Anggia di meja makan. "With Besties, Bali trip planning XOXOXOXOXO" aku tersenyum geli melihatnya. Tapi, aku menemukan nama yang tidak asing memberikan likenya di foto tersebut. attallyananica. Aku mengkerutkan dahiku. Kenapa Nica memberi like kepada foto itu? Setahuku Nica bukan tipe yang suka penasaran dengan hidup orang lain di media sosial. Mendadak kepalaku memberikan ide bahwa mungkin saja timbul rasa cemburu dari Nica yang besar ke Anggia. Karena harusnya, biasanya di hari-hari seperti ini aku dan Nica yang bersama, bukan dengan Anggia, walau konteksnya beda. Tetapi hati yang kalut dan galau pasti memberikan ide yang lain. Ide yang berujung kepada penderitaan. Kecurigaan yang terlampau besar. Mungkin saja bukan hanya Dian yang menyebabkan Nica begitu bersemangat mencari dan menuangkan perhatian kepadaku. Mungkin kah juga ada faktor Anggia disitu? Aku hanya bisa menggelengkan kepala pusing membayangkan koneksi yang makin ruwet tersebut.

------------------------------------------

"Ga pulang Nggi? Rendy baliknya masih lama kayaknya" aku bertanya pada Anggia sore itu.
"Males pulang, ga ada yang rame di rumah" jawabnya sekenanya. Dia sedang ikut menikmati TV bersamaku.
"Lo dah liat IG lo?" tanyaku kepadanya.
"Belom dari tadi siang" jawabnya cuek.
"Liat gih" perintahku. Dia oenasaran dan membukanya, lalu ekspresinya jadi agak aneh.

"Nica ngapain ngelike foto ini...." herannya. "Dia ga pernah like foto apapun dari gue kok" sambungnya heran.
"Makanya" jawabku. "Tapi biarin aja lah...." dengusku sebal.
"Beda banget ya"
"Beda apanya Nggi?" tanyaku.
"Elo"
"Hah?"
"Kalo ngomongin Dian bisa blingsatan. Ini sekarang ngomongin Nica biasa aja" jelasnya "Kasian tau tu anak jadi diem ama kita berdua" lanjut Anggia.
"Ya ga tau Nggi. Biar lah, namanya pacaran juga pasti kalo putus ada fase-fase kasiannya" balasku.
"Sumpah beda banget"
"Apaan Sih..." aku jadi risih.

"Lo soal Nica biasa banget. Coba ganti topik jadi Dian. Dijamin, kayak tentara veteran ngomongin belanda, blingsatan...." aku hanya menghela nafas dan menatap Anggia dalam dengan ekspresi kesal. Akupun heran kenapa kondisinya berbeda. Luka dengan Dian begitu dalam, sehingga bahasan soalnya sekarangpun bisa membuatku panik. Tetapi dengan Nica, semuanya berbeda. Mungkin karena sekarang aku jadi antagonisnya. Peran penjahat, yang melukai hati si korban. Tapi lebih baik begitu, daripada keterusan, dan luka hati Nica akibat cinta sepihaknya makin besar, lebih baik terluka sekarang dan pelan-pelan sembuh. Mungkin hubunganku dan Dian yang sudah terlalu dalam juga menyebabkan kehampaan ini. Ketika sesuatu yang sudah terlalu dalam dan terlalu prinsip dicabut, lukanya akan semakin dalam, lebar, membutuhkan waktu yang lama dan panjang untuk bisa sembuh. Atau mungkin tidak bisa sembuh. Tidak ada yang tahu.

"BTW"
"BTW apa Nggi"
"Kan lo single sekarang"
"Terus?"
"Bisa dong"
"Bisa apaan?"
"ML lagi"
"Ya ampun Nggi..." aku menggelengkan kepala.
"Ah mau juga kaaaan" goda Anggia.
"Gak gitu juga Nggi"
"Gue udah tujuh bulanan gak ML nih... gara-gara elo punya pacar" rajuknya. "Gue kan males cari pacar juga ya, tadinya gw pikir ga bisa ML sama lu lagi" senyumnya nakal. "Tapi sayang gue lagi mens" mukanya terlihat kecewa. "Bagus deh" balasku. "Eh Tapi!" tiba-tiba dia mengagetkanku. "Mulut sama pantat gw kan gak mens" dahiku berkerut. "Pantat?" heranku. "Eh jangan deh. Kan kalo mens sama aja resiko belepotan" khayalnya nakal. Aku agak bingung. Sebenarnya sampai mana batas kenakalan seksualnya Anggia?

"Ayo dong..." goda Anggia. "Biar lo rileks lagi" lanjutnya dengan gaya yang nakal. Aku mendadak tak kuasa menolaknya. "Sekarang gue yang kerja ya... Besok-besok lo mesti muasin gue, anggap aja ntar balik dari Bali gue dah ada pacar bule" lanjutnya jahil. Anggia mendekat, dan berusaha membuka paksa celanaku. Anggia dengan nakal menariknya. Selalu tak bisa kutolak. Untung ketika dulu waktu aku masih pacaran dengan Nica, pertahananku sebegitu kuatnya. Sekarang aku hanya bisa pasrah saja meladeni Anggia dan nafsunya yang tertahan berbulan bulan. "Coba gue lagi gak mens" dia berhasil membuka celanaku. Penisku sudah berdiri, siap untuk bertemu Anggia lagi. "Kok... emang udah pengen ya?" tawanya kecil. Aku hanya bisa tersenyum cuek, pasrah ketika dia memulainya. "Gue gak usah buka baju ya..." bisiknya nakal.

Anggia duduk berlutut di depanku, memandang ke penisku yang berdiri tegak. Dia lantas memegang pangkalnya dengan penuh nafsu, dan mulai menjilatinya. Perlahan ia mengocoknya, sambil menjilatinya dengan penuh gairah. Perlahan dia memasukkan penisku ke mulutnya, mulai mengulumnya dengan penuh nafsu. Bisa kurasakan nafasnya memburu, dengan rambut panjangnya berjatuhan mengenai pahaku. Kadang dia membetulkan letak rambutnya, sembari menjilati penisku. Dia tampaknya sangat bersemangat.

Gila. Baru seminggu tanpa perempuan, hal seperti ini terjadi kepadaku. Anggia kembali bermanuver, menggerakkan kepalanya dengan nafsunya. Mata indahnya melihat mataku tajam, seperti berharap aku tiba-tiba orgasme. Anggia lantas hanya mengulum kepalanya, dan mengurut penisku kasar dengan tangannya. "Nggi.." desahku tidak keruan. "Mmmhh?" tanyanya tak terdengar. Dia mengeluarkan penisku dari mulutnya, menatapku tajam "Kangen kan sama gue...." mukanya sangat menggairahkan. Dia lantas menggodaku dengan menjilat penisku dari pangkalnya sampai kepalanya dengan pelan dan seksama. "Gue mau tau selama berbulan-bulan ini lo ama Nica ngapain aja" celetuknya dengan nakal. Tampaknya dia sudah lama menahan nafsunya. "Gue udah bosen masturbasi..." lanjutnya dengan senyum meledek.

Dia lalu memasukkan penisku lagi ke mulutnya, memijat lembut permukannya dengan bibirnya yang seksi. Matanya fokus menatap penisku. Beberapa kali dia bergerak seksi membenarkan susunan rambutnya, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Waktu serasa berputar. "Mmmhhh?" Anggia mendadak bertanya dalam hening. "Apaan?" balasku tak kuasa menahan nikmat akibat stimulasi berlebihan di penisku. "Suka kan lo?" tanyanya setelah melepaskan penisku dari mulutnya. Aku hanya mengangguk pelan, sambil mengatur nafas. Anggia sejenak hanya menggigit kecil pangkal penisku, dan sesekali menjilati buah zakarku. Lalu dia menatapku tajam, dengan tangan terus mengocok penisku ganas. Tanpa suara dia mendadak dengan ganas mengulumnya kembali. "Mmmm.... Mmmhhh..." dia beraksi dengan liarnya.

Kedua tangannya lantas memegang pahaku. Dia tampak berkonsentrasi, dan menelan penisku perlahan, memasukkan keseluruhan batangnya ke dalam mulutnya, dengan menatapku tajam. "Aahhh..." aku mendesah menikmati deepthroatnya. "Mmgghh." Anggia sedikit terbatuk lalu melepaskan penisku. Dia tertawa kecil melihat reaksiku. Selanjutnya gila. Dia melahap penisku dengan penuh nafsu, mengocoknya dengan kecepatan penuh dan kasar. Aku sangat terangsang dibuatnya. "Nggi gue mau keluar.... bentar lagi" Aku memperingatkannya, kalau-kalau dia tidak rela spermaku tertumpah di dalam mulutnya. Dan semuanya terjadi. Sperma hangatku muncrat di dalam mulutnya. Anggia kaget dan hampir tersedak. Beruntung dia lantas mencabut penisku dari mulutnya, dan beberapa tetes sperma menetes di bibirnya. Mukanya terlihat sangat puas telah mengerjaiku. Matanya menatap nakal dalam-dalam ke arahku.

"Welcome back, Fuckboy...." kata penutupnya diiringi senyum lebar yang menggoda.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd