Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

Ditunggu dengan sangat, buluan tak😁😁😉😚

Dari awal mula cerita, clue nya itu, tersangka nya adalah pelaku, atau muncul dari yg tak terduga.

Atau akhir yg menggantung... Wish not 😶
Soal jodoh errik, ya tinggal dua wanita itu,,, atau jomblo teruss...
Bagaimana menurut kalian!!!
 
Terakhir diubah:
XXIII. Persimpangan Jalan


Inilah satu kerumitan lagi dalam hidupku. Sebelumnya aku berpikir bahwa aku setidaknya punya satu hubungan aman yang bisa kuandalkan. Sekarang hubungan itu akan segera berakhir. Ga mungkin aku tetap bersama Jenni kalau dia punya hubungan dengan orang lain.

Seperti pada Tris, aku selalu merasa akan tiba waktunya Jenni butuh pasangan yang lebih sesuai, setidaknya dalam hal usia. Dia pantas untuk punya kehidupan keluarga yang stabil dan punya anak, dan aku sudah terlalu tua untuk memulai semua itu dari awal lagi. Tidak, hubungan kami sudah berakhir. Pikiran itu membuatku sangat stres. Aku harus berjuang sendirian mulai sekarang.

Jenni datang dan langsung masuk ke dalam apartment. Dia memasuki ruangan dapur. Aku bisa melihat matanya merah karena menangis. Aku sendiri juga merasa sangat suram. Dia duduk di hadapanku.

"Maaf," katanya.

Aku menatapnya. "Itu agak... begini, aku mau bilang sesuatu sebelum kamu mulai menjelaskan perbuatanmu sendiri."

Dia mengangguk, kelihatan sedih.

"Sejak aku bangkit dari kematian dan kembali ke Serpong, aku sudah banyak ditipu dan dibohongi. Satu-satunya orang yang menurutku bisa kupercayai adalah Alfon, Hasan dan Jimmy, tapi bahkan lebih dari mereka semua, Tris dan kamu. Sampai batas tertentu aku masih merasa ga aman dan ga yakin pada diriku sendiri karena kemajuan proses kembalinya ingatanku terlalu lambat, dan aku yakin akan ada sebagian ingatanku yang ga akan pernah kembali. Kamu tahu semua itu.

"Kamu butuh dukungan yang kuat setelah pelecehan yang kamu alami. Aku memberimu dukungan itu. Kalau kamu mau menghitung berapa kali aku bilang 'tapi sekarang aku sama Jenni', kamu akan butuh lebih dari dua tangan dan kakimu sendiri.

"Tapi kamu bukan satu-satunya orang yang butuh dukungan yang kuat. Aku juga butuh dukungan itu. Aku percaya kamu akan selalu jujur dan terbuka padaku. Nah, sekarang kepercayaan itu sudah rusak. Kalau boleh aku mengutip dari apa yang dikatakan Jimmy padaku.

"’Mereka turun dari taksi dan berjalan bergandengan tangan melewati pekarangan, Jenni menyandarkan kepalanya di lengan pria itu. Di depan pintu masuk, mereka berciuman agak lama sebelum membunyikan bel.'"

Jenni tampak tercengang. Dia ga menyangka gambaran sejelas itu dari aktivitasnya. Aku melanjutkan.

"Apa yang aku mau darimu sekarang... Bukan, yang sangat aku butuhkan darimu adalah cerita sebenarnya tanpa penyangkalan atau eufemisme dan tentu saja jangan coba-coba menghindar lagi. Menurutku setelah semua apa yang sudah kulakukan untukmu, aku layak untuk berharap mendapatkan itu semua. Benar kan?"

"Ya," katanya pelan.

"Jadi," kataku, "Ceritakan semuanya."

Dia mengangguk dan menarik nafas panjang.

"Tolong percayalah, Sayang, aku ga pernah bermaksud menyakitimu. Aku ga pernah bermaksud agar kamu tahu dengan cara seperti ini. Bagaimanapun, aku akan memberitahumu saat kamu datang dari liburan. Aku sudah berencana akan membicarakannya denganmu.”

Aku hanya mendengarkan dan dia melanjutkan.

"Semua bermula saat dia mengantarkan Ana menemuimu waktu itu. Saat kalian berdua bicara, kami harus keluar dan akhirnya harus mulai ngobrol cukup lama. Awalnya dia sangat pemalu, tapi seiring waktu dia lebih percaya diri dan saat itu aku tahu dia laki-laki yang sangat baik. Selama kami bicara, dia terus menatapku meskipun aku pura-pura ga menyadari pandangannya. Tapi dalam hati aku tertarik padanya. Aku memberinya nomor teleponku dan dia memberiku nomor teleponnya. Dia kelihatan senang sekali cuma karena itu, aku merasa tersanjung.

"Yah, akhirnya dia meneleponku dan kami pergi makan malam saat aku sedang ga datang kesini menemuimu."

"Saat kamu sedang 'mencuci' atau 'pergi keluar dengan teman-teman'," potongku. Wajahnya memerah lagi.

"Ya, kamu benar. Berbohong seperti itu memang salah. Aku ga akan membela diri. Aku tahu hanya dengan bersama dia saja aku sudah salah dan aku ga mau semakin melukaimu. Dia senang mendengarkan ceritaku dan disaat bersamaan kamu tenggelam dalam urusan Hadi. Aku tahu itu bukan alasan.

"Pokoknya kami bertemu beberapa kali dan lalu dia bilang dia jatuh cinta padaku. Aku merasa kaget karena pengakuannya membuatku sadar kalau sebenarnya aku juga mulai punya perasaan yang sama. Aku menunggu-nunggu kesempatan aku bisa ketemu dia lagi, tapi aku merasa aku berhutang padamu setelah semua yang sudah kamu lakukan, jadi aku ga memberitahumu. Maaf. Seharusnya aku jujur."

"Jadi hubungan yang kita punya hanyalah berdasarkan apa yang kamu sebut 'berhutang' padaku?" Tanyaku.

"Tidak, Errik, jangan konyol," katanya dengan tenang sekarang. "Aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Aku sudah menjaga jarak dengan Adrian, tapi lambat laun kami jadi semakin dekat. Kami ngobrol berjam-jam. Kami berjalan bergandengan tangan. Kami berpelukan. Kami berciuman.

"Tapi Errik, ini penting. Ga ada seks di antara kami. Ga ada yang lebih dari apa yang kukatakan, sama sekali ga ada. Dia pernah, entah sengaja atau tidak, menyentuhku di bagian tertentu saat kami berciuman atau berpelukan, tapi aku ga membiarkannya, dan dia ga memaksa. Dia menghormatiku."

"Kamu tahu, Jenni. Aku menyadarinya. Setelah kita selesai berhubungan seks, kamu akan melamun dan pikiranmu ada di tempat lain. Pasti dia yang ada dalam pikiranmu. Mungkin kamu membayangkan seperti apa rasanya bercinta dengannya, sambil terus berbaring di pelukanku. Atau mungkin kamu membayangkan bagaimana sebaiknya cara untuk mencampakkan aku. "

Dia tampak malu. "Apa kelihatan jelas?"

"Ga begitu jelas, saat itu aku ga tahu apa sebabnya, tapi ada perasaan kamu akan meninggalkan aku. Aku tahu itu."

Dia mendengus dengan sedih.

"Kamu tadi bilang akan memberitahuku tentang Adrian, sekarang, saat aku pulang liburan?" Tanyaku.

"Iya." Dia berkata, menatap mataku.

"Apa yang merubah keputusanmu untuk merahasiakannya dariku?"

"Itu karena obrolan atau lebih tepatnya pertengkaran di rumah Alfon. Ana, dia sudah menemui Hadi."

"Aku tahu."

"Oh iya. Kamu menyuruh orang untuk mengikutinya. Bagaimanapun, para wanita berkumpul di dapur, dan para pria di ruang tamu. Vivi menanyakan padanya apa dia dan Hadi masih bertemu. Vivi menuduhnya ga setia padamu. Ana menjawab bahwa bagaimanapun, kamu ga tertarik padanya karena kita masih bersama. Vivi bilang itu ga akan lama, karena aku dan Adrian terhubung dengan sangat baik. Vivi sudah memintaku untuk mengajaknya kesana malam itu. Aku ga tahu di mana harus menempatkan diri.

"Lalu Vivi mulai mengalihkan sasaran padaku. Dia bilang bahwa Adrian adalah pilihan jangka panjang yang lebih baik, terlepas dari perbedaan usia, dan aku memang ingin punya anak, kan? Jadi dia merasa aku harus menghentikan hubungan denganmu dan memilih Adrian. Aku jengkel. Bukan, aku marah. Maksud Vivi baik tapi dia terlalu ikut campur.

"Dia sadar, menurutku, bahwa dia sudah ikut campur terlalu jauh, tapi dia bilang pada Ana bahwa ga ada peluang untuk kembali denganmu kalau dia masih terus bersama Hadi. Dia bilang kalau Ana masih berharap mendapatkanmu lagi, dia harus menyelesaikan urusannya dengan Hadi. Ga ada pilihan lain, Ana harus mengambil sekecil apapun peluang kamu kembali bersamanya

"Selama Ana mendukung Hadi, itu artinya dia ga menghargai kamu, karena Hadi sendiri yang menyebabkan semua ini. Kalau Ana ga bisa melihat betapa bersalahnya dia, itu pasti karena Ana lebih mencintai Hadi daripada kamu. Itu menyakitkan bagi Ana. Emosinya meledak, dia menangis dan lari. Adrian keluar mengejarnya, dan mereka pulang bersama.

"Saat itulah aku sadar betapa aku sudah ga setia padamu. Aku harus memberitahumu. Lalu Pamanku sakit, dan... yah, kamu tahu selanjutnya."

"Jadi," kataku setelah jeda sejenak untuk membiarkan semua ceritanya tercerna, "Sepertinya kamu sudah terjebak. Aku penasaran kenapa malam itu Ana mengajak Adrian datang ke sini, disaat dia cukup mampu mengemudi sendiri. Dia ga sedang emosi dan nyatanya saat datang dia sangat tenang. Ana hampir ga memperhatikan Adrian saat mereka ada di sini, jadi sebenarnya dia ga perlu ikut. Aku ingin tahu apa atau siapa yang memberinya ide untuk mengajak Adrian? Aku berani taruhan itu adalah Vivi. Saat kalian ngobrol bareng di pesta kantor, apa yang kalian bicarakan?"

Jenni tampak kaget, kesadaran berputar di otaknya.

"Ya Tuhan, aku sudah kena jebakan." Dia lalu mulai menirukan apa yang dikatakan Vivi dan Ana dengan kompak di pesta.

"'Apa kamu sama Adrian? Adrian laki-laki yang baik, ya kan Ana?'" Jenni mengulang.

"'Dia tampan, tapi aku kakaknya, jadi pendapatku mungkin bias. Adrian sangat baik, dan menurutku kalau ada seseorang yang membuat dia bisa mengatasi rasa malunya, dia akan jadi pasangan yang hebat. Dia sama sekali ga egois, dan dia diberkati dengan ‘peralatan’ yang besar.' Mereka berdua tertawa mendengarnya! Aku tanya padamu Errik, apa pantas komentar soal peralatan adikmu sendiri!"

"Yah, sebagai kakak perempuannya dia pasti pernah melihat kemaluan adiknya, jadi sepertinya dia ga bohong."

Jenni tersipu.

"Apa kamu pernah melihatnya?" Aku melanjutkan.

"BELUM!" dia kaget. Lalu melihat seringaiku, "Oh, kamu!" katanya, dan kekhawatiran hilang sejenak dari wajahnya.

Itu menegaskan apa yang harus kulakukan. Aku ga suka ide itu tapi itu harus dilakukan. Jenni pantas mendapatkan Adrian. Aku bersyukur memilikinya, tapi hubungan kami itu lebih banyak seperti orang tua / anak dalam beberapa hal. Aku sudah menyadari itu sebelumnya tapi dengan egois menenggelamkannya dalam pikiranku sendiri. Jenni sekarang sudah nyaman dengan dirinya dan hubungannya dengan lawan jenis, dia cantik dan menarik. Sudah tiba waktunya untuk melanjutkan hidup tanpa dia dan melepaskan dia pergi.

"Yah, meskipun kamu mungkin sudah terkena jebakan, tapi menurutku ternyata hasilnya sangat baik buatmu. Adrian akan cocok untukmu dan sebaliknya kamu untuk dia. Jadi Jenni, sudah waktunya kita berpisah sebagai kekasih."

"Maksud kamu apa?" dia tampak khawatir.

Aku menatapnya. Dia gadis yang cerdas dan dia melihat maksudku dalam pandanganku.

"Ga mungkin!" dia berteriak sungguhan. "Aku ga akan dipermainkan dan dijebak oleh Ana, atau Vivi, atau siapa pun! Aku tetap bersamamu."

"Tidak," kataku dengan sedikit sabar. "Dengar, ga masalah seandainya kamu memang dijebak untuk tujuan lain, itu membuatmu bertemu dengan pria yang benar-benar bisa bikin kamu jatuh cinta. Jangan lewatkan kesempatan itu. Aku melihat Adrian menatapmu saat pertama kali bertemu di rumah sehari setelah aku merusak pernikahan Ana, dan aku melihat caramu memandangnya. "

"Tapi kamu bagaimana?"

"Hubungan kita selama ini baik tapi kamu tahu dari dulu itu cuma sementara, kan? Kita memang baru bersama selama beberapa bulan, tapi ini benar-benar waktunya untuk kamu pergi. Mulailah dari awal."

"Tapi kamu?" dia mengulangi dengan lebih keras.

"Aku punya banyak hal untuk menyibukkan diri. Aku juga harus menjalani hidupku sendiri. Aku ga tahu kemana akan melangkah, tapi aku tetap harus menjalaninya dengan apapun yang masih kupunya."

"Errik, sayangku. Belum saatnya. Please?"

"Jenni, kamu sudah membohongiku."

"Tolong Errik. Aku ga akan melakukannya lagi."

"Jadi, apa yang kamu mau, Jenni?"

"Aku menginginkan kamu sedikit lebih lama. Aku masih butuh cinta darimu. Cuma untuk sebentar saja, boleh kan?"

Aku berpikir. Dia belum berhubungan seks dengan Adrian. Dalam bentuk apa pun. Dia sudah merahasiakan hubungannya dengan Adrian dariku agar ga menyakitiku. Oke. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku ga perlu melepaskannya dulu. Egois? Memang iya!

"Aku punya syarat," kataku.

Dia menegakkan posisi duduknya untuk mendengarkan dengan baik.

"Adrian menyukaimu. Dia akan mencoba untuk menemuimu bahkan kalau dia tahu dia sudah dijodohkan, kamu adalah kesempatan yang terlalu bagus untuk dilewatkan. Syarat pertamaku adalah kamu akan tetap memberi kesempatan padanya untuk memperjuangkan hubungan kalian."

Dia mengerutkan kening.

"Ayolah Jenni, kamu juga menyukainya sama seperti dia menyukaimu."

Dia ragu-ragu, lalu mengangguk.

"Syarat kedua. Kamu membiarkan semua berjalan dengan sendirinya. Kamu ga akan menunda-nunda saat kamu merasa sudah siap untuk membawa hubungan kalian ke tahap selanjutnya, termasuk secara seksual,” Aku menyeringai saat memberikan penegasan, Jenni memerah lagi.

“Saat itu terjadi, kamu harus memberitahu aku dan saat itu juga hubungan spesial kita harus berhenti dan kamu sepernuhnya setia pada komitmen hubunganmu dengan dia. Kamu harus janji melakukan semua itu."

Dia memikirkan syarat dariku, lalu dia mengucapkannya lagi perlahan untuk memastikan dia mengerti. Lalu dia setuju.

"Errik, kita saling mencintai, bukan? Kenapa harus melakukan ini?"

"Kamu punya kesempatan untuk mendapatkan pasangan yang sepadan dan kamu harus mengambilnya. Hubungan kita baik tapi ada perbedaan usia, dan kamu sudah terlalu mengandalkan aku dalam hubungan ini sehingga membuat hubungan kita ga sehat. Kamu ga butuh itu lagi, seperti yang kamu bilang sebelumnya, saat kamu memaafkan Pamanmu, kamu sudah bebas kamu ga butuh dukungan atau perlindungan semacam itu lagi dariku."

"Jadi malam ini aku masih boleh menginap? Kita masih bisa tidur bareng?"

"Tentu. Sampai kalian punya komitmen bersama, kita bisa melanjutkan seperti sebelumnya."

Aku yakin saat itu ga akan lama lagi kan tiba.

Dalam hati aku merasa percakapan kami aneh tapi nyata, bentuk hubungan apa yang barusan kusarankan pada Jenni, aku sendiri belum bisa percaya.

Kami berjalan ke kamar dan menanggalkan pakaian kami lalu naik ke tempat tidur, tapi ada perasaan ga nyaman, ada jarak di antara kami. Aku berbaring di tengah tempat tidur dan dia diatasku, mulai memberikan ciuman yang seakan ragu, meraih penisku, yang ga bergerak, lalu bergerak kebawah, dan memasukkan kemaluanku dalam mulutnya, berusaha membuatnya bereaksi. Aku merasa ada yang salah, jadi aku mendorongnya menjauh dan melihat dia menangis.

"Jenni, Jenni! Tenang. Apa kamu cinta aku?"

Dia mengangguk, air mata mengalir di pipinya.

"Aku juga cinta kamu. Cinta berarti saling membahagiakan satu sama lain, dalam jangka panjang. Kita masih akan bersama sampai kamu siap membuka lembaran baru bersama Adrian. Tenang saja. Ayo kemarilah, berbaring saja di sini bersamaku. Peluk aku."

Dia menurut dan aku merasakan tubuhnya rileks. Dia memelukku erat dan kami berciuman dengan lebih lembut. Lalu, perlahan, tanpa sadar dan terjadi begitu saja kami mulai membelai tubuh satu sama lain. Ciuman dan belaian lagi. Jari-jariku menjelajah ke kelaminnya dan sekali lagi terjadi begitu saja bergerak naik turun sepanjang celahnya dengan lembut. Dia mulai menggeliat perlahan seiring bangkitnya gairah di tubuhnya karena gerakan jariku yang berirama. Ga butuh waktu lama sampai dia menunjukkan tanda-tanda hampir orgasme, nafasnya terengah-engah dan ada banyak desahan. Aku melanjutkan dengan ritme yang sama sampai dia mengerang, dan akhirnya tubuhnya rileks sepenuhnya.

Sekarang setidaknya dia lebih tenang karena kabut pasca orgasme masuk menyelimutinya, dan sebelum dia benar-benar pulih, dia tertidur. Aku pikir akumulasi dari beban yang dibawanya belakangan ini sudah mencapai puncaknya hari ini. Pertemuan dengan pamannya, kematian pamannya, hubungannya dengan Adrian, dan rasa bersalahnya semua menumpuk dan saat sebagian beban itu terlepas hari ini, dia lebih lega, dan aku lebih baik membiarkannya beristirahat.


Senin pagi kami bangun kesiangan, Jenni meminta maaf selama kami sarapan karena dia sudah ketiduran tanpa memuaskan aku, sampai aku harus berteriak padanya agar dia berhenti meminta maaf.

"Aku akan tebus malam ini!" dia menegaskan ulang dan terkikik dengan tawa yang sangat mesum, sebelum dia pergi untuk menyelesaikan urusan almarhum pamannya.

Aku pergi ke kantor, dan setelah makan siang aku menelepon Vivi dan bilang padanya dengan tegas bahwa aku benar-benar muak dengan dia yang suka ikut campur dalam urusanku dan sementara ini aku juga ga mau bertemu dengannya. Dia mulai memakai pembelaan 'hanya mencoba membantu' seperti biasa dan juga harapannya agar Ana bisa jadi pasanganku yang sesungguhnya sekarang karena Jenni sudah ga ada di masa depanku. Aku menutup telepon.

Aku menelepon Alfon, menceritakan apa yang kukatakan pada Vivi, alasan aku mengatakannya, dan respon dari Vivi.

"Tobat!" serunya. "Aku sudah sering bilang padanya untuk berhenti mencampuri urusan orang lain tapi dia terlalu keras kepala dan selalu mencoba untuk mendorong orang lain bergerak kedepan disaat mereka sebenarnya cuma butuh istirahat sebentar. Tapi, apa aku boleh menganggap ga ada masalah dia antara kita dan pertemuan ‘kuartet’ hari Jumat tetap sesuai rencana?"

"Oh ya. Ga ada masalah denganmu, sobat lama. Ngomong-ngomong apa sudah ada informasi tentang alamat Linda Firmanto?"

"Belum, tapi aku pasti bisa dapat alamatnya paling lambat hari Jumat. Oh ya, apa Jenni sudah cerita soal ‘kemeriahan’ rumahku minggu lalu?"

"Ya dia sempat cerita. Apa kamu bisa memahami perilaku Ana? Aku ga bisa."

"Sama," katanya. "Sudah pasti bukan begitu cara kalau dia masih berharap kamu mau kembali padanya."

Dia diam sejenak. "Apa hukuman untuk Vivi ini berlaku seterusnya?"

"Ya tentu tidak!" Aku tertawa. "Tapi dia harus belajar bahwa aku punya kehidupanku sendiri dan aku sama sekali ga suka campur tangannya, yang kali ini berhasil, untuk memisahkan aku dengan Jenni."

"Jadi Jenni serius dengan Adrian?"

"Ya!"

"Gimana perasaanmu soal itu?"

"Belum tahu pasti, tapi kami baru bersama sekitar dua bulan. Hubungan kami bagus, sayangnya sekarang sudah hampir berakhir."

"Maaf Errik."

"Ga perlu begitu. Aku punya dua gadis luar biasa yang sudah mau mendampingiku menjalani masa penyembuhanku yang panjang, paling tidak aku sudah punya rasa percaya diri yang bagus. Sekarang, mungkin ada baiknya aku belajar lebih mandiri."

Kata-kataku pasti terdengar begitu optimis, tapi sejujurnya aku ga merasa seperti itu, apa mungkin akan ada masalah dengan Jenni di kantor. Bagaimana kami bisa bekerja sama dengan baik saat hubungan kami resmi berakhir dan dia mulai dengan Adrian?

Sorenya saat aku sampai di apartment, Jenni sudah ada di sana menyiapkan makan malam untuk kami, semacam pasta yang aromanya enak. Setelah itu kami duduk berdua di sofa.

"Sepertinya sih lancar," katanya menjawab pertanyaanku tentang urusannya hari itu. "Aku tergoda untuk menuliskan ‘Pemeras dan Pemerkosa' di kolom 'Pekerjaan' saat mengurus sertifikat kematiannya." Dia tertawa.

"Kenyataan kamu bercanda soal itu artinya kamu sudah bebas sepenuhnya dari pengaruh perbuatannya padamu, betul kan?"

"Berkat bantuanmu, cintaku, terima kasih." Dia mengatakan itu lalu mengangkat lenganku, agar bisa meringkuk memelukku.

"Dan juga bebas untuk memulai hubungan baru dengan orang lain saat kamu siap," kataku dengan tenang dan lembut.

Dia diam.

"Kamu sudah siap kok, kamu juga tahu itu," aku bersikeras.

"Aku takut," katanya. Aku menunggu.

"Denganmu aku tahu aku akan aman, tapi Adrian..."

"Jenni, sayangku," bisikku, "Kamu sudah dengar apa yang orang-orang bilang tentang dia dan kamu sendiri sudah beberapa kali pergi dengan Adrian. Dia punya dua orang saudara perempuan, satu kakak dan satu adik, tapi nyatanya dia adalah orang yang pemalu soal urusan wanita dan dia tetap memberanikan diri untuk mengajakmu keluar, kamu harus menghargai keberaniannya melawan penampilan yang pemalu itu. Kamu tahu sebuah pesawat akan lebih aman saat terparkir di bandara, tapi bukan untuk itu dia diciptakan, dia harus terbang untuk memenuhi takdirnya."

"Tapi apa hubungan kami akan berhasil?"

"Astaga, Nak, ga ada yang tahu soal itu pada awalnya. Kalian yang harus berusaha membuatnya berhasil. Kamu tahu itu."

"Terus Ana gimana?"

"Kenapa dengan Ana?" Aku bertanya balik.

"Maksudku, kamu dan dia--"

"Itu ga akan terjadi. Setidaknya dalam waktu dekat."

"Tapi Vivi bilang--"

"Ya, Vivi bilang kalau kamu meninggalkan aku, aku akan kembali bersama Ana. Seperti yang kamu bilang sendiri, Vivi orang yang suka ikut campur dan bukan berarti dia benar. Dia sudah bekerja keras untuk menjauhkanmu dariku selama, entah sudah berapa lama dan dia berhasil."

Ada keheningan diantara kami.

"Seperti yang kubilang sebelumnya," kataku dengan sabar. "Hanya karena dia menjebakmu dengan perjodohan itu, bukan berarti Adrian ga cocok untukmu."

"Oke," katanya, tiba-tiba terdengar tenang. Dia selalu seperti itu, begitu sudah membuat keputusan, keraguan hilang begitu saja.

Kami berciuman, dengan lembut dan penuh cinta, saling menatap mata dan menemukan cinta pada pandangan kami. Kami berciuman lagi dan kali ini matanya terpejam, dan tak lama kemudian begitu juga mataku. Ga ada gerakan yang terburu-buru dan intensitas belaian kami bertambah dan berkurang secara bertahap, ada kalanya diantara semua itu kami hanya duduk diam berpelukan satu sama lain, tapi lama-kelamaan tanpa sadar aku sudah berbaring di sofa dan dia membungkuk di atasku.

Dia menegakkan tubuhnya dan memegang ujung kausnya lalu secara perlahan mengangkat kain itu keatas kepalanya. Ada momen spesial dalam gerakan seperti itu saat wajah wanita terkubur di dalam kaus dan tubuh bagian atasnya terbuka. Dia ga bisa melihat apa-apa dan itu membuatnya merasa seksi dan pada saat yang sama rentan. Dia sengaja berlama-lama untuk beberapa saat, seolah-olah untuk menunjukkan kepasrahannya kepadaku, sebelum melanjutkan gerakannya melepas kausnya dan menjatuhkannya ke lantai. Dia tersenyum. Dia tahu apa yang sudah dia lakukan dan apa yang akan dia lakukan.

Bra itu berwarna hijau muda, mendorong payudara mungilnya keatas, menciptakan efek indah pada belahan dadanya. Aku menatap kesana dan dia tampak puas saat dia tahu arah pandanganku. Dia bangkit berdiri dan aku duduk. Dia membuka kancing di celana panjangnya dan perlahan-lahan menarik ritsletingnya kebawah. Celana panjang itu jatuh ke lantai, memperlihatkan celana dalam berenda dengan warna yang serasi dengan bra-nya. Dia mengambil celana panjangnya dari lantai dan berbalik, melipatnya dan membungkuk untuk meletakkannya di kursi, cukup sadar bahwa saat dia melakukan itu, pantatnya terekspos ke arahku, bongkah pantatnya mengintip dari bawah renda, dan celah kemaluannya setengah tersembunyi oleh kain tipis transparan yang menempel rapat.

Aku berusaha untuk bangkit tapi dengan cepat dia berbalik dan mendorongku kembali duduk, lalu dia berlutut di depanku dan perlahan membuka kancing kemejaku satu persatu. Dia tersenyum, mendorong pakaian dari pundak aku dan menjejakkan jari-jarinya di dadaku, menelusuri bekas lukaku seperti yang sering dia lakukan.

Setelah itu dia membuka ritsleting celanaku, aku mengangkat pinggulku agar dia bisa melepas keduanya, dan tanpa menunggu lama dia melepas kedua celanaku sekaligus. Dia menarikku merosot ke ujung sofa dan mendorong kakiku terbuka, lalu menempatkan diri di tengah dan membungkuk ke depan untuk memasukkan penisku ke dalam mulutnya.

Dia ga terlalu ahli melakukan oral seks dan belum pernah memasukkan penisku terlalu dalam ke mulutnya, tapi bagiku kombinasi mulut dan tangannya sudah cukup. Lidahnya melakukan sihirnya di bagian bawah kepala penisku, mulutnya, menutup kepala penisku dan dengan lembut menekannya ke langit-langit mulutnya membuatku mendesah senang sementara jari-jarinya menyelinap di antara pahaku dan membelai dengan sentuhan paling ringan di sekitar kemaluanku. Mataku tertuju ke pemandangan payudaranya yang terdorong ke atas saat dia menarik mulutnya hampir lepas dari penisku, dan punggungnya yang indah dengan lekuk yang menawan, saat dia mendorong lagi ke bawah.

Tidak butuh waktu lama bagiku.

"Aku sampai," erangku yang ga ada gunanya, karena dia terus menganggukkan kepalanya di atas kemaluanku dengan kecepatan tetap sampai aku berteriak karena intensitasnya, dan ejakulasi ke dalam mulutnya.

Dia tahu betapa sensitifnya penisku setelah mengalami orgasme, jadi dia mengendurkan cengkeramannya di kepala penis aku, membuka bibirnya sedikit dan membuat sebagian air maniku keluar. Dia segera menelan sisanya, dan menjilat bibirnya sampai bersih.

Dia duduk pada tumitnya dengan ekspresi sombong di wajahnya. Aku membalasnya dengan senyum penuh kepuasan padanya dan dia lalu mencondongkan tubuhnya ke depan lagi dan menempelkan pipinya di pahaku, sambil jarinya bermain dengan kemaluanku yang lembek, sementara aku sendiri membelai rambut dan punggungnya, menikmati pemandangan ketelanjangan dan pantatnya yang nyaris ga tertutup, dan payudaranya yang masih tertutup bra menekan kakiku.

Sampai akhirnya aku bangkit dan berkata, "Giliranku,"

"Kamu sudah dapat giliran kemarin malam," gumamnya di pahaku.

"Pakai tangan. Sekarang aku punya rencana lain."

"Temanmu di bawah sini masih tidur."

"Aku masih ada rencana lain," dan aku mendorongnya menjauh.

"Duduk di sofa," kataku dan mengatur posisinya di tepi sofa, kali ini aku yang di lantai, wajahku sejajar dengan selangkangannya. Aku menyelipkan tanganku di pinggangnya dan dengan perlahan mulai menarik celana dalamnya ke bawah, dia mengangkat pantatnya untuk membantuku.

Menarik lepas celana dalam wanita adalah sesuatu yang sangat erotis. Ini seperti membuatnya terbuka untuk kegiatan secara seksual, dan saat dia dengan rela pertahanan terakhirnya dilepas, dia secara implisit menyetujui pasangannya untuk berbuat lebih jauh, menjelajah lebih dalam. Jadi paling tepat kalau dilakukan secara perlahan dan dinikmati oleh kedua orang yang terlibat.

Aku merasa kain tipis itu tertahan bongkahan pantatnya dan kemudian meluncur lepas karena tarikanku, dan setelah itu aku bisa melihat pemandangan kemaluannya muncul secara bertahap, tempat rahasia di mana hanya kekasih sejati yang diijinkan melihat. Gerakanku terus berlanjut menuruni pahanya, matanya terpejam saat dia merasakan kain segitiga itu meninggalkan tubuhnya tanpa perlindungan dan penutup.

Jenni membuka pahanya lebar-lebar saat dia berbaring, setengah pantatnya tergantung di tepi sofa. Sekarang aku punya banyak waktu dan dalam posisi nyaman untuk menyenangkannya semalaman kalau perlu. Jadi jari, telapak tangan, bibir, gigi dan lidah semuanya ikut bermain saat aku dengan sengaja menggoda, menjilat dan menggigit bibir vaginanya, sementara jari-jariku bergerak ringan di atas anus dan celah horizontal pantatnya.

Dia tahu rutinitas yang sering kulakukan disana, dan tetap diam sebisa mungkin untuk menikmati sensasi yang kutimbulkan. Dia tahu bahwa seperti biasanya lama-kelamaan dia ga akan bisa menahan diri dan mulai menggoyangkan pinggulnya sendiri sebagai undangan bagiku untuk masuk lebih dalam ke lipatan vaginanya yang indah. Ada desahan dan sedikit teriakan bernada tinggi dan memang ga lama kemudian dia mulai bergerak sendiri, menuntut lebih.

Aku merentangkan bibir luarnya dengan jari-jari, membiarkan lidahku bergerak dengan sangat lambat ke atas dan ke bawah setiap sisi lipatan bagian dalam. Setiap pejantan yang suka menyenangkan wanita dengan foreplay fantastis tahu untuk menghindari bagian klitoris selama mungkin, dan juga tahu untuk ga menusuk vaginanya dengan jari-jari sampai dia dengan jelas memohon tanpa kata-kata untuk diserang. Jadi pergerakan lidahku hanya sepanjang bibir dalam dan luar, dan bergerak ke anus lalu kembali lagi, sesekali menyentuh bagian tengah kemaluannya tapi berhenti sebelum mencapai klitoris.

Segera pinggulnya bergerak dengan liar. Dia tahu dari kebiasaanku bahwa lebih baik dia ga sampai mendorong kepalaku ke tempat yang diinginkannya. Aku akan langsung berhenti sampai dia melepaskan tangannya. Tapi aku tahu akan tiba saatnya dia ga akan bisa menahan diri lagi.

Dia menyentuh kepalaku, hanya itu, tanpa mendorong, tapi aku tetap berhenti.

"Tolong!" dia mengerang, "Tolong Errik! Jangan mengodaku lagi." Lalu dia segera menarik tangannya.

Aku memulai gerakan yang dia tahu akhirnya akan jadi sentuhan pertama lidahku di klitorisnya. Aku mulai dari anusnya, sambil mengulurkan tangan ke payudaranya, dan menemukan tangannya sudah ada di sana mendahuluiku. Aku lalu menyusupkan tanganku ke bawah bra-nya untuk menangkup bukit kecil yang kenyal dibaliknya. Sekarang dia benar-benar lepas kendali, mendengus dan mengerang dan menggeliat. Lidahku merayap semakin pelan, sampai aku mencapai titik di mana aku bisa merasakan pangkal dari klitorisnya, lalu aku berhenti.

"Argh!" dia berteriak karena frustasi. Sebelum dia sempat protes, aku menyapu klitorisnya dengan lidahku. Dia orgasme dengan suara melolong, mengejang dan berteriak. Aku menyelipkan dua jari ke dalam vaginanya, mendorong keluar masuk sampai getaran tubuhnya mereda.

Penisku jadi keras lagi melihat ekspresi wajahnya saat orgasme. Dia melihatnya dan menarikku bangkit. Dia lalu meraih pantatku dan menarikku ke arahnya. Aku tahu apa yang dia mau, jadi aku mengangkat kakinya ke atas bahuku dan tangannya meraih penisku, mengarahkannya ke lubang dan kemudian menarikku memasukinya. Sekarang adalah waktunya untuk mendorong dengan kencang dan cepat, bolaku memukul lubang anusnya. Dia mendengus dan mengerang untuk memberiku semangat, menginginkan aku bergerak lebih keras dan lebih cepat sampai dia mulai menjerit saat orgasme kedua menggulungnya.

"Terus! Jangan berhenti!" Teriaknya saat aku menggodanya dengan berhenti setengah jalan, "Tolong jangan berhenti!" dia mendorong pinggulnya sendiri maju mundur ga ingin kenikmatannya terhenti begitu saja. Aku menurut sampai sekali lagi dia mencapai puncak kenikmatan dan secara bertahap orgasmenya mulai mereda lagi. Aku belum dapat.

"Biar aku berbaring," katanya, dan aku melepaskan diri darinya. Dia bergeser untuk berbaring di sofa dan membuka kedua kakinya lebar-lebar untukku, satu dinaikkan di sandaran sofa dan yang lainnya menjuntai ke lantai.

"Pelan-pelan." Dia berkata dengan lemas, dan aku mendorong penisku masuk. Dia tersenyum saat aku mengerakkan penisku dengan lembut di dalamnya selama beberapa menit.

"Oke, sayangku," bisiknya, "Lakukan sekarang."

Aku mempercepat gerakan tapi tetap lembut. Saat aku merasakan orgasmeku tiba, aku melambat dan membiarkannya mereda, lalu mempercepat lagi sampai hampir mencapai batas, sebelum mundur. Dia melihat ekspresiku saat berusaha menahan agar ga cepat orgasme, ide nakal melintas di wajahnya. Dia mencoba mendorong pinggulnya sendiri, yang menyulitkan usahaku. Jadi aku memegang kedua pergelangan tangannya keatas kepalanya dengan satu tangan dan menimpakan berat badanku padanya. Dia ga bisa melawan, menyerah, tersenyum dan berbaring pasrah membiarkanku mengatur ritme persetubuhan kami.

Tapi aku tetap saja ga bisa bertahan lama dan mulai bergerak lagi lebih cepat, membuat tusukan yang semakin dalam sampai aku mencapai klimaksku yang luar biasa nikmat, menghilang dalam duniaku sendiri.

Lalu segera disadarkan oleh suaranya.

"Terusin!" dia memohon, jadi aku bergerak semampuku dan dia orgasme lagi, ga sedahsyat sebelumnya, tapi ekspresinya menunjukkan kepuasan penuh.

Setelahnya kami berdua rileks, kehabisan tenaga. Dia bergeser ke samping, memberiku ruang untuk berbaring telentang dan menariknya dalam pelukanku. Dia meraih remote radio di meja dan menemukan musik yang menenangkan. Ga ada yang perlu dikatakan. Hidup terasa sempurna pada saat itu, setengah jam itu, berpelukan berdua.

Sayangnya, kami harus kembali ke kenyataan pahit, saat kami bersiap untuk menyambut hari berikutnya. Kami duduk lalu bangkit dan bergandengan tangan ke kamar tidur. Apa ada seks lagi? Ga mungkin! Aku sudah umur empat puluh tahun, dan ga punya stamina sehebat itu, jadi dua kali orgasme sudah cukup bagiku, begitu pula bagi Jenni. Jadi kami saling berpelukan di ranjang dengan ciuman dan belaian lembut, lalu tidur.

Saat sarapan dia kelihatan sedikit gelisah. Sepertinya aku tahu kenapa.

"Malam ini ketemu Adrian?" Aku memberanikan diri bertanya. Dia kelihatan kaget.

"Um.. Ya, apa kamu keberatan?"

"Setelah semua pembicaraan kita kamu masih tanya lagi? Sudah tentu aku ga keberatan. Lakukan saja!"

Dia tampak lega, "Aku pikir setelah tadi malam ..."

"Kamu harus mengajarinya, tahu. Orgasme yang kamu dapat semalam akibat latihanku dari Tris!"

"Terima kasih, Tris!" katanya sambil tertawa.

Semua ketegangan akibat hubungan nya dengan Adrian sudah hilang dan, aku merasa damai. Aku percaya aku sudah melakukan hal yang benar.

Suasana tegang pada hubungan dengan Jenni menghilang, tapi ketegangan dengan Ana masih ada.

"Apa kamu akan kerumah Ana malam ini?" Pertanyaan santai dari Jenni setelah kami tiba di kantor.

"Ya Tuhan! Aku lupa aku janji akan menelepon dia untuk ketemu minggu ini."

“Nah, lebih baik kamu telepon sekarang," balasnya. Aku menjulurkan lidah padanya, dan dia tertawa, tapi aku melakukan apa yang dia bilang.

Aku menelepon Ana di kantornya dan membuat jadwal untuk makan malam tiga hari kedepan.

Tapi, setelah aku menutup telepon, aku ingat lagi soal laporan Jimmy saat Ana masih menemui Hadi. Aku ga tahu apa aku sekarang masih bisa mempercayai kata-katanya. Aku perlu waktu untuk menemui mantan istri Hadi dan memastikan beberapa fakta terlebih dulu.

Jadi Selasa malam aku datang tepat pada waktu makan malam. Aku memarkir mobil dan sedang berjalan ke pintu depan saat aku melihat nyonya rumah tetangga sebelah yang pernah menemui aku dan Tris saat pertama kali kembali ke Serpong, dan aku menyapanya.

"Aku sangat senang keluargamu kembali ke sini," katanya dengan suara gemetar, "Dan bahkan lebih senang kamu sudah kembali, meskipun aku ngeri membayangkan apa yang sudah kamu alami."

Aku ga bilang padanya bahwa kami bukan lagi satu keluarga utuh seperti yang dia kira, dan dia terus mengobrol, perutku keroncongan karena lapar,

"Berbeda sekali saat keluarga kalian ga ada disini. Aku dan suamiku sudah terlalu hafal dengan rutinitas kalian sekeluarga. Kamu berangkat kerja pagi-pagi, anak-anak ke sekolah, dan setelah itu adik laki-laki Ana, atau sepupunya, datang berkunjung di siang hari. Aku senang bisa melihat kegiatan kalian lagi meskipun kami belum melihat adik Ana lagi sejak kalian kembali, tapi mungkin karena Ana sekarang kerja."

Aku bingung dengan kata-katanya.

"Adiknya?" Aku bertanya.

"Atau sepupunya, dia yang punya mobil besar itu."

Sekarang aku semakin bingung. Adrian punya mobil city car kecil, dia selalu bilang dia belum butuh mobil keluarga lebih besar karena dia belum punya keluarga. Aku juga ga tahu Ana punya sepupu laki-laki.

"Apa dia sering datang?" Aku bertanya lagi. "Maaf, ingatanku ga terlalu bagus sejak kejadian itu."

"Oh, biasanya sekali atau dua kali seminggu. Astaga! Mungkin itu sudah empat tahun yang lalu ya? Cepat sekali waktu berlalu. Sepertinya sebelum Ana mulai kerja, saat dia di masih di rumah dengan anak-anak. Eh, bukan, anak-anak pasti masih di sekolah saat dia biasanya datang."

Aku menenangkan diri dengan cepat. "Menurutmu, apa suamimu bisa ingat jenis mobil apa yang dipakai sepupu Ana? Aku ga bisa menebak itu sepupu yang mana." Aku berharap dia ga menyuruhku tanya ke Ana.

"Sebentar." Katanya dan berjalan ke dalam rumah. Dia keluar lagi dalam waktu singkat.

"Suamiku bilang mobilnya Land Cruiser, mobil kelas atas katanya, ga tahu apa artinya itu."

"Terima kasih, Bu," kataku, "Sepertinya sekarang aku sudah tahu siapa orang itu."

"Oh iya, suamiku bilang dia datang lagi minggu lalu, tapi naik mobil lain, BMW hitam? Dia cuma sebentar."

"Oh bagus," kataku. "Aku senang dia masih mengunjungi Ana."

Perasaanku sebenarnya sebaliknya. Aku tahu mobil-mobil yang dia sebutkan itu adalah milik Hadi. Bagian lain dari petunjuk tentang hubungan Ana dan Hadi sebelum 'kecelakaanku’.

Malam itu kami sepakat Ana akan datang ke apartmentku hari Minggu besok untuk pembicaraan pertama kami. Tapi selain itu ga ada banyak kesempatan aku bisa berdua dengan Ana karena adanya anak-anak, satu-satunya percakapan yang kami buat adalah sebagai berikut.


Hari Selasa:

"Jenni apa kabar?" Dia bertanya.

"Baik. Dia keluar dengan Adrian malam ini."

"Oh." Senyuman kepuasan muncul diwajahnya.


Hari Rabu:

"Ada masalah dengan Adrian?" Dia bertanya setelah Adrian pulang sehabis bicara denganku.

"Tidak ada."

"Oh." Pandangannya bertanya-tanya.


Pada hari Kamis:

"Ketemu Jenni malam ini?" Dia bertanya.

"Ya," jawabku, datar, tapi sepertinya pandangan mataku ga bisa berbohong.

"Oh." Pandangan matanya menunjukkan rasa simpati.


Alasan pertanyaan darinya di hari Rabu, adalah karena Adrian datang ke rumah setelah makan malam dan ingin bicara denganku. Dia terlihat jengkel. Aku mengajaknya ke ruang kerja.

"Jadi apa yang mau dibicarakan?" Aku bertanya sebagai pembuka.

"Bukankah sudah waktunya kamu melepaskan Jenni?" tanyanya, menurutku cukup agresif.

"Aku ga tahu kalau dia dipenjara," jawabku.

"Jangan becanda Errik, kamu tahu maksudku," katanya sambil mengerutkan kening.

"Adrian, dia wanita yang bebas dan mandiri. Dia melakukan apa yang dia mau. Kalau dia mau meninggalkan aku, dia bebas melakukannya."

"Kamu tahu dia merasa kamu bergantung padanya, kamu butuh dia."

Wah, ada kejutan. Aku merasa justru dia yang bergantung padaku!

"Adrian," kataku, mulai jengkel. "Apa maksudmu kamu mau memiliki Jenni untukmu?"

Dia kelihatan malu. "Umm.. Ya."

"Nah, apa yang menghalangimu? Bukan aku pastinya."

"Ga semudah itu dan kamu tahu itu."

"Oh ya? Apa yang sebenarnya aku tahu?"

"Ayolah Errik, dia kasihan padamu. Itu bikin dia ga mau meninggalkanmu."

Itu sesuatu yang baru lagi. Jenni mungkin mencintaiku, tapi kasihan? Aku ga merasa begitu.

"Omong kosong Adrian. Apa dia bilang begitu?"

"Tidak, tapi--"

"Ga ada tapi. Kalau kamu menginginkannya. Kejar dia. Jenni dan aku sama-sama tahu hubungan kami cuma sementara. Apa dia sudah cerita padamu soal awal hubungan kami?"

"Ya. Aku tahu semua soal Pamannya, dan soal Australia."

"Apa dia bilang aku sudah memanfaatkan keadaannya?"

"Ga sih. Dia bilang dia yang cenderung menyerahkan dirinya padamu."

"Cerita itu ga kedengaran seperti perilaku orang yang kasihan padaku, atau bahwa aku sudah memaksanya untuk menemaniku seumur hidup."

Ada keheningan.

"Adrian," aku memulai lagi. "Apa masalahnya dengan Jenni?"

"Rasanya kamu tahu," katanya sedih. "Aku ga terlalu berani dihadapan wanita."

"Bukan itu yang kudengar."

"Apa?"

"Ijinkan aku mengutip: ‘Mereka turun dari taksi dan berjalan bergandengan tangan melewati pekarangan, Jenni menyandarkan kepalanya di lengan pria itu. Di depan pintu masuk mereka berciuman agak lama sebelum membunyikan bel'"

"Apa? Kapan? Bagaimana?"

Aku menghentikannya. "Pergi bareng ke rumah Alfon dan Vivi minggu lalu, saat situasi aman karena aku sedang liburan dengan anak-anak? Ada yang mau kamu ceritakan soal itu?"

"Maaf, Errik." Dia tampak bersalah dan, menurutku, takut, "Aku ga punya hak--"

"Demi Tuhan, Adrian, apa aku kelihatan marah, terluka, dendam? Ada apa denganmu? Dari yang kudengar, Jenni benar-benar suka kamu, kalian punya hubungan yang baik: kalian bisa ngobrol panjang lebar berdua."

Keheningan lagi. Kali ini aku menunggu.

"Seumur hidupku, aku banyak ketemu wanita," katanya muram, "Keluar dengan mereka, dan saat aku ingin melangkah lebih jauh, aku selalu dapat jawaban 'Aku cuma menganggapmu sebagai teman, Adrian'"

"Jadi kamu takut kamu akan dapat jawaban yang sama dari Jenni?"

"Dia sangat cantik," katanya sedih, "Dia ga akan mau dengan laki-laki seperti aku."

"Adrian," kataku lembut, "Belajarlah membaca tanda-tanda darinya. Bagaimana cara dia memandangmu? Merespon ciumanmu?"

"Aku pernah mencoba melangkah lebih jauh dari.. ciuman dan dia bilang ketika dia bersamamu dia ga mau lebih dari itu. Jadi aku berhenti."

"Apa dia pernah bilang cuma menganggapmu sebagai teman?"

Dia sepertinya menyadari sesuatu. "Ga!"

Aku berusaha sabar, tapi dalam hal ini dia memang luar biasa bodoh

"Jadi dia menciummu, mengelayut di lenganmu, ngobrol denganmu berjam-jam, menceritakan kisah masa lalu pribadinya, dia ga pernah bilang kamu cuma 'teman baik', dan memakai kalimat 'ketika dia bersama Errik,' catat itu, Adrian, 'ketika'.”

Kepalanya tersentak. "Maksudmu?"

"Maksudku 'hati yang lemah ga pantas mendapatkan wanita cantik' Adrian. Apa ruginya kalau kamu mencoba?"

"Apa kamu mau bilang hubungan kalian sudah berakhir?"

"Aku ga bilang apa-apa, Adrian. Cari tahu sendiri," dan aku menatapnya sambil tersenyum.

Senyuman tersungging di wajahnya. Wah, dia lelet!

"Terima kasih Errik," katanya bernafas lega, "Kamu selalu jadi teman yang baik. Aku berharap kamu dan Ana--"

"Cukup, Adrian," bentakku. "Jangan kelewatan." Meskipun aku masih tersenyum saat memotongnya. Dia tahu lebih baik untuk ga melanjutkan.

Dia pergi, setelah menjabat tanganku dengan kuat.

Nah, Jenni, pikirku, sepertinya ini akhir dari hubungan kita.

Dan itu benar.

Hari Kamis dia melamun seharian dan aku tahu kenapa, tapi kantor bukan tempatnya untuk bicara.

Setelah aku pulang dari rumah Ana, dia datang ke apartment. Dia memintaku duduk.

"Errik?" dia berhenti.

"Sudah waktunya, bukan?" Kataku. "Kamu ketemu Adrian kemarin malam dan sekarang hubungan kalian sudah resmi."

Dia kelihatan lega.

"Ya," katanya. "Semalam dia seperti orang yang berbeda. Dia memintaku untuk jadi kekasihnya dan meninggalkanmu."

"Bagus," kataku. "Sudah waktunya. Dia ga terlalu beruntung soal wanita, dan dia merasa seseorang secantik kamu ga akan pernah meliriknya dua kali."

Dia bingung, "Kapan dia bilang begitu?"

"Tadi malam, sebelum dia menemuimu. Aku menyuruhnya untuk mencoba. Kamu harus terus meyakinkan dia, dia akan terus menerus merasa ga aman tentang kamu. Dia akan selalu merasa kamu akan meninggalkannya dengan laki-laki pertama yang berpapasan denganmu."

Dia melompat berdiri dan aku juga berdiri, saat dia melemparkan dirinya ke pelukanku.

"Kamu pria yang baik! Kamu menjebaknya, kan?"

"Yah ..." tapi aku ga bisa menjawab karena bibirnya menempel pada bibirku.

Saat kami akhirnya berpisah, dia menatap mataku.

"Terakhir kali?" dia bertanya. "Adrian dan aku belum..."

"Menurutku sebaliknya. Aku pernah bilang hubungan kita harus berakhir saat kalian sudah punya komitmen bersama.”

"Tapi--"

"Bukankah terakhir kali kita melakukan seks sudah cukup memuaskan? Mungkin daripada kita melakukan itu sekali lagi, kamu harus mulai memikirkan kapan akan melalukan itu pertama kali dengan Adrian." Aku menyeringai.

Dia diam, pipinya memerah, lalu dia mengangkat bahu dan sebuah senyuman muncul di wajahnya.

"Ya, kamu betul," dia kelihatan sedih. "Aku akan kangen kamu. Aku akan kangen wajahmu dan bekas lukamu. Aku akan kangen caramu bercinta. "

"Adrian akan memenuhinya untukmu. Tapi kamu harus melatihnya, dia ga punya banyak pengalaman dengan wanita, dan di sini aku bicara tentang seks."

"Terima kasih Errik." Dia mulai menangis. "Aku ga akan pernah lupa semua yang sudah kamu lakukan buatku."

Dia tersenyum di antara air mata yang mengalir di pipinya.

Jadi begitulah. Kami memasukkan beberapa barangnya yang ada disini ke dalam mobilnya dan kemudian setelah pelukan dan ciuman tulus, kami tiba di persimpangan jalan hidup kami, dia pergi dari hidupku selamanya, atau setidaknya dari kehidupan seksualku.

Aku membaca novel, tapi ga bisa fokus dan terus memikirkan Jenni. Hubungan kami selalu berjalan bagus. Aku merasakan kelegaan setelah jalan hubungan kami sekarang berada di persimpangan dan kami harus berpisah.

Tapi apartment itu terasa kosong. Aku sudah sering sendirian di sini, Jenni ga tinggal di sini, dan ga selalu ada di sini tiap hari, tapi ada perbedaan antara sendirian di apartmentku dan tahu ada seseorang di luar sana untukku, dan sendirian tanpa punya siapa pun di luar sana.

Mungkin itu yang dirasakan orang yang berduka saat mereka harus menerima kenyataan orang yang mereka cintai ga akan pernah kembali. Ini adalah pertama kalinya sejak aku bangun dari koma bahwa aku benar-benar sendirian di dunia ini.

Aku ga boleh merasa kesepian. Aku tahu aku punya teman. Kesendirian ini mungkin bagus untukku bisa banyak berpikir. Ini seperti satu tahap baru dalam pertumbuhan kembali. Aku punya anak-anak yang mencintai aku. Hidup itu indah, dan kuharap Jenni dan Adrian akan bahagia bersama, keduanya pantas untuk itu.

Dengan pemikiran ini aku naik ke tempat tidur dengan sebotol whiski dan novel di tanganku.



Bersambung... Bab XXIV
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd