begawan_cinta
Guru Semprot
- Daftar
- 27 Oct 2023
- Post
- 583
- Like diterima
- 10.083
●●●●●
SORE YANG INDAH
AKU TIDAK masuk kantor sebab badanku rasanya tidak enak. Seluruh badanku rasanya pegal-pegal semua. Mungkin mau flu atau masuk angin, aku memutuskan tidak perlu ke dokter. Setelah minum obat yang dibeli di warung, aku tiduran sambil membaca koran. Nanti siang pasti sudah sehat, batinku.
Tetapi ketika siang tiba, pegel-pegel itu tidak pergi juga dari badanku. Waktu aku makan siang di warteg langgananku, aku bertanya pada ibu pemilik warteg dimana ada tukang urut, tukang urut tuna netra juga bolehlah.
“Nooo.. di perumahan seberang jalan sana ada, tapi ibu-ibu, bukan tuna netra.” tunjuk seorang abang becak yang lagi makan dengan mulut penuh dan kakinya diangkat satu ke atas bangku. “Namanya Bu Mul. Tapi apa dia mo ngurut laki-laki, saya gak tau dah. Soalnya kebanyakan yang saya ngantar ke sana ibu-ibu.” katanya.
Sore harinya, selesai membersihkan badan, aku mencoba mencari rumah tukang urut yang bernama Bu Mul di perumahan seberang jalan dengan dibonceng sepeda motor oleh tetangga yang tinggal di sebelah kontrakan aku. Kebetulan ia mau ke rumah saudaranya yang tinggal di perumahan seberang jalan itu.
Setiba di rumah saudaranya, tetanggaku bertanya pada saudaranya. “Tuh, Pak Mul-nya yang berdiri di pintu pagar.” tunjuk saudara tetanggaku. Ternyata hanya selisih 4 rumah dari rumah saudara tetanggaku.
“Biasanya berapa sih biayanya Mbak?” tanyaku pada saudara tetanggaku.
“Saya sih belum pernah ngurut, tapi kata orang yang sudah pernah, bayarnya 50 ribu. Biasanya ibu-ibu yang suka ngurut, laki-laki, saya belum pernah lihat kesitu! Coba aja tanya sama Pak Mul-nya.” ujar saudara tetanggaku.
Tetanggaku lalu mengajak aku menemui Pak Mul yang sedang berdiri di dalam pagar rumahnya dan lagi ngobrol dengan seorang laki-laki yang duduk di sepeda motor. Asap rokok mengepul dari mulut kedua laki-laki itu.
“Masuk, masuk,” suruh Pak Mul yang berkumis tebal memakai kaos oblong hitam dan celana pendek itu setelah tetanggaku bertanya padanya. “Duduk dulu di dalam, Ibu lagi ke warung.” katanya sambil melebarkan pintu pagar.
Aku dengan tetanggaku melangkah masuk ke halaman rumah Pak Mul, sedangkan laki-laki yang duduk di sepeda motor ngobrol dengan Pak Mul itu pergi.
Rumah Pak Mul sangat sederhana. Dinding batakonya tidak di plester, dan langit-langit rumahnya juga tidak di plafon. Televisi tabung berukuran 19 inci terpajang di dalam sebuah lemari berukuran tinggi sekitar 170 senti yang cat vernis-nya sudah ngelotok. Lemari itu berfungsi juga sebagai pembatas ruangan.
Aku dengan tetanggaku saling memandang saat duduk di sofa yang busanya sudah kempes dan berbau apek. Saat itu televisi sedang menyiarkan berita pesawat terbang hilang.
“Sakit apa, Dik?” tanya Pak Mul duduk di sofa menghadap ke televisi.
“Badan pegel-pegel, Pak!”
“Coba Bapak periksa,” kata Pak Mul yang duduk dekat aku menyandarkan rokok kreteknya di pinggir asbak yang asapnya sedang mengepul-ngepul tertiup angin.
Lalu ia bangun dari tempat duduknya memijit pundak dan punggungku. “Wah, ini sih masuk angin, Dik!” kata Pak Mul.
Terdengar pintu pagar besi berderit di luar. “Ini Ibu!” kata Pak Mul ketika seorang wanita gemuk tinggi berperut besar memakai kemeja putih tidak di kancing dan celana ketat selutut warna coklat melepaskan sandalnya di depan pintu. “Si adik ini mau ngurut, Bu! Masuk angin!” kata Pak Mul pada istrinya yang berambut hitam keriting diikat dengan karet gelang saat istrinya meletakkan sebungkus rokok kretek di meja.
Bu Mul memandang aku dan tersenyum tipis di bibirnya yang tebal dan coklat. Aku membalas tersenyum dan menganggukkan kepala. “Sana, ikut Ibu masuk ke dalam.” suruh Pak Mul saat Bu Mul melangkah pergi membawa belanjaannya yang ditaruh dalam kantong plastik kresek warna hitam.
“Ngurut di sini saja sambil nonton televisi,” kataku.
“Kalau mau nonton televisi, nggak usah diurut!” jawab Bu Mul kasar dari dalam.
Waduh!
Aku cepat-cepat bangun dari tempat dudukku melangkah mengikuti Bu Mul. Aku melihat di belakang lemari yang memajang pesawat televisi tersebut, terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya disekat dengan kain putih, tapi kain putihnya sudah kotor. Setelah itu adalah dapur keluarga Pak Mul.
Seorang anak remaja laki-laki yang masih berpakaian sekolah putih abu-abu sedang duduk makan di depan meja. Ia tersenyum padaku. “Makan, Kak!” tawarnya.
“Terima kasih,” jawabku membalas senyumnya. “Baru pulang sekolah? Sekolah di mana?” tanyaku.
“Iya, Kak. Sekolah di SMA Negeri 34. Kakak mau urut, ya? Sebentar ya, Ibu lagi kencing. Masuk aja dulu ke kamar. Tuh, kamarnya..”
“Iya... ya..” jawabku.
Aku masuk ke ruangan yang disekat kain putih. Di lantai ada sebuah kasur busa yang dilapisi dengan kain batik kumal. Kamarnya juga berbau minyak sereh. Kemudian Bu Mul masuk dengan telanjang kaki.
“Lha, mau diurut kok masih pakai pakaian?” kata Bu Mul memandang aku dengan galak. Aku jadi takut. Memang, wajah Bu Mul wajah galak!
Kemeja putihnya sudah dilepas. Ternyata kemeja putihnya itu untuk menutupi kaos tank top-nya. Bu Mul tidak memakai BH. Tampak jelas tetek Bu Mul dengan putingnya yang tercetak di kaos tank top-nya.
Buru-buru aku melepaskan kaos oblong dan celana panjangku, lalu meletakkannya di atas meja kecil. “Itu, kenapa nggak sekalian?” mulut Bu Mul menunjuk celana dalam yang masih melekat di pinggangku.
Setelah aku melepaskan celana dalam, Bu Mul memberikan aku selembar handuk. Setelah memakai handuk di pinggang, aku berbaring tengkurap di kasur. Sementara itu tetangga aku tidak pergi. Terdengar ia berbicara dengan Pak Mul. Bau asap rokok ikut masuk ke ruangan tempat aku berbaring tengkurap dan tangan Bu Mul mulai mengurut punggungku dengan minyak sambil berlutut di samping aku.
Begitu enak yang kurasakan. Bu Mul tahu persis susunan otot-otot di punggungku yang pegal-pegal. “Masuk angin nih, Dik!” kata Mul sambil mulutnya mengeluarkan angin.. eekk... eekkk... “Siapa yang kasih tahu kamu ke sini?”
“Tukang becak!”
“Ooo... Bang Sabri?”
Lalu hening sejenak. Aku menikmati pijatannya. Kini Bu Mul sudah mengurut pinggangku.
“Suka ngurut?”
“Nggak Bu, baru ini!”
“Pantesan badan kamu kaku begitu. Yang santai aja, apa terlalu keras Ibu ngurutnya?”
“Cukup, Bu! Enak!” jawabku bercampur dengan suara tetanggaku yang masih berbicara dengan Pak Mul.
“Ayo, ini dilepas saja!” suruh Bu Mul memegang handuk yang melilit di pinggangku.
Aku memberikan Bu Mul menelanjangi aku dengan melepaskan handukku. Pasti penisku kelihatan oleh Bu Mul saat ia mengurut pantatku dan pahaku, tapi aku tidak berpikir macam-macam.
Setelah selesai mengurut pantatku dan pahaku, tubuhku rasanya sudah agak ringan, tidak sepegal tadi sebelum diurut. Kemudian jari kakiku ditarik-tarik satu persatu dengan handuk kecil putih oleh Bu Mul sampai berbunyi kletekk... kletekk...
“Belakang sudah, sekarang balik,” suruh Bu Mul.
Aku membalik tubuh telanjangku terlentang. Bu Mul menyuruh aku duduk. Bu Mul menyandarkan kepalaku di dadanya, lalu ia mengurut keningku dan kepalaku. Setelah itu, ia menyuruh aku berbaring kembali.
“Sudah punya istri?” tanya Bu Mul.
“Belum,”
Lalu Bu Mul menjulurkan tangannya memegang penisku. “Hee.. hee.. “ tawanya pelan memandang aku. Wajah garangnya lenyap. “Orangnya kurus, tapi ininya gemuk. Suka main cewek, ya?”
“Oo, nggak Bu.”
“Tapi.. kalau begini, suka?” tanya Bu Mul memperagakan mengocok penis dengan tangannya yang digenggam.
“Kadang-kadang,” jawabku.
“Selesai diurut nanti, minum jamu buatan Ibu, biar ini kamu kuat dan main cewek tahan lama. Ayo, sekarang Ibu ngurut dada kamu,”
“Pegel-pegelnya sudah mendingan, Bu. Sudah, dada nggak usah diurut Bu, aku takut temanku tunggu kelamaan,”
“Kalau begitu, ini ya Ibu beresin. Mau?” Bu Mul memegang penisku kembali.
Mau, tidak... mau, tidak... jantungku berdebar-debar. “Terserah Ibu saja!” jawabku kemudian.
“Tapi, nanti ditambah, ya?” katanya. Aku tahu maksudnya, yaitu supaya aku memberikan padanya uang jasa tambahan.
“Berapa, Bu?” tanyaku.
“Lima puluh, jadi genap seratus.”
“Boleh, Bu.” jawabku.
Bu Mul membalur minyak dengan tangannya ke seluruh penisku dan buah pelirku. Setelah itu, tangannya menggenggam penisku yang loyo, lalu dikocok-kocoknya dengan pelan.
“Sestthh... oogghh... bangunn... bangunn...” desahnya pelan. “Mau ini?” tanya Bu Mul menunjuk teteknya.
Belum sempat aku menjawab, Bu Mul sudah mengangkat ke atas kaos tank-topnya. Bu Mul melepaskan kaos tank-topnya. Kedua teteknya yang menggelantung sudah kendor, lalu Bu Mul menyodorkan puting teteknya ke mulutku.
Dalam hati aku berkata, di rumahnya sendiri dan ada suaminya di rumah, ia sudah berani begini dengan laki-laki lain, bagaimana di luar rumah?
Tapi aku isap juga puting tetek kiri Bu Mul sedangkan tetek kanannya kuremas-remas penuh napsu dengan tangan. Setelah itu, Bu Mul pindah berlutut di antara kedua pahaku yang terbuka lebar. Ia membungkuk, lalu menjepit penisku dengan kedua teteknya. Kemudian penisku dikocok-kocok pakai teteknya.
Uugghh.. baru kali ini kurasakan. Penisku dikocok pakai tetek. Uugghh...
Pada saat yang sama, aku sudah tidak ingat dengan tetanggaku yang masih duduk di ruang tamu ngobrol dengan Pak Mul. Sebelum air maniku muncrat di sela tetek Bu Mul, aku menarik tangan Bu Mul biar ia melepaskan penisku dari jepitan teteknya. Bu Mul berpindah menindih aku.
Melihat bibir Bu Mul yang tebal kering berwarna coklat, aku tidak merasa jijik. Aku mencium bibirnya, sedangkan tangan Bu Mul sibuk melepaskan celana ketatnya.
“Mau pakai kondom? Ibu punya. Punya suami.” tambahnya. “Sebenarnya Ibu nggak ngurut laki-laki. Kamu boleh tanya ke tetangga kalau kamu curiga sama Ibu,”
“Kok Ibu mau ngurut aku?”
“Hee.. hee... sudah, Ibu nggak perlu jawab. Ibu masukin langsung, ya?” ujarnya.
Aku mengecup bibirnya. Bu Mul bangun berlutut mengangkang di atas penisku yang berdiri tegang. Penisku dipegang dan ketika Bu Mul menurunkan pantatnya, penisku terasa menyelusup masuk ke lubang yang basah. Pelan-pelan Bu Mul menurunkan pantatnya, hingga penisku masuk semua ke dalam lubang memeknya, lalu pantatnyapun mulai menggoyang penisku.
“Sestth... oogghh.. kontolmu enak banget, Diikkk... ssetthh... oooo...” ngeracau Bu Mul dengan suara pelan. “Sessttt... ooouughhh...”
Kedua tanganku meremas-remas kedua tetek Bu Mul dan dari bawah penisku ikut menggenjot lubang memeknya yang basah. “Bu!” terdengar suara anaknya yang tadi berbicara denganku memanggil.
“I..iya, a..ada apa Kak?” jawab Bu Mul dengan napas tersengal-sengal. Aku tidak peduli. Aku terus menggenjot memek Bu Mul dari bawah.
“Minta duit 10 ribu mau foto kopi buku pelajaran.”
“Ibu lagi kerja. Minta dulu sama Ayah ya, Kak?” jawab Bu Mul. “Oooo... Ibu mau keluar, Dikkk...!” rintih Bu Mul setelah anaknya pergi dari depan kamar, lalu Bu Mul menurunkan tubuhnya menindih tubuhku. Aku memeluknya.
Aku menempelkan bibirku ke bibir Bu Mul seraya melumat, dan pada saat yang sama, air manikupun ikut keluar dari penisku, croott... crroott... crroott... air maniku keluar di dalam lubang memek Bu Mul.
“Wahh, ngomong dong Dik kalau mau keluar. Ibu masih bisa hamil nih!” omel Bu Mul.
Sebodoh amat, bukan urusanku, kataku dalam hati.
Aku medorong Bu Mul bangun dari tubuhku, tapi Bu Mul mau juga membersihkan penisku dengan handuk setelah ia bangun dari tubuhku. Kemudian dengan rela aku mengeluarkan 2 lembar uang seratus ribu dari dompetku. Bu Mul memeluk aku. “Besok sore datang lagi, ya? Ini sudah kebanyakan. Lain kali nggak usah kasih Ibu banyak-banyak,” katanya.
Aku tersenyum melepaskan Bu Mul dari pelukanku, lalu keluar dari kamar ikut duduk bergabung dengan Pak Mul dan tetanggaku seperti tidak terjadi apa-apa tadi di bilik urut. Bu Mul membawa segelas jamu hangat untukku. Selesai aku minum jamu, tetanggaku mengajak aku ke rumah saudaranya.
*****
SORE YANG INDAH
AKU TIDAK masuk kantor sebab badanku rasanya tidak enak. Seluruh badanku rasanya pegal-pegal semua. Mungkin mau flu atau masuk angin, aku memutuskan tidak perlu ke dokter. Setelah minum obat yang dibeli di warung, aku tiduran sambil membaca koran. Nanti siang pasti sudah sehat, batinku.
Tetapi ketika siang tiba, pegel-pegel itu tidak pergi juga dari badanku. Waktu aku makan siang di warteg langgananku, aku bertanya pada ibu pemilik warteg dimana ada tukang urut, tukang urut tuna netra juga bolehlah.
“Nooo.. di perumahan seberang jalan sana ada, tapi ibu-ibu, bukan tuna netra.” tunjuk seorang abang becak yang lagi makan dengan mulut penuh dan kakinya diangkat satu ke atas bangku. “Namanya Bu Mul. Tapi apa dia mo ngurut laki-laki, saya gak tau dah. Soalnya kebanyakan yang saya ngantar ke sana ibu-ibu.” katanya.
Sore harinya, selesai membersihkan badan, aku mencoba mencari rumah tukang urut yang bernama Bu Mul di perumahan seberang jalan dengan dibonceng sepeda motor oleh tetangga yang tinggal di sebelah kontrakan aku. Kebetulan ia mau ke rumah saudaranya yang tinggal di perumahan seberang jalan itu.
Setiba di rumah saudaranya, tetanggaku bertanya pada saudaranya. “Tuh, Pak Mul-nya yang berdiri di pintu pagar.” tunjuk saudara tetanggaku. Ternyata hanya selisih 4 rumah dari rumah saudara tetanggaku.
“Biasanya berapa sih biayanya Mbak?” tanyaku pada saudara tetanggaku.
“Saya sih belum pernah ngurut, tapi kata orang yang sudah pernah, bayarnya 50 ribu. Biasanya ibu-ibu yang suka ngurut, laki-laki, saya belum pernah lihat kesitu! Coba aja tanya sama Pak Mul-nya.” ujar saudara tetanggaku.
Tetanggaku lalu mengajak aku menemui Pak Mul yang sedang berdiri di dalam pagar rumahnya dan lagi ngobrol dengan seorang laki-laki yang duduk di sepeda motor. Asap rokok mengepul dari mulut kedua laki-laki itu.
“Masuk, masuk,” suruh Pak Mul yang berkumis tebal memakai kaos oblong hitam dan celana pendek itu setelah tetanggaku bertanya padanya. “Duduk dulu di dalam, Ibu lagi ke warung.” katanya sambil melebarkan pintu pagar.
Aku dengan tetanggaku melangkah masuk ke halaman rumah Pak Mul, sedangkan laki-laki yang duduk di sepeda motor ngobrol dengan Pak Mul itu pergi.
Rumah Pak Mul sangat sederhana. Dinding batakonya tidak di plester, dan langit-langit rumahnya juga tidak di plafon. Televisi tabung berukuran 19 inci terpajang di dalam sebuah lemari berukuran tinggi sekitar 170 senti yang cat vernis-nya sudah ngelotok. Lemari itu berfungsi juga sebagai pembatas ruangan.
Aku dengan tetanggaku saling memandang saat duduk di sofa yang busanya sudah kempes dan berbau apek. Saat itu televisi sedang menyiarkan berita pesawat terbang hilang.
“Sakit apa, Dik?” tanya Pak Mul duduk di sofa menghadap ke televisi.
“Badan pegel-pegel, Pak!”
“Coba Bapak periksa,” kata Pak Mul yang duduk dekat aku menyandarkan rokok kreteknya di pinggir asbak yang asapnya sedang mengepul-ngepul tertiup angin.
Lalu ia bangun dari tempat duduknya memijit pundak dan punggungku. “Wah, ini sih masuk angin, Dik!” kata Pak Mul.
Terdengar pintu pagar besi berderit di luar. “Ini Ibu!” kata Pak Mul ketika seorang wanita gemuk tinggi berperut besar memakai kemeja putih tidak di kancing dan celana ketat selutut warna coklat melepaskan sandalnya di depan pintu. “Si adik ini mau ngurut, Bu! Masuk angin!” kata Pak Mul pada istrinya yang berambut hitam keriting diikat dengan karet gelang saat istrinya meletakkan sebungkus rokok kretek di meja.
Bu Mul memandang aku dan tersenyum tipis di bibirnya yang tebal dan coklat. Aku membalas tersenyum dan menganggukkan kepala. “Sana, ikut Ibu masuk ke dalam.” suruh Pak Mul saat Bu Mul melangkah pergi membawa belanjaannya yang ditaruh dalam kantong plastik kresek warna hitam.
“Ngurut di sini saja sambil nonton televisi,” kataku.
“Kalau mau nonton televisi, nggak usah diurut!” jawab Bu Mul kasar dari dalam.
Waduh!
Aku cepat-cepat bangun dari tempat dudukku melangkah mengikuti Bu Mul. Aku melihat di belakang lemari yang memajang pesawat televisi tersebut, terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya disekat dengan kain putih, tapi kain putihnya sudah kotor. Setelah itu adalah dapur keluarga Pak Mul.
Seorang anak remaja laki-laki yang masih berpakaian sekolah putih abu-abu sedang duduk makan di depan meja. Ia tersenyum padaku. “Makan, Kak!” tawarnya.
“Terima kasih,” jawabku membalas senyumnya. “Baru pulang sekolah? Sekolah di mana?” tanyaku.
“Iya, Kak. Sekolah di SMA Negeri 34. Kakak mau urut, ya? Sebentar ya, Ibu lagi kencing. Masuk aja dulu ke kamar. Tuh, kamarnya..”
“Iya... ya..” jawabku.
Aku masuk ke ruangan yang disekat kain putih. Di lantai ada sebuah kasur busa yang dilapisi dengan kain batik kumal. Kamarnya juga berbau minyak sereh. Kemudian Bu Mul masuk dengan telanjang kaki.
“Lha, mau diurut kok masih pakai pakaian?” kata Bu Mul memandang aku dengan galak. Aku jadi takut. Memang, wajah Bu Mul wajah galak!
Kemeja putihnya sudah dilepas. Ternyata kemeja putihnya itu untuk menutupi kaos tank top-nya. Bu Mul tidak memakai BH. Tampak jelas tetek Bu Mul dengan putingnya yang tercetak di kaos tank top-nya.
Buru-buru aku melepaskan kaos oblong dan celana panjangku, lalu meletakkannya di atas meja kecil. “Itu, kenapa nggak sekalian?” mulut Bu Mul menunjuk celana dalam yang masih melekat di pinggangku.
Setelah aku melepaskan celana dalam, Bu Mul memberikan aku selembar handuk. Setelah memakai handuk di pinggang, aku berbaring tengkurap di kasur. Sementara itu tetangga aku tidak pergi. Terdengar ia berbicara dengan Pak Mul. Bau asap rokok ikut masuk ke ruangan tempat aku berbaring tengkurap dan tangan Bu Mul mulai mengurut punggungku dengan minyak sambil berlutut di samping aku.
Begitu enak yang kurasakan. Bu Mul tahu persis susunan otot-otot di punggungku yang pegal-pegal. “Masuk angin nih, Dik!” kata Mul sambil mulutnya mengeluarkan angin.. eekk... eekkk... “Siapa yang kasih tahu kamu ke sini?”
“Tukang becak!”
“Ooo... Bang Sabri?”
Lalu hening sejenak. Aku menikmati pijatannya. Kini Bu Mul sudah mengurut pinggangku.
“Suka ngurut?”
“Nggak Bu, baru ini!”
“Pantesan badan kamu kaku begitu. Yang santai aja, apa terlalu keras Ibu ngurutnya?”
“Cukup, Bu! Enak!” jawabku bercampur dengan suara tetanggaku yang masih berbicara dengan Pak Mul.
“Ayo, ini dilepas saja!” suruh Bu Mul memegang handuk yang melilit di pinggangku.
Aku memberikan Bu Mul menelanjangi aku dengan melepaskan handukku. Pasti penisku kelihatan oleh Bu Mul saat ia mengurut pantatku dan pahaku, tapi aku tidak berpikir macam-macam.
Setelah selesai mengurut pantatku dan pahaku, tubuhku rasanya sudah agak ringan, tidak sepegal tadi sebelum diurut. Kemudian jari kakiku ditarik-tarik satu persatu dengan handuk kecil putih oleh Bu Mul sampai berbunyi kletekk... kletekk...
“Belakang sudah, sekarang balik,” suruh Bu Mul.
Aku membalik tubuh telanjangku terlentang. Bu Mul menyuruh aku duduk. Bu Mul menyandarkan kepalaku di dadanya, lalu ia mengurut keningku dan kepalaku. Setelah itu, ia menyuruh aku berbaring kembali.
“Sudah punya istri?” tanya Bu Mul.
“Belum,”
Lalu Bu Mul menjulurkan tangannya memegang penisku. “Hee.. hee.. “ tawanya pelan memandang aku. Wajah garangnya lenyap. “Orangnya kurus, tapi ininya gemuk. Suka main cewek, ya?”
“Oo, nggak Bu.”
“Tapi.. kalau begini, suka?” tanya Bu Mul memperagakan mengocok penis dengan tangannya yang digenggam.
“Kadang-kadang,” jawabku.
“Selesai diurut nanti, minum jamu buatan Ibu, biar ini kamu kuat dan main cewek tahan lama. Ayo, sekarang Ibu ngurut dada kamu,”
“Pegel-pegelnya sudah mendingan, Bu. Sudah, dada nggak usah diurut Bu, aku takut temanku tunggu kelamaan,”
“Kalau begitu, ini ya Ibu beresin. Mau?” Bu Mul memegang penisku kembali.
Mau, tidak... mau, tidak... jantungku berdebar-debar. “Terserah Ibu saja!” jawabku kemudian.
“Tapi, nanti ditambah, ya?” katanya. Aku tahu maksudnya, yaitu supaya aku memberikan padanya uang jasa tambahan.
“Berapa, Bu?” tanyaku.
“Lima puluh, jadi genap seratus.”
“Boleh, Bu.” jawabku.
Bu Mul membalur minyak dengan tangannya ke seluruh penisku dan buah pelirku. Setelah itu, tangannya menggenggam penisku yang loyo, lalu dikocok-kocoknya dengan pelan.
“Sestthh... oogghh... bangunn... bangunn...” desahnya pelan. “Mau ini?” tanya Bu Mul menunjuk teteknya.
Belum sempat aku menjawab, Bu Mul sudah mengangkat ke atas kaos tank-topnya. Bu Mul melepaskan kaos tank-topnya. Kedua teteknya yang menggelantung sudah kendor, lalu Bu Mul menyodorkan puting teteknya ke mulutku.
Dalam hati aku berkata, di rumahnya sendiri dan ada suaminya di rumah, ia sudah berani begini dengan laki-laki lain, bagaimana di luar rumah?
Tapi aku isap juga puting tetek kiri Bu Mul sedangkan tetek kanannya kuremas-remas penuh napsu dengan tangan. Setelah itu, Bu Mul pindah berlutut di antara kedua pahaku yang terbuka lebar. Ia membungkuk, lalu menjepit penisku dengan kedua teteknya. Kemudian penisku dikocok-kocok pakai teteknya.
Uugghh.. baru kali ini kurasakan. Penisku dikocok pakai tetek. Uugghh...
Pada saat yang sama, aku sudah tidak ingat dengan tetanggaku yang masih duduk di ruang tamu ngobrol dengan Pak Mul. Sebelum air maniku muncrat di sela tetek Bu Mul, aku menarik tangan Bu Mul biar ia melepaskan penisku dari jepitan teteknya. Bu Mul berpindah menindih aku.
Melihat bibir Bu Mul yang tebal kering berwarna coklat, aku tidak merasa jijik. Aku mencium bibirnya, sedangkan tangan Bu Mul sibuk melepaskan celana ketatnya.
“Mau pakai kondom? Ibu punya. Punya suami.” tambahnya. “Sebenarnya Ibu nggak ngurut laki-laki. Kamu boleh tanya ke tetangga kalau kamu curiga sama Ibu,”
“Kok Ibu mau ngurut aku?”
“Hee.. hee... sudah, Ibu nggak perlu jawab. Ibu masukin langsung, ya?” ujarnya.
Aku mengecup bibirnya. Bu Mul bangun berlutut mengangkang di atas penisku yang berdiri tegang. Penisku dipegang dan ketika Bu Mul menurunkan pantatnya, penisku terasa menyelusup masuk ke lubang yang basah. Pelan-pelan Bu Mul menurunkan pantatnya, hingga penisku masuk semua ke dalam lubang memeknya, lalu pantatnyapun mulai menggoyang penisku.
“Sestth... oogghh.. kontolmu enak banget, Diikkk... ssetthh... oooo...” ngeracau Bu Mul dengan suara pelan. “Sessttt... ooouughhh...”
Kedua tanganku meremas-remas kedua tetek Bu Mul dan dari bawah penisku ikut menggenjot lubang memeknya yang basah. “Bu!” terdengar suara anaknya yang tadi berbicara denganku memanggil.
“I..iya, a..ada apa Kak?” jawab Bu Mul dengan napas tersengal-sengal. Aku tidak peduli. Aku terus menggenjot memek Bu Mul dari bawah.
“Minta duit 10 ribu mau foto kopi buku pelajaran.”
“Ibu lagi kerja. Minta dulu sama Ayah ya, Kak?” jawab Bu Mul. “Oooo... Ibu mau keluar, Dikkk...!” rintih Bu Mul setelah anaknya pergi dari depan kamar, lalu Bu Mul menurunkan tubuhnya menindih tubuhku. Aku memeluknya.
Aku menempelkan bibirku ke bibir Bu Mul seraya melumat, dan pada saat yang sama, air manikupun ikut keluar dari penisku, croott... crroott... crroott... air maniku keluar di dalam lubang memek Bu Mul.
“Wahh, ngomong dong Dik kalau mau keluar. Ibu masih bisa hamil nih!” omel Bu Mul.
Sebodoh amat, bukan urusanku, kataku dalam hati.
Aku medorong Bu Mul bangun dari tubuhku, tapi Bu Mul mau juga membersihkan penisku dengan handuk setelah ia bangun dari tubuhku. Kemudian dengan rela aku mengeluarkan 2 lembar uang seratus ribu dari dompetku. Bu Mul memeluk aku. “Besok sore datang lagi, ya? Ini sudah kebanyakan. Lain kali nggak usah kasih Ibu banyak-banyak,” katanya.
Aku tersenyum melepaskan Bu Mul dari pelukanku, lalu keluar dari kamar ikut duduk bergabung dengan Pak Mul dan tetanggaku seperti tidak terjadi apa-apa tadi di bilik urut. Bu Mul membawa segelas jamu hangat untukku. Selesai aku minum jamu, tetanggaku mengajak aku ke rumah saudaranya.
*****
Terakhir diubah: