Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Bimabet
Si Pemanah Gadis - Bab 18


Sementara itu, pertarungan dua tokoh tua juga terjadi di sebelah selatan, dekat dengan pintu gerbang Partai Naga Langit. Ki Gagak Surengpati sendiri sudah berjibaku dengan Maharsi Manikmaya. Pertarungan mereka justru berjalan lebih lambat daripada yang lainnya, tapi justru yang paling berbahaya dan paling menentukan hidup mati dua petarung tua ini.
Debb! Debb!
Desiran-desiran hawa sakti saling bentrok dan labrak hingga menimbulkan guncangan-guncangan dahsyat.
Derr ... derrr ... !!
Berkali-kali guncangan dahsyat terjadi, dan berkali-kali pula dua kakek itu kembali terseret ke belakang tiga-empat tombak jauhnya.
Keduanya berimbang!
“Tenaga dalammu boleh juga, Si Telapak Langit!” kata Ki Gagak Surengpati sambil menyusut darah di sudut bibirnya.
“Kau terlalu memuji, Ki Gagak Surengpati! Tenaga tuamu juga tidak kalah kuatnya,” kata halus Si Telapak Langit sedikit bergetar. “Namun bagaimana pun juga, kejahatan tidak akan menang melawan kebaikan, lebih baik kau segera bertobat! Ingat dengan usiamu yang sudah tidak lama lagi,” lanjut Maharsi Manikmaya berkotbah.
“Bah! Simpan saja kotbahmu di neraka, orang sial!” bentaknya sambil melontarkan jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’ dari arah kiri dan kanan.
Dubb! Dubb!
Dua larik cahaya kuning dari jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’ bila dihantamkan ke batu cadas akan hancur lumat seperti bubur, entah bagaimana jadinya jika mengenai tubuh manusia. Sulit sekali dibayangkan.
“Hemmm ... jurus keji!” gumam Si Telapak Langit sambil mendorongkan sepasang telapak tangan dari atas ke bawah dengan pelan.
Wutt!
Sebentuk cahaya pijar keemasan berbentuk perisai yang berasal dari jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ melindungi diri sang Maharsi dari Kuil Langit dari serangan maut yang dilancarkan Ki Gagak Surengpati lewat jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’.
Klang! Claang!
Bukannya bunyi letupan seperti biasa, tapi nyaring bagai besi bertemu dengan baja. Rupanya saat melontarkan jurus bercahaya kuning, Ki Gagak Surengpati secara diam-diam melontarkan pula dua bola berduri yang beracun ganas menyertai jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’. Untunglah jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ yang digunakan oleh Maharsi sakti dari Kuil Langit bukanlah sembarang jurus, selain bisa membalikkan arah serangan lawan, juga bisa melindungi pemiliknya dari serangan senjata gelap lawan.
Begitu mendapati serangannya berhasil dimentahkan lawan, Ki Gagak Surengpati tersentak.
“Gila! Senjata rahasiaku malah mental balik,” pikirnya sambil memutar cepat dua pasang tangannya di depan dada.
Srepp!
Dua bola berduri bagai dimasukkan ke dalam kantong saat menyentuh telapak tangan laki-laki cabul itu. Begitu berhasil ditangkap kembali, sambil memutar badan untuk menambah daya luncur lagi-lagi Ki Gagak Surengpati melemparkan bola berdurinya di sertai jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’. Kali ini jumlahnya puluhan kali lipat dari serangan pertama dan larikan cahaya kuning juga semakin membesar.
Wutt! Wutt! Wutt!
Klang! Claang! Crangg! Trakk!
Kali ini, jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ harus bertahan dari serangan yang datang bagai hujan deras, bahkan Maharsi Manikmaya sampai-sampai menambah hawa tenaga dalam demi mempertahankan jurus saktinya. Puluhan kali serangan senjata gelap Ki Gagak Surengpati kandas dan mental balik ke pemiliknya, tapi berulang kali pula senjata maut itu bisa ditangkap dan digunakan kembali sebagai alat penyerang yang berbahaya.
Wutt! Wutt! Wutt!
Klang! Klang! Crangg! Trakk!
Setelah dihantam ratusan bahkan mungkin ribuan kali, jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ akhirnya jebol.
Krakk! Krakk!
Terdengar retakan disana-sini, dan pada akhirnya ...
Dhuaarr ... !!
Begitu hawa tenaga dalam yang menopang jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ berada di titik puncak kemampuan, Maharsi Manikmaya tidak menarik tenaga, tapi justru melanjutkan hawa jurus yang sudah terpancar dengan jurus baru, 'Telapak Sakti Dewa Menjungkirkan Langit'!
Blarrr ... jdarrr ... !!
Puluhan senjata rahasia bola berduri hancur berkeping-keping.
Meski berhasil menghancurkan jurus 'Cakar Gagak Terkembang', tak urung Maharsi Manikmaya harus menanggung akibat yang tidak sedikit. Tubuh Maharsi berilmu tinggi dari Kuil Langit terhumbalang ke belakang, berguling-guling di tanah hingga jubah pendeta miliknya kotor terkena debu.
Brakk!
Baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, itu pun pada akhirnya pohon itu juga ikut tumbang, berderak roboh di bagian tengah.
Brukkk ... !
Maharsi sakti segera bangkit dengan darah kental keluar dari mulut. Kali ini luka dalam yang diderita sang Maharsi Manikmaya terhitung parah. Terlebih lagi di lengan kiri tertancap satu buah bola berduri, meski hanya masuk setengah saja.
“Ya Dewa ... Ilmu Ki Gagak Surengpati benar-benar pilih tanding! Jika hari ini aku tidak mengenyahkan bibit angkara, aku tidak tahu bencana apa lagi yang akan diderita umat manusia,” kata hatinya sambil mengalirkan hawa murni ke seluruh tubuh, berusaha mengurangi rasa sakit dan rasa tertusuk-tusuk duri di dalam dada.
“Senjata gelapnya beracun cukup ganas.” pikirnya setelah ia mengetahui bahwa akibat jejak luka di lengan kiri mengeluarkan bau bangkai saat teraliri hawa murni.
Sedang kondisi Ki Gagak Surengpati tak kalah parahnya dengan Maharsi Manikmaya. Tubuhnya terkapar bersimbah darah dimana puluhan bola berduri hampir memenuhi seantero tubuh. Untunglah ia sebelumnya telah menelan penawar racun, sehingga terhindar dari kematian, namun efek dari adu tenaga dalam tetap di derita. Ki Gagak Surengpati dengan tertatih-tatih bangkit berdiri sambil menghentakkan tenaga sakti.
“Heaaa ... !!”
Plukk .... pluukk ... !
Bola-bola berduri terlepas dan berjatuhan dari tubuhnya. Memang yang namanya adu tenaga dalam akan mengakibatkan salah satu atau kedua-duanya bisa mengalami luka dalam yang acap kali merenggut nyawa. Sebenarnya hal ini diketahui betul oleh Ki Gagak Surengpati, tapi untuk menghadapi manusia sekelas tokoh dari Kuil Langit, mau tidak mau ia harus menggabungkan kekuatan hawa murni dengan senjata gelapnya. Andai cuma beradu jurus saja, bisa memakan waktu tiga hari tiga malam tanpa henti.
“Setan keparat! Minggat kemana nelayan tua itu?” kata hatinya sambil mengatur napas dalam-dalam. “Jika cuma mengandalkan Dewi Cabul Teratai Merah dan Gagak Setan Tangan Seribu, tak bakalan mungkin bisa melibas Partai Naga Langit. Menghadapi pendeta botak ini saja hanya berjalan seimbang. Lagi pula, murid-muridku sudah pada tergeletak mati. Benar-benar brengsek!”
Setelah melihat bahwa tidak ada kemenangan yang bisa diraih di Partai Naga Langit, Ki Gagak Surengpati berniat melarikan diri dari arena pertarungan.
Tentu saja niat licik tukang nujum itu diketahui oleh Maharsi Manikmaya.
“Apakah kau mau lari dari sini, sobat?” sindir Si Telapak Langit.
“Lari? Huh! Tidak ada kata 'lari' dalam hidupku! Aku hanya ingin memperpanjang sedikit saja umurmu agar kau bisa bertemu dengan teman-temanmu di Kuil Langit sana,” elak Ki Gagak Surengpati.
Bersamaan dengan itu, Gagak Setan Tangan Seribu mengalami nasib yang tidak kalah mengenaskan dengan gurunya.
Bahkan lebih buruk lagi!
Si Gagak Setan Tangan Seribu secara mendadak mendorongkan sepasang tangannya ketika tubuh besarnya hampir mengenai tanah hingga tubuhnya melentik di udara, ia bersalto ke belakang Dewa Kaki Kilat sambil mengeluarkan tendangan ke arah belakang kepala lewat jurus 'Kaki Seribu Mencabut Nyawa'!
Whutt!!
Dewa Kaki Kilat menundukkan kepala, kemudian bersalto ke depan sambil mengeluarkan jurus tendangan ke arah pangkal paha belakang lawan. Dalam gerak lambat sungguh tampak indah. Posisi kepala Dewa Kaki Kilat berada di bawah, sementara tumit kaki kanannya mengarah ke pangkal paha sebelah belakang lawan.
Wutt! Jduaaakkk ... !!
Jurus ’Tendangan Tumit Pemecah Batu’ Dewa Kaki Kilat masuk telak!
Si Gagak Setan Tangan Seribu bersalto ke belakang beberapa kali mengikuti daya tendangan Dewa Kaki Kilat untuk mengurangi akibat jurus ’Tendangan Tumit Pemecah Batu’.
Wutt!
Dewa Kaki Kilat sengaja tidak mengejar lawan, ia ingin melihat dampak tendangan yang barusan dihasilkan. Kaki kanan Gagak Setan Tangan Seribu yang terkena tendangan tampak meleset tulangnya, ia berdiri terseok-seok. Wajah jelek si mata satu kembali menyeringai menahan sakit, ia menarik nafas sebentar untuk mengurangi rasa ngilu akibat tulangnya meleset dari persendian.
“Kau tidak akan menang adu jurus tendangan denganku, Gagak Setan!” kata Si Dewa Kaki Kilat. “Cukuplah jika kakinya patah, setidaknya ia takkan bisa lagi menyerangku,” pikirnya.
“Brengsek, jurus tendangannya cepat juga,” gumam si Gagak Setan Tangan Seribu, “ ... terpaksa ilmu milik leluhur yang selama ini aku rahasiakan, harus kukeluarkan juga.”
Ia menarik napas sebentar mengatur tenaga, lalu menjejakkan kaki kanannya di udara sebentar, terdengar suara keras.
Kraaakkk!!
Kaki kanannya kembali normal seolah tak pernah terkena jurus ’Tendangan Tumit Pemecah Batu’ milik Si Dewa Kaki Kilat.
Ki Jliteng terhenyak kaget, “Itu ... jurus 'Sambung Tulang Dan Sendi' dari Aliran Pulau Hantu!”
Hampir tak mungkin rasanya, jika ilmu 'Sambung Tulang Dan Sendi' yang terkenal kehebatannya bisa menyambung segala jenis tulang patah dan remuk yang konon sudah punah, kini justru terpampang di depan mata. Ia menyaksikan sendiri kehebatan ilmu ini.
Dampak jurus ’Tendangan Tumit Pemecah Batu’ yang dilancarkannya tadi tidaklah main-main. Meski hanya sepertiga dari tenaga dalam yang dipergunakan, kalau mengenai orang biasa, pastilah kaki itu sudah patah total. Tetapi si Gagak Setan Tangan Seribu berhasil mengurangi dampak tendangan itu dengan cara mengikuti tenaga tendangan dan ia bersalto beberapa kali ke belakang tadi dan mengembalikan persendian dengan ilmu 'Sambung Tulang Dan Sendi'!
 
Si Pemanah Gadis - Bab 19


“Rupanya kau kenal juga dengan leluhurku, manusia tanpa tangan!”
“Huh, aku tidak yakin bahwa ilmu 'Sambung Tulang Dan Sendi' yang kau kuasai benar-benar sempurna!” kata Ki Jliteng yang bergelar Si Dewa Kaki Kilat yang tersohor lewat Ilmu ‘Tendangan Api Membara’ meradang.
Dengan tiba-tiba Si Dewa Kaki Kilat bergerak sangat cepat melayangkan tendangan kaki kanan ke arah ulu hati lawan.
Wuttt!!
Gagak Setan Tangan Seribu melompat ke kiri bersamaan dengan arah tendangan ke arah sambungan lututnya.
Wett!!
Meleset!
Sungguh di luar dugaan. Gagak Setan Tangan Seribu sanggup membuat gerak hindar yang sangat cepat.
Tenaga dari tendangan yang tidak tepat sasaran tadi dimanfaatkan Dewa Kaki Kilat untuk mengangkat tubuhnya, dan di udara ia berputar melayangkan tendangan dengan kaki kirinya mengarah ke ulu hati lagi. Kali ini jurus ‘Naga Api Terbang Menendang Rembulan’ diulang untuk kedua kalinya oleh Ki Jliteng.
Wuss!!
Tubuhnya melayang, tendangan dilayangkan menuju ulu hati dengan gerakan tendangan berputar cepat laksana kilat.
Weess ... !!
Serangan kilat itu sulit dihindari oleh laki-laki tinggi besar bermata satu. Segera saja nafas ditarik dalam-dalam. Begitu tendangan Si Dewa Kaki Kilat masuk, meski masih sempat terhalang dengan ke dua tangan sarat hawa pelindung agar tidak menyentuh ulu hati.
Jderr ... !!!
Tubuh Gagak Setan Tangan Seribu terlempar beberapa tombak, seperti sebuah kapas yang terhembus angin, tubuh itu terlempar dengan memanfaatkan tenaga dari tendangan maut lawan.
“Sungguh hebat tendangan si tanpa tangan ini.” batinnya. “Kalau begini caranya, lama-lama aku bisa mati mengenaskan!”
Belum lagi sempat bernafas, ia bersalto beberapa kali menuju ke arah Gagak Setan Tangan Seribu, dan sebuah tendangan yang disertai angin deras menuju ke arah leher.
Weeesssss!!
Gagak Setan hanya bisa bergulingan menghindar ke kiri. Tendangannya yang tidak tepat sasaran terus membentur mengenai tanah keras.
Blarrr ... !!!
Tanah mengeluarkan asap sedikit mengepul, dan terlihat ada bekas kaki melesak ke dalam. Memanfaatkan tenaga benturan itu, kembali ia melayangkan tendangan berputar, mengangkat kaki kirinya dari atas dan dihunjamkan sekali lagi tepat ke arah ulu hati. Lagi-lagi tujuannya cuma ulu hati saja. Jurus ‘Naga Api Terbang Menendang Rembulan’ dilancarkan kembali oleh Si Dewa Kaki Kilat.
“Gila ... !” pekik Gagak Setan Tangan Seribu tanpa sempat nafas.
Angin panas berdesir mengikuti arah tendangan kakinya, sekali lagi dengan sedikit kewalahan ia bergulingan ke kanan menghindari tendangan itu, sambil menekankan dua tangan di permukaan tanah dan bersalto beberapa kali menjauh dari jangkauan rentetan serangan kaki dari Ilmu ‘Tendangan Api Membara’ dari Si Dewa Kaki Kilat.
Jleg!
Tanpa mau kehilangan buruan, kembali dikejarnya lawan. Beberapa kali tendangan di arahkan ke ulu hati, leher, dan termasuk pula jurus ‘Kera Hutan Mengincar Buah’ mengarah selangkangan dan titik-titik lemah tubuh lainnya, seolah serentak dilakukan tanpa jeda.
Brakk! Brukk! Krakk!
Entah berapa puluh tendangan mendarat telak di tubuh Gagak Setan Tangan Seribu. Meski dilindungi dengan tenaga luar dalam tingkat tinggi, tetap saja tubuh besar itu bagai dihantam ribuan palu godam panas membara secara beruntun, dan pada akhirnya, sebuah tendangan ke arah belakang kepala mengakhiri penderitaan Gagak Darupaksa untuk selama-lamanya.
Prakk ... !
Kepala mantan bajak laut itu pecah diikuti dengan ceceran cairan otak dan darah merah berhamburan.
Brughh!
Bersamaan dengan tewasnya Gagak Setan Tangan Seribu, Ki Gagak Surengpati terlempar akibat adu tenaga dalam dengan Si Telapak Langit.
“Muridku ... “ seru Ki Gagak Surengpati saat mengetahui murid kesayangannya tewas mengenaskan.
Bersamaan dengan tewasnya Gagak Setan Tangan Seribu, sebuah jerit lengking terdengar keras.
Jerit penderitaan Kumala Rani!
“Aaaakh ... “
“Mampus kau, Cah Ayu!” seru Dewi Cabul Teratai Merah saat beradu tapak tangan dengan Kumala Rani. “Kali ini ... seluruh kecantikan dan kemolekan tubuhmu akan menjadi milikku selamanya, hi-hi-hik ... “
Sebentuk cahaya hijau tua berpendar-pendar dan bergaris-garis menjalar keluar masuk ke dalam tubuh Kumala Rani secara bergantian. Gadis berbaju kuning gading merasakan seluruh jaringan otot dan darah dalam tubuhnya bagai berlomba-lomba keluar dengan paksa, termasuk pula hawa murni mengalir keluar dengan deras bagai bendungan jebol.
Rupanya Dewi Cabul Teratai Merah berniat menyedot segala apa yang dimiliki gadis cantik berbaju kuning gading. Kulit putih, wajah cantik jelita, dada membusung kencang dan segala apa yang dimiliki oleh Kumala Rani ingin dimilikinya semua, tanpa peduli bahwa apa yang dilakukannya merupakan perbuatan biadab, dan ia menggunakan ilmu sesat yang paling dikutuk kaum rimba pendekar.
Ilmu 'Serap Sukma'!
Ilmu yang bisa menyerap kemurnian seorang gadis hingga kering kerontang dan raganya berubah seperti nenek tua renta menjelang ajal.
Srasss ... srashh ... !
Penderitaan Kumala Rani sungguh tidak terkira. Sedikit demi sedikit tubuhnya mengeriput, kulit menjadi kusam, pipi kempot dan segala apa yang dimilikinya seolah berpindah kepemilikan.
Semua menyusut, termasuk pula nyawa si gadis!
Semua yang ada di tempat itu terpana melihat hamparan ilmu sesat yang digunakan oleh si nenek berbaju merah. Semua terpaku diam, tidak tahu apa yang mesti diperbuat untuk menolong gadis cantik yang sebentar lagi kehilangan pesona kehormatan sebagai seorang dara ayu.
Dewi Cabul Teratai Merah betul-betul menikmati penderitaan Kumala Rani. Di saat si gadis sedang menggeliat-geliat meregang nyawa, si nenek justru tersenyum penuh kemenangan. Sedikit demi sedikit tubuhnya berubah. Jika pada awalnya ia hanya cantik biasa-biasa saja, kini jadi luar biasa cantiknya. Tubuh bagus, mata lentik, hidung bangir, dada kencang, tinggi langsing dan rambut hitam legam bagai dicurahkan semua ke tubuh Dewi Cabul Teratai Merah.
Benar-benar ilmu sesat yang luar biasa!
“Sempurna ... sempurna ... ! Tubuhku benar-benar sempurna!” serunya dengan suara merdu.
Tiba-tiba sebuah teriakan keras membahana memecah suara merdu Dewi Cabul Teratai Merah, menimbulkan getaran-getaran dahsyat di bumi.
“Nenek keparat! Lepaskan kekasihku!”
Sebuah raungan keras bagai naga mengamuk, diikuti dengan sambaran kilat kuning kebiru-biruan membentuk hawa naga dengan mulut terbuka lebar mengarah Dewi Cabul Teratai Merah.
Hroaagghhh ... !
Blammm ... ! Blamm ... !
Dewi Cabul Teratai Merah yang sedang asyik-asyiknya menyedot inti sari kehidupan Kumala Rani bagai diterkam sebentuk naga murka hingga menimbulkan dentuman keras dan tanah membuncah, semburat ke mana-mana.
Begitu luruhan tanah sirap, terlihat Jalu Samudra sedang membopong tubuh renta Kumala Rani!
Rupanya, saat mendengar jerit penderitaan kekasihnya, pemuda bertongkat hitam ini sempat dibuat terpana, tapi akhirnya ia tersadar saat mendengar suara tawa kemenangan nenek baju merah. Dan yang lebih membuatnya naik pitam, tubuh nenek itu sedikit demi sedikit menyerupai bentuk tubuh dan wajah kekasihnya.
Sosok tubuh gadis yang dicintainya!
Hingga tanpa bisa dicegah lagi, tapak tangannya berkelebat cepat melontarkan salah satu jurus maut dari '18 Jurus Tapak Naga Penakluk' (Xiang Long Shi Ba Zhang) yang bernama 'Naga Meraung Menyesal' (Kang Long You Hui)!
Dewi Cabul Teratai Merah terpental dengan luka dalam parah. Dadanya bagai dihantam sebuah kekuatan raksasa, menggedor keras tanpa sempat melakukan aksi perlawanan. Saat tangan kiri mendekap dada kanan, darah kental berleleran sudah membasahi bibir dan baju merahnya. Nenek cantik yang kini berubah sama persis dengan Kumala Rani tersenyum tipis saat mengetahui bahwa yang menyerang dirinya ternyata seorang pemuda tampan meski bermata buta. Pemuda berbaju biru terlihat membopong tubuh Kumala Rani yang kini tinggal tulang pembalut daging.
Benar-benar mengenaskan!
“Kau akan merasakan Ilmu 'Serap Sukma'-ku pemuda tampan,” pikirnya, “Kau akan jadi kuda binalku yang perkasa, hi-hi-hik!”
Tunggu punya tunggu, tidak terjadi apa-apa pada pemuda itu. Mukanya tetap kelam membesi, tidak merah seperti seperti pemuda yang diamuk birahi.
Tentu saja Dewi Cabul Teratai Merah tercekat.
“Kau ... kau ... siapa?” tanyanya sambil bangkit berdiri terhuyung-huyung. “Kenapa kau ... tidak mempan ... terhadap ilmuku?”
Pemuda berbaju biru hanya diam seribu bahasa. Rasa penyesalan teramat sangat menggelayuti jiwa. Tiba-tiba saja, tubuh si pemuda bergetar, seperti menahan suatu guncangan dahsyat yang bergejolak dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu pula, tiba-tiba di langit meloncat bunga api warna-warni tanpa suara.
Crakkk ... crakkk ... !!
Entah bagaimana caranya, tubuh Jalu Samudra mengeluarkan percikan-percikan bunga api warna-warni, seperti kilat yang berloncatan di langit dibarengi pula dengan suhu udara yang mendadak berubah panas membara bagaikan matahari diturunkan di atas kepala.
Crakkk ... crakkk ... !!
Fenomena itu hanya berlangsung sekejap, tapi sudah membuat perubahan yang menakjubkan. Tubuh Jalu serta Kumala Rani yang ada dalam pondongan diselimuti loncatan bunga api sejumlah sembilan warna, mengitari tubuh mereka berdua, bagaikan mengikatnya menjadi satu.
Tentu saja kejadian tak masuk akal ini sangat mengejutkan semua orang yang ada ditempat itu, termasuk Suro Keong dan Suro Bledek-lah yang paling terkejut.
“Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat sembilan!” desis Suro Keong.
“Seperti itukah yang kau maksud dengan ilmu langka legendaris itu?” tanya Suro Bledek berdecak kagum.
“Benar!” sahut Suro Keong, dengan mata tidak beralih dari sosok Jalu, “Rupanya Jalu-lah orang yang berhasil menguasai ilmu itu.”
Semua percakapan dua sobat karib tentu terdengar oleh semua orang.
Si Telapak Langit dan Dewa Kaki Kilat berdecak kagum dengan keberuntungan si pemuda.
Pedang Naga Perkasa dan istrinya bahkan sampai lupa berkedip melihat satu bentuk hamparan ilmu sakti paling langka di rimba persilatan.
Tujuh Dewa Catur sendiri yang sangat menyukai segala macam ilmu kesaktian, sampai geleng-geleng kepala melihat seorang pemuda belia yang tidak terkenal sebegitu beruntungnya bisa memiliki ilmu yang konon kabarnya tanpa tanding sejagad. Dari sesepuh perguruan mereka pernah berkata, barang siapa bisa menguasai Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat sembilan dengan sempurna, secara tidak langsung menjadi pendekar nomor satu rimba persilatan.
Sementara itu, Ki Gagak Surengpati begitu terkesima, hingga tanpa sadar jerit sedih karena kematian Gagak Setan Tangan Seribu musnah berganti dengan rasa heran.
“Itu ... ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’!” katanya, lalu dengan suara sedikit keras, ia menyambung, “Ilmu nujumku kali ini benar-benar tepat! ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ benar-benar muncul di Partai Naga Langit!”
Tentu saja kata-kata Ki Gagak Surengpati tentang ilmu yang paling diburu kaum rimba persilatan membuat para pendekar yang ada di tempat itu terhenyak kaget sambil bertanya-tanya dalam hati, benarkah Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ adalah sama dengan ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’?
Tidak ada yang bisa menjawabnya!
Jalu Samudra sendiri dalam puncak kemarahannya dengan tidak sengaja mengerahkan kekuatan dari sepasang buah Naga Kilat dan Bibit Matahari yang sudah bersatu jiwa dan raga dengannya.
Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat sembilan!
Tiba-tiba saja, Jalu berteriak keras, “Nenek keparat! Kembalikan milik kekasihku!”
Suara Jalu menggema di antara celah tebing yang jaraknya ratusan tombak, bahkan pelataran Partai Naga Langit berguncang hebat seperti dilanda gempa bumi skala besar, termasuk beberapa bangunan roboh akibat tidak kuat menahan daya guncangan tersebut.
Dewi Cabul Teratai Merah pontang-panting menyeimbangkan diri.
“Edan! Pemuda itu telah gila!” pekiknya.
Tiba-tiba saja, mata kiri Jalu Samudra mengeluarkan kilat berwarna putih perak berpijar sedang mata kanan mengeluarkan kilat berwarna hijau keemasan dan langsung menyambar Dewi Cabul Teratai Merah.
Sratt! Sratt!
Blaamm ... blamm ... !
Tubuh wanita yang serakah terhadap kecantikan ragawi langsung hancur lebur. Menyerpih lembut seperti debu tertiup angin. Sampai-sampai tempat berdirinya nenek berbaju merah membentuk kawah yang lebar dan dalam.
Mati tanpa bentuk utuh!
 
Si Pemanah Gadis - Bab 20


“Benar-benar ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’! Aku harus secepatnya pergi dari tempat ini, sebelum pemuda itu menghancurkan tubuhku seperti Dewi Cabul,” pikir Ki Gagak Surengpati.
Tanpa pikir panjang, kakek yang sama cabulnya dengan Dewi Cabul Teratai Merah melesat pergi dari pelataran Partai Naga Langit, meninggalkan belasan mayat anak buahnya. Ilmu peringan tubuh digenjot habis-habisan hingga tataran tertinggi.
Wess ... !
“Mau pergi kemana kau, kakek setan!” seru Jalu Samudra sambil meletakkan tubuh Kumala Rani dengan lembut di atas tanah, seakan tubuh wanita yang dicintainya akan hancur bagai keramik yang jatuh ke lantai.
Melihat lesatan tubuh Ki Gagak Surengpati sudah terlalu jauh hingga kelihatan setitik kecil di lereng Gunung Naga, Jalu segera meraih tongkat hitam dengan tangan kiri, sedang tangan kanan menarik pelan seutas tali hitam, lalu sedikit direntangkan mundur, membentuk sebuah busur terentang lebar. Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat sembilan dikerahkan dengan cara menghimpun seluruh tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari yang ada di pusar. Sebentuk hawa berupa kilatan cahaya putih perak berpijar dan cahaya kilat berwarna hijau keemasan merambat, lalu memanjang selebar rentangan tali busur.
Swoshh ... ! Woshh ... !!
Mata anak panah kepala burung rajawali dengan tangkai yang memancarkan cahaya bening putih perak di bagian atas, sedang hijau keemasan berada di bawah. Mata anak panah diarahkan ke titik kecil di kejauhan, dan dengan dengan sedikit tarikan yang semakin mengencangkan busur tongkat hitam, Jalu melepaskan tali busur yang direntang.
Srett! Twanggg!
Jurus ‘Panah Ekor Rajawali’ telah dilepas.
Apa yang dilihat sungguh menakjubkan. Anak panah melesat cepat laksana loncatan kilat, menerjang melayang bagai rajawali raksasa menyergap buruan yang sedang melarikan diri dari incaran.
Wuuung .... ssrakk ... srakk ... !
Suara mengaung keras terdengar menggema diikuti rekahan tanah bagai di bajak paksa seiring dengan melesatnya mata anak panah berkepala rajawali.
Ki Gagak Surengpati sendiri juga mengetahui bahaya yang mengancam dirinya.
“Ada apa lagi ini?” pikirnya sambil menoleh ke belakang.
Saat menoleh, matanya melihat sebentuk anak panah meluncur cepat ke arahnya. Jarak antara dirinya dengan anak panah hanya belasan tombak, tapi hawa panas membara sudah terasa memedihkan kulit.
“Dasar tolol! Masa mau membunuhku dengan cara seperti ini?” pikirnya, “Lebih baik aku menghindar ke kanan.”
Ki Gagak Surengpati mengubah arah pelarian, dengan maksud serangan panah yang menerbitkan hawa panas dan suara mengaung akan meleset dari sasaran.
Settt!
Begitu Ki Gagak Surengpati berbelok di sebuah tikungan, panah itu juga ikutan berbelok!
Wutt!
“Edan! Jurus apa ini? Kenapa anak panah ini bisa mengikuti kemana saja aku pergi,” pikirnya, setelah mengetahui bahwa anak panah itu ikut berbelok seperti seekor rajawali menukik kemudian terbang menanjak dengan cepat. Bahkan kecepatan luncuran semakin lama semakin cepat, mendekati jarak tiga empat tombak jauhnya. Ki Gagak Surengpati berkelit kesana-kemari untuk mengecoh, tapi dengan lincah pula, mata anak panah mengikuti dari belakang seperti kucing mengejar tikus. Itulah kehebatan jurus ‘Panah Ekor Rajawali’ yang adalah salah satu bagian dari '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang. Jurus ini akan mengikuti terus kemana pun sasaran bergerak, semakin banyak bergerak, luncuran mata anak panah justru semakin meningkat tajam.
Suatu saat, tokoh terkuat Perkumpulan Gagak Cemani itu melenting tinggi ke atas, berniat mengerahkan Pukulan Sakti ‘Gagak Cemani’ yang berupa sinar hitam yang sanggup melesat cepat disertai suara raungan lebah menggebah.
Wutt!
Begitu ia melayang ke depan setinggi empat tombak, dan berniat menghancurkan mata anak panah yang terus mengikuti dirinya kemana pun ia bergerak dengan Pukulan Sakti ‘Gagak Cemani’, di saat melayang itulah, tiba-tiba ia berteriak kaget, “Aaahh ... “
Dari atas ketinggian, ia melihat bahwa tepat di bawah kakinya adalah jurang yang menganga lebar bagai mulut naga raksasa!
Saking terpananya, sampai tidak menyadari bahwa mata anak panah sudah berada sejarak dua jengkal dari dada.
Jrebbb! Blammm .... !!!
Begitu menancap di dada tokoh tua itu, mata anak panah yang tercipta dari pancaran hawa 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' tingkat sembilan langsung pecah berhamburan, meledak menimbulkan dentuman keras. Dan tentu saja, sosok orang tua yang selalu mengumbar nafsu angkara semasa hidupnya tanpa sempat bertobat harus berakhir tragis di atas Jurang Mulut Naga!
Pada akhirnya ...
Ki Gagak Surengpati yang awam dengan lingkungan lereng Gunung Naga harus mengakhiri masa hidupnya!
Suara dentuman keras pun terdengar hingga ke pelataran Partai Naga Langit.
“Hemm, dari arah selatan,” gumam Rangga Wuni, “Pasti di sekitar Jurang Mulut Naga.”
“Benar Kakang, aku juga yakin arah suaranya dari jurang itu, sebab suara ledakan terdengar menggema dimana-mana,” sahut Nila Sawitri.
Pedang Naga Perkasa, Nila Sawitri, Tujuh Dewa Catur, Si Telapak Langit, Dewa Kaki Kilat, Suro Keong dan Suro Bledek bergegas menghampiri tempat Jalu Samudra dan Kumala Rani tergeletak. Mereka begitu mengkhawatirkan keselamatan gadis berbaju kuning gading ini.
Sedang beberapa anak murid Partai Naga Langit yang bertenaga kuat saling bahu membahu menyingkirkan mayat-mayat yang berserakan dimana-mana, sedang lainnya membuat lubang besar untuk mengubur mayat-mayat orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani yang tewas di tempat itu, termasuk pula Gagak Setan Tangan Seribu, kecuali mayat Dewi Cabul Teratai Merah yang sudah hancur luluh menjadi debu halus.
Hampir saja Nila Sawitri merangkul tubuh kering Kumala Rani jika tidak dicegah oleh Si Telapak Langit, Maharsi Manikmaya.
“Jangan sentuh, Nyi!”
Nila Sawitri kaget, lalu berkata dengan sedikit meradang, “Kenapa, Paman? Dia toh adikku sendiri!”
“Maaf, Nyi Rangga!” tutur lembut sang Maharsi, “Adik Nyi Rangga terkena Ilmu 'Serap Sukma' milik Dewi Cabul Teratai Merah. Ilmu ini bisa menular pada siapa saja dan dampaknya sama seperti apa yang dialami adik Nyi Rangga termasuk seluruh ilmu kesaktian juga turut musnah.”
Nila Sawitri dan semua orang yang ada di tempat itu terpana dalam kejut mendengar penjelasan Si Telapak Langit.
“Tapi ... kenapa aku tidak tertular, Paman Maharsi?” tanya Jalu Samudra merangkul kekasihnya sambil berusaha menyadarkan Kumala Rani dengan melakukan beberapa totokan di bagian tertentu tubuh pingsan Kumala Rani.
“Karena Anakmas memiliki tenaga dalam langka dan unik, sehingga dampak dari Ilmu 'Serap Sukma' tidak mempengaruhi diri Anakmas,” kata Dewa Kaki Kilat.
“Apakah bisa diobati, Paman?” tanya Rangga Wuni, trenyuh.
Dewa Kaki Kilat menggeleng lemah, “Kita hanya beruntung saja, bahwa ilmu iblis itu sudah tidak ada lagi di dunia ini.”
Dengan menggelengnya laki-laki tanpa tangan itu, sudah mengisyaratkan bahwa umur Kumala Rani sudah tidak lama lagi.
Musnah pula harapan Nila Sawitri melihat adiknya sembuh seperti sedia kala.
“Rani adikku ... “
“Uuuhh ... “
Kumala Rani siuman dari pingsan. Kondisi tubuh gadis itu persis seperti nenek umur seratus tahun lebih. Tubuh yang begitu lemah, tubuh yang semula segar menggemaskan, sekarang berubah menjadi kering kerontang tanpa daya. Tidak ada yang menarik sedikit pun dari sosok renta berbaju kuning gading.
“Kakang ... Jalu ... “ kata Kumala Rani terbata-bata dengan linangan air mata berlinang membasahi pipi keriput.
“Aku disini, Rani,” kata Jalu penuh haru sambil mengusap air mata di pipi si gadis.
“Kang ... hidupku ... tidak ... lama lagi ... “
“Rani, aku yakin kau pasti sembuh!” potong Jalu dengan cepat.
Kumala Rani menggeleng dengan lemah.
“Tidak kang ... aku tahu ... keadaan ... diriku ... “ kata Kumala Rani terbata-bata, “Aku ada satu ... permintaan ... “
“Katakan adikku ... katakan ... “ kata Nila Sawitri dengan isak tangis tertahan, hampir saja ia menubruk tubuh sang adik yang tergolek lemah disanggah Jalu Samudra, jika tidak dicegah Rangga Wuni. Istri Rangga Wuni hatinya bagai tertusuk ribuan duri melihat kondisi kritis adik satu-satunya itu.
Satu-satunya saudara kandung yang dimilikinya!
“Kang ... apakah kau ... mencin ... taiku ... setulus hati ... ?”
“Rani, tanpa perlu aku ucapkan, kau pasti mengetahuinya,” kata Jalu dengan suara tertahan di leher saking sedihnya.
“Aku ... ingin ... Kakang mengatakan ... nya sekarang ... “
Jalu Samudra semakin tertusuk hatinya melihat kondisi Kumala Rani yang semakin payah, dan hampir saja aliran hawa murni ke tubuh Kumala Rani terhenti mendengar permintaan gadis yang dicintainya.
“Aku mencintaimu, Rani! Sangat mencintaimu!” kata Jalu Samudra, sedikit bergetar mengungkapkan perasaannya. “Di saksikan semua orang yang ada disini, di saksikan bumi dan langit!”
Kumala Rani tersenyum lemah, “Terima kasih ... Kakang .... terima ... kasih ... “
Jalu Samudra langsung merangkul erat tubuh gadis itu, seakan tidak mau dilepaskan sedikit pun.
Kumala Rani ingin sekali membalas pelukan hangat pemuda bermata putih itu, tapi tangannya tak kuasa diangkat barang sedikit.
“Kang ... apakah Kakang ... mau menikah dengan ... ku ... ?”
Tanpa berpikir panjang, Jalu Samudra langsung berkata, bukan ke arah Kumala Rani tapi justru ke arah Maharsi Manikmaya!
“Paman Maharsi, bisakah Paman menikahkan kami berdua? Sekarang?” tanya harap Jalu Samudra. “Di tempat ini!?”
Maharsi Manikmaya tersenyum welas asih.
“Meski ragamu rusak, tapi jiwamu tetap cantik jelita, Cah Ayu!” kata Maharsi Manikmaya sambil menunduk, “Baiklah! Aku akan menikahkan kalian sekarang juga di pelataran yang asri ini.”
Dengan disaksikan anak murid Partai Naga Langit dan semua pendekar yang ada di tempat itu, dilaksanakanlah pernikahan antara Jalu Samudra dan Kumala Rani. Semua dalam kesederhanaan. Tidak ada makanan minuman yang disajikan. Tidak ada gending-gending dan tembang-tembang Jawa yang didengarkan.
Hanya kesunyian.
Kepasrahan.
Kepedihan.
Keharuan.
Semua bercampur menjadi satu!
Sebentar kemudian, terdengar Maharsi Manikmaya berkata nyaring, “Dengan disaksikan bumi dan langit, disaksikan orang-orang yang ada di tempat ini ... kalian berdua secara resmi sudah terikat dalam ikatan perkawinan agung yang suci. Selamat berbahagia!”
Semua orang yang ada di tempat itu memandang pasangan pengantin baru dengan haru. Bahkan beberapa murid laki-laki sampai meneteskan air mata saat melihat jiwa besar si pemuda buta yang sakti mandraguna itu yang mau menikah dengan gadis berwajah buruk rupa dengan raga kering kerontang seperti nenek-nenek.
Bisakah aku seikhlas dia? Bisakah aku menerima seorang wanita dengan kondisi sekarat seperti ini menjadi pendamping hidupku? Itulah kata hati yang terlontar di dalam dada.
“Kakang ... aku ingin ... ke danau ... “
“Tempat kita bertemu dulu?”
Jalu Samudra mengangguk lemah meng-iya-kan.
lalu segera memondong Kumala Rani, sedang tongkat hitamnya diselipkan di pinggang.
“Ijinkan saya meninggalkan tempat ini,” kata Jalu lirih.
“Jalu, jagalah adikku dengan sebaik-baiknya,” kata Nila Sawitri dengan air mata berlinang, mengingat nasib adiknya yang mungkin tidak akan ditemuinya lagi.
Jalu hanya mengangguk mantap. Kemudian tanpa ancang-ancang, tubuh pemuda itu berkelebat cepat sambil memondong istrinya.
Lappp!!
Kelebatan tubuh pemuda itu bergerak cepat sekali, mungkin lebih cepat dari sambaran kilat.
“Aku harus secepatnya ke gua bawah tanah, mungkin ada obat peninggalan guru yang bisa aku gunakan,” pikirnya, sambil menghempos ilmu lari cepat 'Kilat Tanpa Bayangan' sehingga yang tampak hanyalah kilatan cahaya biru yang menyambar cepat.
Begitu Jalu pergi, Nila Sawitri yang sudah tidak kuat menahan beban batin, akhirnya jatuh pingsan!

-o0o-
 
Si Pemanah Gadis - Bab 21


Sore itu, di tepi sebuah danau yang bening ...
Dua orang tampak duduk tenang di atas batu-batu yang tersusun rapi. Kaki-kaki mereka tersentuh sejuknya air danau.
“Nimas Rani ... “
“Hmmm ... “ sahut orang yang ada di sebelahnya.
“Kakang punya tempat rahasia di sekitar sini.”
“Benarkah, Kang?”
“Tempat yang selama ini kugunakan untuk menjadikan diriku seperti ini.” kata si Jalu sambil membelai rambut putih Kumala Rani. “Tidak akan ada satu orang pun yang bisa mengganggu kita berdua di sana.”
“Ajaklah ... aku ... kesa ... na.”
“Kau tidak bertanya dimana tempatnya?”
Kumala Rani menggeleng, “Karena ... itu tempat ... rahasia. Benar kan ... ?”
“Untukmu tidak ada tempat rahasia, Nimas.” kata Jalu bangkit berdiri sambil membopong tubuh istrinya.
Kumala Rani merangkulkan sepasang tangan keriput ke leher sang suami.
“Tapi ... “
“Tapi apa ... kang?”
“Aku terpaksa harus menotokmu ... “
“Kenapa harus ... ditotok dulu?”
“Jangan salah sangka, Nimas ... “ sergah Jalu, “ ... sebab tempat rahasiaku ada di bawah air. Di bawah danau ini!”
“Di bawah ... danau?”
“Benar! Apa kau siap?”
Kumala Rani mengangguk, kemudian menutup mata. Pasrah dengan segala apa yang akan dilakukan Jalu Samudra.
Pelan-pelan Jalu meraba leher belakang istrinya, lalu menotok pelan disana. Kumala Rani langsung jatuh tertidur, tapi bukan sembarang tidur karena Jalu menotok salah satu urat penting di bagian leher, yang mana bisa membuat orang bernapas di dalam air dalam beberapa waktu lamanya.
“Kasihan sekali kau, Nimas! Aku akan berusaha menyembuhkan dirimu,” gumam Jalu Samudra.
Pemuda sakti yang dijuluki istrinya dengan Si Pemanah Gadis segera menceburkan diri ke dalam danau.
Byurr ... !
Dengan menggunakan jurus 'Ikan Menyusup Ke Kedalaman' (Yu Yue Yu Yuan), Si Pemanah Gadis bisa betah berlama-lama di dalam air, namun kali ini pemuda ini tidak ingin main-main di bawah sana. Tujuannya sekarang adalah ...
Gua bawah tanah yang ada di bawah danau!

-o0o-

Di gua bawah tanah ...
Rupanya selama menimba ilmu warisan dari Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga, Jalu Samudra telah menyulap gua bawah tanah yang sederhana menjadi layaknya istana kecil nan indah. Ruang bawah tanah yang sangat luas, dimana pada bagian sudut gua terdapat sebuah pancuran berair jernih bagai kristal berkilauan saat tertimpa sinar matahari. Untuk membedakan siang dan malam, Jalu menempatkan cermin bulat di tepi atas tebing gua yang mengarah keluar, dimana saat pantulan cahaya matahari pagi menyentuh permukaan kolam, terlihatlah puluhan ekor ikan warna-warni berlalu lalang di dalam kolam. Tentu saja hal itu ia lakukan saat merasa jenuh sehingga melakukan pekerjaan sampingan seperti yang saat ini terlihat hasilnya.
Oleh Jalu, tempat ini disebutnya sebagai Istana Bawah Tanah!
Di sebelah kanan kolam, ditempatkan sebuah batu datar dari Pualam Hitam. Batu Pualam Hitam ia temukan saat sedang latihan bagian awal dari jurus 'Ikan Menyusup Ke Kedalaman' (Yu Yue Yu Yuan), yang memang harus dilakukan di bawah air dan ternyata di bawah Batu Pualam Hitam itulah tempat keluar masuknya ikan-ikan yang hidup di kolam, serta satu-satunya jalan keluar dari gua bawah tanah. Namun, karena masa sepuluh tahun belum berakhir, Jalu Samudra tidak berniat keluar dari tempat rahasia miliknya.
Di bawah Batu Pualam Hitam itu pula ia menemukan sebuah kotak besi hitam dan sebilah pedang berwarna hitam legam dengan lambang kilatan petir di bagian tengah. Setelah kotak besi hitam dibuka ternyata berisi sebuah kitab warna merah muda yang bernama Kitab Kembang Perawan dan pemiliknya ternyata adalah Dewi Binal Bertangan Naga.
Meski terendam air sekian ratus tahun lamanya, Kitab Kembang Perawan dan pedang hitam tetap utuh tanpa cacat akibat terlalu lama terendam air. Pada kitab merah muda terdapat keunikan tersendiri, seperti halnya Kitab Dewa Dewi yang sedang dipelajarinya. Kitab itu sulit dibuka dengan cara apa pun, kecuali ia telah menelan dua butir Kabut Rembulan, dan lagi pula Kitab Kembang Perawan hanya diperuntukan bagi seorang gadis!
Untunglah Jalu bukan pemuda yang serakah ilmu dan benda pusaka, baginya mempelajari Kitab Dewa Dewi sudah merupakan keberuntungan tak ternilai yang bisa ia dapatkan, hingga Kitab Kembang Perawan itu dikembalikan lagi ke tempatnya semula di dalam kotak besi hitam, termasuk pula pedang hitam berlambang kilatan petir sedang Batu Pualam Hitam tetap di bawa naik ke atas, dan dibuat sebagai alas tempat tidur.
Ke tempat itulah Jalu Samudra membawa istrinya yang sekarat menjelang ajal!
Dengan lembut, pemuda bermata putih yang baik hati itu meletakkan tubuh sang istri di atas Batu Pualam Hitam.
Plekk!
Begitu menyentuh bagian atas Batu Pualam Hitam, sebentuk hawa hangat bergulung-gulung menerobos masuk ke raga lemah Kumala Rani yang tergolek pingsan.
Werr ... wess ... !
Meski hanya sekejap, tapi sudah membuat tubuh gadis itu mulai menghangat, dan tanpa tempo lama gadis yang dulunya cantik jelita terbangun dari mimpi indah.
“Selamat datang di tempat rahasia kita, Nimas,” sapa Jalu sambil mengecup kening dengan lembut.
Kumala Rani hanya tersenyum samar, melihat kemesraan yang diberikan sang suami.
“Tempat apa ini, Kakang? Indah sekali ... “ kata pelan Kumala Rani setelah memandang berkeliling, suaranya tidak terbata-bata seperti sebelumnya. “ ... seperti di istana kerajaan ... “
“Inilah istana kerajaanku, Nimas. Disinilah kita berdua akan bertahta sebagai raja dan ratu,” kata lembut sang suami.
“Lalu prajuritnya dimana?”
“Prajurit kita ada di dalam kolam,” Jalu berkata sambil menuding ke sudut ruangan, “ .... merekalah hamba sahaya kita.”
“Hi-hi-hi-hik ... “ Kumala Rani terkikik geli mendengar canda sang suami tercinta. “Kakang ada-ada saja.”
Mendengar tawa lepas Kumala Rani, Jalu menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada istrinya.
“Nimas, bagaimana kondisimu sekarang?”
Kumala Rani heran melihat pertanyaan Jalu Samudra.
“Memangnya kenapa?” tanya gadis itu sambil bangkit dari tidur.
Tentu saja Jalu semakin terperanjat melihat perubahan tersebut, apalagi Kumala Rani. Gadis itu sampai ternganga melihat dirinya bisa bangkit dari tidur, lebih baik dari sebelum datang ke Istana Bawah Tanah, meski kulitnya masih seperti kulit kering pembalut tulang saja, tapi sedikit lebih bersih dari sebelumnya.
“Kakang ... aku tidak mimpi, bukan?”
“Tidak, Nimas! Kau tidak bermimpi!” pekik Jalu Samudra sambil memeluk tubuh istrinya, “Syukurlah! Rupanya Batu Pualam Hitam yang biasa aku pakai sebagai alas tidur ternyata bisa menawarkan dampak Ilmu 'Serap Sukma' yang mengenai dirimu.”
Kumala Rani balas memeluk sang suami.
“Bagaimana dengan ilmu silatmu?” tanya Jalu tiba-tiba.
Kumala Rani mengatur napas, berusaha membangkitkan hawa sakti dari pusar, tapi berulangkali dicoba selalu gagal.
“Ilmuku ... musnah, Kakang,” gumamnya.
“Tidak apa-apa! Aku akan membimbingmu untuk meraih semua yang hilang. Lebih baik Nimas berbaring lagi,” kata Jalu sambil membaringkan istrinya.
“Baiklah, Kang!”
Begitu punggung Kumala Rani menyentuh bagian atas Batu Pualam Hitam, kembali seberkas hawa hangat bergulung-gulung menerobos masuk dengan raga Kumala Rani.
“Bagaimana rasanya sekarang?”
“Emmm ... nyaman sekali. Terasa sebentuk hawa hangat yang menerobos masuk kemudian mengelilingi seluruh jalan darah di tubuhku,” kata Kumala Rani mengatakan apa yang dialaminya saat ini, “ ... bahkan arus hawa hangat semakin lama semakin cepat mengalir ke dalam tubuh.”
“Rupanya Batu Pualam Hitam yang aku temukan di dasar kolam merupakan sarana penyembuh luka,” pikir Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis sambil mengangguk-angguk pelan.
“Kakang ... “
“Hemmm ... “
“Aku ... aku lapar dan haus, dari tadi perutku berbunyi tidak karuan ... “ ucap Kumala Rani dengan bibir meruncing. “Masak Kakang tidak mendengar, sih?”
Jalu Samudra tertawa lepas melihat keceriaan istrinya.
Centil dan menggemaskan!
“Bagaimana kalau ... minum air kolam dan makan ikan bakar?”
“Boleh juga.”
Jalu berjalan ke salah satu sudut ruangan, dekat dengan tempat dulu ia masuk lewat liang ular berniat mengambil cangkir bambu untuk wadah air minum. Lucunya, tongkat hitam yang tergenggam di tangan kanan, tetap diketuk-ketukkan di tanah seperti orang buta.
Tanpa sengaja matanya memandang ke arah dekat pintu liang ular, tepat dimana dulu Buah Naga Kilat dan Bibit Matahari tumbuh.
“Kabut Rembulan ... “ pikirnya, “ ... kenapa tidak kuberikan saja pada istriku? Toh Kabut Rembulan tak bakalan kumakan? Memangnya mau jadi banci apa!?”
Jalu tidak jadi mengambil cangkir bambu, tapi menghampiri tempat tumbuhnya dua butir Kabut Rembulan.
 
Si Pemanah Gadis - Bab 22


Langsung di petik dua butir sekaligus!
“Meski terlihat besar, tapi ringan di tangan,” gumam Jalu sambil menimang-nimang benda bulat sebesar kelapa gading di tangannya, lalu berjalan menghampiri Kumala Rani yang sedang tiduran di atas Batu Pualam Hitam.
“Nih, kau makan ini dulu saja buat mengganjal perut.” kata Jalu sambil menyodorkan dua benda di tangannya, “Habiskan sekaligus, ya!?”
“Buah kelapa, ya? Dapat dari mana?” tanya Kumala Rani bangkit dari posisi tiduran terus duduk bersila sambil menerima dua butir buah yang disebutnya buah kelapa pemberian suaminya, sedang Jalu terlihat sedang mengamat-amati isi kolam seperti orang mau menangkap ikan. Padahal dari sudut matanya ia melirik tingkah laku Kumala Rani.
Sedang yang dilirik, justru lagi asyik menimang-nimang benda bulat di tangannya.
“Kok ringan banget,” pikirnya, “Tak apalah, dari pada aku nunggu kelamaan Kakang Jalu menangkap ikan.”
Kabut Rembulan yang ada ditangan Kumala Rani digigit pelan.
Kress ... !
“Manis dan berair segar. Dikunyah juga terasa ringan,” pikirnya sambil menelan.
Sedikit demi sedikit, satu butir akhirnya berpindah ke dalam perut.
“Kok masih kurang ya?” pikirnya, lalu ia berkata, “Kakang, kuhabiskan sekalian aja, ya?”
Tanpa menunggu jawaban dari Jalu Samudra, Kumala Rani langsung melahap satu butir Kabut Rembulan yang tersisa di tangannya.
Pada akhirnya, butir ke dua pun amblas menghuni perut Kumala Rani.
“Hemm ... sebentar lagi Rani akan diselimuti kabut dingin,” kata hati Jalu, “Aku harus berjaga-jaga supaya bisa memberikan bantuan.”
Dua helaan napas berlalu ...
“Kakang, kenapa aku tiba-tiba mengantuk?” kata Kumala Rani sambil menguap.
“Ini sudah malam, tentu saja mengantuk.”
“Kakang tidak mengantuk?”
“Belum! Kau tidur saja dulu, nanti aku menyusul.”
Tidak sahutan sama sekali.
Jalu bangkit berdiri dari tempatnya berjongkok di tepi kolam.
“Uuuhh ... capek juga duduk dengan posisi begitu,” gumamnya lirih, “Sudah tertidur rupanya. Semoga saja perkiraanku tentang Kabut Rembulan adalah tepat.”
Jalu berjalan mondar-mandir di sisi kiri Batu Pualam Hitam. Hatinya gelisah bukan main.
“Kenapa tidak ada reaksi sedikit pun,” pikirnya, “Tidak seperti waktu aku dulu disiksa buah Naga Kilat dan Bibit Matahari. Aneh! Jangan-jangan aku salah perhitungan?” kata hatinya dengan kuatir.
Tiba-tiba saja, sebentuk kabut tipis turun dari atas pembaringan Batu Pualam Hitam tempat Kumala Rani terlelap. Semakin lama semakin banyak dan kian menebal.
“Heemmm ... syukurlah aku tidak salah perhitungan,” gumamnya lega saat melihat gumpalan kabut putih bagai asap mulai bergerombol di sekeliling Batu Pualam Hitam.
Woshh ... woshh ... !
“Hawa dingin mulai menyengat menusuk tulang,” gumamnya sambil mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' tingkat satu. “Coba kutahan dengan tingkat awal dulu.”
Gumpalan kabut semakin banyak membungkus sosok tidur Kumala Rani, hingga dalam sepeminuman teh berikutnya, gumpalan kabut membungkus seluruh tubuh istri Si Pemanah Gadis dengan sempurna.
“Wuihhh ... Sampai ke tingkat lima baru bisa menahan sengatan hawa pembeku tulang ini,” keluh Jalu Samudra.
Hingga akhirnya di Istana Bawah Tanah, hawa panas dan dingin saling tumpang tindih silih berganti. Jika dari tubuh Jalu Samudra memancarkan aura api kuning keemasan bagai sinar matahari di langit disertai kilatan bunga api hijau kebiru-biruan, justru sosok gadis yang tertidur lelap memancarkan aura putih keperakan sedingin es yang berkilauan bagai bulan purnama.
Sehari berlalu tanpa terasa ...
“Sudah satu hari satu malam istriku diselimuti kabut putih ini,” kata lirih Jalu sambil berjalan mengitari Batu Pualam Hitam yang diselimuti uap-uap putih, “Berarti tingkat satu telah tercapai.”
Dua hari ... tiga hari ... hingga pada hari ke delapan, uap tebal super dingin menusuk tulang semakin terasa sekali.
“Hemm ... terpaksa aku naikkan dua tingkat lagi,” gumamnya saat merasakan bahwa dengan tingkat lima, Jalu Samudra masih berasa dingin. Dengan begitu, bisa dibayangkan bagaimana kondisi Kumala Rani saat itu.
Benar-benar membeku!
“Tinggal besok sore ... “ gumamnya, “ ... istriku, kau harus bisa melewati tingkat sembilan! Aku percaya bahwa kau akan bisa mengatasi cobaan ini!”
Diluar sana, terjadilah kehebohan yang sulit diterima akal sehat!
Delapan hari berturut-turut terjadi bulan purnama disertai hawa dingin membekukan tulang!
Siang malam hawa dingin bagai menggerogoti tulang dan sumsum manusia. Bisa dibayangkan jika pada siang hari bolong dengan sinar matahari terik memancar, justru hawa terasa dingin meski tidak sedingin di malam hari. Tentu saja fenomena ini banyak menimbulkan berbagai macam pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Bathara Kala berhasil menemukan kembali tubuhnya, lalu mencari si musuh abadi dan terjadi perang tanding dengan Bathara Wisnu di khayangan sehingga terjadi bulan purnama penuh selama beberapa hari. Ada pula yang mengatakan bahwa sebentar lagi Pulau Jawa akan hancur karena pagebluk, dikarenakan terlalu banyak manusia yang adigang, adigung dan adiguna (bertindak semaunya) yang bertebaran dimana-mana.
Beberapa tokoh sakti yang ahli ramal atau pun nujum mengatakan ada seseorang yang sedang menuntut ilmu kesaktian tingkat tinggi, yang dampaknya terasa pada hawa kehidupan di dunia. Mereka beranggapan bahwa ilmu-ilmu kesaktian yang diburu para pendekar sekarang ini adalah ilmu yang mustahil dikuasai manusia. Itulah sebabnya para tokoh sakti beranggapan jika ada orang yang berhasil menguasai ilmu paling langka sekali pun, pasti ada campur tangan para dewa.
Bahkan sampai-sampai Kakek Nelayan Dari Laut Utara turut berkomentar, bahwa mungkin saja akan muncul tokoh sakti kharismatik di rimba persilatan. Sebutan Si Pemanah Gadis sebagai tokoh muda bermata buta yang baru saja menancapkan taringnya di rimba persilatan dengan segala kesaktiannya seringkali terlontar dari mulutnya. Tanpa malu-malu ia mengatakan bahwa dirinya kalah telak dibawah ujung tongkat hitamnya lewat jurus-jurus silat aneh, termasuk pula guru si pemuda buta yaitu Tombak Utara Tongkat Selatan disebut-sebut pula sebagai tokoh yang sukses mendidik Si Pemanah Gadis. (Maklumlah ... jaman dulu belum ada baliho atau spanduk, jadi kalau mau terkenal harus bertarung dulu dengan orang-orang hebat, setelah itu barulah namanya dikenal).
Tentu saja kabar bahwa Si Pemanah Gadis menguasai ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ yang digembar-gemborkan oleh Kakek Nelayan Dari Laut Utara justru semakin membuat nama si pemuda buta menjulang tinggi.
Ada yang benar-benar percaya, ada yang setengah percaya, bahkan ada yang tidak percaya sama sekali!

-o0o-

Pada hari ke sembilan di sore harinya ...
Di bagian tengah Istana Bawah Tanah, terdapat enam ikan bakar siap makan tersusun di atas meja batu lengkap dengan nasi hangat serta lalapan komplit, termasuk pula beberapa jenis buah-buahan segar tertata rapi. Entah darimana datangnya semua makanan itu, tapi yang jelas seperti baru saja selesai dimasak.
Si Jalu sendiri tidak kelihatan batang hidungnya, entah pergi kemana Si Pemanah Gadis sehingga tidak menunggui istrinya yang berada antara hidup dan mati.
Tiba-tiba air kolam bergolak.
Pyarrr ... plassh ... !
Dari dalam kolam melenting keluar sesosok bayangan, kemudian bersalto beberapa kali dan turun dekat meja batu.
Jlegg!
Sosok bertelanjang dada yang ternyata adalah Si Pemanah Gadis, berdiri tegap dengan badan basah. Di tangan kiri memegang sebuah kotak besi hitam dan tangan kanan menenteng sebilah pedang hitam berlambang petir yang diambilnya dari bawah kolam, kemudian diletakkan di atas meja batu.
Brekk! Crekk!
Suara cukup keras terdengar begitu bagian bawah kotak besi hitam menyentuh bagian atas meja batu.
Kotak besi hitam dan pedang peninggalan Dewi Binal Bertangan Naga!
“Fyuhh ... !”
Begitu menghela napas ringan, badan Jalu Samudra mengepulkan asap tipis, air yang membasahi tubuh yang menguap lengkap dengan celana hitam yang dipakainya langsung kering seketika. Kemudian Jalu mendekati Batu Pualam Hitam yang di atasnya terdapat gumpalan kabut yang menerbitkan hawa dingin, meski tidak sedingin tadi siang, sampai-sampai Jalu Samudra harus meningkatkan Ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' hingga tingkat tujuh setengah. Begitu mendekati sore hari, hawa dingin menurun dengan cepat, bahkan tanpa mengerahkan tenaga sakti pun Jalu bisa bertahan dengan hawa dingin yang keluar.
Sedikit demi sedikit uap kabut putih mulai meluruh turun, kemudian mengurai gumpalan putih yang menutupi seluruh tubuh Kumala Rani.
“Sebentar lagi Nimas Rani akan siuman,” gumam Jalu Samudra memandangi sosok samar istrinya yang bagai tertidur lelap, “Bagaimana pun bentuk ragawi istriku nanti, aku ikhlas menerima apa pun keadaannya.”
Pelan-pelan, kabut mulai menipis dan dalam tiga peminuman teh berikutnya, gumpalan kabut telah seluruhnya menghilang, meski di bagian kaki Batu Pualam Hitam masih terdapat sisa-sisa kabut meski masih samar.
Di atas batu, terbaring dengan nyaman sesosok gadis berbaju kuning gading.
Sosok Kumala Rani!
 
Si Pemanah Gadis - Bab 23


Yang terlihat dimata Jalu Samudra sekarang bukanlah sosok tua renta yang sebelumnya terbaring lemah tak berdaya dengan kulit tipis kering sekedar membalut tulang, bukan sosok bertubuh keriput seperti nenek-nenek menjelang ajal dan juga bukan sosok gadis pesakitan yang terkena dampak Ilmu 'Serap Sukma' milik Dewi Cabul Teratai Merah. Kini yang terbaring di atas Batu Pualam Hitam adalah sesosok gadis cantik jelita berkulit kuning langsat tinggi semampai. Sepasang bibir merah merekah alami terukir indah di mulut, sedang diatasnya terdapat sebentuk hidung mancung ditingkahi dengan pipi kemerah-merahan. Sepasang mata gadis secantik bidadari tersebut masih tertutup rapat dalam masa tidur panjangnya. Dada membusung di balik baju yang dipakai terlihat turun naik dengan lembut, bagai tanda kehidupan tetap berada di raga cantik Kumala Rani.
Kecantikan dan keagungan Kumala Rani benar-benar sempurna, bagaikan seorang bayi yang terlahir kembali untuk ke dua kalinya!
Jalu Samudra sendiri sampai terpesona melihat aura keagungan yang terpancar dari raga tidur istrinya.
“Bukan main ... istriku kini menjelma bagai bidadari dari alam khayangan,” kata hati Si Pemanah Gadis dalam keterperangahan saat melihat sosok baru sang istri. “Nimas Rani lebih cantik dari sebelumnya. Rupanya di balik musibah ternyata tersembunyi karunia yang tidak terkira duanya.”
Jalu membungkukkan badan, mendekati wajah Kumala Rani.
Cuppp ... !
Sebuah ciuman mesra mendarat di kening.
Begitu merasakan sesuatu menyentuh dirinya, Kumala Rani membuka mata. Yang terlihat pertama kali adalah seulas senyum Jalu Samudra yang berada sejarak satu jangkauan saja. Gadis itu membalas senyum Jalu sambil bangun dari tempat tidur yang selama sembilan hari sembilan malam dikuasainya seorang diri.
Begitu terbangun, ia merasakan kekagetan luar biasa!
“Aku sembuh! Kakang ... aku sembuh!” teriaknya sambil tangan meraba-raba wajah dan seluruh tubuh. “Aku benar-benar telah pulih seperti sebelumnya. Terima kasih, Kakang ... terima kasih,” kata Kumala Rani sambil memeluk erat suaminya.
Air mata gembira menetes membasahi dada telanjang suaminya.
Setelah rasa kaget dalam diri Kumala Rani mereda, Jalu berkata dengan penuh kelembutan, “Nimas Rani, aku turut senang kau sudah sembuh dari sakitmu! Selama sembilan hari aku ... “
“Sembilan hari? Aku tertidur selama sembilan hari?” kata Kumala Rani, heran.
“Ya, selama sembilan hari sembilan malam kau tertidur pulas di atas Batu Pualam Hitam, sampai aku mau tidur saja tidak kebagian tempat ... “ sahut Jalu sambil mencubit kecil hidung istrinya.
“Lho, kenapa Kakang tidak menyusulku tidur? Khan tempatnya cukup luas,” sergah Kumala Rani.
“Sebelum aku menjawab pertanyaan istriku yang cantik ini, lebih baik kita mengisi perut dulu. Sudah sembilan hari ini aku tidak makan karena mencemaskan dirimu,” kata Jalu sambil membimbing istrinya ke meja batu.
Pasangan suami istri itu akhirnya makan minum sambil bercerita panjang lebar.
Kumala Rani bercerita, saat ia mulai terlelap tidur, di alam mimpi ia bertemu dengan seorang wanita cantik, namun kecantikan si wanita yang mengaku bernama Dewi Binal Bertangan Naga sangat asing menurutnya, seperti wajah orang-orang dari negeri seberang laut yang bernama Daratan Tiongkok. Bahkan dalam mimpinya pun, nama Jalu Samudra disebut-sebut sebagai muridnya juga. Dewi Binal Bertangan Naga berkenan mengangkatnya sebagai murid tunggal yang akan mewarisi seluruh ilmu-ilmu kesaktian miliknya.
Dalam mimpi itu Kumala Rani digembleng dengan ilmu-ilmu tenaga dalam tingkat tinggi yang bernama Ilmu ‘Tenaga Sakti Kabut Rembulan’. Mempelajari ilmu yang dahsyat itu ternyata membutuhkan waktu sembilan tahun lamanya, dimana setiap tingkat berhasil dipelajari dalam satu tahun oleh gadis itu. Yang paling berat dan hampir saja merenggut nyawanya adalah waktu mempelajari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kabut Rembulan’ tingkat sembilan, dimana tubuhnya bagai dimasukkan ke dalam danau es beku, namun karena tekad bulat yang dimiliki si gadis, tingkat ke sembilan bisa terlewati dengan lancar.
Begitu menamatkan pelajaran ilmu tenaga dalamnya, Kumala Rani disumpah untuk mengamalkan ilmu yang dikuasainya di jalan kebenaran, dan untuk lebih menyempurnakan ilmu-ilmunya agar ia meminta bimbingan Jalu Samudra selama dua tahun lamanya.
“Itulah mimpi yang aku alami itu, Kakang,” tutur Kumala Rani mengakhiri ceritanya. “Benar-benar menegangkan kalau diingat-ingat!”
“Jadi waktu sembilan tahun di alam mimpimu adalah sembilan hari di alam nyata,” sahut Jalu sambil mengangguk-angguk mengerti. “Berbeda dengan apa yang aku alami dahulu,” pikirnya.
“Yang justru aku herankan, kenapa guru meminta Kakang membimbingku pula?”
“Karena sebenarnya Dewi Binal Bertangan Naga adalah termasuk guruku juga, Nimas. Bahkan Dewa Pengemis, suami dari Dewi Binal Bertangan Naga juga guruku pula,” kata Jalu kemudian, “Maaf kalau selama ini aku merahasiakan hal ini padamu. Yang Nimas ketahui sampai sekarang bahwa kakek nenekku-lah guruku.”
Tentu saja Kumala Rani mengetahui siapa yang dimaksud dengan kakek nenek yang tak lain adalah Tombak Utara Tongkat Selatan adanya!
“Jadi ... kita saudara seperguruan?”
“Kenapa? Nggak mau?” tanya Jalu dengan nada canda, “Kalau nggak mau ... jadi istriku saja.”
“Iihhh ... kita khan sudah suami istri,” sahut sang istri sambil melayangkan cubitan.
Pasangan suami istri itu saling canda tawa sampai malam menjelang.
Jalu memasang penerangan dari minyak jarak dan beberapa obor bertangkai besi di tempat di empat sudur Istana Bawah Tanah dan di bagian atas pula, terpancang kuat sebentuk benda aneh bersegi delapan yang bisa memantulkan cahaya putih terang. Si Pemanah Gadis mengatakan bahwa di dalam benda aneh berbentuk segi delapan terdapat sebuah mutiara putih sebesar buah kelapa yang akan memantulkan cahaya terang jika ada obor atau benda yang bisa menyala.
“Benar-benar Istana Bawah Tanah yang indah,” kata Kumala Rani takjub.
“Kalau dulu aku sedang senggang, aku menata ruangan hingga seperti yang Nimas lihat sekarang ini,” kata Jalu sambil memeluk pinggang ramping sang istri. “Nimas Rani, aku ada sesuatu untukmu.”
Jalu lalu mengambil kotak besi hitam yang ada di sampingnya, lalu diberikan pada Kumala Rani, sedang pedang hitam berlambang petir masih tergeletak di atas meja batu.
“Inilah yang dimaksud guru, bahwa aku harus membimbingmu. Bukalah!”
Kumala Rani segera membuka kotak besi hitam yang ternyata berisi kitab bersampul merah muda. diatasnya tertulis 'Kitab Kembang Perawan', sedang di bagian bawah tertulis nama sang pemilik kitab, 'Dewi Binal Bertangan Naga' dan sebaris tulisan kecil-kecil, 'yang bisa membuka kitab ini adalah gadis yang telah menelan dua butir Kabut Rembulan'.
“Menelan dua butir Kabut Rembulan, apa maksudnya?”
“Buah yang kau makan kemarin itulah yang namanya Kabut Rembulan.”
“Oooo ... “ sahutnya sambil membuka lembar kedua.
Di lembar kedua tertulis, Ilmu 'Asmara Kembang Perawan'!
Begitu ia terbuka, langsung saja mukanya merah jengah!
“Hiii ... ilmu apa macam ini, Kakang?” serunya seraya menutup kitab di tangannya.
Jalu hanya tersenyum saja, lalu ia membuka kitab yang ada ditangannya.
Kitab Dewa Dewi!
Kembali gadis itu kaget mengetahui bagian awal dari kitab yang ada di tangan suaminya, bahkan lebih kaget lagi saat ia membaca tulisan Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’!
Kekagetan Kumala Rani cukup beralasan, sebab Ilmu 'Asmara Kembang Perawan' berisi jurus-jurus hubungan intim antara wanita dan pria, serta bagaimana meningkatkan kualitas hubungan mesra dengan pasangannya. Bahkan pada bagian berikutnya, terdapat jurus-jurus silat unik dan aneh, karena gerakan kaki, tangan dan tubuh seperti orang yang berhubungan badan lengkap dengan penjelasan-penjelasan singkat pada jurus-jurus yang dinamai ‘10 Jurus Asmara Kembang Perawan‘.
“Rupanya Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’ merupakan pelengkap dari Ilmu 'Asmara Kembang Perawan',” gumam Jalu Samudra.
“Benar-benar lengkap, ya, Kang!” timpal Kumala Rani tanpa sadar.
“Apa perlu kita praktekkan sekarang?” kata Jalu sambil menjungkit-jungkitkan alis.
“Ihh ... Kakang ... “
“Lho ... kita ini pengantin baru, masak ... “
“Nanti saja!” sergah sang istri dengan tersenyum.
Setelah membuka-buka lembar berikutnya, sampai gadis itu pada bagian yang tertulis judul Ilmu 'Perawan Murni'. Tidak ada jurus atau gerakan apa pun di lembar ini, hanya tertulis dengan rapi bahwa setiap gadis yang telah menguasai Ilmu 'Tenaga Sakti Kabut Rembulan' secara alamiah menguasai pula Ilmu 'Perawan Murni' yang bisa membuatnya benar-benar seperti gadis perawan.
“Bagus deh kalau begitu ... “
“Apanya yang bagus?”
“Kalau istriku ini perawan setiap hari, aku kan jadi senang setiap hari juga,” katanya sambil mencium pipi kiri Kumala Rani.
“Uuuhh ... maunya!”
Pada lembar pertengahan, disana tertulis '18 Jurus Rembulan Beku, Karya Akhir Dewi Binal Bertangan Naga' dan di bawahnya tertulis 'Jurus ini merupakan inti gerakan dari 108 Jurus Tangan Naga Angkasa dan 36 Jurus Tongkat Penggebuk Anjing (Da Gou Bang Fa) aliran Pengemis (Gai Bang)!.’
“18 Jurus Rembulan Beku?” gumam lirih Kumala Rani sambil mengamati semua posisi tangan dan kaki dari gambar yang ada di dalam kitab.
“Jurus ini rada-rada mirip 'Tapak Naga Penakluk' atau mungkin karena sumbernya sama, ya?” pikir Si Pemanah Gadis. '... atau barangkali karena ada bagian dari ‘36 Jurus Tongkat Penggebuk Anjing (Da Gou Bang Fa)’ yang merupakan sumber asli dari ilmu '18 Jurus Rembulan Beku' sehingga ilmu ini terlihat mirip? Entahlah ... “
Pada lembar berikutnya tertulis 'Ilmu Pedang Geledek Hitam'!
“Jadi ... pedang ini bernama Pedang Geledek Hitam,” kata Jalu setelah melihat bentuk pedang yang tertera dalam lembaran kitab ternyata sama persis dengan pedang yang tergeletak di atas meja batu.
Akhirnya, Jalu Samudra membimbing istrinya mempelajari bagian-bagian Kitab Kembang Perawan termasuk pula bagaimana mengatur hawa sakti yang tiba-tiba saja meningkat puluhan kali lipat dalam tubuh Kumala Rani. Pada Ilmu 'Asmara Kembang Perawan' pun mereka praktekkan berdua, karena pada dasarnya mereka suami istri yang sah, hubungan intim sudah bukan merupakan halangan lagi bagi Jalu Samudra dan Kumala Rani.
Dimana pun dan kapan pun!
Beberapa bagian dari Ilmu 'Asmara Kembang Perawan' yang sudah dipelajari adalah jurus ‘Kupu-kupu Meniup Seruling’ dimana Jalu Samudra berbaring telentang dengan tangan memegang pinggul sang istri, sedang Kumala Rani bergerak pelan penuh irama di atas tubuh sang suami sambil menjengkit-jengkit liar berusaha menggapai puncak-puncak asmara. Terlebih lagi pada Jurus ‘Bebek Liar Terbang Mundur’, dengan jurus ini Si Pemanah Gadis hanya duduk tenang menikmati putaran-putaran maut pada pilar tunggal penyangga langit yang melesak dalam-dalam di gerbang istana kenikmatan, dengan posisi sang istri duduk memunggungi dirinya sehingga Jalu dapat leluasa meremas dan memilin sepasang gumpalan padat yang terpahat indah dari belakang.
Di jurus ‘Kuda Poni Melonjak-lonjak’-lah yang paling disukai Kumala Rani karena posisi tubuhnya berhadapan langsung dengan Jalu Samudra sedang ia menggeser dan memutar-mutar pinggul dengan ringan penuh kenikmatan.

-o0o-

Di pagi itu, Kumala Rani berenang di kolam Istana Bawah Tanah yang jernih, begitu jernihnya hingga ia benar-benar bisa merasakan bagaimana berenang bersebelahan dengan ikan-ikan aneka warna. Ada kalanya gadis itu menyelam dan tinggal di dalam air selama mungkin bersama ikan dan jernihnya air. Aneh juga, ia bisa berlama-lama di dalam air, tidak seperti waktu dulu ia bertanding dengan Jalu. Tentu saja, Kumala Rani berenang telanjang bulat di kolam itu. Tanpa sehelai benang pun di tubuhnya yang mulus, gadis itu bagai seekor ikan cantik yang sedang bercanda bersama alam. Air bening tak mampu menyembunyikan kemolekan dari tubuh seorang gadis muda yang penuh gejolak gairah. Gerakan tangan dan kaki yang gemulai bagai seorang bidadari turun dari khayangan, menambah pesona keindahan menjadi lebih nyata, lebih hidup. Bahkan ikan-ikan pun tampak senang berenang dekat-dekat kulit mulus berkilauan tertimpa pantulan sang mentari. Ikan warna-warni berenang mengikuti ke mana pun gadis itu bergerak.
Kumala Rani menyeruak keluar dari bawah air, rambut hitam panjangnya telah basah sempurna hingga membentuk sebuah caping legam di atas kepala. Air bening bagai memenuhi seraut wajah cantik memukau terus mengalir turun ke leher jenjang, meluncur cepat di atas sepasang bukit-bukit kenyal nan padat di dadanya. Beberapa butiran sisanya tertahan di ujung-ujung bukit kembar. Kelopak matanya berkerejap pelan meruntuhkan tetesan air, ujung hidungnya yang bangir serta sudut-sudut bibirnya yang memerah muda begitu basah menawan.
Kumala Rani tersenyum manis kepada seorang pemuda yang duduk menjuntai kaki dimasukkan ke dalam air di atas batu di pinggir kolam. Pemuda yang tak lain Jalu Samudra membalas senyum Kumala Rani tanpa melepaskan pandangan mata ke tubuh indah sang istri yang kini muncul perlahan-lahan dari dalam air. Mula-mula hanya senyum dan wajah manis yang tampak. Berikutnya leher jenjang keluar dari permukaan air, diikuti membawa serta pemandangan menakjubkan dari dada montok menantang yang basah. Pada perut berhias pusar menyerupai noktah kecil. Setelah itu kedua paha sintal membulat, menjadi pilar-pilar bagi segitiga gelap rerumputan yang menyembunyikan gerbang istana kenikmatan yang lebih banyak lagi menyimpan rahasia.
Kumala Rani mengangkat tangan untuk mengibaskan air dari dahi.
Pyukk!
Gerakan gemulai itu membuat dada kenyal menantang semakin berani, mengajukan diri untuk lahapan mata putih si pemuda yang terus tersenyum sepanjang kejadian yang berlangsung di depan mata. Lalu pemuda itu menjulurkan tangan, menawarkan tangan untuk menarik keluar Kumala Rani dari dalam air. Tetapi Kumala Rani menggeleng, karena ia ingin tetap telanjang bulat di hadapan sepasang mata suami yang tiada henti menyemburatkan panah-panah asmara ke sekujur raganya yang basah.
Kumala Rani kini berdiri sejarak satu jangkauan tangan saja di hadapan si pemuda, lalu salah satu tangan berkacak pinggang sambil tetap menyungging senyum semanis madu.
Matanya berkata, ‘Mari rengkuh diriku kalau kau mau, suamiku.’
“Apa yang kau inginkan?” tanya Jalu pada istrinya.
“Aku ingin ... “ sahut Kumala Rani, “ ... ini!”
Kumala Rani mencium lembut bibir suaminya.

-o0o-
 
Si Pemanah Gadis - Bab 24


Dua sosok bayangan bergerak cepat laksana kilat dan petir menyambar.
Blashh ... blash ... !
Kelebatan dua bayangan biru dan kuning saling susul menyusul, bahkan ada kalanya dua bayangan berjajar berdekatan seperti dua orang sedang memadu kasih.
“Sebentar lagi kita sampai,” kata bayangan kuning dengan langkah lari tetap, “ ... entah bagaimana kabar kakakku!?”
“Aku yakin ia sehat-sehat saja, istriku,” timpal bayangan biru. “Bagaimana kalau kita adu cepat?”
“Boleh!” sahut cepat si bayangan kuning sambil mengempos tenaga.
Sebentuk uap putih terlihat bergumpal di bawah kaki bagai asap yang menopang tubuh si bayangan kuning.
“Kita adu cepat! Mana yang lebih hebat antara jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ dengan jurus ‘Bidadari Menunggang Awan’!” tutur si bayangan kuning sambil mengerahkan jurus 'Bidadari Menunggang Awan', sehingga uap putih bergumpal-gumpal semakin banyak dan membersitkan hawa dingin membeku semakin kental.
“Siapa takut!” sahut si bayangan biru sambil mengerahkan jurus 'Kilat Tanpa Bayangan' hingga yang tampak hanyalah kilatan cahaya biru keemasan membersitkan hawa panas membara.
Jika jurus lari cepat 'Bidadari Menunggang Awan' dilandasi dengan Ilmu 'Tenaga Sakti Kabut Rembulan' tingkat delapan, lain halnya dengan jurus 'Kilat Tanpa Bayangan' yang ditopang oleh Ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' yang sama-sama dikerahkan hingga tingkat delapan.
Lapp ... ! Blasssh ... !
Hingga yang tampak hanyalah segulungan awan putih berpacu langkah dengan sebentuk kilatan cahaya biru keemasan, dimana keduanya terlihat berjajar rapat. Siapa lagi dua orang itu jika bukan pasangan suami istri Jalu Samudra yang digelari istrinya Kumala Rani dengan gelar nyentrik, Si Pemanah Gadis. Mereka berdua baru keluar dari Istana Bawah Tanah yang selama dua tahun mereka berdua mendekam di dalamnya. Tidak ada yang di bawa keluar dari Istana Bawah Tanah oleh Si Pemanah Gadis dan istrinya, kecuali sebilah pedang yang seluruhnya berwarna hitam legam dan kini nangkring dengan enaknya di punggung Kumala Rani. Dari gagang pedang hingga sarung pedang semuanya berwarna hitam, kecuali sebentuk gambar lambang kilat atau petir yang berwarna putih, cukup menyolok dengan warna hitam pada pedang itu.
Itulah Pedang Geledek Hitam!
Si Pemanah Gadis dan Kumala Rani saling berpacu siapa yang paling cepat diantara mereka berdua. Tanpa perlu tempo lama, pasangan suami istri tersebut sudah sampai di depan pintu gerbang sebuah perguruan silat dalam waktu yang bersamaan.
Partai Naga Langit!
“Aku kalah, Nimas!”
“Tidak, Kakang! Aku yang kalah!”
“Aku yang kalah!”
“Aku!” Kumala Rani ngotot.
“I ya deh, i ya ... “ akhirnya Jalu Samudra mengalah juga.
Dengan senyum manis, Kumala Rani langsung merangkul suaminya, “Kenapa Kakang Jalu selalu mengalah jika kita adu debat?”
“Sebab ... kalau aku yang menang, toh pada akhirnya aku yang rugi sendiri ... “ sungut si Jalu sambil memencet hidung istrinya.
“Rugi?”
“Rugi besar malah!”
“Kok bisa!?”
“Rugi karena tidak dapat jatah!” ucap Jalu sambil membusai mesra rambut panjang Kumala Rani.
“Dasar buaya darat!” kata Kumala Rani sambil mencubit mesra pinggang suaminya.
Jalu hanya tertawa kecil saja.
Tiba-tiba saja ...
Kriett!
Pintu gerbang padepokan naga langit terkuak. Sebentuk kepala nongol keluar berwajah kuyu seperti orang kurang tidur dan patah semangat.
“Siapa yang bi ... “ suara itu tercekat di tenggorokan, lalu ia bergumam lirih, “Rani? Kau Rani adikku ... ?”
Siapa lagi yang mengakui istri Jalu Samudra sebagai adik jika bukan Nila Sawitri!?
Tanpa kata, Kumala Rani langsung memburu maju, menguak lebih lebar pintu gerbang dan dengan sigap memeluk erat sang kakak. Pasangan kakak adik yang telah dipisahkan selama dua tahun kini akhirnya berjumpa kembali. Nila Sawitri tidak kuasa membendung air mata yang langsung tumpah ruah bagai banjir besar meleleh di kedua pipinya.
Dua tahun belakangan ini, tidak ada pancaran kehidupan dari sosok cantik Nila Sawitri. Semuanya sirna, seperti sirnanya sosok seorang adik yang sedang sekarat menjemput ajal dan dibawa pergi suaminya entah kemana. Berulangkali si Pedang Naga Perkasa dan Nila Sawitri mencari kabar berita tentang Kumala Rani dan suaminya di sekitar Gunung Naga dan bahkan meminta bantuan dari Kuil Langit dan Perguruan Catur Bawana, juga tidak mendapatkan hasil sama sekali.
Sepertinya Kumala Rani dan Jalu Samudra bagai hilang ditelan bumi!
Setiap hari yang dilakukannya hanyalah berada di depan pintu gerbang Partai Naga Langit, berdiri mematung seharian penuh, tidak makan dan tidak minum. Jika dipaksa, paling banter satu sendok tidak lebih. Nila Sawitri berdiri mematung seolah menantikan sang adik pasti kembali di sisinya. Dalam hitungan hari, minggu, bulan telah dilalui, hingga tepat dua tahun Nila Sawitri dengan setia menunggu kedatangan Kumala Rani ditempat yang sama. Hanya kalau sudah tidak kuat berdiri dan lelah yang teramat sangat, Nila Sawitri jatuh tertidur di tempat itu.
Rangga Wuni sendiri sudah merasa putus asa melihat penderitaan batin istrinya, terlebih lagi pada kehamilan istrinya yang pertama sempat mengalami keguguran, membuatnya semakin mengkhawatirkan kondisi kesehatan istrinya yang semakin lama semakin menurun. Segala macam bujukan sudah ia gunakan, tapi membuat niat sang istri tidak pudar sedikit pun. Namun sebagai suami yang bijak, Rangga Wuni maklum dengan apa yang dialami sang istri tercinta, apalagi ia tahu bahwa baru saja ia kehilangan kawan dan juga gurunya dari padepokan gunung putri, dan kini kehilangan satu-satunya saudara yang ada di dunia ini.
Untunglah ia memiliki murid-murid yang pengertian, selalu memberi dorongan dan semangat pantang menyerah pada guru mereka agar lebih sabar dan tabah menerima cobaan kali ini.
Hingga pada hari ini, tepat dua tahun sejak Kumala Rani dan Jalu Samudra menghilang, saat ia sudah berada dalam ambang batas keputus-asaan, Nila Sawitri justru bertemu kembali dengan adiknya.
“Rani ... “
Hanya itu suara yang terdengar, selebihnya adalah deraian air mata dan isak tangis membuncah, menggelegak bagai air mendidih di dalam kuali dan kini ... sebuah penyaluran terhadap ketidakpastian sekarang sedang berlangsung. Rasa rindu selama dua tahun terhadap Kumala Rani dimuntahkan dalam bentuk peluk-cium yang hangat, erat disertai dengan luruhan kasih sang kakak.
Kumala Rani sendiri yang berusaha untuk tegar, begitu trenyuh mendapati sang kakak berbeda dengan yang dulu. Jika dulu kecantikan dan keagungan yang bisa dilihat, kini justru wajah keruh dan sederet bentuk keputus-asaan terpampang jelas di depan matanya.
Benar-benar mengharukan!
Mendengar istrinya menangis sesenggukan, Rangga Wuni yang saat itu sedang memimpin latihan silat, langsung berkelebat cepat, melewati pelataran yang cukup luas dengan kecepatan tinggi, dan begitu sampai di depan pintu gerbang, ia hanya bisa berdiri mematung!
Tidak ada yang terucap dari bibir yang sedikit terbuka, diam tanpa kata dan melihat tanpa rintangan!
Melihat sang guru berkelebat cepat ke arah pintu gerbang, murid-murid Partai Naga Langit tanpa dikomando, segera berhamburan menyusul dan begitu sampai di depan pintu gerbang, mereka semua bengong seperti sapi ompong.
Di hadapan mereka tergelar bebas sebuah pemandangan yang benar-benar sanggup menitikkan air mata!
Sang istri guru berpelukan dengan seorang gadis baju kuning gading dengan erat seakan sedang melepas rindu.
Di bagian belakang si gadis yang dipeluk tampak berdiri pula seorang pemuda berbaju biru dengan celana hitam, dimana sebatang tongkat kayu hitam tampak tergenggam ringan di tangan, dan yang lebih mengejutkan lagi, pemuda itu bermata putih.
Pemuda buta!
“Nimas Nila ... “ kata Rangga Wuni sambil memegang pundak istrinya.
Bagai tersadar dari mimpi buruk, Nila melepas pelukan pada adiknya. Dengan tangan gemetar, Nila Sawitri meraba wajah sang adik dengan kelembutan.
“Kau ... kau benar-benar Kumala Rani?” tanya Nila Sawitri penuh harap.
“Benar, Kangmbok! Ini aku ... Kumala Rani!” kata Kumala Rani dengan haru.
“Kau benar-benar adikku?”
Gadis berbaju kuning gading hanya mengangguk pasti.
“Kau semakin cantik saja, Rani, “ lalu ia menoleh pada suaminya dan berkata, “Kakang Rangga, Rani telah kembali.”
Terlihat pancaran kebahagiaan di dalam mata indah Nila Sawitri.
Rangga Wuni hanya tersenyum haru, “Benar istriku! Adikmu yang bengal telah kembali!”
Drama pertemuan di depan pintu gerbang sedikit terpecah oleh suara Jalu Samudra.
“Nimas Rani, apa kita perlu berdiri seharian di tempat ini?”
Bagai tersadar untuk kedua kalinya, Nila Sawitri memandang ke arah pemuda buta yang baru saja berkata.
“Ohh ... Jalu! Terima kasih kau telah mengembalikan adikku,” ucap Nila Sawitri.
“Sudahlah ... lebih baik kita masuk ke dalam saja. Disini banyak angin,” kata Rangga Wuni.
Akhirnya, semua yang ada di tempat itu kembali masuk ke dalam. Pintu gerbang yang semula penuh sesak oleh manusia, kini kembali lengang seperti sediakala. Hanya terlihat dedaunan bergulir di tiup angin.
Pada malam harinya, di pelataran Partai Naga Langit diadakan perjamuan kecil-kecilan untuk menyambut kedatangan pasangan suami istri Kumala Rani dan Jalu Samudra. Dan yang pasti, wajah keruh Nila Sawitri berubah drastis, sekarang terlihat segar dan cantik, meski tubuh kurusnya masih terlihat jelas, tapi tidak menutupi roman menawan istri Rangga Wuni ini.

TAMAT JILID – 1
 
akhirnya kelar jg memposting ulang jilid I cersil karya Gilang ini
semoga para suhu forum Semprot suka akan ceritanya.
terima kasih atas komentar dan like nya
ditunggu jilid II nya yahh :Peace:
 
Terakhir diubah:
Ga bisa ngomong hu...abis perang jadi baper, semoga kumala montok lagi..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Mantaab hu bravo...bravo:tepuktangan::tepuktangan:...kaga sabar nich tunggu part 2 nya...kira2 bakal ada mulustrasi nya kaga ya hu...jangan lama2 ya hu....udah lama nich tunggu cerita silat seperti ini di cerbung...akhirnya terpuaskan juga dahaga ini...
 
Terimakasih postingan ulangnya ...karena postingan pertama juga blom baca...critanya bagus banget..klo ada kelanjutannya lebih bagus lagi hehehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd