Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Mujin Eki [2019]

Bimabet
Top..
Untung Farida ga salah gelas....
Entah kebetulan atau tak di sengaja... 'waspada tgl 16 Agustusnya sesuai dengan rencana .

Sayang cerita Triasnya hanya di 'srempet' saja
 
Keesokan paginya, sehari menjelang 74 Tahun Indonesia Merdeka,


Cermin setinggi dinding kamar dapat memantulkan imaji suasana bagian wastafel kamar mandi, dan ditangkap jelas oleh pandangan mata Ega yang masih berbaring di ranjang, baru terjaga dari tidurnya. Tidak akan jadi masalah, jika pintu kaca kamar mandi dalam keadaan tertutup, atau jika di dalam kamar mandi tidak ada orang. Pagi ini, terjadi hal yang sebaliknya.

Dari pantulan cermin, Ega melihat Farida tengah berdiri menghadapi wastafel, dalam keadaan tanpa busana. Praktis, Ega dapat melihat jelas lekuk tubuh bagian belakang Farida, polos tanpa sehelai benang pun. Okelah, semalam tadi, ia telah menatap gamblang tubuh telanjang sang wanita, bahkan juga menyenggamainya. Namun, dalam suasana pagi, yang dalam situasi wajar pun selalu membangkitkan ereksi alat vital lelaki, pemandangan tubuh telanjang Farida berhasil memantik birahi Ega.

Lelaki itu pun bangkit, turun dari ranjang, dan menghampiri Farida.


Setibanya di dalam kamar mandi, hal pertama yang dilakukan Ega adalah memeluk tubuh Farida dari arah belakang.

"Kang Ega udah bangun, ternyata," ucap Farida lembut, sambil menatap Ega lewat pantulan cermin wastafel. "Nyenyak sekali tidurnya, Kang."

Ega tidak menanggapi kata-kata Farida dengan ucapan, melainkan berupa kecupan halus di leher hingga pundak kanan sang wanita.

"Geli, Kang..." bisik Farida.

Ega berhenti mencumbui pundak kanan Farida. Ia menatap kedua mata wanita itu, juga melalui pantulan cermin wastafel. "Geli?"

"Iya," jawab Farida.

"Kalau ini?" tanya Ega, sambil kemudian secara tiba-tiba mencubit puting payudara kanan Farida, dengan telunjuk dan ibu jari tangan kirinya.


Farida tiba-tiba membalikkan tubuh hingga kini berhadapan dengan Ega.

"Aku mencintai Kang Ega," bisiknya, terdengar begitu bersungguh-sungguh. "Aku... aku ingin Kang Ega jadi satu-satunya rangkaian kereta api yang bisa dan boleh memasuki stasiun kosongku."

"Dan akhirnya, Tétéh harus mengganti ringtone di ponsel," timpal Ega. "Karena... apa judul lagunya?"

"Mujin Eki," jawab Farida.

"Mujin Eki," ulang Ega. "Karena, stasiun tak berpenghuni itu udah terisi."

Farida mengangguk.

"Tétéh benar-benar mencintaiku?" tanya Ega, seolah ingin mendapatkan kepastian. "Bukan sekadar terhanyut oleh suasana panas yang malam tadi kita lewati berdua?"

"Bukan, Kang," Farida tersenyum. "Gimana dengan Kang Ega? Kang Ega juga mencintaiku?"

"Aku memang harus berusaha membuat Tétéh jatuh cinta kepadaku," tanggap Ega. "Tapi, jujur... sebenarnya aku nggak boleh mencintai Tétéh."

Farida menatap tajam Ega. "Lho, kenapa?"

"Sebenarnya aku nggak boleh mencintai Tétéh," Ega mengulangi kata-katanya. "Tapi aku nggak berdaya, Téh. Karena akhirnya, aku juga jatuh cinta pada Tétéh."

"Kenapa Kang Ega nggak boleh mencintaiku?" desak Farida. "Kang Ega udah punya calon istri? Atau bahkan diam-diam udah beristri?"

"Bukan, Téh," jawab Ega pelan.

"Lalu apa?" kejar Farida lagi.

"Suatu saat, Tétéh akan tahu alasannya," Ega tersenyum. "Bukan saat ini, dan bukan di kota ini."


Ega dapat melihat jelas perubahan gestur Farida. Jelas terlihat bahwa wanita di hadapannya merasa tak nyaman dengan kata-kata yang barusan diucapkannya.

"Sini, Téh," ucapnya, sembari menarik tubuh telanjang Farida ke dalam pelukannya.

Farida memasuki dekapan Ega tanpa perlawanan, karena ia pun menginginkannya.

"Yang penting, aku juga mencintai Tétéh," bisik Ega. "Nggak ada yang lebih penting dari hal itu, 'kan?"

Farida menjawab dengan anggukan kepalanya.

"Suatu hari, Tétéh pasti akan dapat jawabannya," tambah Ega. "Aku yakin."

Kembali, Farida mengangguk.


Ega merengkuh kepala Farida dengan telapak tangan kirinya. Sedikit diarahkannya agar wajah manis wanita itu berhadapan tepat dengan wajahnya.

"Boleh aku minta Tétéh untuk tersenyum?" ucap Ega.

Farida pun tersenyum, meskipun terasa agak hambar. Mungkin ucapan Ega beberapa saat lalu masih berbekas di benaknya.

"Terima kasih," gumam Ega. "Aku mencintai Tétéh."


Ega mengakhiri perbincangan melankolik itu dengan sebuah kecupan lembut di bibir Farida, yang tentu saja dibalas sang wanita dengan tak kalah lembutnya. Cukup lama mereka saling pagut. Namun, tak seperti percumbuan semalam yang berbalut birahi, kali ini justru tebalnya rasa kasih yang lebih kentara.


"Hari ini adalah hari terakhir kita di Yogyakarta," ucap Ega. "Jangan lantas murung ya, Téh. Ayo kita bersenang-senang."

Farida tersenyum, dan kali ini terlihat lebih tulus. "Selama dilakoni bareng Kang Ega, nggak mungkin aku merasa nggak senang."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Malam di hari yang sama,


Perjalanan mengunjungi Candi Prambanan, hutan pinus Pengger dan kaki Gunung Merapi, sebagai bagian acara hari kedua di Yogyakarta, justru lebih banyak dilalui Ega tanpa Farida. Hanya terjadi beberapa kali interaksi di antara keduanya, itu pun dengan durasi yang singkat. Ya, singkat. Apalagi jika mengingat betapa semalaman tadi mereka benar-benar melewatinya berduaan saja.

Farida kehilangan mood akibat ucapan Ega, yang terlontar di depan cermin wastafel, tadi pagi?

Nyatanya tidak. Keduanya hanya kompak berusaha menyembunyikan kedekatan di antara mereka. Meskipun sejatinya usaha tersebut sia-sia, karena kabar tentang Farida dan Ega yang tidur bersama sudah telanjur santer terdengar. Klarifikasi berupa bantahan atau menjaga sikap seperti apapun, tampaknya tak lagi berguna.

Namun, setidaknya, Farida dan Ega tak ingin secara gamblang mempertontonkan kedekatan mereka.


Keduanya baru kembali berinteraksi secara lebih intim, setibanya di hotel. Tempat yang dipilih adalah kamar 313, kamar yang sedianya ditempati Farida dan Ella. Lalu, ke manakah gerangan Ella?

"Dia langsung berpamitan," jelas Farida. "Mau berburu oleh-oleh di Jl. Taman Siswa, katanya."

Bibir Ega membulat.

"Dan aku udah titip dibelikan bakpia," sambung Farida. "Jangan protes, ya, Kang. Besok kita udah harus pulang ke Bandung. Nggak ada waktu lagi untuk beli bakpia, selain sore dan malam ini."

Ega melakukan gerakan seolah menyembah, membuat Farida tertawa.


Setibanya di kamar, Farida langsung mengempaskan tubuhnya di atas ranjang. Memicu komentar Ega,

"Capek ya, Téh?"

Farida menjawab dengan anggukan pelan.

"Tétéh, sih..." gumam Ega. "Motah ketika di hutan pinus."

Farida hanya terkekeh.

"Boleh aku bertanya?" ujar Ega. "Mas Emil bilang, di antara rekan satu clan, Tétéh adalah sosok paling kalem."

Farida tersenyum. "Banyak orang bilang begitu."

"Seharian ini, sifat kalem itu nyaris nggak terlihat, Téh," lanjut Ega. "Sebaliknya, Tétéh kelihatan ekspresif. Nggak berusaha menyembunyikan keceriaan."

"Aku sedang bahagia," ucap Farida. "Dan... Kang Ega nggak usah bertanya, hal apa yang bikin aku bahagia."

Ega mengangguk sambil tersenyum.

"Aku justru melihat hal sebaliknya dari Kang Ega," giliran Farida yang menilai Ega. "Seharian ini, Kang Ega kelihatan lebih banyak diam. Sering memasang wajah datar."

"Bukankah aku memang seperti itu?" tanggap Ega, sambil tertawa kecil. "Bukankah aku memang dingin dan misterius? Seperti yang rekan-rekan satu clan Tétéh bilang?"

"Semalam, Kang Ega nggak begitu," bantah Farida. "Kang Ega malah berkali-kali berhasil membuatku tertawa."

"Tétéh juga nggak usah bertanya, hal apa yang bikin aku seperti itu," balas Ega.

Farida tertawa renyah.


Ega dan Farida sama-sama menjadikan ketertarikan satu sama lain sebagai alasan dari perubahan sikap masing-masing. Ah... betapa indahnya sebuah hubungan asmara, andai keterikatan di antara mereka membawa aura positif, yang bahkan dirasakan oleh orang di sekeliling mereka.


Ega mendekati ranjang tempat Farida berbaring, lalu duduk di tepinya. Tangan kanannya segera mengusap pelan ujung poni rambut sang wanita yang letaknya sedikit tak beraturan.

"Boleh jujur, Téh?" ucapnya.

"Jujur?" tanya balik Farida. "Tentang apa?"

"Aku rindu," jawab Ega.

Farida tersipu.

"Rindu suasana Bandung," sambung Ega.

"Oh," gumam Farida, seiring semburat sipu yang mendadak sirna dari wajahnya, berganti mimik datar. "Ternyata aku hanya kegeeran."

Ega menutup mulut dengan telapak tangan kirinya, menahan senyum. "Jangan baper begitu atuh, Téh."

"Maksudnya?" tanya Farida dengan kening berkerut.

"Tétéh nggak pandai menyembunyikan perasaan," ujar Ega. "Aku hanya bilang 'rindu', Tétéh langsung tersipu. Padahal, belum tentu kata tersebut tertuju untuk Tétéh."

"Makanya, aku bilang kalau aku hanya kegeeran, 'kan?" balas Farida.


Ega menundukkan kepala, mendekati wajah Farida. Tanpa permisi, dikecupnya bibir wanita itu. Sekali dan sesaat saja, dengan sangat lembut. Bahkan Farida tak sempat memejamkan mata untuk sekadar meresapi sentuhan lembut tersebut, kecupan Ega telah berakhir.

"Kata 'rindu' tadi untuk Tétéh," bisik Ega. "Iya, aku memang rindu suasana Bandung. Tapi, kadarnya tetap tidak lebih besar daripada kadar rinduku pada Tétéh."

"Masa', sih?" lirih Farida. "Seharian ini, Kang Ega bisa dengan mudah melihatku, 'kan? Kenapa mesti rindu?"

"Bisa melihat, tapi tanpa bisa berdekatan apalagi bersentuhan," ucap Ega. "Itulah yang membuatku rindu."

Farida tersenyum. "Mestinya kita nggak perlu menyembunyikan kedekatan kita di depan teman-teman, ya. Tokh, mereka udah tahu."

"Iya," gumam Ega. "Tapi, nggak apa-apa. Semuanya udah terjadi. Lagipula, saat ini rasa rindu kita udah terobati, 'kan?"

Farida tersenyum lagi, seraya mengangguk.


Ega agak terkesiap, ketika Farida mencengkeram lengan kanannya, kemudian menariknya kuat-kuat hingga tubuhnya jatuh menindih tubuh wanita itu. Dan belum sempat Ega menguasai keadaan, bibir Farida telah telanjur hinggap di bibirnya. Lalu, saat Ega menyadari situasi, dan berniat membalas pagutan bibir Farida, wanita itu malah melepaskannya.

"Sepulang dari Yogyakarta," ucap Farida. "Akankah hubungan kita tetap seperti ini, Kang?"

"Kamu mau melanjutkannya?" Ega balik bertanya. "Aku nggak ingin memutuskannya secara sepihak."

"Aku mau," jawab Farida. "Kalau Tuhan berkenan, aku ingin kita bersama selamanya."

"Tétéh serius?" Ega tak percaya. "Mmh... Tétéh udah lupa dengan kata-kataku semalam?"

"Kata-kata tentang Kang Ega yang nggak boleh mencintaiku?" ujar Farida. "Aku ingat. Tapi... sikap Kang Ega menyiratkan bahwa Kang Ega akan melabrak sendiri kata-kata tersebut."

"Iya, Téh," lirih Ega. "Akan kulabrak kata-kata tersebut. Karena aku telanjur mencintai Tétéh."


Farida merengkuh kepala belakang Ega, dan menariknya, agar bibirnya dapat menggapai bibir sang lelaki. Lagi, bibir keduanya berpagutan. Dan kali ini, Ega langsung membalasnya.

Tak cukup hanya beradu bibir, Ega mulai meraba dan meremasi bagian tertentu dari tubuh Farida. Wanita itu, terpancing oleh gerakan tangan Ega, melakukan hal yang serupa terhadap tubuh lawan mainnya. Birahi yang mulai terpancing, memaksa Farida untuk menggeliat-geliatkan tubuh, demi menambah intensitas gesekan dengan kulit tubuh lelaki itu.

Farida sama sekali tidak protes, ketika jemari kedua tangan Ega mulai melucuti kancing kemejanya, satu demi satu. Berbeda dengan adegan semalam, yang sempat diselingi cegahan, meski sesaat itu. Kali ini, Farida justru tersenyum. Ia tak mengucapkannya secara lisan, namun hati berkata,

Gumuli aku lagi, Kang...


Singkatnya, seluruh kancing kemeja di tubuh Farida telah terlolosi. Ega menyibakkan kemeja biru langit tersebut ke kedua sisi. Kini, tubuh atas Farida pun terekspos, meski bagian buah dadanya masih terlindungi sehelai bra. Dan tampaknya Ega tidak menunjukkan gelagat akan merenggut bra putih tersebut.

Lelaki itu mengecupi bongkah payudara Farida, pada bagian yang tidak tertutupi bra. Lalu, jemari tangan kanannya mulai menyusup di balik mangkuk kiri bra tersebut. Farida melenguh tertahan, ketika telunjuk dan ibu jari tangan kanan Ega menyentuh kemudian mencubit dan memilin pelan puting di tengah payudara kirinya.

Tangan yang sama milik Ega menarik turun mangkuk kiri bra itu, hingga bongkah dada kiri Farida menjadi terekspos lebih lebar. Sejurus kemudian, bibir Ega menggantikan 'tugas' dari jari tangannya, memberikan kuluman dan hisapan terhadap puting payudara kiri Farida, yang membuat lenguhan sang wanita menjadi terdengar lebih nyaring, disertai gelinjangan kecil tubuh sintalnya.


Setelah beberapa menit asyik mempermainkan puting payudara kiri Farida dengan bibirnya, Ega pun mengalihkan sasaran menuju tubuh bagian bawah wanita itu. Kini bibirnya kembali menciumi bibir Farida, sementara jemari kedua tangannya beraksi melucuti celana jeans selutut sang wanita. Secara sadar, Farida memang sudah sejak awal merelakan tubuhnya ditelanjangi, karenanya ia sedikit mengangkat bokongnya, demi memudahkan sang kekasih melolosi tubuh bawahnya.


"Farida?" seru seseorang di luar kamar sana. "Kamu ada di dalam?"

"Iya?" jawab Farida dengan suara parau, karena tengah diselimuti gairah birahi. "Sebentar... tunggu."

Adegan selanjutnya pun diisi dengan ketergesaan keduanya. Farida segera menarik naik celana jeans-nya yang telah melorot hingga setengah paha, sementara Ega bergegas membantu memakaikan dan merapikan kemeja biru muda kekasihnya.

"Téh Fetri?" tanya Ega dengan berbisik, ditujukan pada Farida.

Farida mengangguk.


Ega beringsut turun dari ranjang, kemudian duduk di sofa dengan gaya sekasual mungkin. Sementara Farida bangkit dan menghampiri pintu, lalu membukanya. Ia tersenyum pada Fetri yang ditemuinya di depan pintu.

"Ega bersamamu?" tanya Fetri, sambil melemparkan pandangan ke dalam kamar.

"Iya," jawab Farida. "Ada apa, Fetri?"

"Aku punya urusan dengan Ega," ujar Fetri. "Boleh kupinjam sebentar?"

"Pinjam?" Farida tertawa. "Kang Ega bukan barang, Néng."

"Yah... apapun itu, Farida," Fetri tersenyum, namun di mata Farida terlihat hambar. "Kupinjam Ega sebentar."

"Iya," izin Farida. "Sebentar, ya."

Farida kembali ke dalam kamar.


"Fetri ingin bertemu Kang Ega," beritahu Farida. "Katanya, dia..."

"Aku?" potong Ega, sambil menunjuk dada dengn telunjuk tangan kirinya.

Farida menjawab dengan anggukan kepala.

"Oke," sanggup Ega, sambil bangkit dari duduknya. "Sebentar, ya."

Kembali, Farida mengangguk.


Sepeninggal Ega,

Apa urusan di antara Fetri dan Kang Ega? Farida bertanya-tanya di dalam hati. Diakah yang jadi alasan Kang Ega nggak boleh mencintaiku?

Farida tak mau percaya, meski kekhawatiran sontak melanda hatinya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Inilah perbincangan antara Fetri dan Farida, siang tadi, saat berwisata di Candi Prambanan,

"Sepertinya asyik, ya, kalau nanti malam kita nongkrong di rooftop hotel," ujar Farida. "Mengobrol dan tertawa-tawa sambil menikmati landscape kota Yogyakarta dari ketinggian."

"Kita?" cetus Fetri.

"Iya, kita," jawab Farida. "Aku, kamu, Lisma dan Ella. Siapa lagi, coba?"

"Kukira, hanya kamu dan Ega," ejek Fetri.

"Bukan, Fetri," Farida tersenyum. "Aku dan Kang Ega, 'kan, udah menghabiskan semalam berduaan. Nah, malam ini, aku akan menghabiskannya tanpa Kang Ega."

"Apakah kamu dan Ega..." sejenak Fetri menghentikan ucapannya. "Kalian ML?"

Farida diam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk.

"Kalian bergerak cepat, ya," ujar Fetri, lalu tertawa kecil.

Farida ikut tertawa.


"Soal nongkrong di
rooftop itu..." ucap Fetri. "Nggak mungkin dilakukan, Farida."

"Lho, kenapa?" tanya Farida.

"Hotel tempat kita menginap nggak memiliki
rooftop," jelas Fetri. "Hmm... sebenarnya ada. Tapi, nggak memungkinkan untuk dipakai nongkrong, karena banyak sisa bahan bangunan dan kabel-kabel terbentang di sana-sini. Setidaknya, begitulah yang dikatakan sekuriti hotel, ketika aku bertanya soal rooftop. Yah... 'kan, hotel ini baru rampung dibangun, Farida."

Farida mengerucutkan bibir, pertanda kecewa.

"Kalau kamu
keukeuh kepingin nongkrong bareng kita di rooftop," tutur Fetri lagi. "Pakai rumahku aja."

"Duh... yang ada di rumahmu bukan
rooftop, Néng," protes Farida. "Tapi loteng jemuran!"

Fetri tertawa.



Fetri berbohong. Sebenarnya, hotel ini memiliki rooftop yang layak dijadikan titik nongkrong. Bahkan, pengelola hotel juga menyediakan delapan buah meja bundar yang terintegrasi dengan payung lebar, serta masing-masing empat buah kursi besi untuk setiap mejanya. Kemarin malam, saat merasakan kesepian akibat Farida dan Ella tengah asyik bergumul di ranjang dengan pasangan lelakinya masing-masing, ia dan Lisma berinisiatif menyambangi rooftop tersebut.

Dan rooftop itulah yang saat ini dipilih Fetri sebagai tempat bicara dengan Ega. Kenapa harus di sini? Karena ia bisa memastikan bahwa tempat ini tidak akan terendus oleh Farida.

Farida sama sekali nggak boleh tahu, masalah apa yang dibicarakan olehku dan Ega, tekadnya di dalam hati.


"Coba jelaskan," Fetri memulai obrolan, tanpa ada niat untuk mengawalinya dengan basa-basi.

"Aku sadar, aku memang keterlaluan," lirih Ega. "Aku memang harus membuat Farida jatuh cinta kepadaku. Tapi... aku nggak bisa berbuat apa-apa, kalau ternyata aku juga jatuh hati padanya."

"Bukan hanya itu," tanggap Fetri. "Kamu bahkan menyetubuhinya. Hey! Téh Meti udah pernah mengingatkanmu untuk menghindari persetubuhan dengan Farida, 'kan?"

"Aku menyetubuhinya atas dasar cinta," alasan Ega. "Aku nggak..."

"Cinta..." potong Fetri, lalu tertawa mengejek. "Nggak ada cinta di dunia ini, Ega."

"Ada," nada bicara Ega mendadak tegas. "Seperti perasaanku terhadap Farida. Aku... belum pernah jatuh cinta pada seorang wanita, melebihi perasaanku terhadap Farida."

"Iya, aku percaya," kembali Fetri tertawa mengejek. "Bahkan perasaan itu bikin kamu melupakan rencanamu. Hebat."

Ega tidak mampu menimpali.


Fetri menatap Ega tajam, lalu menggelengkan kepala dengan gestur putus asa.

"Aku nggak mengira, semuanya akan menjadi seperti ini," ucapnya. "Kukira, pilihan kakakku memang tepat. Ternyata..."

"Lupakan urusanku dengan kakakmu, Fetri," potong Ega. "Lupakan semuanya. Aku mundur dari rencana kalian. Aku nggak sanggup jauh..."

"Dari Farida," giliran Fetri yang memotong ucapan Ega. "Aku mengerti, bagaimana perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta."

"Kalau kamu mengerti, nggak usah mempermasalahkan pilihanku untuk mundur," tegas Ega. "Aku mencintai Farida. Aku nggak mau menggadaikan kebahagiaanku bersamanya demi sesuatu yang lain."

"Iya, aku mengerti perasaanmu," tanggap Fetri. "Tapi, ini adalah tentang profesionalisme, Ega!"

"Aku memang amatiran," Ega menanggapi dengan nada pasrah. "Karenanya aku mundur. Tapi... dengarkan dulu penjelasanku, Fetri."

"Penjelasan seperti apa lagi?" tantang Fetri. "Coba, aku ingin mendengarnya."

"Farida bukanlah wanita pertama," Ega mulai menjelaskan. "Sebelum kali ini, aku udah pernah dua kali menghadapi wanita. Tapi, untuk kasus ini, maaf, aku nggak mampu memisahkan urusan hati dan profesi. Karena Farida benar-benar berbeda."


Setelah diam untuk beberapa jenak, Fetri mendadak berdiri, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku kanan celana jeans-nya. Ega tidak memerhatikan apa yang dilakukan wanita itu. Yang pasti, Fetri menghubungi seseorang, entah siapa.

Ega melihat Fetri bicara dengan seseorang, lalu tiba-tiba menyerahkan ponselnya.

"Kakakku," ujarnya. "Bicara langsung padanya."

Ega pun menerima ponsel tersebut.


"Iya, Téh Meti?" sapa Ega.

"Kamu memilih mana?" tanya Meti di seberang sana, tanpa tedeng aling-aling, langsung bertanya tepat sasaran. "Mau kubilang gagal? Atau mau kuberikan kesempatan sedikit lebih lama lagi?"

"Aku memilih opsi pertama," jawab Ega, tanpa berpikir. "Lebih baik aku dibilang gagal, daripada harus berpisah dari Farida."

Terdengar Meti tertawa.

"Maaf, Téh," ucap Ega pelan. "Aku nggak bisa membendung perasaanku. Aku benar-benar jatuh cinta pada Farida."

"Aku mengerti," tanggap Meti. "Sayangnya, kedua opsi yang kutawarkan, punya konsekuensi yang sama. Opsi mana pun yang dipilih, kamu tetap akan berpisah dari Farida."

Bola mata Ega membelalak. "Maksudnya, Téh?"

"Perbedaannya hanyalah tentang siapa yang menjadi subjek dan objek," tutur Meti, dengan nada yang penuh ketegasan. Ega dapat menebak, betapa wanita yang merupakan kakak kandung Fetri itu sangat marah. "Farida yang berakhir di tanganmu, atau kamu yang berakhir di tanganku."

Ega tertawa, meskipun jeri.

"Aku serius, Ega," desis Meti. "Aku benar-benar serius."

Sambungan telepon ditutup, sebelum Ega sempat menanggapi.


Ega menyerahkan kembali ponsel tersebut pada pemiliknya.

"Apa kata kakakku?" tanya Fetri.

"Dua opsi," jawab Ega. "Farida yang berakhir di tanganku, atau aku yang berakhir di tangannya."

"Pilihan yang sempurna," Fetri tertawa kecil. "Nah... mana yang akan kamu pilih, Ega?"

Ega hanya tersenyum.

"Satu hal yang harus kamu tahu," sambung Fetri. "Téh Meti selalu serius dengan ucapannya. Sangat serius."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Hal pertama yang terlintas di otak Ega, setelah Fetri memutuskan untuk mengakhiri perbincangan di rooftop, adalah Farida. Karenanya, ia bergegas mendatangi kamar 313. Kamar yang ditempati Farida dan Ella. Di dalam hati, ia berharap Ella belum kembali dari Jl. Taman Siswa.


Dan, ya. Ella belum kembali.


Hanya dua kali ketukan di daun pintu, untuk membuat penghuninya membuka pintu tersebut. Farida tersenyum menyambut kembalinya Ega, namun disertai sorot mata cemas.

"Kenapa Tétéh terlihat khawatir?" tegur Ega.

Farida hanya menggeleng pelan. Digamitnya lengan kiri Ega, lalu mengajak lelaki itu masuk. Tak lupa, ia menutup pintu dengan tangan kanannya.


Tiba-tiba Ega merengkuh tubuh Farida, dan mendekapnya erat-erat. Didorongnya kepala belakang sang wanita hingga wajah dengan lekuk menarik itu terbenam di bahu kirinya.

"Kang..." gumam Farida. "Ada apa?"

Ega menggeleng.

"Kenapa?" desak Farida. "Cerita, Kang."

"Suatu hari, Tétéh akan tahu," bisik Ega. "Meskipun mungkin bukan aku yang memberitahu secara langsung."

"Kok bisa?" tanya Farida.

"Semua akan terjawab pada waktunya, tapi bukan sekarang," janji Ega. "Yang penting... aku mencintai Tétéh. Aku sangat mencintai Tétéh."

Farida melepaskan diri dari pelukan erat Ega, agar dapat menatap jelas wajah lelaki itu. Tatapannya menyiratkan kebingungan, namun Ega tak kuasa menghapuskan rasa bingung tersebut.

"Tétéh percaya?" tanya Ega. "Tétéh percaya bahwa aku benar-benar mencintai Tétéh?"

Farida mengangguk.

"Terima kasih udah mempercayai perasaanku," lirih Ega.


Farida merengkuh kepala sang lelaki. Ega mengerti yang diinginkan kekasihnya itu. Karenanya, ia balas memegangi kedua pipi Farida, kemudian mengecup bibir wanita itu dengan lembut. Sesaat saja.

"Aku mencintai Kang Ega," lirih Farida.

"Aku juga mencintai Tétéh," balas Ega, tak kalah lirih.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Plaketar Promote, empat hari kemudian,


Seperti inikah kesepian yang dirasakan tokoh Sawatari Sayuri dalam film anime karya Makoto Shinkai berjudul The Place Promised in Our Early Days, yang Farida pernah tonton beberapa tahun lalu? Seperti inikah rasanya kesepian, yang Sayuri katakan pada sebuah adegan,

"Aku sangat kesepian hingga jariku, pipiku, kuku jariku, tumitku, bahkan ujung rambutku, semuanya terasa sakit akibat kesendirian..."

Mungkin tokoh Sawatari Sayuri berlebihan dalam menjabarkan rasa sepinya. Namun, bukankah 'kesepian' adalah sebuah hal yang sangat memuakkan untuk dialami? Hingga akhirnya, siapa pun berhak untuk menggambarkan perasaan kesepian yang dialami dengan analogi yang hiperbola.


Kalau Kang Ega memang nggak boleh mencintaiku, seperti yang pernah Kang Ega bilang, silakan, batin Farida. Kalau Kang Ega nggak mau menemuiku lagi, aku nggak mampu melarang. Tapi... setidaknya Kang Ega bicara dulu sebelum benar-benar pergi dan menghilang. Jangan seperti ini.


Sebuah teguran lembut membuat pandangan Farida beralih, dari spasi kerja Ega yang kosong menuju wajah di sebelah kanannya. Wajah cantik milik Lisma.

"Kamu nggak mencoba menghubunginya?" tanya Lisma.

"Aku nggak punya nomor kontaknya," jawab Farida. "Aku belum sempat menanyakannya."

"Coba tanyakan pada si bos atau bagian HRD," usul Lisma. "Ega pasti mencantumkan alamat domisili dan nomor kontak di curriculum vitae, ketika melamar ke sini, 'kan?"

"Kang Ega memberikan alamat dan nomor telepon rumah kost-nya, bukan nomor ponselnya," jelas Farida. "Ketika kusambangi alamat tersebut, pengelola kost bilang kalau Kang Ega udah pindah. Dan kamu tahu, Lisma? Kang Ega keluar dari rumah kost itu dua hari sebelum keberangkatan kita ke Yogyakarta."

Lisma tertegun.

"Sekarang aku percaya pada kalian," lanjut Farida. "Aku terpaksa percaya, bahwa Kang Ega memang misterius."


Ya, Ega sungguh misterius.

Setelah menghabiskan waktu di Yogyakarta dengan kualitas tinggi bersama Farida, Ega mendadak pergi. Adegan ciuman yang dipungkasi dengan ucapan saling mencintai itu, nyatanya menjadi momen terakhir Farida melihat sang lelaki. Bahkan, bisa jadi, Farida menjadi orang terakhir yang dijumpai Ega sebelum menghilang. Karena nyatanya, tak ada seorang pun peserta rombongan wisata Plaketar Promote yang menyadari kepergiannya.

Lelaki tampan itu hanya meninggalkan sebaris pesan dengan tulisan tangan pada secarik kertas, yang Farida peroleh dari resepsionis hotel, keesokan harinya di saat check out, bertuliskan,

Farida...
Waspadai 16 Agustus

- Ega -


Dan ketika ia bertanya pada resepsionis hotel tersebut, jawabannya adalah,

"Saya ndak tahu, Mbak. Kertas itu tergeletak di atas meja ini. Ndak tahu, siapa yang menyimpannya."

Farida hanya sanggup mengangguk.


Waspadai 16 Agustus, ujar Farida di dalam hati, sambil berlalu meninggalkan meja resepsionis, kala itu. Apa maksud Kang Ega? 16 Agustus adalah kemarin, dan nggak terjadi apa-apa, 'kan?


Dengan segala yang terjadi, adalah wajar jika Farida dilanda kebingungan, bukan?


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Sebuah kafe di kawasan Ledeng, Bandung, 16 Agustus 2020,


Tak terasa, setahun telah berlalu. Ega benar-benar menghilang, tanpa meninggalkan sedikit pun jejak. Jangan pernah tanyakan bagaimana perasaan Farida. Hatinya benar-benar hancur.

Bukan. Bukan kegagalan hubungan asmaranya dengan Ega yang menghancurkan hatinya. Melainkan ketidakjelasan atas keberadaan sang lelaki, yang membuat Farida berada di tengah kegamangan.

Setahun terakhir, hidup Farida seolah stagnan. Monoton. Tanpa letupan. Dan ia yakin, kejelasan atas nasib Ega-lah yang akan mampu mengubahnya.


Kang... gumam hati Farida. Kehadiran Kang Ega dalam hidupku, meskipun baru sesaat aja, udah berhasil bikin aku yakin, bahwa nggak lama lagi 'stasiun kosong' ini akan terisi 'rangkaian kereta api'. Tapi, Kang Ega malah menghilang. Kalau begini, kapan aku bisa mengganti ringtone ponselku, seperti yang Kang Ega bilang pagi itu?

Ya, lirik lagu Mujin Eki tersebut terasa makin relevan bagi suasana hati Farida, setahun terakhir. Farida merasakan kekosongan. Merasakan kesepian hebat, yang serupa dengan ucapan tokoh Sawatari Sayuri, dalam film anime itu,

"Aku sangat kesepian hingga jariku, pipiku, kuku jariku, tumitku, bahkan ujung rambutku, semuanya terasa sakit akibat kesendirian..."


Ah... jika jargon iklan fried chicken boleh berkoar bahwa bumbu ayam produknya meresap sampai ke tulang, bolehkah Farida berkata bahwa selama setahun terakhir dirinya merasakan kesepian sampai ke tulang?

Boleh. Tokh, tak ada pasal undang-undang negara ini yang melarangnya.


"Udah lama?" tegur suara wanita, membuyarkan lamunan Farida.

Farida menoleh ke arah sumber suara, lalu keningnya berkerut, dengan gestur Maaf,-anda-siapa,-ya?

"Aku Meti," beritahu wanita itu, seolah dapat mengerti makna kerutan di kening Farida. "Aku yang tadi siang meneleponmu dan meminta waktu untuk bertemu."

Farida bergumam tak jelas dengan bibir membulat.

"Boleh aku duduk?" tanya wanita yang mengaku bernama Meti itu.

"Boleh, Téh," Farida mempersilakan dengan isyarat gerakan tangannya.

Meti pun duduk di seberang meja.


"Maaf, kalau boleh tahu, Tétéh siapa, ya?" tanya Farida.

Meti tersenyum. "Barusan aku udah menyebutkan namaku, 'kan?"

"Maksudku, ada hubungan apakah antara aku dan Tétéh?" Farida memperjelas maksud dari pertanyaannya.

"Aku kakak kandung Fetri," jawab Meti.


Fetri. Teman baiknya di Plaketar Promote yang mendadak resign di akhir bulan yang sama dengan gathering perusahaan ke Yogyakarta, setahun lalu itu. Fetri memang pernah bercerita tentang kakak kandung satu-satunya. Namun, baru kali ini Farida mengetahui nama sekaligus sosok kakak kandungnya tersebut.

Dan... Fetri. Nama itu sempat terbersit di otak Farida, sebagai salah satu penyebab menghilangnya Ega. Betapa tidak? Sang lelaki bertingkah ganjil, setelah berbincang secara tertutup dengan Fetri. Lalu, di hari yang sama, bahkan mungkin pada jam itu juga, Ega pergi dan tak pernah kembali, hingga saat ini. Namun, wajarnya sikap teman baiknya pasca kepergian Ega, memaksa Farida menghapus dugaan tersebut.

Lalu hari ini, tiba-tiba Meti meminta waktu untuk bertemu. Ada apa gerangan?


"Aku ingin menceritakan sesuatu," ujar Meti. "Sebuah kisah yang terjadi 25 tahun lalu. Cerita yang diceritakan oleh ibuku, kepada Fetri dan aku."

Meski sedikit bingung, Farida mempersilakan dengan anggukan kepalanya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kabupaten Ngawi, 16 Agustus 1995


Sepanjang hidupnya, belum pernah Ami merasakan ketakutan seperti yang saat ini tengah dirasakannya. Rasa takut mati.

Ah... seperti inikah rasa yang dialami seseorang yang sedang sakaratul maut? batinnya.

Oh, tidak. Seseorang yang telah begitu dekat dengan ajalnya, merasakan sakit tak terperi. Literatur menjelaskan, rasa sakitnya bagaikan tusukan tiga ratus pedang.

Yang kini dirasakan Ami, tidaklah setara dengan itu. Mendekati pun sama sekali tidak. Tak ada rasa sakit, kecuali perih lecet akibat pergelangan kedua tangan dan kakinya diikat tali tambang sintetis dengan sangat ketat. Hanya ketakutan yang hadir dalam taraf nan kolosal.

Namun, Ami tahu,
mungkin saat ini ajal telah begitu dekat dengannya.


Ia merasakan getaran samar pada bantalan kayu yang menjadi lokasi dirinya terbaring saat ini. Getaran yang ditimbulkan dari gesekan antara batang rel dan puluhan roda rangkaian kereta api Matarmaja, kalau ia tidak salah mengingat jadwal. Posisinya mungkin masih cukup jauh, tapi pasti, lokomotif kereta dengan rute antara Malang dan Jakarta itu akan tiba. Dan juga pasti, puluhan roda besi rangkaian kereta tersebut akan melindas tubuhnya.

Tidakkah kamu mencoba berteriak untuk minta tolong, Ami? Tentu saja, ia telah mencobanya. Namun, siapa pula yang bisa mendengar teriakan dari seseorang yang berada di sebuah tempat tak jauh dari aliran Bengawan Solo, cukup terasing dari permukiman penduduk, di Kecamatan Paron yang tentunya telah 'mati' pada waktu lewat pukul sepuluh malam ini?


Mungkin sekira lima menit kemudian, akhirnya Ami mengetahui bahwa teriakannya berhasil terdengar oleh seseorang.

"Pak!" teriak Ninit, seseorang itu, yang kemudian segera berusaha melepaskan simpul tali yang mengikat erat tubuh Ami pada rel tersebut.

Sayangnya, pada saat itu pula Ami menyadari bahwa pertolongan datang terlambat, karena lampu lokomotif terlihat bersinar begitu terang. Rangkaian kereta api Matarmaja telah tiba, bersiap mengiris leher dan kedua kakinya, sekaligus mengirimnya ke alam baka.

Ninit terus berkutat, berusaha membebaskan Ami dari kekangan. Berusaha memanfaatkan waktu yang begitu sempit, ditingkahi dengan kepanikan.


"Tidak usah dilanjutkan, Ninit," ujar Ami dengan nada pasrah. "Memang sudah takdirku untuk mati dengan cara seperti ini."

"Jangan bicara sembarangan!" bentak Ninit.

Ami tersenyum. Berusaha tenang, meski sesungguhnya jeri. Terlebih, klakson nyaring nan panjang dari lokomotif, membuat suasana menjadi makin menggiriskan. "Sudah tidak ada waktu, Ninit."

"Gusti..." lirih Ninit. "Maafkan aku, Pak."

"Bukan salahmu," tanggap Ami, masih dengan senyumnya.

"Aku bersumpah," gumam Ninit. "Suatu hari nanti, keturunanmu akan merasakan balasannya, Galih."


Saat merasa bahwa dirinya sudah tak punya cukup waktu lagi untuk menyelamatkan Ami, Ninit pun menyingkir. Ia sama sekali tidak berniat menoleh kembali ke belakang. Ia tidak tega menyaksikan peristiwa mengenaskan yang selanjutnya terjadi.

Tapi, sepanjang sisa hidupnya akan tetap dihiasi imaji dari setiap detil kejadian saat itu. Sepanjang sisa hidupnya, Ninit terus 'menoleh ke belakang'.



+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Aku dan Fetri dibesarkan di tengah rasa dendam Ibu, yang tetap berkarat hingga akhir hayatnya," tutur Meti, setelah selesai bercerita. "Hampir sepanjang hidup, kami diperdengarkan cerita tentang kebencian Ibu terhadap Pak Galih. Kami bisa pura-pura nggak mendengar, tapi cerita Ibu tetap menyelusup dan memengaruhi otak kami."

"Pak Galih?" Farida menatap Meti, dengan kelopak mata agak terbelalak. "Yang dimaksud adalah... ayahku?"

"Aku dan Fetri merasakan dendam yang dipendam Ibu," lanjut Meti, tidak menjawab pertanyaan Farida. "Tapi, hanya sebatas itu. Kami nggak pernah berniat untuk membalaskan dendam Ibu. Hingga bayangan Ibu tentang masa lalu kelamnya dengan Pak Galih, hadir dalam sosokmu, putrinya. Dan kehadiranmu di tempat kerja Fetri terendus oleh Ibu, entah dari mana Ibu mengetahuinya."

"Jadi, ayahku adalah seorang pembunuh?" Farida menggelengkan kepala, tak percaya. "Dan selama ini, aku bersahabat dengan putri dari korbannya?"

"Secara pribadi, Fetri nggak memiliki masalah denganmu, Farida," sambung Meti. "Dia pernah bercerita, bahwa kamu adalah teman yang baik. Tapi, ketika mengingat kisah masa lalu Ibu, kisah tentang dendam ibuku kepada Pak Galih, dia jadi membencimu. Hidup ibuku, lalu kemudian hidupku dan Fetri, hancur oleh perbuatan Pak Galih."

Kembali, Farida menggelengkan kepala.


"Atas desakan ibuku, kami menyusun rencana untuk membunuhmu," Meti kembali bercerita. "Kami memilih..."

"Membunuhku?" Farida tercekat. "Ayah kalian dibunuh ayahku, dan aku harus mati di tangan putra-putrinya?"

"Bukan oleh tangan kami," ralat Meti. "Melainkan pembunuh bayaran. Kami memintanya untuk masuk ke dalam kehidupanmu, membuatmu jatuh cinta padanya, lalu membunuhmu. Menurut ibuku, hal seperti itu akan lebih menyiksamu, daripada sekadar dieksekusi, lalu selesai."

"Ya Tuhan..." gumam Farida, seraya kemudian menutup mulut dengan telapak tangan kirinya. "Aku adalah target pembunuhan?"

"Nyatanya, kami memilih pelaku yang salah," Meti tidak menjawab pertanyaan Farida. "Dia memang berhasil membuatmu jatuh hati padanya, tapi dia gagal membendung perasaan cinta yang hadir di hatinya."


Farida tertegun. Tiba-tiba, ucapan Ega di kamar mandi hotel, setahun yang lalu itu, terlintas di kepalanya,

"Sebenarnya aku nggak boleh mencintai Tétéh. Tapi aku nggak berdaya, Téh. Karena akhirnya, aku juga jatuh cinta pada Tétéh."

Kala itu, ia segera menanyakan alasannya. Namun Ega tak mau membeberkannya. Lelaki itu hanya berkata,

"Suatu saat, Tétéh akan tahu alasannya. Bukan saat ini, dan bukan di kota ini."

Ega meninggalkan tanda tanya besar di kepala Farida, yang hingga kini belum terjawab. Saat inikah pertanyaan tersebut akan terjawab?


"Biar aku tebak," ujar Farida, sembari mengangkat tangan kanannya setinggi dadanya. "Pelakunya adalah... Kang Ega?"

"Iya," Meti mengangguk. "Pelakunya adalah Ega."


Lagi-lagi, Farida menggelengkan kepala. Ia sulit mencerna kenyataan yang baru saja diketahuinya dari cerita Meti.

Alangkah dramatisnya hidupmu, Farida, gumam hatinya.

Belum habis kepiluan yang dirasakannya, setelah mendapati Ega menghilang begitu saja dari kehidupannya, tepat setahun lalu. Kini, hatinya kembali terguncang, mendapati fakta bahwa selama berpekan-pekan dirinya telah menjadi target pembunuhan berencana, yang disusun oleh keluarga dari sahabatnya sendiri. Dan yang lebih gila, sang eksekutor adalah lelaki terakhir yang pernah dicintainya!


"Fetri bercerita, kamu bingung setengah mati karena Ega pergi," ujar Meti. "Fetri nggak berbohong?"

"Fetri nggak berbohong," jawab Farida. "Sampai hari ini, kebingungan itu selalu ada."

"Setelah mendengarkan ceritaku, kebingunganmu sirna?" tanya Meti.

Farida menggeleng.

"Kamu masih berharap Ega kembali?" tanya Meti lagi. "Jangan membuang waktumu, Farida. Ega nggak..."

"Tétéh tahu keberadaan Kang Ega?" potong Farida. "Kumohon, beritahu aku."

"Aku nggak tahu," Meti tertawa kecil. "Dan andai aku tahu, kupastikan nasib Ega berakhir di tanganku."


Farida tercekat. Ia jeri dengan kalimat yang baru saja diucapkan wanita di hadapannya.

Inikah alasan dari menghilangnya Kang Ega? duganya di dalam hati. Kang Ega berbalik diburu keluarga Fetri dan Téh Meti, karena nggak mau membunuhku?

Pelik benar masalahmu, Farida.


Lalu, tiba-tiba saja, ia teringat bunyi pesan tulisan tangan dari Ega,

Waspadai 16 Agustus

Sontak hatinya makin jeri.

Hari ini, 'kan... 16 Agustus, batinnya. Dan... peristiwa masa lalu yang baru saja diceritakan Téh Meti, juga terjadi pada 16 Agustus!

Inikah maksud dari pesan tulisan tangan Ega, setahun lalu?


"Aku harus pergi," pamit Meti, membuat Farida keluar dari lamunannya, kembali ke dunia nyata. "Aku ada urusan."

Farida hanya sanggup mengangguk, karena tengah sibuk mencerna penggalan-penggalan kisah yang berkelebat di kepalanya. Berusaha menarik kesimpulan, namun malah membuatnya bingung sendiri.

Ia bahkan nyaris tak menyadari Meti yang bangkit dari kursi, kemudian berlalu meninggalkan kafe.


Butuh waktu beberapa menit bagi Farida, selepas kepergian Meti, untuk menenangkan suasana hatinya yang berkecamuk oleh beragam perasaan. Setelah merasa sedikit tenang, barulah ia beranjak.

Dan di pelataran kafe, Farida menyaksikan sebuah adegan yang membuat kepalanya makin sarat dengan tanda tanya. Di salah satu kursi besi pelataran tersebut, ia mendapati Meti terduduk dengan kepala mendongak, membelalak hingga menyisakan bagian bola mata berwarna putih saja, serta mulut membusa.

Apa lagi ini?! keluh hatinya. Inikah maksud dari pesan 'Waspadai 16 Agustus'?


Farida benar-benar kesulitan untuk mencernanya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Taksi online yang ditumpangi Farida, telah memasuki area permukiman kelas menengah, di mana rumah yang didiaminya berdua dengan Mama, bercokol. Hmm... tak terasa, sudah hampir dua puluh tahun keluarga Farida bermukim di rumah tersebut.

Ponsel di tas tangannya berdering, Farida bergegas merogoh tas tangannya. Diliriknya caller ID pada layar, tertera nama Mama. Namun, ia tidak segera menjawab panggilan tersebut. Farida membiarkannya tetap berdering hingga tiba pada penggalan lagu yang jadi favoritnya,

"Hajimete no yoru wa
itoshisa wo shitte
saigo no
asa ni wa
namida shitta

Watashi nanka
inakunatte mo
sou dare mo
kizukanai
kizukarenai
tochuu gesha suru no wa
mujin eki..."

(That first night, I knew love
That last morning, I knew tears

Even if I'm not there anymore
No one would notice
They wouldn't realize it
And here's the empty train station
On the stopover)


Farida menekan ikon bergambar gagang telepon berwarna hijau pada layar, kemudian menempelkan ponselnya di telinga kanan.

"Iya, Ma?" sapanya.

"Kamu di mana, Néng?" tanya Mama. "Kenapa belum pulang?"

"Udah masuk perumahan," jawab Farida. "Sebentar lagi aku sampai, kok."

"Kamu menumpangi taksi online?" tebak Mama.

Farida tersenyum, yang tentu saja, takkan terlihat oleh Mama. "Iya, Ma."

"Ya sudah," tanggap Mama. "Yang penting, kamu baik-baik saja."

Sambungan telepon pun diputus Mama. Dan Farida langsung memasukkan kembali ponsel ke dalam tas tangannya.


Fisikku memang baik-baik aja, Ma, lirih Farida di dalam hati. Tapi... psikisku lelah. Terlalu banyak penggalan peristiwa yang harus kucerna dan kuolah menjadi sebuah kesimpulan.


Tiba-tiba, sopir taksi online bertanya,

"Ternyata ringtone-nya masih belum diganti ya, Téh?"

Farida tercekat, kemudian spontan menatap kaca spion kabin. Mencari imaji wajah si sopir melalui pantulan pada spion tersebut. Farida tersenyum. Sejurus kemudian, ia merasakan kelopak matanya menghangat. Dan akhirnya, ia tak lagi mampu membendung perasaan melambung di hatinya. Seperti juga sel otaknya gagal mencegah kinerja kelenjar lakrimalis yang melinangkan air dari kedua sudut matanya.

Namun, buru-buru disaputnya linangan air mata itu dengan punggung tangan kirinya.

"Di depan belok kiri, Kang," Farida menunjukkan arah. "Rumah berpagar biru langit. Itulah mujin eki versiku, yang mungkin akan segera terisi..."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
keren nih.... ceritanya mengalir, dan endingnya memuaskan para penggemar happy ending.... salut buat mahakarya penulisnya..... semoga lahir karya2 lainnya dengan happy endingnya...
 
Mantap kang prabu akhirnya selesai juga ceritanya n sukes selalu kang

jadi kapan resepsinya
Resepsi pernikahan Ega dan Farida, maksudnya Kang?

#pura-pura-nggak-ngeh
Hihi
 
Top..
Untung Farida ga salah gelas....
Entah kebetulan atau tak di sengaja... 'waspada tgl 16 Agustusnya sesuai dengan rencana .

Sayang cerita Triasnya hanya di 'srempet' saja
Iya, Om.
Trias cukup jadi cameo aja, hehe

Mungkin memang kebetulan, tapi bisa jadi diatur seperti itu oleh si 'sopir taksi online'.. interpretasinya bisa berbeda2, ya Om :)
 
keren nih.... ceritanya mengalir, dan endingnya memuaskan para penggemar happy ending.... salut buat mahakarya penulisnya..... semoga lahir karya2 lainnya dengan happy endingnya...
Hampir semua cerita ane berakhir dengan happy kok, Om.. rasanya nggak tega aja, gitu, kalau si tokoh bersedih di akhir cerita.. hehe
 
Kang @praharabuana ini spesialis cerita Romantis. tapi kadang suka kangen dengan cerita sejenis All You Need is Love yang menggabungkan sisi romantis dan SS Yang Liar. Bener bener Fenomenal. Bikin lg dong kang :D
Ahaha... iya, sih...
Semenjak Suzie berubah menjadi kalem, belum pernah ada lagi tokoh di cerita ane yang binal, ya..


Mungkin di cerita-cerita selanjutnya, kebinalan itu akan hadir lewat tokoh baru, Om :)
 
Dari baca judulnya saya udah tertarik liat tulisan mujin eki dan langsung kepikiran wasamin.
Walaupun bukan oshi tapi dia masih salah satu fav member saya. :D
Dan ternyata bener mujin eki nya dan juga ceritanya keren banget, semoga sukses hu buat lktcp nya. :semangat:
 
Bagian akhir silahkan di lanjutkan sendiri sendiri oleh para pembaca yg Budiman.......
 
Bimabet
Banzai
Banzai
Boleh lah dilanjut jadi cerbung
:jempol:

Nice Om
Khas Praharabuana
:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd