Ada satu hal yang sejak beberapa waktu lalu ingin kulakukan. Yaitu membuntuti mereka saat pergi berdua. Untuk keperluan ini sepertinya kepergianku ke Australia beberapa saat lalu akan sangat membantu.
Entah kebetulan atau memang keberuntunganku atau mungkin memang sudah diatur oleh alam semesta, suami dari pensiunan pasangan yang menerimaku tinggal dulunya berprofesi sebagai aktor peran selain juga punya pengetahuan cukup dalam mengenai psikologi. Saat tinggal bersamanya, ia bercerita tentang banyak hal baik dari pengalamannya dulu maupun tentang pengetahuannya di bidang psikologi. Dari dialah aku belajar banyak tentang seni berakting, juga mengenai ekspresi wajah, mikro ekspresi, bahasa tubuh dan lain-lain. Tak hanya sekedar teori namun ia juga bisa langsung mempraktekkannya. Satu hal yang sangat membantu dalam kasusku sekarang mengamati kakakku dan Angga.
Selain itu ia juga mengajariku teknik bagaimana untuk terlihat seperti orang yang berbeda. Bukan berubah wajah total seperti di film Mission Impossible. Namun teknik mengubah penampilan sehingga orang yang melihat sekilas tak langsung mengenali diri kita.
Dengan bimbingannya aku bahkan sempat mempraktekkannya keluar. Saat itu aku ke grocery store (toko serba ada) dekat rumah untuk membeli bahan makanan untuk istrinya. Gadis penjaga toko itu dan ibunya mulanya tak mengenali diriku yang tampil agak berbeda. Padahal biasanya mereka selalu menyapaku dengan memanggil namaku karena aku cukup sering kesana membantu ibu kostku. Hanya setelah aku berbicara saja, mereka baru mengenaliku lalu kujelaskan kalau aku hanya iseng saja.
Sepertinya kemampuan itu cukup bermanfaat untuk keperluanku sekarang ini. Apalagi aku juga telah membeli beberapa asesoris untuk itu ditambah barang-barang lain yang sejak kedatanganku sampai sekarang kurahasiakan dari kakakku dan kusimpan di lemari yang terkunci dalam kamarku. Termasuk di antaranya adalah alat pelacak.
Kini semuanya telah siap. Aku telah beberapa kali berlatih di dalam kamar dan cukup puas dengan penampilan baruku yang terlihat lebih tua dan agak berbeda dengan sehari-hariku. Juga belakangan ini kakakku cukup royal dan tak terlalu ambil pusing dengan uang saku untukku. Mungkin ini sebagai “uang diam dan uang nurut” terhadap sikap kooperatifku selama ini. Sehingga aku juga punya dana cukup untuk membiayai kegiatan ini. Kini aku tinggal menunggu waktu yang tepat. Dan saat itu akhirnya datang juga. Malam itu kakakku dan Angga pergi berdua dengan mobil cowok itu yang sebelumnya telah kutempel alat kecil. Tak lama setelah mereka pergi, aku pun juga meninggalkan rumah dengan menggunakan jasa taksi online...
Di dalam tempat dugem papan atas...
Aku mengambil tempat di satu meja kosong di daerah yang tak dilalui banyak orang. Tak terlalu dekat dengan tempat mereka duduk. Namun dari sini aku bisa melihat kakakku dan Angga dengan cukup jelas. Mereka duduk berdua dengan masing-masing satu gelas minuman di depan mereka. Mereka terlihat menikmati suasana saat itu sambil beberapa kali mereka berbicara. Tentu aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
Saat itu bar-girl yang berkeliling untuk menerima order minuman dari meja ke meja kini mendatangiku dengan sikap yang sangat ramah kalau tak boleh dibilang agak genit. Aku memesan dua gelas bir. Tak lama kemudian pesananku datang. Kuberikan uang tip kepadanya yang rupanya membuatnya senang.
“Makasih Koko. Kalau butuh sesuatu yang lain, panggil Nia ya jangan yang lain,” bujuknya sambil mendekatkan tubuhnya ke diriku dan tangannya menyentuh bahuku. Kucium wangi parfumnya yang lembut.
“Ehmm, sebenarnya aku perlu teman sih. Agak kurang enak kalo sendirian. Temanku yang harusnya kesini ga bisa datang. Kamu kenal seseorang yang bisa menemaniku? Atau mungkin Nia mau menemani disini?” tanyaku sambil menyentuh balik tangan Nia yang berwajah manis ini.
Biar bagaimana pun aku adalah cowok normal. Dideketin dan diganjenin cewek manis seperti Nia begini membuatku sedikit sange juga.
“Nia lagi kerja, Koko. Mesti melayani para tamu yang akan pesan minuman. Jadi nggak bisa menemani Koko,” tolaknya dengan halus namun masih dengan sikap manja.
“Tapi Nia punya beberapa kenalan yang bisa menemani Koko disini,” katanya dengan memberikan kode yang tentu maksudnya adalah “ada uang ada jasa”.
“Ok, tapi aku ga butuh beberapa. Satu aja cukup kok,” kataku sambil memegang telapak tangannya, dan selembar uang kertas seketika berpindah tangan.
Nia melirik sekilas sebelum tangannya dimasukkan ke saku celana pendeknya. Seperti yang kuperkirakan, ia tersenyum sangat manis meski uang di tangannya hanya satu lembar.
“Koko sukanya yang gimana?”
“Ehmm, abis kamunya ga bisa, jadi ya yang mirip seperti kamu aja deh,” kataku sambil menatapnya lekat-lekat.
“Iihh Koko bisa aja,” tukasnya sambil tersipu lalu pamit meninggalkanku.
Aku tentu masih sadar apa tujuanku kemari. Namun duduk seorang diri di tempat seperti ini akan terlihat mencolok. Karena itu mau tak mau aku butuh seorang teman untuk kamuflase. Sekalian ngelaba dikit-dikit boleh donk hehe. Lagian tanggung juga kalo nggak.
Tak lama kemudian seorang gadis muda yang cukup manis dengan rambut panjang datang menghampiriku. “Sendirian aja nih, Mas?” tanyanya. Tubuhnya langsing dan proporsional. Kulitnya agak putih. Dadanya tak terlalu besar namun bagiku tak masalah. Secara keseluruhan ia termasuk cukup sexy dan menggairahkan.
“Iya nih, kecuali kamu mau menemaniku disini,” kataku pada gadis bergaun hitam terusan yang ketat dan agak pendek itu. Hmm, pilihan Nia lumayan juga batinku.
“Tentu aku mau, kalo Masnya bolehin aku duduk disini,” katanya.
“Untuk kamu tentu boleh donk,” kataku sambil menarik kursi kosong lebih dekat ke tempatku.
“Oya namaku Rani. Aku temannya Nia,” katanya setelah duduk.
“Rico.”
Kemudian kami berbicara, bercanda, tertawa, dan minum bersama... sambil tentunya sekian lembar kertas berpindah tangan pada saat itu. Di sela-sela itu, kulihat Nia melihat ke arahku seolah hendak memastikan kalau pilihannya sesuai dengan keinginanku. Aku melempar senyuman kepadanya yang dibalas dengan senyuman manisnya. Hmmm, Nia... someday somewhere somehow, mungkin aku akan mengajakmu kencan kalau kau terbuka untuk itu...
Kini perhatianku kembali pada gadis di sampingku ini. Duduk kami sangat berdekatan. Lengannya menempel di tubuhku. Tanganku meraba pangkal lengan satunya, menyentuh kulit halusnya yang tak tertutup oleh gaunnya. Bau harum parfum dan tubuhnya tercium jelas membuatku semakin terangsang. Apalagi sikap gadis ini cukup genit. Sepertinya ia telah terbiasa melayani tamu seperti ini dan cukup mahir. Sesekali ditempelkannya dadanya ke diriku. Membuatku bisa merasakan payudaranya yang meski tak terlalu besar namun terasa juga di balik gaun ketatnya. Tentu aku bukan orang berpengalaman untuk hal-hal begini. Namun sikapnya membuatku jadi semakin berani dan tak hanya sekedar duduk pasif saja. Tentu semua ini kulakukan dengan diam-diam dan tak terlalu vulgar sehingga tak sampai mengundang perhatian orang secara tak perlu.
Namun selama aku bersama dengan Rani dan menggrepe-grepenya sedikit-sedikit, aku tetap tak melupakan tujuan utamaku kemari. Disaat tanganku menempel di paha Rani yang tak tertutup oleh gaunnya, pandangan mataku tak lepas dari meja tempat Angga dan kakakku duduk. Saat aku bercanda sedikit jorok dengan gadis di dekatku sambil kusengaja lenganku kutempelkan di dadanya, kuperhatikan pula gerak-gerik mereka. Saat gadis ini menempelkan kepalanya di lenganku dan tanganku membelai-belai rambutnya, kuamati interaksi yang terjadi diantara mereka.
Suasana ruangan saat itu tentu agak gelap dan remang-remang. Ini menguntungkan bagiku sehingga tak mudah dikenali orang. Sementara hal itu tak menjadi masalah bagiku untuk melihat dari jarak agak jauh. Kacamata night vision berwarna yang kubeli dari Australia yang nampak mirip kacamata biasa sungguh membantu sekali. Dan kacamata itu kini terpasang di wajahku.
“Mau disko, Mas?” tanya Rani sambil memegang tangan dan pahaku.
“Ah, nggak. Disini aja. Kita bisa lebih santai disini,” jawabku sambil meraba lengan dan merasakan mulusnya kulit paha gadis itu. Bahkan sempat aku mencuri cium ke pipinya. Membuat gadis itu pura-pura protes namun tak menolak juga saat kulakukan lagi. Sementara di meja sana tak kulihat kemesraan yang ditunjukkan mereka berdua seperti saat di rumah.
Semakin malam musik semakin menghentak-hentak dengan keras. Sementara lampu berkilap-kilap sesekali menerangi ruangan gelap itu. Saat itu kulihat kakakku dan Angga turun ke floor. Mereka berdua terutama kakakku kini kulihat menggerakkan seluruh bagian tubuhnya mengikuti irama musik yang memekakkan telinga itu.
Aku termasuk orang dengan kemampuan visual tinggi yang mampu melihat keadaan sekeliling dengan detil lalu mengambil keputusan dengan cepat. Hal itu sungguh membantuku dalam banyak hal. Termasuk saat baru tiba tadi ketika aku memilih tempat dudukku yang sekarang ini. Meski posisinya agak di pinggir namun dari situ aku bisa mengawasi meja tempat mereka berada. Sebelumnya tadi, dari sekilas melihat interior ruangan aku punya firasat / spekulasi seandainya mereka turun melantai mereka tak akan datang dari depan namun dari sisi samping. Ternyata dugaanku tepat. Mereka berjalan menyisir ke sisi tempat mejaku berada lalu masuk ke lantai dan menempati ruang kosong disitu. Kini aku bisa melihat cukup jelas posisi kakakku dan Angga di lantai disko apalagi mejaku posisinya agak diatas lantai disko.
Kini aku tak perlu berpindah tempat untuk dapat mengamati mereka. Sementara mataku terfokus ke posisi tertentu di lantai disko, bagian tubuhku yang lain sibuk dengan gadis manis di pelukanku ini.
Kakakku memakai gaun terusan warna hijau yang menempel ketat di tubuhnya dan menunjukkan sebagian paha mulusnya. Pinggul dan payudaranya terlihat menonjol dibalik gaun hijaunya itu. Seperti biasa, penampilannya sungguh cantik memikat atau kalau ingin mengungkapkannya dengan bahasa lebih vulgar ia begitu sexy menggairahkan. Apalagi kini seluruh tubuhnya bergoyang dengan indah dan menyatu dengan setiap perubahan beat dan mood dari musik yang ada. Membuat aura sensualnya semakin terpancar dan semakin menggiurkan.
Saat itu musik berganti dengan lagu lama yang berjudul Dancing Queen. Sungguh sangat pas sekali menggambarkan diri Cie Stefany saat itu. Diantara sekian banyak orang di lantai disko, tak pelak lagi dia adalah The Dancing Queen dimana banyak mata tertuju kepadanya. Hanya bedanya, ia tak berusia 17 tahun namun telah berusia lebih matang dari itu yang membuat scene saat itu jadi lebih menarik.
Ooh
You can dance
You can jive
Having the time of your life
Ooh, see that girl
Watch that scene
Dig in the dancing queen
Cowok yang paling beruntung malam itu tentu tak lain lagi adalah Angga. Bahkan dengan jujur kuakui kalau aku juga merasa iri dengannya. Disaat semua laki-laki hanya bisa melihat dari kejauhan, disaat banyak yang terbangkitkan gairah birahinya melihat aksi Cie Stefany, hanya Angga satu-satunya cowok yang mendapat perhatiannya. Tanpa mempedulikan sekian banyak mata yang memandang, Cie Stefany terus berbicara, tersenyum, tertawa, bergoyang seirama, bahkan kadang saling berpegang tangan dengan cowok itu. Aku tak akan heran apabila ternyata di ruangan ini saja banyak laki-laki yang panas hatinya melihat keberuntungan cowok yang bisa membuat gadis sehebat itu terpikat dengannya.
“Ngelamunin apa Mas?” tiba-tiba Rani bertanya sambil menatapku. Ia tak melihat ke arah lantai disko sehingga tak mengetahui apa yang sedang kulihat. Namun rupanya ia bisa merasakan “ketidakhadiranku” meski saat ini aku sedang memeluknya. Hmm maafkan aku Rani. Bukannya aku tak menghargai dirimu. Namun memang aku tak seharusnya bersamamu disini. Batinku kepada gadis itu.
Tanpa disadari Rani, ucapannya itu mengingatkanku kembali akan tujuan utamaku kesini. Sehingga kini aku mampu mengatur kembali diriku dan melihat apa yang ingin kulihat dengan pendekatan logika bukan pendekatan perasaan. Sementara perasaan campur aduk yang ada pada diriku kini kutumpahkan kepada gadis ini.
“Nggak kok. Mikirin kamu aja, sayang,” kataku sambil memegang dagu Rani.
“Ah Mas bohong,” rajuknya. Hmm, satu pelajaran yang perlu terus kuingat... jangan sekali-kali meremehkan intuisi seorang wanita, siapapun itu termasuk orang yang secara emosional tak dekat dengan kita sekalipun. Aku yakin saat itu ia pun tahu kalau aku memikirkan perempuan lain.
“Ok, Ok.. mulai sekarang aku hanya fokus sama kamu doang,” kataku sambil memeluk erat Rani. Seluruh dadanya kini menempel di dadaku. Tanganku meraba-raba punggungnya yang tali belakang bra-nya terasa agak menonjol. Hmmm... Kucium rambut dan lehernya membuatku sesaat terlena dengan kenikmatan tubuh wanita. Saat itu pikiran dan perasaanku berada di dua dunia yang berbeda!
Hari mulai semakin larut...
Saat itu tiba-tiba suasana ruangan berubah drastis. Musik yang tadinya berirama menghentak-hentak kini mendadak merubah menjadi slow dan mellow. Tata lampu yang tadinya berkelap-kelip mengikuti irama musik yang rancak bana kini semuanya meredup. Lampu-lampu di langit-langit pun juga ikut meredup membuat seluruh isi ruangan jadi temaram bahkan kemudian menjadi gelap (mesti tak sampai gulita). Jarak pandang jadi sangat terbatas. Saat dimana kacamataku jadi semakin bermanfaat.
Kulihat sebagian orang yang tadinya memenuhi lantai disko kini kembali ke tempat duduknya. Namun bagi mereka yang tetap tinggal terutama yang berpasangan, kini interaksi keduanya jadi semakin romantis. Waktu untuk slow dance. Apalagi ruangan cukup gelap sehingga tetangga sebelah tak dapat melihat apa yang mereka lakukan, itu juga kalau tetangganya tak sedang sibuk sendiri.
Cie Stefany dan Angga termasuk mereka yang tetap tinggal di lantai dansa. Dapat ditebak, mereka berdua kini sedang berpelukan sambil kedua tubuh mereka bergerak mengikuti irama lagu slow itu. Mereka berpindah posisi agak ke tengah namun aku masih bisa melihat mereka dengan jelas.
Di tempat yang baru mereka terlihat semakin mesra. Cie Stefany menyandarkan kepalanya di tubuh Angga yang sedikit lebih tinggi darinya. Tubuhnya menempel di tubuh cowoknya itu. Payudaranya yang padat berisi menempel rapat di dada kekar Angga. Kedua tangan Cie Stefany memeluk leher Angga. Kedua tangan Angga masing-masing memegang punggung dan pinggang Cie Stefany. Mereka keduanya mengayunkan tubuhnya seiring irama dengan tubuh keduanya tetap saling melekat. Keduanya sama-sama tak ingin melepaskan diri.
Diriku saat itu juga ikut terbawa suasana. Kami berdua juga berdiri dan saling berpelukan erat. Bukan di lantai dansa namun masih di dekat meja kami. Rani kupeluk erat-erat. Kedua tanganku memegang punggung dan pinggang gadis itu. Kurasakan payudaranya yang menempel di dadaku. Bahkan sebagian pahanya juga menempel di pahaku. Kedua tangan Rani memeluk diriku. Sambil bergoyang mengikuti irama, aku meraba-raba sekujur punggungnya. Sementara tanganku satunya dengan nakal mulai meraba-raba pinggulnya yang cukup berisi. Rani merebahkan kepalanya di tubuhku. Membiarkan aku mencium wangi harum tubuhnya dan merasakan kehangatan dirinya.
“Oooh... Rani,” bisikku di dekat telinganya.
“Mas....,” bisiknya lirih.
Kulepaskan diriku darinya. Kupandangnya wajahnya sesaat. Lalu, kukecup bibirnya. Ia tak menolak. Ia memejamkan mata. Kucium bibirnya lagi. Kali ini kucium agak lama. Rani mendesah perlahan. Ia membalas ciumanku. Kami berciuman dengan hangat....sementara waktu serasa berhenti....
...seandainya saja tak kulihat apa yang kulihat di lantai dansa. Seolah tak mau kalah, saat itu kulihat kakakku mengecup bibir Angga. Kedua tangannya masih melingkar di leher cowok itu. Selanjutnya... keduanya kini saling berciuman bibir...
Bibir hangat Rani terasa nikmat sekali. Apalagi ia cukup lihai dengan teknik ciumannya. Dan kini lidahnya mulai ikut bermain-main dengan ujungnya menari-nari kesana-kemari di dalam mulutku. Membuat lidahku jadi ikut bermain juga. Bibir bertemu bibir. Lidah bertemu lidah. Membuat suara kedua mulut kami saling berkecipakan...
Sementara di bawah sana mereka berdua juga cukup seru berciuman. Apalagi kakakku terlihat begitu bernafsu. Sama seperti Rani yang di saat-saat awal mengambil inisiatif. Sampai akhirnya... cowok itu membalasnya dengan ciuman-ciuman penuh nafsu, membuat Cie Stefany jadi klepek-klepek. Ia kini seolah kehilangan tenaga dan pasrah saja membiarkan bibirnya diciumi oleh Angga. Bahkan tubuhnya menjadi agak tak terkendali sampai-sampai tanpa sadar tangannya yang menggapai-gapai di udara menyentuh pinggang laki-laki di sebelahnya yang saat itu sedang asyik berduaan dengan ceweknya.
Tahu kalau hal itu tak disengaja apalagi yang menyentuhnya adalah seorang gadis maka orang itu juga tak menarik panjang urusan. Sementara kedua pasangan itu masing-masing agak menjauh untuk menghindari hal yang sama terulang kembali.
Wah gila! Dari ciuman aja bisa bikin kakakku sampe klepek-klepek kayak mau orgasme! Membuatku tak mau kalah. Tanganku meraba dan meremas-remas payudara Rani. Lalu tanganku menyusup masuk ke belahan leher di gaunnya. Kurasakan payudaranya yang hangat. Kugerak-gerakkan jariku pada putingnya. “Uuh,” terdengar suara desah tertahan Rani.
Tangan halus Rani kini membalas dengan meraba-raba celanaku di bagian selangkanganku. Tangannya digesek-gesekkan ke batang penisku yang menegang kencang. Tanganku yang masih bebas kini menyusup masuk di balik gaunnya.. diantara kedua pahanya. Kuraba-raba pangkal pahanya yang terasa begitu mulus. Kumainkan jari-jariku di bagian vaginanya di balik celana dalamnya. Lalu, kususupkan tanganku masuk ke dalam cd-nya. Wow... ternyata bulunya cukup lebat! Sambil menciumi bibirnya tanpa ampun, satu tanganku terus bermain-main di payudaranya terutama bagian putingnya. Sementara tanganku yang lain di dalam cd-nya menggesek-gesek liang vaginanya. Rani membuka retsleting celanaku. Tangannya dimasukkan ke dalam lalu masuk juga ke dalam cd-ku. Tangannya kini menggenggam penisku secara langsung dan mulai mengocok-ngocok....
“Uughh..”
“Oohh..”
Kami berdua sama-sama mendesah...
Saat itu kulihat Angga memberi isyarat kepada kakakku. Sesaat kemudian mereka berdua berjalan meninggalkan lantai dansa dan menuju lift dengan Angga memeluk pinggang kakakku. Pada saat yang sama Rani membuka kancing bajuku paling atas lalu tangannya turun ingin membuka kancing berikutnya.
Aku terkesiap kaget. Karena dua hal itu. Aku akan kehilangan jejak mereka berdua. Sementara aksi Rani membuka kemejaku ini akan membongkar rahasia penyamaranku. Seketika aku meloloskan diriku darinya.
“Sebentar aku kembali,” kataku kepadanya singkat lalu aku berbalik meninggalkannya dengan mengancingkan retsleting celanaku dan menutup kancing atas bajuku. Sambil berjalan agak cepat aku menuju ke arah lift. Sempat kulihat lift yang dinaiki mereka berhenti di lantai 12. Aku menyusul naik ke lantai 12.
Ternyata, seluruh lantai itu isinya adalah kamar-kamar untuk check-in. Namun sosok mereka berdua telah hilang ke dalam. Aku tak yakin menanyakan tentang mereka berdua kepada resepsionis yang berjaga adalah ide yang baik. Aku turun lagi untuk mencari Rani. Selanjutnya aku akan check-in bersamanya. Sehingga aku bisa masuk ke dalam untuk mengamati mereka kembali sambil sekaligus mengeksekusi Rani yang telah membuatku “setengah jalan”. Paling tidak melakukan salah satunya kalau tak bisa keduanya.
Begitu turun ke bawah dan kembali ke tempatku, Rani tak ada disitu. Aku coba mencari melihat kesana kemari namun sosoknya tak dapat kutemukan. Hmm sepertinya ia marah dan harga dirinya tersinggung karena aku meninggalkannya secara mendadak, batinku dengan rasa bersalah. Aku coba mencari Nia namun juga tak ketemu. Mungkin jam kerjanya telah berakhir dan ia telah pulang.
Mendadak suasana terasa jadi kurang kondusif bagiku yang saat ini sedang menjadi orang lain. Seluruh lampu di langit-langit atas secara berangsur jadi semakin terang benderang. Membuatku jadi kurang pede dengan suasana baru ini. Apalagi sebelum ini aku berciuman dan saling menjamah wajah dengan Rani. Aku tak tahu bagaimana wajahku kini terlihat. Bisa jadi riasanku jadi amburadul dan terlihat aneh.
Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri petualanganku malam itu. Agak kentang memang, untuk keduanya.... baik mengenai urusan kakakku dan Angga maupun my fling with Rani.
Tapi paling tidak kini aku melihat perbedaan kontras saat kakakku dan Angga duduk di meja dimana terdapat banyak orang di sekitarnya dengan saat di lantai yang notabene lebih bersifat spontanitas apalagi saat suasana gelap yang semuanya jadi anonymous.