- Daftar
- 8 Nov 2016
- Post
- 2.840
- Like diterima
- 718
Salam hormat dari saya untuk mimin, supmod, momod, masta, sista, suhu, guru besar, sobat-sobat TS dan reader yang saya cintai.
Ijinkan saya yang newbie ini memposting cerita untuk even LKTCP 2018 sebagai bentuk partisipasi saya sebagai pecinta forum yang kita cintai bersama.
Cerita ini hanyalah fiktif belaka tentang pengalaman seorang Indigo, nama-nama tokoh, tempat kejadian dan alur hanya settingan. Jika terdapat kesamaan dari nama tokoh dan kejadiannya itu hanya kebetulan saja.
Selamat membaca....!!!
Nama saya Andien, umur saya 24 tahun, saya seorang Mahasiswi Fakultas Kedokteran. Dan ini cerita saya...
.
Madiun, 10 Januari 1994
Seorang laki-laki berusia 45 tahun bernama Karta Mihardja sedang menghubungi menantunya lewat HP-nya.
Tuutt... Tuutt...
“Assalamualikum, Ayah.” sahut orang dari ujung telepon sana.
“Waalaikum salam. Nak Ridwan! Ayah dan Ibu sekarang mau ke Surabaya, ini sedang siap-siap berangkat! Firasat Ayah, hari ini Laras akan melahirkan. Apa kamu sekarang dengan Laras, Nak?”
“Iya, bentar Ayah!” sahut menantunya lewat telepon sana.
Lalu Ayah dan Laras berbicara lewat telepon.
“.....”
“.....”
Hingga akhirnya, lelaki itupun menyudahi sambungan teleponnya.
Sementara dari arah dapur, baru saja muncul seorang wanita berusia 42 tahun membawa nampan berisi kopi hitam dan cemilan berjalan mendekati Karta dengan senyum di bibirnya.
“Ayah, diminum dulu kopinya,” ucap wanita itu lembut setelah meletakkan secangkir kopi dan cemilan di atas meja. “Ibu mau siap-siap dulu.”
“Iya, makasih Bu,” sahut Karta pada istrinya. “Oiya Lastri, tolong masukkan keris Ayah juga ya. Ayah punya firasat kurang baik Bu. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mereka.”
“Iya, Ayah. Ibu ke kamar dulu ya!” ucap wanita yang bernama Sulastri itu pada suaminya. Sulastri atau Lastri pun berlalu menuju ke kamar mereka.
Jam 14.00 wib, Karta bersama Lastri berangkat dari rumah mereka ke terminal dengan tujuan kota Surabaya untuk menengok putri semata wayang mereka yang akan melahirkan.
Surabaya, Selasa Kliwon 10 Januari 1994
Pukul 17.50 wib
Suara Adzan Maghrib berkumandang di kota Surabaya dan sekitarnya menandakan telah masuk waktu sholat Maghrib. Di salah satu rumah di kompleks perumahan xxx di Surabaya, terlihat pasangan suami istri yang akan bersiap-siap menunaikan ibadah sholat Maghrib. Laki-laki berusia 25 tahun bernama Ridwan Febriansyah dengan sabar membimbing istrinya yang sedang hamil tua bernama Larasati 22 tahun, saat mengambil wudhu untuk sholat Maghrib berjamaah.
Setelah menyelesaikan ibadah sholat Maghrib, Larasati tiba-tiba mengeluh sakit sambil memegangi perutnya.
“Aduh Mas... SAKIT!!!” Laras merintih sambil memegangi perutnya yang hamil.
“Iya, sayang. Sabar ya, kita segera berangkat sekarang.” ujar Ridwan berusaha tetap tenang. Ia mencoba menenangkan istrinya.
Segera Ridwan membawa Laras menuju rumah sakit terdekat, namun karena melihat istrinya terus saja mengeluh sakit membuatnya sedikit panik.
“Mas... Sakit banget Mas. Aduuuhhh...!!!” Laras merintih menahan sakit di perutnya.
Hujan turun sangat deras malam itu membuat Ridwan sangat hati-hati mengendarai mobilnya, ia berusaha tenang tetap fokus mengendarai mobilnya demi keselamatan mereka. “Sabar Laras sayang. Bentar lagi sampe kok.” ujar Ridwan terus saja menenangkan istrinya yang duduk di sampingnya.
100 meter di depannya terlihat sebuah klinik bersalin, segera saja Ridwan mengarahkan mobilnya ke tempat itu. Sebelum turun dari mobilnya, Ridwan sempat mengirimkan pesan SMS kepada Ayah mertuanya.
Larasati sudah berbaring di ranjang persalinan di Klinik Bersalin 'Harapan Bunda' dengan terus memegangi perutnya. Di sisi ranjang berdiri Ridwan mendampingi Laras berusaha memberi semangat pada istrinya. Ia melihat jam di dinding menunjukkan jam 18.56 wib.
Terlihat Laras sudah bisa tenang, kontraksi yang ia rasakan tidak sesakit sebelumnya.
Seorang bidan mendatangi mereka dan berkata. “Sabar ya, Bu. Kami siapkan terlebih dulu peralatan untuk persalinan. Tolong Bapak tenangkan istrinya, ya!”
“Baik, Bu.” jawab Ridwan singkat.
Bidan itu berlalu meninggalkan mereka menuju sebuah ruangan.
“Cuuupp... Berjuanglah Laras sayang. Mas akan terus berada di sampingmu, menemanimu melahirkan buah hati kita.” ucap Ridwan kala mencium kening Laras.
Seulas senyum merekah dari bibir Laras karena perhatian tulus dari Ridwan lalu ia mencium tangan suaminya. “Makasih ya, Mas. Adek sayang kamu. Adek akan berjuang melahirkan buah cinta kita. Doakan Adek ya, Mas.”
Ridwan mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca namun ia mesti kuat menahan air matanya supaya Laras tetap semangat dan tidak membebani pikirannya.
Di ruangan lain, terlihat bidan berusia 30 tahun dan asistennya sedang sibuk mempersiapkan semua peralatan untuk persalinan. Setelah semua siap, bidan dan asistennya itu membawa semua peralatan untuk persalinan ke ranjang persalinan dimana ibu hamil itu sedang berada.
Jam 19.25 wib...
“Tarik nafas dalam-dalam, hembuskan pelan-pelan.” ujar bidan itu memberi arahan sebelum dimulai persalinan. “Apa Ibu sudah mengerti?”
Laras mengangguk.
“Ayo kita mulai persalinannya, jika Ibu sudah mengerti!” sambung bidan itu.
Bidan itu mulai memberi arahan dan semangat pada Laras. ‘Ayo Bu dorong lagi, sudah mulai kelihatan kepalanya!”
“Aaa... Aahhh...”
“Aaa... Aahhh...”
Hembusan nafas tersengal diselingi isak tangis menahan sakit dan dorongan dari bayi menggema di ruangan persalinan.
Melahirkan adalah proses yang harus dijalani oleh wanita untuk menjadi seorang 'Ibu'. Berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan buah hati dari rahimnya.
Dengan dibantu oleh bidan dan asistennya, Laras berjuang dengan sekuat tenaga untuk melahirkan buah hatinya. Keringat telah membasahi tubuh Laras, nafasnya terdengar tersengal-sengal. Dengan sisa-sisa tenaga yang dipunyainya, Laras terus mengedan, tangannya meremas sangat kuat tangan suaminya. Ridwan mengelus kepala Laras dengan terus memberikan kata-kata semangat. “Ayo Dek kamu pasti bisa!”
Jam 19.30 wib...
Tiba-tiba...
Seorang bayi perempuan keluar dari peranakannya, bersama keluarnya sinar yang menyilaukan dari tubuh bayi itu. Ruang persalinan itu jadi semakin terang cahayanya.
“Bayinya perempuan, Pak!” seru bidan itu memberitahu. “Cantik sekali putrinya.”
Ridwan terlihat senang sekali. Dia membisiki Laras. “Anak kita perempuan. Cantik seperti kamu, Dek. Mas bahagia sekali. Makasih ya, sayang.”
“Cuuuppp...” Lalu dikecupnya kembali kening Laras sebagai ungkapan rasa syukur dan tanda ia sangat mencintai Laras sebagai istrinya yang telah memberikan keturunan buatnya. Lengkap sudah mereka menjadi keluarga kecil.
Namun, tiba-tiba...
Lampu di ruangan itu padam. Ruang persalinan yang tadinya terang benderang berubah menjadi gelap gulita.
“Mas... TAKUT!” seru Laras ketakutan sambil menggenggam erat lengan Ridwan, suaminya.
“Kamu yang tenang ya. Mas di sini sayang! Jangan takut!” Ridwan mencoba menenangkan Laras yang mulai ketakutan.
“Ngat... Nget...”
“Ngat... Nget...”
Bunyi jendela yang tertiup angin, membuat suasana ruang persalinan itu semakin mencekam.
“Pletaakkkk...”
“Praaaanggg...”
Baskom yang terbuat dari bahan stainless itu, tiba-tiba jatuh dan menggelinding ke arah ranjang persalinan.
“Aaahhh... Mas...!” teriak Laras semakin ketakutan. Ridwan segera memeluk Laras sambil membaca ayat-ayat suci yang ia bisa supaya ia menjadi tenang.
Namun yang anehnya di ruangan itu, Ridwan tidak melihat keberadaan bidan dan asistennya. Entah pergi ke mana mereka berdua? Yang dirasakannya angin semakin kencang dan hawa dinginnya sampai membuatnya menggigil kedinginan.
Angin bertiup semakin kencang membuat suasana ruangan itu semakin dingin dan mencekam.
Tiba-tiba...
Laras menjerit sambil menunjuk ke arah suaminya. “Mas Ridwan...! Iiittttuuu... Mereka Mas, di belakang kamu...!”
“Apa sayang...? Sudah kamu yang tenang ya, istighfar sayang.” Ridwan terus mengingatkan Laras untuk tenang.
“Pergi kalian...! PERGI!!!” bentak Laras sambil menunjuk ke arah Ridwan. “Di belakang kamu itu bidan dan asistennya tadi, wajah keduanya berubah; jelek, hitam dan gosong.”
Melihat Laras ketakutan sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahnya. Membuat Ridwan menoleh ke belakang. Namun saat Ridwan menoleh ke belakang ia tidak menemukan apa-apa, yang ada hanyalah gelap karena mati lampu.
“Serius Mas. Adek nggak bohong. Itu mereka di belakang kamu. Wajah bidan itu berdarah-darah dan keluar nanah dari wajahnya. Sedangkan asistennya lebih parah lagi wajahnya semuanya gosong. Kamu nggak mencium bau orang terbakar Mas?” Laras menunjuk lagi ke tempat yang sama.
Ridwan menggelengkan kepala. Dia semakin bingung dengan ucapan Laras istrinya. “Apa mungkin Laras melihat makhluk halus itu? Kenapa aku tidak bisa melihat MEREKA? Apa yang sebenarnya terjadi saat ini?” Berbagai pertanyaan muncul di benak Ridwan saat itu melihat keanehan sikap Laras barusan.
Sekali lagi Ridwan menoleh ke belakang. Namun tetap saja, ia tidak melihat apa-apa di belakangnya. Hanya gelap dan tidak ada satu pun yang terlihat matanya.
“Awas Mas Ridwan...!!!” teriak Laras mengingatkanku. “Mereka mendekati kamu. Mereka mau mencekikmu Mas.”
Ridwan yang sedari tadi bingung dan bengong seketika bergerak maju. Mendadak bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang lebih dingin dari sebelumnya. Sambil komat-kamit dia melafalkan ayat-ayat suci Alqur'an, hawa dingin itu seketika lenyap.
Tiba-tiba...
Dari arah pintu ada suara lantang laki-laki mengancam dan mengusir. Di tangannya, lelaki itu memegang sebilah keris.
“PERGI kalian...!!!” teriak Karta mengusir mereka. “Jangan ganggu Anak, Menantu serta Cucuku. Jika tidak akan kulenyapkan kalian.”
“Ayah... Ibu...” seru Laras senang setelah mengetahui siapa yang datang. “Iiittttuuu... Mereka, Yah. Mereka mau mencelakai Kami.”
Sulastri segera mendekati Laras, putrinya. Sedangkan Karta mulutnya terlihat komat-kamit sambil mencium keris di tangannya.
Sebuah cahaya berwarna keemasan memancar dari keris tersebut setelah Karta selesai merapalkan mantranya. Cahaya keemasan itu bergerak ke arah Ridwan yang tampak duduk terpojok di sudut ruangan itu.
Cahaya keemasan itu berputar-putar seperti angin di depan Ridwan.
Laras yang melihat kejadian itu sempat menutup mulutnya. Dilihatnya cahaya keemasan itu menggulung tubuh mereka. Suara mereka terdengar jelas di telinga Laras.
“Ampun... Ampuni Kami...!” rintih mereka saat cahaya keemasan itu berputar-putar mengelilingi mereka.
“Akan saya ampunin kalian, asalkan kalian pergi dari tempat ini. Jangan ganggu manusia lagi. Ini bukanlah alam kalian lagi.” Karta dengan lantang berbicara pada mereka.
“Iya, Tuan. Kami janji akan pergi dari sini sejauh mungkin.” suara makhluk itu menyahut.
Tiba-tiba...
Angin yang tadinya kencang seketika berhenti, hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang kini tidak lagi dirasakan oleh Ridwan.
Ridwan terbelalak kaget setelah melihat dirinya terduduk di tiang yang telah menghitam. Ruangan persalinan itu seketika berubah menjadi puing-puing reruntuhan bangunan yang telah terbakar.
Di sana Ridwan melihat Laras terbaring di ranjang yang telah gosong di dampingi Ibu mertuanya yang memeluknya erat. Kedua ibu dan anak itu menangis sesegukkan. Dan yang lebih membuatnya terbelalak, saat ia mendapati putrinya yang baru lahir teronggok di lantai cuma beralaskan dedaunan.
Dengan dibantu oleh Karta, Ridwan berdiri dan langsung menghampiri putrinya.
“Ayah, Ibu... Segera kita ke rumah sakit sekarang. Ridwan takut terjadi apa-apa dengan Laras dan anak kami.”
Karta hanya mengangguk mengiyakan.
Lalu mereka segera pergi dari tempat itu, menuju rumah sakit terdekat.
Jam 20.00 wib...
Mereka telah sampai di Rumah Sakit Bersalin Pelita Harapan, segera suster membawa Laras dan bayi perempuan yang baru dilahirkan itu ke ruang IGD. Diikuti oleh Ridwan, Karta dan Lastri di belakangnya.
Dokter jaga segera memeriksa kondisi Laras dan bayi perempuannya. Nampak kesigapan paramedis itu melakukan tindakan medis untuk membantu Laras dan bayinya.
Selang infus dan oksigen sudah terpasang di tubuh Laras yang pingsan sejak dalam perjalanan tadi. Begitu juga dengan bayi perempuan itu sedang ditangani serius oleh dokter dan susternya. Tampak selang oksigen telah terpasang di hidung bayi perempuan itu.
“Dok... Bayi ini tidak bernafas sama sekali.” seru suster memberitahu.
“Ayo cepat kita tolong! Ambilkan alat pemacu jantung sekarang!” Dokter itu memerintahkan salah satu suster untuk membawa alat pemacu jantung.
“Ctak... Ctak...”
Tubuh bayi perempuan itu bergetar ke atas lalu turun ke bawah setelah alat pemacu jantung itu ditempelkan di tubuhnya.
Dokter itu melihat ke monitor yang berbunyi nyaring dan terlihat garis lurus memanjang dari monitor alat itu.
Dia geleng kepala setelah berusaha semampunya menolong bayi perempuan itu.
“Inna lillahi wa inna lillahi rojiun.” Kalimat itu meluncur dari bibir dokter itu setelah ia berusaha menolong bayi perempuan itu namun takdir berkata lain.
Lalu dokter itu ke luar ruangan IGD dengan wajah sedih menemui keluarga pasien.
“Saya dokter Susilo Rahadi.” ucapnya memperkenalkan diri pada Ridwan.
“Iya, dok. Saya 'Ridwan Febriansyah', suami kedua pasien di dalam. Bagaimana keadaan istri dan bayi kami di sana?!” tanya Ridwan tidak sabar melihat ekspresi sedih dr. Susilo.
“Fiuuuhhh...” Helaan nafas dari dokter Susilo, sejenak ia berusaha menenangkan dirinya supaya bisa menyampaikan kabar pada keluarga pasien dengan jelas sesuai kapasitasnya sebagai dokter.
“Sebelumnya saya ada dua kabar buat Bapak. Dan kedua kabar itu adalah kabar buruk tentang kondisi ibu dan bayinya. Pertama, kondisi ibunya mulai stabil sekarang. Namun ada yang mesti saya sampaikan bahwa terjadi pendarahan yang sangat hebat padanya saat melahirkan hingga membuat kondisinya melemah dan mesti segera dibawa ke ruang ICU karena saat ini pasien mengalami koma.”
“Astarghfirullahhal Adzim.” seru Ridwan kaget begitu pun juga dengan Karta dan Lastri.
“Dok, tolong diusahakan dengan sebaik-baiknya! Tolong selamatkan istri saya!” Ridwan memelas di hadapan dr. Susilo.
“Iya, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin membantu kesembuhan pasien,” sahut dr. Susilo. “Dan kabar keduanya....”
“Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok?” potong Ridwan nggak sabaran. “Tolong katakan Dok, apapun kami siap menerimanya.”
“Kami mohon maaf sebelumnya, putri Bapak Ridwan yang baru lahir tidak tertolong. Dia meninggal sekitar jam 20.10 wib. Kami sudah berusaha sekuat tenaga menyelamatkannya namun takdir Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Bapak Ridwan yang sabar ya.”
Bagaikan petir yang menggelegar menyambar tubuh Ridwan kala dr. Susilo memberitahukan kabar buruk tentang kematian buah hatinya yang baru saja lahir. Ridwan hanya diam, terpaku di hadapan dr. Susilo. Ekspresinya berubah drastis kesedihan kini melanda hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca dan air matanya sudah tak terbendung lagi untuk keluar dari sudut matanya.
“Inna lillahi wa inna lillahi rojiun.” sebaris kalimat meluncur dari bibir Lastri. “Cucuku...” Air mata Lastri mengiringi ratapan sedih bercampur duka.
“TIDDDAAAKKK... Cucuku belum meninggal, dok. Kalian salah, kalian salah...” teriakan Karta membahana di ruangan itu.
Dokter Susilo ikut terharu menyaksikan kesedihan mereka hanya bisa diam, namun beberapa saat kemudian dr. Susilo nampak mulai meninggalkan mereka yang masih larut dalam kesedihan.
Jam 21.00 wib...
Ridwan pulang membawa putrinyabersama Karta, sementara Lastri memutuskan untuk menemani Laras yang terbaring koma di ruang ICU setelah dipindahkan dari ruang IGD.
Jasad bayi perempuan itu kini sudah berada di rumah sederhana itu, untuk segera dimandikan. Ridwan berusaha tegar dan sabar dalam menghadapi cobaan dari Yang Maha Kuasa. Kematian putrinya dan istrinya koma di ruang ICU.
Karta terlihat masih tidak yakin cucunya meninggal terus saja menggoyang-goyangkan tubuh mungil cucunya. Namun dengan lembut Ridwan berbicara pada Ayah mertuanya. “Ayah sudahlah, kita mesti ikhlas menerima takdir-Nya. Ini sudah ketentuan dari-Nya dan tidak ada seorang makhluk-Nya yang bisa menentang ketetapan takdir Tuhan. Kita ikhlas 'kan saja dia, Ayah.”
Karta perlahan-lahan menurunkan bayi perempuan itu kembali di atas pemandian jenazah. Dia menangis tersedu-sedu meninggalkan menantu dan cucunya masuk ke dalam rumah.
Ridwan mulai memandikan jenazah putrinya, gayung itu mulai ia sirami dari mulai atas ke bawah. Air guyuran pertama mengenai wajah bayi perempuan itu.
Tiba-tiba...
Tubuh bayi perempuan mungil itu tersentak kaget, tubuhnya bergeliat dan bergerak, lalu disertai tangisan bayi perempuan yang melengking.
“Subhannallah... Alhamdulillah... Kamu ternyata masih hidup, Nak.” ucap syukur Ridwan pada bayi perempuan buah hati mereka.
Karta yang tadinya berlinangan air mata tampak senang berlarian dari dalam rumah dengan membawa serta handuk dan kain sarung.
“Alhamdulillah ya, Allah... Cucuku masih hidup.” ucap syukur Karta sambil memeluk cucunya.
Segera Ridwan mengelap wajah putrinya dengan handuk lalu membungkus tubuh bayi perempuan yang mungil itu dengan kain sarung yang dibawa Karta.
Beberapa menit kemudian, Ridwan bersama Karta membawa kembali putrinya ke RSB. Pelita Harapan untuk mendapat pertolongan dan dimasukkan ke 'inkubator'.
“Ayah, Ridwan akan memberi nama anak kami ini, 'Andien Larasati' supaya kelak ia selalu mengingat perjuangan ibunya saat melahirkannya.” ujar Ridwan saat melihat putrinya dari luar ruangan Inkubator.
Karta mengangguk dan tersenyum mengiyakan.
.
.
.
Seninggu kemudian...
Larasati sudah sadar dari komanya dan mulai mengenali Suami Ibu dan Ayahnya, namun ia mesti menerima kenyataan pahit harus kehilangan rahimnya. Dokter mendiagnosa terjadi infeksi di mulut rahimnya akibat pendarahan yang banyak saat melahirkan putrinya mengakibatkan ia mengalami koma dan terjadi infeksi di mulut rahimnya.
Dokter memberikan alternatif terakhir kepada keluarga Laras untuk melakukan sesegera mungkin operasi pengangkatan rahimnya karena akan membahayakan Laras jika tidak segera dioperasi. Akhirnya berkat pertimbangan yang matang, Ridwan menandatangai surat pernyataan operasi.
5 Tahun kemudian...
“Happy birthday to you... Selamat Ultah ke-5 Anakku, 'Andien Larasati',” ucap Bunda padaku. “Semoga kamu kelak jadi anak yang sholeh, pintar dan bisa membanggakan orang tua.”
“Cuuup...” Sebuah kecupan sayang di keningku dari Bunda.
“Terima kasih, Bunda.” jawabku bahagia dengan senyum di bibir sambil memeluk Bunda. “Andien sayang, Bunda.”
“Dan ini, hadiah dari Ayah. Selamat Ultah, Andien sayang.” ucap Ayah memberikan sebuah gaun yang cantik untukku.
“Cuuup...” Ayah mencium keningku sama seperti yang dilakukan Bunda.
“Terima kasih, Ayah. Andien sayang sama Ayah.” ucapku senang. “Andien suka sekali hadiahnya, Yah. Gaunnya cantik sekali.”
Dengan rasa penuh bahagia aku memamerkan gaun itu di hadapan Ayah dan Bunda yang terlihat tersenyum bahagia. Berputar-putar bagai seorang penari balet.
Satu Minggu kemudian...
Aku masih mengingat dengan jelas saat pertama kali aku bisa melihat hal-hal yang tidak bisa orang lain lihat. Aku termasuk kategori anak yang hiperaktif, selalu berlari ke sana kemari dan melakukan hal-hal yang membuatku senang meskipun hal itu berbahaya. Sampai-sampai membuat Bunda khawatir dengan kelakuanku yang kelewat nakal.
Di dalam rumahku terdapat tangga yang menghubungkan ke sebuah loteng tempat penyimpanan barang yang tak terpakai. Bunda selalu melarangku untuk menaiki tangga tersebut. Namun karena rasa penasaranku yang tinggi membuatku mengabaikan larangan dari Bunda dan menaiki tangga tersebut.
Sesampainya di sana, yang kutemukan hanyalah kardus yang berisi baju yang tak terpakai beserta koran dan majalah bekas yang tertumpuk. Aku mencari mainan di sela-sela tumpukan barang bekas ini namun aku tak menemukan satu pun mainan yang kuinginkan.
Hal itu membuatku jenuh hingga aku melihat boneka Susan di pojokkan ruangan pengap itu.
Dengan hati yang senang, aku memainkan boneka itu sendirian. Semua berjalan biasa saja selama aku memainkan boneka itu. Namun setelah beberapa waktu berselang tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan dengan rambut berkuncir dua duduk di sampingku.
Aku yang masih lugu kala itu tidak menaruh curiga sedikit pun padanya. Mungkin karena saat itu usiaku masih terlampau muda. Aku bermain bersamanya, meski aku benar-benar belum mengetahui siapa anak perempuan itu.
Wajahnya terlihat sangat pucat, dengan lingkaran hitam di matanya. Aku sama sekali tak merasa aneh berada di dekatnya. Tubuhnya agak sedikit lebih besar dari tubuhku dengan pipi yang chuby dan rambut yang di kuncir dua malah membuatku gemas padanya.
Aku merasa senang bisa bermain dengannya. Hingga tak terasa kami telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain bersama.
Terdengar suara Bunda memanggil dari bawah. “Andien... Andien...”
“Aku ke bawah dulu ya, dipanggil Bunda,” ucapku pada anak perempuan itu. “Besok kita main lagi ya.”
Dia hanya mengangguk menjawab ucapanku.
“Andien, kan Bunda sudah sering bilang jangan naik-naik tangga nanti kamu jatuh.” omel Bunda saat melihatku menuruni tangga.
“Andien cuman mau main Bun.” ucapku sedih.
“Lain kali, kalau Andien mau main di bawah aja ya sayang. Jangan naik-naik tangga lagi,” ujar Bunda menasehatiku. “Di loteng 'kan tidak ada mainan sayang.”
“Tapi... Tadi Andien nemuin boneka di loteng, Bun.”
“Boneka apa..?” tanya Bunda kaget.
“Boneka Susan.” jawabku cepat.
“Di loteng cuman ada baju bekas sama barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai. Bunda tidak menaruh boneka di sana.” ucap Bunda kebingungan.
“Tapi... Andien nemuin boneka itu, Bun. Malah tadi, ada yang main sama Andien di atas.”
Bunda semakin terlihat bingung dan dengan langkah cepat Bunda naik ke atas loteng untuk memeriksa.
Beberapa saat kemudian...
Bunda turun dan berjongkok di depanku sambil berkata. “Andien sayang, di atas nggak ada siapa-siapa sayang. Bunda juga nggak nemuin boneka.”
Bunda tersenyum sambil mengusap wajahku lalu mengajakku untuk makan dan menasehatiku agar aku tidak bermain di loteng lagi.
Keesokan harinya...
Aku kembali menaiki tangga dan mendapati anak perempuan dengan rambut kuncir dua yang kemarin bermain denganku. Ia duduk di samping tumpukan kardus. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Aku mengajaknya bermain lagi dan ia hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Kali ini aku sengaja membawa banyak mainan agar kami bisa bermain bersama tanpa berebut.
“Nama kamu siapa?” tanyaku padanya.
Ia hanya diam tak menjawab pertanyaanku.
“Namaku Andien.” ucapku memperkenalkan diri.
Lagi-lagi ia hanya diam tak bersuara.
“Andieeen...!” pangil Bunda.
Bunda menaiki tangga dan mendapatiku sedang duduk dengan mainan yang tersebar di lantai kayu loteng rumahku.
“Andien ngapain main sendirian di loteng?” tanya Bunda.
“Andien nggak main sendirian Bun!! Ini Andien lagi main bareng sama anak yang kemarin Andien ceritain ke Bunda.” ucapku menunjuk ke arah anak perempuan itu, namun saat aku berbalik anak itu sudah tidak ada.
Mata Bunda terbelalak melihatku menunjuk ke arah yang sebenarnya tidak ada orang di sana. Bunda mengajakku turun ke bawah sambil berulang kali mengucap isghtifar.
Sesampainya di bawah...
Diusapnya wajahku, kemudian memberiku segelas air putih untuk diminum.
“Andien...! Bunda ingetin sekali lagi ya. Andien tidak boleh main ke loteng lagi.”
“Tapi Bun, Andien 'kan cuman main.”
“Andien, nurut apa kata Bunda!” bentak Bunda memarahiku.
Aku langsung tertunduk lesu dan menangis karena di bentak oleh Bunda.
“Kamu tadi main sendirian sayang, Bunda tidak melihat kamu main sama orang lain di sana.” ucap Bunda lembut sambil mengelus kepalaku untuk menenangkanku.
“Lain kali main di bawah saja ya sayang! Tadi ada temenmu ke rumah ngajakin main tapi kamu malah main di atas.”
“Iya, Bun. Maafin Andien. Hiks.. Hiks...”
Aku masih heran kenapa Bunda bilang kalau aku main sendirian di loteng, padahal jelas-jelas tadi ada seorang anak perempuan yang bermain bersamaku.
Hingga malam tiba, aku tak sengaja mendengar percapakapan Ayah dan Bunda di ruang tengah.
“Ayah..” Bunda membuka percakapan.
“Ya, Bun...” jawab Ayah.
“Bunda, tadi siang lihat Andien main sendirian di loteng tapi Andien ngomongnya lagi main sama temannya.”
“Kok bisa, Bun?” tanya Ayah kaget.
“Lotengnya di tutup aja, Yah. Biar Andien tidak bisa main di sana terus. Perasaan Bunda nggak enak, waktu Bunda periksa ke atas Bunda langsung ngerasa merinding, takutnya Andien main sama makhluk halus.”
“Maksudnya Bunda, Andien bisa lihat makhluk halus?” tanya Ayah.
“Ayah 'kan tahu, kalau Kakeknya Andien seorang Indigo. Bisa melihat makhluk halus. Bunda takut, Andien juga bisa melihat seperti Kakeknya. Kemarin Bunda mendengar Andien lagi berbicara sama orang lain di loteng, tapi waktu Bunda lihat dia main sendirian.”
“Ya sudah, Bun. Jangan khawatir, nanti Ayah tutup lotengnya.”
Mendengar ucapan itu, aku langsung berlari menaiki tangga menuju loteng. Aku takut temanku masih ada di dalam, dia pasti belum turun ke bawah. Aku takut jika loteng akan ditutup oleh Ayah, dia akan terjebak di dalam sana.
Kulihat anak itu masih duduk di kayu loteng sambil tangannya memeluk boneka Susan.
“Hei, kamu cepat turun! Lotengnya mau ditutup sama Ayah.”
Dia menggeleng lalu menyerahkan boneka Susan itu padaku. Aku menerima boneka itu dan saat kuperhatikan boneka itu tersenyum dan matanya bergerak.
“Bonekanya hidup.” pekikku.
Aku yang ketakutan langsung membuang boneka tersebut ke lantai.
Tiba-tiba...
Kurasakan hawa dingin, diikuti dengan lampu bohlam yang mendadak mati dan tak lama kemudian menyala kembali. Bau pengap yang tercium menambah atmosfer seram yang membuatku merinding.
Tak lama kemudian, muncul sesosok mahkluk yang berdiri di belakang anak perempuan itu, seperti seorang wanita biasa dengan rambut panjang yang aneh. Rambutnya sangat lebat hingga menutupi wajahnya sampai sebatas lutut.
Dan, tiba-tiba...
Anak perempuan yang duduk di depanku berdiri dan tersenyum lebar memandangku. Wajahnya terlihat sangat pucat.
Terdengar suara cekikikan yang sangat nyaring, membuat kupingku terasa panas hingga badanku bergetar.
“Hiiiii...”
“Hiiiii...”
“Hiiiii...”
Aku bisa melihat dengan jelas ada sebuah tangan yang menggenggam tanganku, menyerupai tangan tengkorak yang tidak berbalut daging sedikit pun.
Saat aku menatap ke arah wajahnya, bentuk wajahnya sangat menyeramkan. Dengan bola mata, melotot tajam ke arahku.
Bau anyir khas daging busuk, menyeruak hingga membuat perutku mual.
“Hiiiii...”
“Hiiiiii...”
“Hiiiiii...”
Mahkluk itu tertawa nyaring, membuatku ketakutan setengah mati dan kulihat anak perempuan yang biasanya aku ajak main wajahnya berubah menjadi sangat seram. Matanya dipenuhi dengan urat-urat berwarna merah sedang melotot, menatap tajam ke arahku.
Aku langsung berlari menuruni tangga hingga jatuh terguling-giling ke lantai.
“Andien!!” teriak Ayahku.
Ayah berlari melihatku terjatuh dari tangga.
“Ayah... Hiks... Hiks... Di loteng ada setan.” tangisku sambil menunjuk ke arah loteng.
Ayah langsung menaiki tangga menuju loteng dan kudengar Ayah berkali-kali membaca ayat kursi.
“Andien... Bunda 'kan sudah berkali-kali melarang kamu naik ke loteng.” marah Bunda.
“Kamu tadi lihat apa?” tanya Ayah setelah mengecek keadaan di atas loteng.
“Hiks... Hiks.. Andien lihat setan, Ayah. Wajahnya seram.”
“Ayo baca istighfar, Andien sayang.” ujar Bunda sambil mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
“Di loteng. Baunya anyir banget, Bun. Andien sepertinya kesambet,” kata Ayah. “Besok siang, Ayah bersihin dan Ayah tutup lotengnya.”
“Andien, ini diminum dulu sayang. Biar kamu tenang, Nak.” ucap Bunda memberiku segelas air putih.
Setelah meminum segelas air putih, Bunda mengajakku masuk ke kamar untuk beristirahat.
Semalaman aku tidak bisa tidur, wajah seramnya masih terbayang di benakku, ditambah suara cekikikan yang masih terngiang di telingaku.
Sehari setelah kejadian di loteng tersebut, aku mengalami demam yang sangat tinggi.
Kata Ayah, aku hanya ketakutan karena baru pertama kali dalam hidupku melihat mahkluk yang mengerikan seperti itu.
Setelah aku menceritakan semuanya pada Bunda dengan sangat detail tentang anak perempuan dan boneka yang kutemukan di atas loteng. Bunda yang mulanya tidak percaya kini mulai mempercayaiku.
Menurut Bunda, aku bisa melihat mahkluk halus karena menurun dari Kakekku. Bunda bercerita bahwa Kakek adalah orang yang dituakan di desa. Kakek bukan hanya bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahkluk halus saja, tapi Kakek juga bisa mengobati orang yang sakit karena gangguan gaib.
Seeing is believing. Semuanya bersumber dari penglihatan dan mempercayai apa yang dilihat oleh mata. Tentu saja oleh mata kepala kita sendiri.
Kenapa aku mempunyai kemampuan penglihatan seperti ini? Kenapa aku tidak punya penglihatan normal saja? Semua pasti ada penyebabnya.
Aku mulai coba mencari tahu dari literatur dan forum-forum yang ada di internet karena aku yakin Indigo atau apapun itu namanya, semuanya pasti ada penyebabnya. Jawaban itu tidak serta-merta kutemukan, kebanyakan hanya berupa asumsi.
Dari informasi yang kudapat Indigo Interdimensional itu ada beberapa penyebabnya. Penyebab itu akan menentukan seberapa kuat kemampuan Indigo Interdimensional orang tersebut. Ada yang memiliki kemampuan tersebut karena memang bawaan dari lahir atau pernah mengalami pengalaman mati suri. Ada juga yang memiliki kemampuan tersebut karena belajar atau mendalami supranatural.
Kemampuan Indigo Interdimensional terkuat adalah karena bawaan dari lahir atau orang tersebut pernah mengalami apa yang disebut dengan mati suri. Orang yang pernah mengalami mati suri dianggap jiwanya sudah pernah menginjak alam sebelah atau alam orang mati. Karena seharusnya apa yang sudah berada di alam orang mati tidak bisa kembali lagi. Terjadi anomali pada jiwa orang tersebut saat kembali ke tubuhnya dan pengalaman tersebut membuat dirinya menjadi Indigo.
Ada cerita tentang seorang pakar Indigo yang mengaku memiliki kemampuan Indigo karena ia pernah mengalami kecelakaan mobil dan tubuhnya terpelanting keluar dari mobil yang dikendarainya. Semenjak kejadian tersebut, ia mengaku bisa melihat makhluk halus.
Tingkatan di bawahnya lagi adalah mereka yang memang belajar dan mendalami cara-cara terntentu agar bisa memiliki kemampuan Interdimensional.
Lalu aku termasuk Interdimensioanal yang mana?
Karena aku pernah mengalami mati suri atau seperti yang di bilang oleh Bunda aku mendapatkan kemampuanku karena menurun dari Kakekku.
Semenjak kecil aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Aku bisa melihat “MEREKA”. Sebutan mereka bermacam-macam. Ada yang menyebutnya hantu, jin, setan, arwah, siluman dan lain sebagainya.
Lama-kelamaan aku tidak hanya bisa melihat mereka, tetapi juga bisa mendengar dengan jelas suara mereka.
Suara seperti geraman, desahan berat, cekikik tawa, dengusan napas, atau benda-benda yang mereka gerakkan bisa kudengar dengan jelas.
Sampai pada titik itu, aku merasa hidupku adalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang panjang dan melelahkan. Aku mencoba lebih dekat dengan Tuhan. Sayangnya, hal itu tidak berpengaruh banyak. Mereka memang seperti sedikit memberi batas padaku. Tetapi mata ini tetap bisa melihat mereka. Suara mereka juga masih bisa terdengar. Bagiku mimpi buruk itu tidak pernah berhenti.
Kondisi ini membuatku frustasi. Hidupku sendiri mulai tidak tenang. Saat tidur aku berusaha keras memejamkan mata, walaupun sebelumnya dari jendela aku melihat sosok tinggi besar, berbulu hitam dengan mata merah menyala dan bergigi taring menatapku dari bawah pohon mangga di dekat jendela kamarku.
Hampir tiap malam yang kualami adalah suasana horor. Aku tidak berani sendiri. Bahkan untuk kencing atau ke kamar kecil sekalipun aku minta ditemani. Aku tidak berani melihat ke arah-arah tertentu. Karena Aku tahu di arah itu penampakan mereka akan kujumpai. Kadang ada yang muncul dengan kepala terjuntai dari atas lemari, kadang ada yang menindihku berupa sosok nenek-nenek saat aku tidur dan membuat napasku sesak setengah mati.
Melihat kondisiku yang semakin lama semakin memburuk, Ayah dan Bunda mengajakku menemui Kakek dan sekalian liburan saat libur panjang kululusan SMP.
Madiun, 10 April 2004
Pada waktu itu, hari sudah mulai gelap dan adzan maghrib sudah berkumandang. Mobil kami melewati jalanan menuju komplek rumah kakek. Sebelum memasuki komplek perumahan rumah Kakek, kami melewati sebuah bangunan Taman Kanak-Kanak yang sudah tidak terawat dan tidak terpakai. Disebelah TK itu, di belakang taman bermain ada rumpun bambu yang sangat tinggi dan lebat.
Mataku seperti diarahkan tertuju pada taman bermain yang ada di dekat rumpun bambu. Kubuka jendela kaca mobil dan kuperhatikan satu-persatu alat bermain di situ. Mulai dari ayunan, perosotan, palang bermain, bak pasir, dan lain-lain.
Tiba-tiba...
Aku melihat ayunan yang ada di situ bergerak sendiri dan kemudian tampak perlahan-lahan pada ayunan yang bergoyang itu terbentuk siluet yang semakin lama semakin jelas.
Sosoknya seperti wanita menimang bayi dengan posisi agak membelakangi. Aku masih bisa melihat lengkungan tangannya seperti menggendong sesuatu. Lirih aku mendengar sosok itu bersenandung. Melantunkan nada lagu 'Nina Bobo'. Sesaat aku melihat lehernya hampir menoleh ke arahku.
Namun, tiba-tiba...
Lengan Bunda merangkul tubuhku dan mengusap lembut kepalaku.
“Sayank, lihat apa? Jendela kaca mobilnya di tutup ya.” pinta Bunda.
Bunda seperti mengerti apa yang sedang aku lihat dan mencoba mengalihkan perhatianku.
Setelah menempuh kurang lebih 5 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah Kakek. Terlihat Kakek yang sudah di depan rumah menyambut kedatangan kami. Aku yang sangat bahagia langsung turun dari mobil dan berlari memeluk Kakek.
“Kakek, Andien kangen banget sama Kakek.”
“Iya Nduk, Kakek juga kangen sama Andien.” jawab Kakek sambil memeluk tubuhku dan mengusap lembut kepalaku.
Rumah Kakek sangat sederhana, namun barang-barangnya diatur dengan rapi. Rumahnya bercat putih, sehingga tampak luas dan dan bersih.
Dan di bagian depan rumah terdapat banyak sekali bunga-bunga, karena Almarhumah Nenek sangat menyukai bunga.
Kakek berusia 54 tahun, badannya masih tegap dan sehat. Raut muka yang tegas dengan postur tubuh yang tinggi menjadi ciri khasnya. Setiap pagi Kakek masih rutin lari pagi keliling komplek.
Aku menceritakan semua kejadian yang selama ini kualami kepada Kakek.
“Tunggu di sini sebentar.” ucap Kakek sambil berlalu meninggalkanku.
Tak berapa lama kemudian, Kakek kembali dengan membawa sebilah keris dan sebuah kotak kayu kuno.
“Pegang keris ini Nduk. Pejamkan mata dan kosentrasi,” ujar kakek. “Gambarkan kepada Kakek sosok apa yang kamu lihat?”
Aku memegang keris tersebut. Awalnya tidak ada gambaran apa-apa, tetapi saat berkonsentrasi aku melihat Singa yang sangat besar sedang mengaum-mengaum dan menyeringai galak ke arahku.
Hampir saja keris itu terlepas dari genggaman tanganku karena terkejut, namun dengan sigap Kakek memegang tanganku.
Aku menceritakan apa yang aku lihat kepada Kakek. Kakek hanya diam dan beralih ke sebuah kotak kayu kuno yang di bawanya.
“Sekarang coba kamu lihat apa isi kotak ini.” ujar Kakek menyuruhku melihat apa isi kota tersebut tanpa membukanya.
“Aaaaaaaa....” teriakku ketakutan.
“Andien... Lihat Kakek, Nduk!” ucap Kakek sambil memeluk tubuhku menenangkanku.
“Seram Kek, Andien takut sama isi yang ada di dalam kotak itu.” tunjukku ke kotak tersebut.
“Mulai sekarang Andien nggak boleh takut. Andien harus berani.” ucap Kakek.
Kakek membuka kotak tersebut dan isinya sama persis seperti apa yang aku lihat.
“Keris yang kamu pegang tadi, namanya 'Keris Kyai Singa Lodra', sedangkan isi dalam kotak ini adalah 'Jenglot'.” ujar Kakek menerangkan.
“Nduk, semua ini sudah di gariskan, kamu harus bisa menerima! Pahami dan terima diri kamu.” kata Kakek.
“Terus Andien harus bagaimana, Kek? Andien takut.”
“Ora usah wedi Nduk (Nggak usah takut). Mulai saiki kowe kudu wani (Mulai sekarang kamu harus berani).”
“Meng siji pesenku (Cuman satu pesanku), jangan meminta sesuatu dari mereka.” nasehat Kakek.
Ijinkan saya yang newbie ini memposting cerita untuk even LKTCP 2018 sebagai bentuk partisipasi saya sebagai pecinta forum yang kita cintai bersama.
Cerita ini hanyalah fiktif belaka tentang pengalaman seorang Indigo, nama-nama tokoh, tempat kejadian dan alur hanya settingan. Jika terdapat kesamaan dari nama tokoh dan kejadiannya itu hanya kebetulan saja.
Selamat membaca....!!!
Nama saya Andien, umur saya 24 tahun, saya seorang Mahasiswi Fakultas Kedokteran. Dan ini cerita saya...
.
Madiun, 10 Januari 1994
Seorang laki-laki berusia 45 tahun bernama Karta Mihardja sedang menghubungi menantunya lewat HP-nya.
Tuutt... Tuutt...
“Assalamualikum, Ayah.” sahut orang dari ujung telepon sana.
“Waalaikum salam. Nak Ridwan! Ayah dan Ibu sekarang mau ke Surabaya, ini sedang siap-siap berangkat! Firasat Ayah, hari ini Laras akan melahirkan. Apa kamu sekarang dengan Laras, Nak?”
“Iya, bentar Ayah!” sahut menantunya lewat telepon sana.
Lalu Ayah dan Laras berbicara lewat telepon.
“.....”
“.....”
Hingga akhirnya, lelaki itupun menyudahi sambungan teleponnya.
Sementara dari arah dapur, baru saja muncul seorang wanita berusia 42 tahun membawa nampan berisi kopi hitam dan cemilan berjalan mendekati Karta dengan senyum di bibirnya.
“Ayah, diminum dulu kopinya,” ucap wanita itu lembut setelah meletakkan secangkir kopi dan cemilan di atas meja. “Ibu mau siap-siap dulu.”
“Iya, makasih Bu,” sahut Karta pada istrinya. “Oiya Lastri, tolong masukkan keris Ayah juga ya. Ayah punya firasat kurang baik Bu. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mereka.”
“Iya, Ayah. Ibu ke kamar dulu ya!” ucap wanita yang bernama Sulastri itu pada suaminya. Sulastri atau Lastri pun berlalu menuju ke kamar mereka.
Jam 14.00 wib, Karta bersama Lastri berangkat dari rumah mereka ke terminal dengan tujuan kota Surabaya untuk menengok putri semata wayang mereka yang akan melahirkan.
●°●°●°●°●°●°●°●
Surabaya, Selasa Kliwon 10 Januari 1994
Pukul 17.50 wib
Suara Adzan Maghrib berkumandang di kota Surabaya dan sekitarnya menandakan telah masuk waktu sholat Maghrib. Di salah satu rumah di kompleks perumahan xxx di Surabaya, terlihat pasangan suami istri yang akan bersiap-siap menunaikan ibadah sholat Maghrib. Laki-laki berusia 25 tahun bernama Ridwan Febriansyah dengan sabar membimbing istrinya yang sedang hamil tua bernama Larasati 22 tahun, saat mengambil wudhu untuk sholat Maghrib berjamaah.
Setelah menyelesaikan ibadah sholat Maghrib, Larasati tiba-tiba mengeluh sakit sambil memegangi perutnya.
“Aduh Mas... SAKIT!!!” Laras merintih sambil memegangi perutnya yang hamil.
“Iya, sayang. Sabar ya, kita segera berangkat sekarang.” ujar Ridwan berusaha tetap tenang. Ia mencoba menenangkan istrinya.
Segera Ridwan membawa Laras menuju rumah sakit terdekat, namun karena melihat istrinya terus saja mengeluh sakit membuatnya sedikit panik.
“Mas... Sakit banget Mas. Aduuuhhh...!!!” Laras merintih menahan sakit di perutnya.
Hujan turun sangat deras malam itu membuat Ridwan sangat hati-hati mengendarai mobilnya, ia berusaha tenang tetap fokus mengendarai mobilnya demi keselamatan mereka. “Sabar Laras sayang. Bentar lagi sampe kok.” ujar Ridwan terus saja menenangkan istrinya yang duduk di sampingnya.
100 meter di depannya terlihat sebuah klinik bersalin, segera saja Ridwan mengarahkan mobilnya ke tempat itu. Sebelum turun dari mobilnya, Ridwan sempat mengirimkan pesan SMS kepada Ayah mertuanya.
to : 0812-××××-××××
“Ayah dan Ibu, mohon maaf jika kami tidak berada di rumah sekarang. Habis sholat Maghrib tadi Laras mengeluh sakit di perutnya. Sekarang saya sudah bawa Laras ke Klinik Bersalin di Jl. xxx No. 101 depan mini market Indoxxx.”
Larasati sudah berbaring di ranjang persalinan di Klinik Bersalin 'Harapan Bunda' dengan terus memegangi perutnya. Di sisi ranjang berdiri Ridwan mendampingi Laras berusaha memberi semangat pada istrinya. Ia melihat jam di dinding menunjukkan jam 18.56 wib.
Terlihat Laras sudah bisa tenang, kontraksi yang ia rasakan tidak sesakit sebelumnya.
Seorang bidan mendatangi mereka dan berkata. “Sabar ya, Bu. Kami siapkan terlebih dulu peralatan untuk persalinan. Tolong Bapak tenangkan istrinya, ya!”
“Baik, Bu.” jawab Ridwan singkat.
Bidan itu berlalu meninggalkan mereka menuju sebuah ruangan.
“Cuuupp... Berjuanglah Laras sayang. Mas akan terus berada di sampingmu, menemanimu melahirkan buah hati kita.” ucap Ridwan kala mencium kening Laras.
Seulas senyum merekah dari bibir Laras karena perhatian tulus dari Ridwan lalu ia mencium tangan suaminya. “Makasih ya, Mas. Adek sayang kamu. Adek akan berjuang melahirkan buah cinta kita. Doakan Adek ya, Mas.”
Ridwan mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca namun ia mesti kuat menahan air matanya supaya Laras tetap semangat dan tidak membebani pikirannya.
Di ruangan lain, terlihat bidan berusia 30 tahun dan asistennya sedang sibuk mempersiapkan semua peralatan untuk persalinan. Setelah semua siap, bidan dan asistennya itu membawa semua peralatan untuk persalinan ke ranjang persalinan dimana ibu hamil itu sedang berada.
Jam 19.25 wib...
“Tarik nafas dalam-dalam, hembuskan pelan-pelan.” ujar bidan itu memberi arahan sebelum dimulai persalinan. “Apa Ibu sudah mengerti?”
Laras mengangguk.
“Ayo kita mulai persalinannya, jika Ibu sudah mengerti!” sambung bidan itu.
Bidan itu mulai memberi arahan dan semangat pada Laras. ‘Ayo Bu dorong lagi, sudah mulai kelihatan kepalanya!”
“Aaa... Aahhh...”
“Aaa... Aahhh...”
Hembusan nafas tersengal diselingi isak tangis menahan sakit dan dorongan dari bayi menggema di ruangan persalinan.
Melahirkan adalah proses yang harus dijalani oleh wanita untuk menjadi seorang 'Ibu'. Berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan buah hati dari rahimnya.
Dengan dibantu oleh bidan dan asistennya, Laras berjuang dengan sekuat tenaga untuk melahirkan buah hatinya. Keringat telah membasahi tubuh Laras, nafasnya terdengar tersengal-sengal. Dengan sisa-sisa tenaga yang dipunyainya, Laras terus mengedan, tangannya meremas sangat kuat tangan suaminya. Ridwan mengelus kepala Laras dengan terus memberikan kata-kata semangat. “Ayo Dek kamu pasti bisa!”
Jam 19.30 wib...
Tiba-tiba...
Seorang bayi perempuan keluar dari peranakannya, bersama keluarnya sinar yang menyilaukan dari tubuh bayi itu. Ruang persalinan itu jadi semakin terang cahayanya.
“Bayinya perempuan, Pak!” seru bidan itu memberitahu. “Cantik sekali putrinya.”
Ridwan terlihat senang sekali. Dia membisiki Laras. “Anak kita perempuan. Cantik seperti kamu, Dek. Mas bahagia sekali. Makasih ya, sayang.”
“Cuuuppp...” Lalu dikecupnya kembali kening Laras sebagai ungkapan rasa syukur dan tanda ia sangat mencintai Laras sebagai istrinya yang telah memberikan keturunan buatnya. Lengkap sudah mereka menjadi keluarga kecil.
Namun, tiba-tiba...
Lampu di ruangan itu padam. Ruang persalinan yang tadinya terang benderang berubah menjadi gelap gulita.
“Mas... TAKUT!” seru Laras ketakutan sambil menggenggam erat lengan Ridwan, suaminya.
“Kamu yang tenang ya. Mas di sini sayang! Jangan takut!” Ridwan mencoba menenangkan Laras yang mulai ketakutan.
“Ngat... Nget...”
“Ngat... Nget...”
Bunyi jendela yang tertiup angin, membuat suasana ruang persalinan itu semakin mencekam.
“Pletaakkkk...”
“Praaaanggg...”
Baskom yang terbuat dari bahan stainless itu, tiba-tiba jatuh dan menggelinding ke arah ranjang persalinan.
“Aaahhh... Mas...!” teriak Laras semakin ketakutan. Ridwan segera memeluk Laras sambil membaca ayat-ayat suci yang ia bisa supaya ia menjadi tenang.
Namun yang anehnya di ruangan itu, Ridwan tidak melihat keberadaan bidan dan asistennya. Entah pergi ke mana mereka berdua? Yang dirasakannya angin semakin kencang dan hawa dinginnya sampai membuatnya menggigil kedinginan.
Angin bertiup semakin kencang membuat suasana ruangan itu semakin dingin dan mencekam.
Tiba-tiba...
Laras menjerit sambil menunjuk ke arah suaminya. “Mas Ridwan...! Iiittttuuu... Mereka Mas, di belakang kamu...!”
“Apa sayang...? Sudah kamu yang tenang ya, istighfar sayang.” Ridwan terus mengingatkan Laras untuk tenang.
“Pergi kalian...! PERGI!!!” bentak Laras sambil menunjuk ke arah Ridwan. “Di belakang kamu itu bidan dan asistennya tadi, wajah keduanya berubah; jelek, hitam dan gosong.”
Melihat Laras ketakutan sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahnya. Membuat Ridwan menoleh ke belakang. Namun saat Ridwan menoleh ke belakang ia tidak menemukan apa-apa, yang ada hanyalah gelap karena mati lampu.
“Serius Mas. Adek nggak bohong. Itu mereka di belakang kamu. Wajah bidan itu berdarah-darah dan keluar nanah dari wajahnya. Sedangkan asistennya lebih parah lagi wajahnya semuanya gosong. Kamu nggak mencium bau orang terbakar Mas?” Laras menunjuk lagi ke tempat yang sama.
Ridwan menggelengkan kepala. Dia semakin bingung dengan ucapan Laras istrinya. “Apa mungkin Laras melihat makhluk halus itu? Kenapa aku tidak bisa melihat MEREKA? Apa yang sebenarnya terjadi saat ini?” Berbagai pertanyaan muncul di benak Ridwan saat itu melihat keanehan sikap Laras barusan.
Sekali lagi Ridwan menoleh ke belakang. Namun tetap saja, ia tidak melihat apa-apa di belakangnya. Hanya gelap dan tidak ada satu pun yang terlihat matanya.
“Awas Mas Ridwan...!!!” teriak Laras mengingatkanku. “Mereka mendekati kamu. Mereka mau mencekikmu Mas.”
Ridwan yang sedari tadi bingung dan bengong seketika bergerak maju. Mendadak bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang lebih dingin dari sebelumnya. Sambil komat-kamit dia melafalkan ayat-ayat suci Alqur'an, hawa dingin itu seketika lenyap.
Tiba-tiba...
Dari arah pintu ada suara lantang laki-laki mengancam dan mengusir. Di tangannya, lelaki itu memegang sebilah keris.
“PERGI kalian...!!!” teriak Karta mengusir mereka. “Jangan ganggu Anak, Menantu serta Cucuku. Jika tidak akan kulenyapkan kalian.”
“Ayah... Ibu...” seru Laras senang setelah mengetahui siapa yang datang. “Iiittttuuu... Mereka, Yah. Mereka mau mencelakai Kami.”
Sulastri segera mendekati Laras, putrinya. Sedangkan Karta mulutnya terlihat komat-kamit sambil mencium keris di tangannya.
Sebuah cahaya berwarna keemasan memancar dari keris tersebut setelah Karta selesai merapalkan mantranya. Cahaya keemasan itu bergerak ke arah Ridwan yang tampak duduk terpojok di sudut ruangan itu.
Cahaya keemasan itu berputar-putar seperti angin di depan Ridwan.
Laras yang melihat kejadian itu sempat menutup mulutnya. Dilihatnya cahaya keemasan itu menggulung tubuh mereka. Suara mereka terdengar jelas di telinga Laras.
“Ampun... Ampuni Kami...!” rintih mereka saat cahaya keemasan itu berputar-putar mengelilingi mereka.
“Akan saya ampunin kalian, asalkan kalian pergi dari tempat ini. Jangan ganggu manusia lagi. Ini bukanlah alam kalian lagi.” Karta dengan lantang berbicara pada mereka.
“Iya, Tuan. Kami janji akan pergi dari sini sejauh mungkin.” suara makhluk itu menyahut.
Tiba-tiba...
Angin yang tadinya kencang seketika berhenti, hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang kini tidak lagi dirasakan oleh Ridwan.
Ridwan terbelalak kaget setelah melihat dirinya terduduk di tiang yang telah menghitam. Ruangan persalinan itu seketika berubah menjadi puing-puing reruntuhan bangunan yang telah terbakar.
Di sana Ridwan melihat Laras terbaring di ranjang yang telah gosong di dampingi Ibu mertuanya yang memeluknya erat. Kedua ibu dan anak itu menangis sesegukkan. Dan yang lebih membuatnya terbelalak, saat ia mendapati putrinya yang baru lahir teronggok di lantai cuma beralaskan dedaunan.
Dengan dibantu oleh Karta, Ridwan berdiri dan langsung menghampiri putrinya.
“Ayah, Ibu... Segera kita ke rumah sakit sekarang. Ridwan takut terjadi apa-apa dengan Laras dan anak kami.”
Karta hanya mengangguk mengiyakan.
Lalu mereka segera pergi dari tempat itu, menuju rumah sakit terdekat.
●°●°●°●°●°●°●°●
Jam 20.00 wib...
Mereka telah sampai di Rumah Sakit Bersalin Pelita Harapan, segera suster membawa Laras dan bayi perempuan yang baru dilahirkan itu ke ruang IGD. Diikuti oleh Ridwan, Karta dan Lastri di belakangnya.
Dokter jaga segera memeriksa kondisi Laras dan bayi perempuannya. Nampak kesigapan paramedis itu melakukan tindakan medis untuk membantu Laras dan bayinya.
Selang infus dan oksigen sudah terpasang di tubuh Laras yang pingsan sejak dalam perjalanan tadi. Begitu juga dengan bayi perempuan itu sedang ditangani serius oleh dokter dan susternya. Tampak selang oksigen telah terpasang di hidung bayi perempuan itu.
“Dok... Bayi ini tidak bernafas sama sekali.” seru suster memberitahu.
“Ayo cepat kita tolong! Ambilkan alat pemacu jantung sekarang!” Dokter itu memerintahkan salah satu suster untuk membawa alat pemacu jantung.
“Ctak... Ctak...”
Tubuh bayi perempuan itu bergetar ke atas lalu turun ke bawah setelah alat pemacu jantung itu ditempelkan di tubuhnya.
Dokter itu melihat ke monitor yang berbunyi nyaring dan terlihat garis lurus memanjang dari monitor alat itu.
Dia geleng kepala setelah berusaha semampunya menolong bayi perempuan itu.
“Inna lillahi wa inna lillahi rojiun.” Kalimat itu meluncur dari bibir dokter itu setelah ia berusaha menolong bayi perempuan itu namun takdir berkata lain.
Lalu dokter itu ke luar ruangan IGD dengan wajah sedih menemui keluarga pasien.
“Saya dokter Susilo Rahadi.” ucapnya memperkenalkan diri pada Ridwan.
“Iya, dok. Saya 'Ridwan Febriansyah', suami kedua pasien di dalam. Bagaimana keadaan istri dan bayi kami di sana?!” tanya Ridwan tidak sabar melihat ekspresi sedih dr. Susilo.
“Fiuuuhhh...” Helaan nafas dari dokter Susilo, sejenak ia berusaha menenangkan dirinya supaya bisa menyampaikan kabar pada keluarga pasien dengan jelas sesuai kapasitasnya sebagai dokter.
“Sebelumnya saya ada dua kabar buat Bapak. Dan kedua kabar itu adalah kabar buruk tentang kondisi ibu dan bayinya. Pertama, kondisi ibunya mulai stabil sekarang. Namun ada yang mesti saya sampaikan bahwa terjadi pendarahan yang sangat hebat padanya saat melahirkan hingga membuat kondisinya melemah dan mesti segera dibawa ke ruang ICU karena saat ini pasien mengalami koma.”
“Astarghfirullahhal Adzim.” seru Ridwan kaget begitu pun juga dengan Karta dan Lastri.
“Dok, tolong diusahakan dengan sebaik-baiknya! Tolong selamatkan istri saya!” Ridwan memelas di hadapan dr. Susilo.
“Iya, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin membantu kesembuhan pasien,” sahut dr. Susilo. “Dan kabar keduanya....”
“Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok?” potong Ridwan nggak sabaran. “Tolong katakan Dok, apapun kami siap menerimanya.”
“Kami mohon maaf sebelumnya, putri Bapak Ridwan yang baru lahir tidak tertolong. Dia meninggal sekitar jam 20.10 wib. Kami sudah berusaha sekuat tenaga menyelamatkannya namun takdir Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Bapak Ridwan yang sabar ya.”
Bagaikan petir yang menggelegar menyambar tubuh Ridwan kala dr. Susilo memberitahukan kabar buruk tentang kematian buah hatinya yang baru saja lahir. Ridwan hanya diam, terpaku di hadapan dr. Susilo. Ekspresinya berubah drastis kesedihan kini melanda hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca dan air matanya sudah tak terbendung lagi untuk keluar dari sudut matanya.
“Inna lillahi wa inna lillahi rojiun.” sebaris kalimat meluncur dari bibir Lastri. “Cucuku...” Air mata Lastri mengiringi ratapan sedih bercampur duka.
“TIDDDAAAKKK... Cucuku belum meninggal, dok. Kalian salah, kalian salah...” teriakan Karta membahana di ruangan itu.
Dokter Susilo ikut terharu menyaksikan kesedihan mereka hanya bisa diam, namun beberapa saat kemudian dr. Susilo nampak mulai meninggalkan mereka yang masih larut dalam kesedihan.
Jam 21.00 wib...
Ridwan pulang membawa putrinyabersama Karta, sementara Lastri memutuskan untuk menemani Laras yang terbaring koma di ruang ICU setelah dipindahkan dari ruang IGD.
Jasad bayi perempuan itu kini sudah berada di rumah sederhana itu, untuk segera dimandikan. Ridwan berusaha tegar dan sabar dalam menghadapi cobaan dari Yang Maha Kuasa. Kematian putrinya dan istrinya koma di ruang ICU.
Karta terlihat masih tidak yakin cucunya meninggal terus saja menggoyang-goyangkan tubuh mungil cucunya. Namun dengan lembut Ridwan berbicara pada Ayah mertuanya. “Ayah sudahlah, kita mesti ikhlas menerima takdir-Nya. Ini sudah ketentuan dari-Nya dan tidak ada seorang makhluk-Nya yang bisa menentang ketetapan takdir Tuhan. Kita ikhlas 'kan saja dia, Ayah.”
Karta perlahan-lahan menurunkan bayi perempuan itu kembali di atas pemandian jenazah. Dia menangis tersedu-sedu meninggalkan menantu dan cucunya masuk ke dalam rumah.
Ridwan mulai memandikan jenazah putrinya, gayung itu mulai ia sirami dari mulai atas ke bawah. Air guyuran pertama mengenai wajah bayi perempuan itu.
Tiba-tiba...
Tubuh bayi perempuan mungil itu tersentak kaget, tubuhnya bergeliat dan bergerak, lalu disertai tangisan bayi perempuan yang melengking.
“Subhannallah... Alhamdulillah... Kamu ternyata masih hidup, Nak.” ucap syukur Ridwan pada bayi perempuan buah hati mereka.
Karta yang tadinya berlinangan air mata tampak senang berlarian dari dalam rumah dengan membawa serta handuk dan kain sarung.
“Alhamdulillah ya, Allah... Cucuku masih hidup.” ucap syukur Karta sambil memeluk cucunya.
Segera Ridwan mengelap wajah putrinya dengan handuk lalu membungkus tubuh bayi perempuan yang mungil itu dengan kain sarung yang dibawa Karta.
Beberapa menit kemudian, Ridwan bersama Karta membawa kembali putrinya ke RSB. Pelita Harapan untuk mendapat pertolongan dan dimasukkan ke 'inkubator'.
“Ayah, Ridwan akan memberi nama anak kami ini, 'Andien Larasati' supaya kelak ia selalu mengingat perjuangan ibunya saat melahirkannya.” ujar Ridwan saat melihat putrinya dari luar ruangan Inkubator.
Karta mengangguk dan tersenyum mengiyakan.
.
.
.
Seninggu kemudian...
Larasati sudah sadar dari komanya dan mulai mengenali Suami Ibu dan Ayahnya, namun ia mesti menerima kenyataan pahit harus kehilangan rahimnya. Dokter mendiagnosa terjadi infeksi di mulut rahimnya akibat pendarahan yang banyak saat melahirkan putrinya mengakibatkan ia mengalami koma dan terjadi infeksi di mulut rahimnya.
Dokter memberikan alternatif terakhir kepada keluarga Laras untuk melakukan sesegera mungkin operasi pengangkatan rahimnya karena akan membahayakan Laras jika tidak segera dioperasi. Akhirnya berkat pertimbangan yang matang, Ridwan menandatangai surat pernyataan operasi.
●°●°●°●°●°●°●°●
5 Tahun kemudian...
“Happy birthday to you... Selamat Ultah ke-5 Anakku, 'Andien Larasati',” ucap Bunda padaku. “Semoga kamu kelak jadi anak yang sholeh, pintar dan bisa membanggakan orang tua.”
“Cuuup...” Sebuah kecupan sayang di keningku dari Bunda.
“Terima kasih, Bunda.” jawabku bahagia dengan senyum di bibir sambil memeluk Bunda. “Andien sayang, Bunda.”
“Dan ini, hadiah dari Ayah. Selamat Ultah, Andien sayang.” ucap Ayah memberikan sebuah gaun yang cantik untukku.
“Cuuup...” Ayah mencium keningku sama seperti yang dilakukan Bunda.
“Terima kasih, Ayah. Andien sayang sama Ayah.” ucapku senang. “Andien suka sekali hadiahnya, Yah. Gaunnya cantik sekali.”
Dengan rasa penuh bahagia aku memamerkan gaun itu di hadapan Ayah dan Bunda yang terlihat tersenyum bahagia. Berputar-putar bagai seorang penari balet.
Satu Minggu kemudian...
Aku masih mengingat dengan jelas saat pertama kali aku bisa melihat hal-hal yang tidak bisa orang lain lihat. Aku termasuk kategori anak yang hiperaktif, selalu berlari ke sana kemari dan melakukan hal-hal yang membuatku senang meskipun hal itu berbahaya. Sampai-sampai membuat Bunda khawatir dengan kelakuanku yang kelewat nakal.
Di dalam rumahku terdapat tangga yang menghubungkan ke sebuah loteng tempat penyimpanan barang yang tak terpakai. Bunda selalu melarangku untuk menaiki tangga tersebut. Namun karena rasa penasaranku yang tinggi membuatku mengabaikan larangan dari Bunda dan menaiki tangga tersebut.
Sesampainya di sana, yang kutemukan hanyalah kardus yang berisi baju yang tak terpakai beserta koran dan majalah bekas yang tertumpuk. Aku mencari mainan di sela-sela tumpukan barang bekas ini namun aku tak menemukan satu pun mainan yang kuinginkan.
Hal itu membuatku jenuh hingga aku melihat boneka Susan di pojokkan ruangan pengap itu.
Dengan hati yang senang, aku memainkan boneka itu sendirian. Semua berjalan biasa saja selama aku memainkan boneka itu. Namun setelah beberapa waktu berselang tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan dengan rambut berkuncir dua duduk di sampingku.
Aku yang masih lugu kala itu tidak menaruh curiga sedikit pun padanya. Mungkin karena saat itu usiaku masih terlampau muda. Aku bermain bersamanya, meski aku benar-benar belum mengetahui siapa anak perempuan itu.
Wajahnya terlihat sangat pucat, dengan lingkaran hitam di matanya. Aku sama sekali tak merasa aneh berada di dekatnya. Tubuhnya agak sedikit lebih besar dari tubuhku dengan pipi yang chuby dan rambut yang di kuncir dua malah membuatku gemas padanya.
Aku merasa senang bisa bermain dengannya. Hingga tak terasa kami telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain bersama.
Terdengar suara Bunda memanggil dari bawah. “Andien... Andien...”
“Aku ke bawah dulu ya, dipanggil Bunda,” ucapku pada anak perempuan itu. “Besok kita main lagi ya.”
Dia hanya mengangguk menjawab ucapanku.
“Andien, kan Bunda sudah sering bilang jangan naik-naik tangga nanti kamu jatuh.” omel Bunda saat melihatku menuruni tangga.
“Andien cuman mau main Bun.” ucapku sedih.
“Lain kali, kalau Andien mau main di bawah aja ya sayang. Jangan naik-naik tangga lagi,” ujar Bunda menasehatiku. “Di loteng 'kan tidak ada mainan sayang.”
“Tapi... Tadi Andien nemuin boneka di loteng, Bun.”
“Boneka apa..?” tanya Bunda kaget.
“Boneka Susan.” jawabku cepat.
“Di loteng cuman ada baju bekas sama barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai. Bunda tidak menaruh boneka di sana.” ucap Bunda kebingungan.
“Tapi... Andien nemuin boneka itu, Bun. Malah tadi, ada yang main sama Andien di atas.”
Bunda semakin terlihat bingung dan dengan langkah cepat Bunda naik ke atas loteng untuk memeriksa.
Beberapa saat kemudian...
Bunda turun dan berjongkok di depanku sambil berkata. “Andien sayang, di atas nggak ada siapa-siapa sayang. Bunda juga nggak nemuin boneka.”
Bunda tersenyum sambil mengusap wajahku lalu mengajakku untuk makan dan menasehatiku agar aku tidak bermain di loteng lagi.
Keesokan harinya...
Aku kembali menaiki tangga dan mendapati anak perempuan dengan rambut kuncir dua yang kemarin bermain denganku. Ia duduk di samping tumpukan kardus. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Aku mengajaknya bermain lagi dan ia hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Kali ini aku sengaja membawa banyak mainan agar kami bisa bermain bersama tanpa berebut.
“Nama kamu siapa?” tanyaku padanya.
Ia hanya diam tak menjawab pertanyaanku.
“Namaku Andien.” ucapku memperkenalkan diri.
Lagi-lagi ia hanya diam tak bersuara.
“Andieeen...!” pangil Bunda.
Bunda menaiki tangga dan mendapatiku sedang duduk dengan mainan yang tersebar di lantai kayu loteng rumahku.
“Andien ngapain main sendirian di loteng?” tanya Bunda.
“Andien nggak main sendirian Bun!! Ini Andien lagi main bareng sama anak yang kemarin Andien ceritain ke Bunda.” ucapku menunjuk ke arah anak perempuan itu, namun saat aku berbalik anak itu sudah tidak ada.
Mata Bunda terbelalak melihatku menunjuk ke arah yang sebenarnya tidak ada orang di sana. Bunda mengajakku turun ke bawah sambil berulang kali mengucap isghtifar.
Sesampainya di bawah...
Diusapnya wajahku, kemudian memberiku segelas air putih untuk diminum.
“Andien...! Bunda ingetin sekali lagi ya. Andien tidak boleh main ke loteng lagi.”
“Tapi Bun, Andien 'kan cuman main.”
“Andien, nurut apa kata Bunda!” bentak Bunda memarahiku.
Aku langsung tertunduk lesu dan menangis karena di bentak oleh Bunda.
“Kamu tadi main sendirian sayang, Bunda tidak melihat kamu main sama orang lain di sana.” ucap Bunda lembut sambil mengelus kepalaku untuk menenangkanku.
“Lain kali main di bawah saja ya sayang! Tadi ada temenmu ke rumah ngajakin main tapi kamu malah main di atas.”
“Iya, Bun. Maafin Andien. Hiks.. Hiks...”
Aku masih heran kenapa Bunda bilang kalau aku main sendirian di loteng, padahal jelas-jelas tadi ada seorang anak perempuan yang bermain bersamaku.
Hingga malam tiba, aku tak sengaja mendengar percapakapan Ayah dan Bunda di ruang tengah.
“Ayah..” Bunda membuka percakapan.
“Ya, Bun...” jawab Ayah.
“Bunda, tadi siang lihat Andien main sendirian di loteng tapi Andien ngomongnya lagi main sama temannya.”
“Kok bisa, Bun?” tanya Ayah kaget.
“Lotengnya di tutup aja, Yah. Biar Andien tidak bisa main di sana terus. Perasaan Bunda nggak enak, waktu Bunda periksa ke atas Bunda langsung ngerasa merinding, takutnya Andien main sama makhluk halus.”
“Maksudnya Bunda, Andien bisa lihat makhluk halus?” tanya Ayah.
“Ayah 'kan tahu, kalau Kakeknya Andien seorang Indigo. Bisa melihat makhluk halus. Bunda takut, Andien juga bisa melihat seperti Kakeknya. Kemarin Bunda mendengar Andien lagi berbicara sama orang lain di loteng, tapi waktu Bunda lihat dia main sendirian.”
“Ya sudah, Bun. Jangan khawatir, nanti Ayah tutup lotengnya.”
Mendengar ucapan itu, aku langsung berlari menaiki tangga menuju loteng. Aku takut temanku masih ada di dalam, dia pasti belum turun ke bawah. Aku takut jika loteng akan ditutup oleh Ayah, dia akan terjebak di dalam sana.
Kulihat anak itu masih duduk di kayu loteng sambil tangannya memeluk boneka Susan.
“Hei, kamu cepat turun! Lotengnya mau ditutup sama Ayah.”
Dia menggeleng lalu menyerahkan boneka Susan itu padaku. Aku menerima boneka itu dan saat kuperhatikan boneka itu tersenyum dan matanya bergerak.
“Bonekanya hidup.” pekikku.
Aku yang ketakutan langsung membuang boneka tersebut ke lantai.
Tiba-tiba...
Kurasakan hawa dingin, diikuti dengan lampu bohlam yang mendadak mati dan tak lama kemudian menyala kembali. Bau pengap yang tercium menambah atmosfer seram yang membuatku merinding.
Tak lama kemudian, muncul sesosok mahkluk yang berdiri di belakang anak perempuan itu, seperti seorang wanita biasa dengan rambut panjang yang aneh. Rambutnya sangat lebat hingga menutupi wajahnya sampai sebatas lutut.
Dan, tiba-tiba...
Anak perempuan yang duduk di depanku berdiri dan tersenyum lebar memandangku. Wajahnya terlihat sangat pucat.
Terdengar suara cekikikan yang sangat nyaring, membuat kupingku terasa panas hingga badanku bergetar.
“Hiiiii...”
“Hiiiii...”
“Hiiiii...”
Aku bisa melihat dengan jelas ada sebuah tangan yang menggenggam tanganku, menyerupai tangan tengkorak yang tidak berbalut daging sedikit pun.
Saat aku menatap ke arah wajahnya, bentuk wajahnya sangat menyeramkan. Dengan bola mata, melotot tajam ke arahku.
Bau anyir khas daging busuk, menyeruak hingga membuat perutku mual.
“Hiiiii...”
“Hiiiiii...”
“Hiiiiii...”
Mahkluk itu tertawa nyaring, membuatku ketakutan setengah mati dan kulihat anak perempuan yang biasanya aku ajak main wajahnya berubah menjadi sangat seram. Matanya dipenuhi dengan urat-urat berwarna merah sedang melotot, menatap tajam ke arahku.
Aku langsung berlari menuruni tangga hingga jatuh terguling-giling ke lantai.
“Andien!!” teriak Ayahku.
Ayah berlari melihatku terjatuh dari tangga.
“Ayah... Hiks... Hiks... Di loteng ada setan.” tangisku sambil menunjuk ke arah loteng.
Ayah langsung menaiki tangga menuju loteng dan kudengar Ayah berkali-kali membaca ayat kursi.
“Andien... Bunda 'kan sudah berkali-kali melarang kamu naik ke loteng.” marah Bunda.
“Kamu tadi lihat apa?” tanya Ayah setelah mengecek keadaan di atas loteng.
“Hiks... Hiks.. Andien lihat setan, Ayah. Wajahnya seram.”
“Ayo baca istighfar, Andien sayang.” ujar Bunda sambil mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
“Di loteng. Baunya anyir banget, Bun. Andien sepertinya kesambet,” kata Ayah. “Besok siang, Ayah bersihin dan Ayah tutup lotengnya.”
“Andien, ini diminum dulu sayang. Biar kamu tenang, Nak.” ucap Bunda memberiku segelas air putih.
Setelah meminum segelas air putih, Bunda mengajakku masuk ke kamar untuk beristirahat.
Semalaman aku tidak bisa tidur, wajah seramnya masih terbayang di benakku, ditambah suara cekikikan yang masih terngiang di telingaku.
Sehari setelah kejadian di loteng tersebut, aku mengalami demam yang sangat tinggi.
Kata Ayah, aku hanya ketakutan karena baru pertama kali dalam hidupku melihat mahkluk yang mengerikan seperti itu.
Setelah aku menceritakan semuanya pada Bunda dengan sangat detail tentang anak perempuan dan boneka yang kutemukan di atas loteng. Bunda yang mulanya tidak percaya kini mulai mempercayaiku.
Menurut Bunda, aku bisa melihat mahkluk halus karena menurun dari Kakekku. Bunda bercerita bahwa Kakek adalah orang yang dituakan di desa. Kakek bukan hanya bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahkluk halus saja, tapi Kakek juga bisa mengobati orang yang sakit karena gangguan gaib.
●°●°●°●°●°●°●°●
Seeing is believing. Semuanya bersumber dari penglihatan dan mempercayai apa yang dilihat oleh mata. Tentu saja oleh mata kepala kita sendiri.
Kenapa aku mempunyai kemampuan penglihatan seperti ini? Kenapa aku tidak punya penglihatan normal saja? Semua pasti ada penyebabnya.
Aku mulai coba mencari tahu dari literatur dan forum-forum yang ada di internet karena aku yakin Indigo atau apapun itu namanya, semuanya pasti ada penyebabnya. Jawaban itu tidak serta-merta kutemukan, kebanyakan hanya berupa asumsi.
Dari informasi yang kudapat Indigo Interdimensional itu ada beberapa penyebabnya. Penyebab itu akan menentukan seberapa kuat kemampuan Indigo Interdimensional orang tersebut. Ada yang memiliki kemampuan tersebut karena memang bawaan dari lahir atau pernah mengalami pengalaman mati suri. Ada juga yang memiliki kemampuan tersebut karena belajar atau mendalami supranatural.
Kemampuan Indigo Interdimensional terkuat adalah karena bawaan dari lahir atau orang tersebut pernah mengalami apa yang disebut dengan mati suri. Orang yang pernah mengalami mati suri dianggap jiwanya sudah pernah menginjak alam sebelah atau alam orang mati. Karena seharusnya apa yang sudah berada di alam orang mati tidak bisa kembali lagi. Terjadi anomali pada jiwa orang tersebut saat kembali ke tubuhnya dan pengalaman tersebut membuat dirinya menjadi Indigo.
Ada cerita tentang seorang pakar Indigo yang mengaku memiliki kemampuan Indigo karena ia pernah mengalami kecelakaan mobil dan tubuhnya terpelanting keluar dari mobil yang dikendarainya. Semenjak kejadian tersebut, ia mengaku bisa melihat makhluk halus.
Tingkatan di bawahnya lagi adalah mereka yang memang belajar dan mendalami cara-cara terntentu agar bisa memiliki kemampuan Interdimensional.
Lalu aku termasuk Interdimensioanal yang mana?
Karena aku pernah mengalami mati suri atau seperti yang di bilang oleh Bunda aku mendapatkan kemampuanku karena menurun dari Kakekku.
●°●°●°●°●°●°●°●
Semenjak kecil aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Aku bisa melihat “MEREKA”. Sebutan mereka bermacam-macam. Ada yang menyebutnya hantu, jin, setan, arwah, siluman dan lain sebagainya.
Lama-kelamaan aku tidak hanya bisa melihat mereka, tetapi juga bisa mendengar dengan jelas suara mereka.
Suara seperti geraman, desahan berat, cekikik tawa, dengusan napas, atau benda-benda yang mereka gerakkan bisa kudengar dengan jelas.
Sampai pada titik itu, aku merasa hidupku adalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang panjang dan melelahkan. Aku mencoba lebih dekat dengan Tuhan. Sayangnya, hal itu tidak berpengaruh banyak. Mereka memang seperti sedikit memberi batas padaku. Tetapi mata ini tetap bisa melihat mereka. Suara mereka juga masih bisa terdengar. Bagiku mimpi buruk itu tidak pernah berhenti.
Kondisi ini membuatku frustasi. Hidupku sendiri mulai tidak tenang. Saat tidur aku berusaha keras memejamkan mata, walaupun sebelumnya dari jendela aku melihat sosok tinggi besar, berbulu hitam dengan mata merah menyala dan bergigi taring menatapku dari bawah pohon mangga di dekat jendela kamarku.
Hampir tiap malam yang kualami adalah suasana horor. Aku tidak berani sendiri. Bahkan untuk kencing atau ke kamar kecil sekalipun aku minta ditemani. Aku tidak berani melihat ke arah-arah tertentu. Karena Aku tahu di arah itu penampakan mereka akan kujumpai. Kadang ada yang muncul dengan kepala terjuntai dari atas lemari, kadang ada yang menindihku berupa sosok nenek-nenek saat aku tidur dan membuat napasku sesak setengah mati.
Melihat kondisiku yang semakin lama semakin memburuk, Ayah dan Bunda mengajakku menemui Kakek dan sekalian liburan saat libur panjang kululusan SMP.
Madiun, 10 April 2004
Pada waktu itu, hari sudah mulai gelap dan adzan maghrib sudah berkumandang. Mobil kami melewati jalanan menuju komplek rumah kakek. Sebelum memasuki komplek perumahan rumah Kakek, kami melewati sebuah bangunan Taman Kanak-Kanak yang sudah tidak terawat dan tidak terpakai. Disebelah TK itu, di belakang taman bermain ada rumpun bambu yang sangat tinggi dan lebat.
Mataku seperti diarahkan tertuju pada taman bermain yang ada di dekat rumpun bambu. Kubuka jendela kaca mobil dan kuperhatikan satu-persatu alat bermain di situ. Mulai dari ayunan, perosotan, palang bermain, bak pasir, dan lain-lain.
Tiba-tiba...
Aku melihat ayunan yang ada di situ bergerak sendiri dan kemudian tampak perlahan-lahan pada ayunan yang bergoyang itu terbentuk siluet yang semakin lama semakin jelas.
Sosoknya seperti wanita menimang bayi dengan posisi agak membelakangi. Aku masih bisa melihat lengkungan tangannya seperti menggendong sesuatu. Lirih aku mendengar sosok itu bersenandung. Melantunkan nada lagu 'Nina Bobo'. Sesaat aku melihat lehernya hampir menoleh ke arahku.
Namun, tiba-tiba...
Lengan Bunda merangkul tubuhku dan mengusap lembut kepalaku.
“Sayank, lihat apa? Jendela kaca mobilnya di tutup ya.” pinta Bunda.
Bunda seperti mengerti apa yang sedang aku lihat dan mencoba mengalihkan perhatianku.
Setelah menempuh kurang lebih 5 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah Kakek. Terlihat Kakek yang sudah di depan rumah menyambut kedatangan kami. Aku yang sangat bahagia langsung turun dari mobil dan berlari memeluk Kakek.
“Kakek, Andien kangen banget sama Kakek.”
“Iya Nduk, Kakek juga kangen sama Andien.” jawab Kakek sambil memeluk tubuhku dan mengusap lembut kepalaku.
Rumah Kakek sangat sederhana, namun barang-barangnya diatur dengan rapi. Rumahnya bercat putih, sehingga tampak luas dan dan bersih.
Dan di bagian depan rumah terdapat banyak sekali bunga-bunga, karena Almarhumah Nenek sangat menyukai bunga.
●°●°●°●°●°●°●°●
Kakek berusia 54 tahun, badannya masih tegap dan sehat. Raut muka yang tegas dengan postur tubuh yang tinggi menjadi ciri khasnya. Setiap pagi Kakek masih rutin lari pagi keliling komplek.
Aku menceritakan semua kejadian yang selama ini kualami kepada Kakek.
“Tunggu di sini sebentar.” ucap Kakek sambil berlalu meninggalkanku.
Tak berapa lama kemudian, Kakek kembali dengan membawa sebilah keris dan sebuah kotak kayu kuno.
“Pegang keris ini Nduk. Pejamkan mata dan kosentrasi,” ujar kakek. “Gambarkan kepada Kakek sosok apa yang kamu lihat?”
Aku memegang keris tersebut. Awalnya tidak ada gambaran apa-apa, tetapi saat berkonsentrasi aku melihat Singa yang sangat besar sedang mengaum-mengaum dan menyeringai galak ke arahku.
Hampir saja keris itu terlepas dari genggaman tanganku karena terkejut, namun dengan sigap Kakek memegang tanganku.
Aku menceritakan apa yang aku lihat kepada Kakek. Kakek hanya diam dan beralih ke sebuah kotak kayu kuno yang di bawanya.
“Sekarang coba kamu lihat apa isi kotak ini.” ujar Kakek menyuruhku melihat apa isi kota tersebut tanpa membukanya.
“Aaaaaaaa....” teriakku ketakutan.
“Andien... Lihat Kakek, Nduk!” ucap Kakek sambil memeluk tubuhku menenangkanku.
“Seram Kek, Andien takut sama isi yang ada di dalam kotak itu.” tunjukku ke kotak tersebut.
“Mulai sekarang Andien nggak boleh takut. Andien harus berani.” ucap Kakek.
Kakek membuka kotak tersebut dan isinya sama persis seperti apa yang aku lihat.
“Keris yang kamu pegang tadi, namanya 'Keris Kyai Singa Lodra', sedangkan isi dalam kotak ini adalah 'Jenglot'.” ujar Kakek menerangkan.
“Nduk, semua ini sudah di gariskan, kamu harus bisa menerima! Pahami dan terima diri kamu.” kata Kakek.
“Terus Andien harus bagaimana, Kek? Andien takut.”
“Ora usah wedi Nduk (Nggak usah takut). Mulai saiki kowe kudu wani (Mulai sekarang kamu harus berani).”
“Meng siji pesenku (Cuman satu pesanku), jangan meminta sesuatu dari mereka.” nasehat Kakek.
Singgah-singgah kala singgah
Tan suminggah Durgakala sumingkir
Sing Asirah Sing asuku
Sing awulu Sing abahu
Sing atenggak kalawan abuntut
Sing datan kasat mata
Muliho neng asal neki
Artinya :
Mingir-mingir kala (setan/demit) mingir
Dan minggirlah durgakala (setan/demit) minggir
Yang berkepala yang berkaki
Yang berbulu yang berlengan
Yang tegak maupun yang berbuntut
Yang tidak terlihat mata
Kembalilah ke asal muasalmu
Tan suminggah Durgakala sumingkir
Sing Asirah Sing asuku
Sing awulu Sing abahu
Sing atenggak kalawan abuntut
Sing datan kasat mata
Muliho neng asal neki
Artinya :
Mingir-mingir kala (setan/demit) mingir
Dan minggirlah durgakala (setan/demit) minggir
Yang berkepala yang berkaki
Yang berbulu yang berlengan
Yang tegak maupun yang berbuntut
Yang tidak terlihat mata
Kembalilah ke asal muasalmu