Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY MESIN PENGHAPUS MEMORI [END]

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Memori TIGA Bagian II
Aku terbangun subuh-subuh. Terasa agak kaku di selangkanganku karena sisa-sisa lendir yang mengering. Aku tersenyum mengingat peristiwa tadi malam. Ku dengar sudah ada aktivitas di luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dan beranjak ke luar kamar menuju kamar mandi untuk cuci muka. Ketika melintas di dapur, aku melihat Tante Ririn sudah sibuk menyiapkan sarapan. Dia mengenakan daster yang berbeda dengan semalam. Rambutnya basah menandakan dia habis mandi. Ingin rasanya mengusilinya tapi ku urungkan niatku karena ku lihat Om Jono juga sudah bangun, sedang bersantai di teras.

Selesai cuci muka, aku bergabung dengan Om Jono di teras. Om Jono asyik menghisap sebatang rokok sambil menikmati sejuknya udara subuh itu. Sungguh ironis, dia menikmati segarnya udara sekaligus mencemarinya dengan asap rokoknya. Om Jono menyemburkan asap rokok dari hidung dan mulutnya, asap rokok membaur dengan kabut tipis yang menyelimuti halaman rumahnya. Suasana hati Om Jono sangat baik pagi itu. Wajahnya terlihat cerah dan riang. Sesekali dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Pagiii ... sepertinya ada yang lagi seneng banget ini,” sapaku, “Habis temu kangen sih,” godaku sambil terkekeh.

Om Jono menegok ke arahku, “Kayak ngerti saja lu,” balasnya sambil tertawa. Om Jono menyodorkan kursi di sebelahnya untukku.

“Yeee ... Iko kan sudah gede Om, ngertilah.”

Aku cukup dekat dengan Om Jono. Di ibu kota Om Jono sering main ke rumahku. Meskipun Umur Om Jono lebih tua dari Tante Ririn, jiwanya masih muda dan juga cukup up to date sehingga obrolan kami pun nyambung.

“Gimana pacarlu? Siapa itu namanya? Om lupa.”

“Sudah putus, Om.”

“Hah?! Ahh, lu sibuk ngurusi proyek terus sih, males lah dia.”

“Hahaha, iya kali ya,” jabaku santai, “Lah, tapi Tante juga ditinggal om kerja terus di Kota, kok baik-baik saja ya?” tambahku.

“Hahahaha ... bisa aja lu.” Om Jono menghisap rokoknya dalam kemudian menghembuskannya. “Ketemu sih jarang, tapi yang penting pas ketemu servisnya mantab ... hahahahaa,” kelakarnya.

“Halah, palingan juga Om Jono yang diservis.”

Om Jono tertawa sebentar kemudian diam dan celingungkan melihat ke dalam rumah. Om Jono melanjutkan, “Sttt ... tapi servis Tante lu semalam memang istimewa ... hahahaaha.” Om Jono tertawa terbahak-bahak.

Aku memasang raut muka ‘yang benar saja kita membahas ini?’ Terus terang aku tidak mengarahkan obrolan kami ke arah sini tetapi sepertinya Om Jono benar-benar terkesan dengan servis Tante Ririn semalam sehingga pembicaraan menjurus ke arah ini. Tentu saja aku paham dengan apa yang dia katankan, lebih tepatnya aku menyaksikannya.

“Memang biasanya gak istimewa om?” pancingku.

Sekali lagi Om Jono melongok ke dalam rumah, memastikan Tante Ririn tidak ada di sekitarnya. “Biasanya Tante lu itu ogah-ogahan,” bisiknya.

“Aneh, orang enak kok ogah-ogahan,” kataku pura-pura tidak percaya.

Om Jono kembali ketawa mendengar jawabanku.

Gantian aku yang berbisik, “Mungkin Om loyo kali, makanya Tante ogah-ogahan.”

“Enak saja!” Om Jono sewot.

Giliran aku yang terpingkal-pingkal. “Tenang Om, nanti Iko ajarin biar kuat dan tahan lama,” candaku.

“Ah, elu aja kencing belum lurus.”

Kami berdua tertawa.

“Ada apa sih? Seru sekali ngobrolnya,” Tante Ririn sudah ada di teras membawa nampan dengan dua gelas kopi dan dua tangkap roti bakar di atasnya.

“Ini Bu, si Iko ... bahaya, sok tahu urusan orang dewasa,” jawab Om Jono sambil masih tertawa.

Tante Ririn melirikku dengan tatapan ‘Masa iya?’

“Hahaha ... enggak, Tante, cuma ngasih masukkan ke Om Jono aja biar sehat,” kataku asal sambil membantu Tante Ririn menurunku kopi dan roti ke meja teras.

“Iya tuh, bilangin Om-mu. Suruh kurangin rokoknya. Tidak sehat. Olahraga juga jadi tidak kuat.”

Deg! Aku mematung tapi tanganku bergetar hingga menumpahkan sedikit kopi dari gelas yang aku bawa demi mendengar kata ‘Olahraga’ yang diucapkan Tante Ririn. Detak jantungku langsung berpacu, aku tidak berani menatap baik Tante Ririn maupun Om Jono.

Om Jono hanya tertawa saja menanggapi omongan istrinya sambil masih asyik menghisap rokok. Aku masih syok dan tidak berani melakukan gerakkan apapun seakan-akan satu gerakan yang salah bisa membuatku terbunuh.

Syukurnya. Tante Ririn hanya memandang sebal melihat respon suaminya dan langsung berbalik badan masuk ke dalam rumah kembali. Aku menghela nafas lega.

§​

Pagi itu, setelah sarapan, Om Jono dan Tante Ririn pergi ke peternakan, sedangkan aku kembali berkeliling mengobservasi penduduk desa. Sesuai perkiraanku, efek dari mesin penghapus memori mulai luntur. Beberapa orang mengaku pernah mendengar kata SEX meskipun mereka masih belum mampu mengingat secara pasti apa itu sebenarnya. Penduduk yang penasaran mencecarku dengan berbagai pertanyaan, penasaran. Jika aku sudah terdesak aku menjawab asal aja bahwa itu adalah sebuah cabang olahraga. Mereka semakin bingung. Memang mesin penghapus memoriku tidak menghapus memori secara permanen. Biasanya setelah beberapa minggu mereka akan mampu kembali mendapatkan memorinya, waktu beberapa minggu itu cukup memberi kesempatan untuk mengubah memori negatif menjadi positif.

Menjelang sore, aku, Om Jono, dan Tante Ririn sudah berkumpul kembali di rumah. Setelah beres-beres dan mandi, kami berkumpul di ruang keluarga. Tante Ririn sudah menyiapkan camilan dan teh hangat. Kami mengobrol sambil menonton berita sore. Aku cukup was-was kalo-kalo Tante Ririn membahas soal ‘olahraga’ lagi. Untungnya, Tante Ririn tidak pernah menyebut kata itu lagi. Obrolan berlangsung aman.

Malamnya, setelah makan malam, beberapa orang bapak-bapak tetangga berkumpul di rumah. Mereka berkumpul di teras depan, ada yang bermain catur, beberapa menyaksikan permainan itu, sisanya asyik bersendau gurau sambil merokok. Ini merupakan hal yang biasa, rumah Om Jono sudah menjadi semacam basecamp bagi warga desa, bapak-bapak sering berkumpul di rumah ketika ada Om Jono. Dengan dibantu oleh asisten rumah tangganya, Tante Ririn menghidangkan camilan dan minuman ke mereka, setelahnya Tante Ririn bersantai di ruang tengah menikmati acara tv.

Aku yang sedari tadi memperhatikan dari meja makan, tiba-tiba memiliki ide gila. Segera ku bereskan bekas makan malamku, kemudian aku ambil sarung di kamar, aku lilitkan di leher seperti memakai syal, dan bergabung dengan Tante Ririn di ruang tv. Satu-dua kalimat pembuka keluar dari mulutku, selanjutnya obrolan kami mengalir alami. Perlahan aku mulai mengarahkan obrolan ke aktivitas olahraga Tante Ririn dengan Om Jono malam sebelumnya. Dengan polos Tante Ririn mengungkapkan ketidakpuasannya atas performa Om Jono. Aku mencoba memberi pengertian bahwa tidak semua orang menguasai olahraga ini. Aku juga memberi pengertian bahwa olahraga ini tidak harus selalu dilakukan secara kompetitif tetapi bisa juga dilakukan untuk sekedar mencari keringat serta kesenangan. Banyak hal lain yang aku sampaikan ke Tante Ririn hingga dia mengerti bahwa inti dari olahraga SEX adalah kenikmatan.

“Yang penting sehat, Tante, dan tentu saja nikmat, gak selalu harus menang kalah” kataku mengakhiri penjelasan.

Tante Ririn mengangguk-angguk paham.

“Kalo Tante tau lawan main Tante kurang kuat, Tante harus melemahkan serangan. Biar lawannya gak gampang kalah dan tetap menikmati pertandingan.” Aku menambahkan informasi lagi. “Atau bisa juga dengan cara Tante memaksimalkan pemanasan.”

“Memaksimalkan pemanasan?” tanya Tante Ririn bingung.

“Gini deh, anggap aja Tante malam ini mau berolahraga sama Om Jono. Nah, sebelumnya Tante harus sudah siap-siap supaya nanti waktu bertanding Tante sudah panas dulu sehingga Om Jono bisa mengimbangi Tante.”

Tante Ririn masih memasang muka bingung.

“Iko kasih contoh deh.”

Aku menarik sarung dari leherku kemudian aku gelar menutupi dada hingga pangkuan Tante Ririn seakan-akan dia berselimut kain sarung karena kedinginan. Aku duduk merapat di sebelah kiri Tante Ririn. Tangan kananku merangkul pundak Tante Ririn. Ku elus pundaknya supaya Tante Ririn rileks. Tante Ririn hanya diam, masih bingung tapi tidak protes.

“Iko akan bantu Tante untuk pemanasan,” kataku. “Tante santai aja. Tarik nafas dalam!”

Tante Ririn mengikuti instruksiku. Dia menarik nafas dalam, dadanya membusung.

“Lepaskan,” lanjutku.

Aku menyuruh Tante Ririn melakukannya, kurang lebih lima kali. Ketika dia menghembuskan nafasnya untuk ke lima kalinya, tangan kananku meremas lembut dadanya. Tante Ririn kaget, badannya bergidik.

“Tenang aja Tante,” ujarku. Sebenarnya aku tahu Tante Ririn bukan grogi karena payudaranya aku remas tapi lebih karena kami melakukannya di depan tv dan ada bapak-bapak sedang berkumpul di teras. Mskipun dia mengenal SEX sebagai bentuk olahraga tetap saja Tante Ririn kurang nyaman aset pribadinya dimainkan atau bahkan diumbar dihadap orang lain.

Tangan kiriku kini juga merayap ke payudara Tante Ririn yang lainnya. Kedua tanganku bekerja lembut membelai dan memijat kedua payudara kenyal Tante Ririn. Tante Ririn mencoba untuk rileks tapi raut mukanya tegang. Aku mencoba meningkatkan libido Tante Ririn dengan mengkombinasikan antara tekanan dan usapan di dadanya. Aku tahu nafsu Tante Ririn mulai merangkak naik ketika ku rasakan benjolan putingnya mengeras. Rasangan ku tingkatkan dengan mencoba memilin puting Tante Ririn dari balik bajunya. Nafas Tante Ririn mulai memburu.

Menit berikutnya salah satu tanganku meyelusup ke balik sarung yang aku gelar menutupi paha Tante Ririn. Aku renggangkan sedikit paha Tante Ririn. Kemudian jariku meluncur ke pangkalnya yang terasa lembab. Ku usap perlahan dari balik celana dalamnya, kemudian dengan lihai jariku menyelusup melalui celah samping celana dalamnya meluncur ke pusat liang nikmatnya.

“Akhhh.” Tante Ririn merintih pelan ketika jariku berhasil menyentuh itilnya.

Jariku bergerak membelai klitoris Tante Ririn. Tubuh Tante Ririn bergetar. Tanganku yang lain masih aktif meremasi susu Tante Ririn. Posisi duduk Tante Ririn menjadi sedikit merosot. Gerakan jariku di memeknya aku kombinasikan sehingga menguak lubang nikmat Tante Ririn tanpa menghentikan rangsanganku di klentitnya.

“Ahh ... aaahh ... akhh.” Desahan Tante Ririn makin menguat.

“Jangan keras-keras Tante, nanti yang lain dengar,” larangku. Aku menengok ke arah teras memastikan situasi aman.

Tante Ririn menyadari bahawa bisa saja orang-orang di teras mendengarnya, dia mencoba meredam desahannya tapi dia tidak mampu meredam nafsunya.

Aliran lendir mulai meleleh dari lubang surgawi Tante Ririn, membasahi jariku. Dua jariku langsung menyelusup lancar ke liang senggamanya.

“Akkhhhh!” Tante Ririn terpekik nikmat merasakan jariku menerobos masuk dan mengorek dinding vaginanya.

Selama beberapa menit berikutnya kedua tanganku sibuk bekerja menaikkan gairah Tante Ririn hingga kurasakan klimaksnya sudah mengintip, dengan segera ku hentikan aktivitasku.

“Eghhhhhh,” Tante Ririn melenguh kecewa.

“Tahan Tante, atur nafas dulu,” ujarku.

Tentu saja Tante Ririn sedikit kesal gagal mencapai klimaksnya.

Aku tersenyum menatapnya menunjukkan bahwa aku mengerti apa yang dia rasakan.

Selanjutnya aku mengajak ngobrol Tante Ririn untuk meredakan libidonya. Beberapa saat Tante Ririn masih menunjukkan rasa kesal karena orgasmenya tertunda, dia tidak mengerti kenapa aku berhenti, tetapi dia mau mengikuti arahanku. Ketika nafsunya sudah mulai mereda tanganku kembali bekerja untuk membangkitkannya lagi, kemudian aku hentikan lagi tepat saat orgasmenya hampir meledak. Ku lakukan seperti itu terus berulang-ulang. Kadang kami beristirahat sedikit lebih lama agar nafsu Tante Ririn benar-benar mereda.

“Ahh … ah … aah.” Tante Ririn terengah-engah ketika ku gagalkan kembali klimaksnya untuk kesekian kalinya. “Lama-lama … Tante tabok juga kamu Iko,” ucapnya kesal disela engahannya.

Aku terkekeh. “Percaya deh Tante, ini bakal membantu Tante nanti ketika berolahraga dengan Om.” Tante gak tau aja padahal aku juga menahan konak nih batinku dalam hati. Aku rasakan sudah ada sedikit cairan meleleh dari ujung burungku.

Aku baru mengerjai tubuh Tante Ririn ketika tiba-tiba ada seorang bapak masuk ke dalam rumah. “Bu Ririn numpang ke kamar mandi ya?” katanya.

Tante Ririn kaget, kemudian panik membenarkan posisi duduknya yang melorot. “Eh … I … iya pak, sebelah sini,” katanya sambil menunjuk ke arah kamar mandi.

Aku sudah melepaskan satu tanganku yang tadi bertugas meremasi dada Tante Ririn tetapi satu tangaku masih bersarang di vaginanya tersembunyi di balik sarung. Si Bapak tidak menyadarinya.

“Misi,” kata bapak itu ketika melintas di dekat tempat aku dan Tante Ririn duduk.

Aku mengangguk tersenyum. Ide usilku muncul, seketika ku pencet itil Tante Ririn.

“Eeeghhhh!” rintih Tante Ririn keras.

Si bapak yang sudah berjalan selangkah melewati kami kaget dan menoleh. “Eh kenapa bu?” tanyanya bingung.

“Aa … ti … tidak apa pak,” jawab Tante Ririn gugup, kemudian melotot ke arahku.

Aku hanya nyengir. Tentu saja si bapak tidak terlalu menaruh curiga karena sama seperti Tante Ririn memorinya tentang SEX telah lenyap.

Tepat pukul 23.00 para bapak-bapak pamit pulang. Aku pun menyudahi ‘pemanasanku’ dengan Tante Ririn yang sudah kami lakukan hampir dua jam. Kondisi Tante Ririn sudah tidak karuan terlihat sekali dia ingin segera menuntaskan hajatnya.

Setelah seluruh tamu pulang, Om Jono berjalan masuk menuju kamar. Tante Ririn menyuruh pembantunya untuk membereskan sisa-sisa makanan dan minuman di teras kemudian berjalan cepat mengikuti suaminya menuju ke kamar, bahkan tanpa berpamitan denganku. Aku tertawa geli.

Aku berlari kecil ke kamarku dan segera menyalakan laptop untuk mengakses kamera di kamar Tante Ririn. Butuh beberapa saat hingga laptop siap. Setelah menyala, layar laptopku menampilkan situasi di kamar Tante Ririn. Om Jono dan Tante Ririn terlihat asyik bergumul di ranjang masih dengan pakaian lengkap, berciuman dengan panas. Oke, aku tidak menduga akan dimulai secepat itu. Tante Ririn sepertinya sudah tidak sabar batinku. Sambil berciuman, tangan Om Jono sibuk meremasi dada istrinya. Tante Ririn terpejam menikmati rangsangan suaminya. Tangannya sibuk meremasi kasur tak kuasa menahan kenikmatan. Aku yakin dengan sedikit sentuhan dari Om Jono, nafsunya pasti langsung memuncak karena sebelumnya sudah pemanasan denganku.

Om Jono dengan tidak sabar menanggalkan sarung dan celana dalam yang dia kenakan. Dia kemudian menaikkan daster istrinya ke atas, sebatas perut, dan menarik lepas celana dalam istrinya. Detik berikutnya batang perkasanya telah melesat menggagahi liang nikmat istrinya. Kedua manusia ini tampak bergerak liar dibuai nafsu. Dan aku sebagai orang ketiga panas dingin sendiri menyaksikan pergumulan mereka, tiada lawan. Ku remasi sendiri burungku sambil membayangkan gurih empotan memek Tante Ririn.

Tak berapa lama Tubuh Tante Ririn terlihat mengejang. Mulutnya menganga seperti berteriak, bahkan samar-samar aku mendengar lenguhan Tante Ririn dari kamarku. Dia mencapai klimaksnya. Om Jono lagi-lagi terlihat kaget melihat kondisi istrinya. Yang benar saja dia belum pernah melihat istrinya orgasme? tanyaku dalam hati. Disaat Tante Ririn menggelapar keenakan, Om Jono semakin gila menyetubuhi istrinya. Aku yakin Tante Ririn pasti sangat senang. Dan tak lama, Om Jono pun menyusulnya mencapai puncak, raut mukanya mengerang nikmat, tubuhnya kaku sesaat lalu ambruk di atas tubuh Tante Ririn. Berakhir imbang.

Badanku panas, berkeringat. Batang kemaluanku keras tegak menjulang. Pikiranku sesaat kosong, bingung sendiri. Sekarang giliranku yang belingsatan dengan libido yang belum tersalurkan. Tentu saja aku enggan bermasturbasi melihat ada Tante Ririn di sana, yang sebelum-sebelumnya selalu siap memuaskanku. Tapi kali ini ada Om Jono, apa yang harus aku lakukan? Ku lihat dari monitor Om Jono sepertinya langsung terlelap, sedangkan Tante Ririn tampak baru membersihkan kemaluannya.

Nekat, ku beranikan diri melanglah ke kamar Tante Ririn, namun keberanianku agak surut ketika sudah sampai di depan pintu kamarnya. Aku diam sesaat. Akhirnya nafsu lah yang mengalahkan logikaku. Ku ketuk pelan pintu kamar Tante Ririn.

“Tante … Tante Ririn.” Karena takut memanggil terlalu keras, akhirnya malah suara bisikan aneh yang keluar dari mulutku. Aku tidak yakin Tante Ririn mendengarnya.

Aku ketuk pintunya untuk kedua kalinya, masih berusaha untuk tidak mengetuk terlalu keras hingga membangunkan Om Jono dan tetap tidak ada respon dari dalam. Ketika aku akan mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu tiba-tiba dibuka. Aku kaget, jantungku berdetak kencang. Tante Ririn melongkok dari celah pintu dengan rambut acak-acakan dan pakaian sedikit kusut, mukanya terlihat lesu.

“Iko?” tanyanya bingung.

Aku langsung menariknya keluar. “Bantuin Iko bentar ya Tante, Iko dah gak kuat.”

Tante Ririn masih bingung. Ku tutup pelan pintu kamar Tante Ririn dari luar. Ku balik tubuh Tante Ririn menghadap pintu, ku tarik sedikit pantatnya ke belakang sehingga posisi Tante Ririn sedikit membungkuk kemudian ku angkat dasternya. Untungnya Tante Ririn belum mengenakan celana dalam. Langsung saja kontolku ku tarik ke luar dari dalam celana kolorku dan langsung aku sarangkan ke lubang nikmat Tante Ririn dari belakang. Kami bercinta di depan kamar Tante Ririn.

“Aaahhhhhhh,” Tante Ririn mendesah nikmat.

Sejurus kemudian aku sibuk memompa vagina Tante Ririn yang masih lincin akibat sisa-sisa pertempuran sebelumnya.

“Ahhh ... aahh ... aahhkhh.” Desahan Tante Ririn menggema menyelimuti dingin dan sepinya malam itu. Meski baru saja mendapat orgasmenya tapi nafsu Tante Ririn dengan mudah langsung merangkak naik kembali.

Tanganku tak tinggal diam, meremasi tetek Tante Ririn. Saking nafsunya, aku remasi sedikit keras dan kasar dadanya. Tante Ririn merintih perih. Ku jilati telinga Tante Ririn dari samping, ku gigit-gigit kecil. Butir-butir keringan meleleh di pelipis Tante Ririn. Harum aroma tubuh Tante Ririn bagaikan minyak yang disiramkan ke kobaran api gairahku sehingga membuatnya meledak-ledak tak terkendali.

Tidak ada protes atau keluhan yang terucap dari mulut Tante Ririn atas penyergapanku yang tidak dia duga ini. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya selain lenguhan demi lenguhan yang mengiring kenikmatan yang dia rasakan. Tidak sepatah kata pun juga keluar dari mulutku. Kami berkomunikasi melalui desahan dan erangan. Mulut kami memang tidak saling bicara tetapi kemaluan kami saling menyapa, saling memberikan kenikmatan yang tiada tara. Saat itu aku sama sekali tidak mengkhawatirkan Om Jono, bahkan lupa kalo Om Jono ada di balik pintu yang dijadikan sandaran oleh Tante Ririn.

Aku tidak mau berlama-lama hanya ingin segera meledakkan spremaku di memek Tante Ririn. Gerakan pinggulku ku percepat. Tante Ririn mencoba mengimbangi namun tidak bisa banyak bergerak karena kakinya tidak cukup kuat untuk menahan badannya. Kami berdua terus beradu desahan. Aku merasakan kan rangsangan hebat dari memek Tante Ririn. Gesekan dinding vaginanya sangat terasa di sekujur batang kemaluanku. Gurat dan lekuk liang kenikmatan Tante Ririn tergambar nyata.

“Tante, aku mau ke ....” kata-kataku terpotong oleh ringkikan Tante Ririn.

“EGGHHHHHHHH!” Tubuh Tante Ririn kaku. Pantatnya didorong ke belakang. Matanya terpejam. Tangannya mencengkram pintu untuk berpegangan karena kakinya tiba-tiba bergetar hebat, pijakkannya melemah. Tante Ririn mendapatkan orgasmenya.

Aku berniat tetap menyetubuhi Tante Ririn tapi sesaat kontolku diremas kencang oleh memeknya sehingga tidak dapat aku gerakkan. Ketika cengkeraman vaginanya melemah, tubuh Tante Ririn ambruk ke bawah. Burungku terlepas dari liang surganya. Aku gagal menyusulnya mencapai klimaks.

Tante Ririn terduduk meringkuk bersandar di pintu. Nafasnya tidak beraturan. Badannya menggigil keenakkan, sesekali bergetar dan mengejang. Melihat kondisi Tante Ririn yang sudah terlalu lemah aku tidak tega untuk menggagahinya lagi. Ku raih tangan Tante Ririn dan ku arahkan ke kontolku.

“Tante, tolong sedikit lagi,” mohonku.

Tante Ririn mengerti dengan sisa-sisa tenaganya dia mengocok burungku, namun gerakkannya tidak beraturan. Aku pegang tangannya dan kutuntun untuk mengocok kontolku. Aku melenguh nikmat merasakan kulit tangannya bersentuhan dengan batang kejantananku. Gelombang kenikmatan bisa aku tarik kembali menuju puncaknya.

“Tante, emut dong.” pintaku.

Tante Ririn menurut. Membuka mulutnya. Kontolku langsung melesat menyetubuhi tenggorokkannya. Suara becek kini menggema. Lendir meleleh dari celah bibir Tante Ririn, campuran antara air liur dan cairan memeknya yang membalut burungku.

“Ahh ... aahh ... ahh.” Aku menggoyangkan pinggulku cepat. Burungku keluar masuk mulut Tante Ririn. “Terus Tante ... terus Tante ... teruuus!!”

Melihat gelagatku yang akan mencapai orgasme, Tante Ririn mengangkat tangannya. Satu tangan menggenggam batang kontolku, kemudian mengocoknya sangat cepat. Tangan satunya memijat-mijat buah zakarku. Mulutnya berusahan menahan kepala burungku tidak lepas dari kulumannya. Lidahnya terasa menggelitik lubang kontolku, membuka jalan untuk dilalui oleh si maha nikmat. Sensasi yang aku rasakan sungguh tak terperi. Dalam hitungan detik gelombang kenikmatan menghantam tubuhku.

“TANNTEEEE!” teriakku sambil meremas menahan kepalanya. Creettreeterett. Pejuhku meledak-ledak di mulut Tante Ririn. Tidak terlalu banyak. Hanya beberapa kali semprotan tapi setiap muncratannya terasa maha dahsyat. Spermaku tidak bertahan lama dirongga mulut Tante Ririn karena aku merasakan Tante Ririn langsung menelannya.

Setelah burungku berhenti bergetar, aku cabut dari mulut Tante Ririn. Aku terduduk lemas di depan Tante Ririn, tertawa sayu memandang Tante Ririn. Tante Ririn mengusap sisa-sisa cairan di bibirnya dan terkekeh melihatku tak berdaya.

§​

Minggu malam aku berpamitan dengan Tante Ririn untuk kembali ke ibu kota bersama Om Jono. Aku katakan mungkin lusanya aku akan kembali jika urusanku di ibu kota lancar. Sepanjang perjalanan ke ibu kota Om Jono sempat beberapa kali mengungkapkan keherananya atas perilaku SEX istrinya. Namun sepertinya dia tidak terlalu curiga, bahkan merasa bahagia. Senang bisa membantu Om aku terkekeh dalam hati.

§​
 
Bimabet
Nice suhu...
Tapi kalau bisa selain menghapus ingatan juga mampu memanipulasi juga HEHE :)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd