racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.694
MDT SEASON 1 - PART 58
------------------------------------------
Aku meraih gelas yang penuh berisi air dingin itu dan meminumnya perlahan. Kyoko menatapku dengan tajam. Tatapan yang penuh dengan kecurigaan, kekhawatiran dan rasa penasaran. Sedang apa pacarku malam ini? Kenapa ada asbak dan sedikit bau aneh yang tercium dari kamarnya? Arya kan tidak merokok. Arya sedang apa?
“Aya…. apa mau bicara? Ohanashi?” tanyanya.
“Nande mo nai…” jawabku, menghindar.
“No, really…. Aya sedang apa? Aya tida smoking tabako… Sore nani?” tunjuknya lagi ke dalam, ke arah asbak dan puntung. Bukan puntung rokok tentu saja. Kyoko memaksa masuk dan aku tidak bisa menahannya.
“Kore nani? Aya?” Kyoko mengambil puntung lintingan bekas aku membakarnya beberapa waktu yang lalu.
“Ano….”
“Aya, kore wa tabako janai…” ini bukan rokok, selidik Kyoko.
“Hai… Tadashi..” benar, itu bukan rokok.
“Kono mono wa… Nan desuka?” tanya Kyoko dengan bahasa Jepang yang berkalimat lengkap dan tegas. Makin pendek bahasa Jepang, maka makin casual dan makin akrab, semakin panjang, biasanya semakin tegas dan semakin resmi. “Apa ini” yang casual adalah “Kore Nani?”. Sedangkan bentuk yang tegas dan kakunya adalah “Kore wa nan desuka”, atau kalau bertanya, benda apa ini, bentuk tegas dan kakunya adalah “Kono mono wa, nan desuka?”
Aku menghela nafas panjang.
“*****”
“Weed?” tanya Kyoko lagi.
“Hai”
“Ah…” Kyoko tampak memperlihatkan muka iba padaku. Dia menaruh puntung itu di asbak, dan berjalan ke arah pintu. Kuduga dia akan keluar, dan masuk kamarnya dan tidak akan bicara lagi padaku.
Tapi aku salah.
Kyoko menarikku masuk dan menutup kamarku dari dalam. Kyoko lalu duduk di atas kasurku. Dan aku masih berdiri dengan tololnya, dengan kepala yang masih goyang, dan fokus yang tak menentu.
“Aya… Duduk…”
“Hai..” jawabku lemah, dan pasrah. Aku duduk di sofa, menghadap dirinya. Aku sudah bersiap akan berbagai hal yang buruk. Kemarahan Kyoko, atau dia minta putus karena dia tidak suka dengan pemakai *****, sebagaimanapun aku menjelaskannya nanti jika ia mencecarku.
Oke, dan aku terpaksa pasrah menerimanya.
“Doushite?” tanyanya. Kenapa.
“Nani mo nai…” nothing, jawabku bodoh.
“Aya… Doushite? Kyoko wa… Shinpai shite…” Oke, dia khawatir kepadaku.
“Ie… Shinpai shinaide” jawabku tolol, menyuruhnya agar jangan khawatir.
“Aya!” serunya pelan dengan suara yang suprisingly lembut. “Nani ga atta ka?” dia menanyakan apakah ada hal yang terjadi belakangan ini, yang menyebabkan ini semua. Sumpah, rasanya tidak nyaman.
“Ano…”
“Mondai ga aru ka?” apakah ada masalah?
“Arimasen dayo…” ga ada masalah.
“Aya…. Please…” Kyoko bangkit, lalu bersimpuh di depanku, memegang lututku dan satu tangannya lagi dengan lembut membelai rambutku. Aku agak gemetar karena segan. Kenapa ia malah menenangkanku? Apakah dia berkesimpulan dengan aku menghisap *****, berarti ada masalah yang ingin aku lupakan? Sepertinya dia benar.
Dan saat ini perasaanku berkecamuk, apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya. Sialan, yasudah, tanggung kepalang basah.
“Can I tell you in English?” tanyaku ke Kyoko.
“Indonesia mo daijobu” senyum tipis Kyoko. Entah senyum itu senyum menahan marah, sedih, atau memang simpati.
“Oke… So… Tentang Kanaya”
“Kanaya?” tanya Kyoko.
“Tadi Kyoko, ketika ketemu Kanaya, apakah memperhatikan sesuatu yang aneh?” tanyaku.
“Aneh… Ano… Kanaya? Tida ada aneh-aneh di Kanaya” jawab Kyoko.
“Di aku?” tanyaku lagi.
Kyoko menghela nafas.
“Hai…. Aya diam terus…” tatap Kyoko dengan tatapan yang dalam. Begitu dalam sehingga aku bisa merasakan matanya menembusku.
“Kyoko tahu kenapa aku diam?” Kyoko hanya menggelengkan kepalanya sambil menyentuh tanganku, dan membelainya lembut.
“Kenapa, Aya?”
“Ya, Kanaya”
“Kanaya, doushite?”
Aku menarik nafas panjang.
“Semalam sebelum Kyoko datang, Kanaya tiba-tiba bilang suka kepadaku”
“…” Kyoko terdiam.
“Dan aku kaget, dan sudah sejauh ini menghindar, sampai tadi”
“Kenapa Aya me-hinda’?” tanya Kyoko.
“Aku tidak enak. Aku masih ingin berteman biasa, aku takut nanti jadi aneh, jadi….”
“Wakarimashita…” bisik Kyoko. Mengerti, katanya. Mengerti apa?
“Demo… Tadi Kanaya tida perihatkan karo suka sama Aya” lanjut Kyoko.
“Bener”
“Ano… Sore arutinya… Dia respect sama Aya dan Kyoko” senyum Kyoko. “Demo… Supaya Aya tida merasa tida enak ragi, Aya harus birang sama Kanaya yang sebenarnya karo Aya masih mau beteman denggan Kanaya” gila, kalimat sesusah inipun dia sudah agak lancar.
Dan aku merasa ada perasaan damai yang aneh. Kyoko tidak terlihat marah sama sekali. Dia hanya mengatakan kepadaku untuk berkata ke Kanaya, kalau aku masih ingin semuanya normal lagi.
“Kyoko tidak marah?” tanyaku.
“Hai… Tida mara…” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena… Ini bukan masalah Aya dan Kanaya. Ini masalah Kanaya, hitori…” masalah Kanaya sendiri. “Dan Aya merasa tida enak pasuti karena takut Kyoko jealous?” tanya Kyoko lagi.
“Ya”
“Berarti Aya sayang Kyoko” Kyoko lalu memeluk leherku. “Tapi waktu itu, Kanaya birang suka sama Aya, kejadiannya bagaimana?” tanya Kyoko.
“Semalem sebelum kamu dateng, aku seneng banget, cerita ke anak-anak, semuanya, kalau aku gak sabar kamu dateng” Kyoko tersenyum mendengarnya. “Aku juga cerita sebegitu hebohnya di depan Kanaya. Dia biasa aja, tapi lama-lama, dia keliatan kesal dan potong omonganku, dia lantas bilang kalau suka, terus pergi…. Dan gak ketemu lagi sampai tadi siang…” ceritaku panjang.
“Hai…. Ini… berarti masarahnya hanya Kanaya suka sama Aya” senyum Kyoko lagi.
Aku menganggukkan kepalaku.
“Aya sukanya sama siapa?” tanya Kyoko pelan.
“Tentu sama Kyoko” aku tersenyum. Sambil menahan diri agar aku tidak menceritakan fling-ku dengan Kanaya sebelum aku berangkat ke Jepang untuk pertama kalinya.
“So… Ano… Kanaya harus dengar dari Aya, kalau Aya tida suka Kanaya. Tapi walau… Kanaya sudah tahu itu, dia harus dengar dari Aya sendiri, karena dia pasuti ingin dengar rangsung, agar dia…. Ano….”
“Agar dia ngerti dan paham dan supaya perasaannya gak lanjut?” tanyaku Ke Kyoko.
“Hai”
“Kalau lanjut gimana?” tanya ku tolol.
“Yang penting Aya mau sama Kyoko?” senyum Kyoko dengan bodohnya.
“Iya” aku tersenyum kecil dan Kyoko membelai rambutku.
“Demo…. Kenapa harus sampai.. Ano..” Kyoko menunjuk ke arah puntungan ***** di atas asbak.
“Pusing, dan ini bisa bikin aku gak pusing lagi”
“Demo…. apa bedanya dengan osake?”
“Beda”
“Sama, Aya… Onaji…”
“Betsu” beda.
“No… Please” bisik Kyoko.
“Please what?” tanyaku.
“Aya jangan pakai itu lagi…. Karo pusing, birang Kyoko… Tak peru hisap benda aneh…. Onegai…” mohonnya sambil memelukku.
“Demo..” Tentu saja itu sudah jadi kebiasaanku dari jaman kuliah, tak semudah itu.
“Just say yes to me please…” mohon Kyoko. “Jangan lagi” mohonnya tanpa tahu apa-apa soal sejarahku dengan *****.
“Kyoko…”
“Please..”
“Kyoko”
“Aya, please…… Don’t… Abunaiyo…” bahaya, katanya.
“Demo…”
“Aya…..” Mohonnya dengan mata yang mengiba.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
“Terus gimana?” tanya Stefan.
“Ya akhirnya gue terpaksa bilang kalo gue ga akan ngegele lagi, biar ga panjang”
Jam sembilan pagi, di rest area tol Jakarta-Bandung. Kyoko masih tidur di mobil, aku menemani Stefan beli minuman di minimarket dan merokok sebentar. Anin dan Sena masih belanja di minimarket, dan Bagas ada di dalam mobil. Dengan diam dan kakunya.
“Soal Kanaya?”
“Ya abis balik dari Bandung entar gue temuin tu anak, biar clear”
“Kok gue ngerasanya si Kyoko lagi-lagi terlalu banyak berkorban ya buat elo? Gue kalo jadi dia pasti bete-bete gak jelas tuh, kalo nangkep pacarnya ngegele, galau mikirin tingkah cewek lain” balas Stefan.
“Fan…”
“Gue serius… Gue ga tau gimana, cuman perasaan gue kok gak enak ya, bukan masalah lo sama Kanaya, tapi gue perasaannya gak enak sama Kyoko” lanjut Stefan.
“Maksudnya mendingan gue ga usah sama Kyoko gitu?” tanyaku dengan nada agak tidak nyaman.
“Bukan, tapi gue takut suatu saat dia bisa meledak sendiri karena dia nahan perasaannya demi elo, demi bisa keliatan ngebelain elo banget, terus submissive kayak gitu, Yamato Nadeshiko banget lah” tawa Stefan.
“Yamato Nadeshiko?” tanyaku.
“Yamato Nadeshiko” Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam dan membuang asapnya ke udara.
“Apaan tuh?” tanyaku lagi.
“Gambaran perempuan ideal menurut budaya Jepang. Mungkin di jaman modern ini, udah mulai agak kegerus zaman, tapi masih kerasa di perempuan-perempuan Jepang jaman sekarang loh…”
“Maksudnya ideal itu gimana”
“Ya yang nurut sama suami, loyal, mampu ngurus rumah tangga, feminim, keluarga nomer satu” senyum Stefan.
“Itu gak jelek kan Fan”
“Gak jelek emang, yang jelek kalo dia berkorban terlalu banyak buat jadi orang yang kayak gitu. Dan Kyoko kayaknya gitu banget sama elo. Kalo gue? Udah mencak-mencak gue gak bolehin elo ketemu Kanaya lagi, atau malah gue laporin ke emak lo kalo lo ngeganja. Tapi ini malah sok-sok bijak nyuruh elo ketemu Kanaya, bikin clear masalah, bagus sih, tapi berapa banyak perasaan jealousnya yang dia pendem? Terus pake mohon-mohon meluk-meluk elo biar lo gak ngegele lagi, itu sih parah di mata gue men…” balas Stefan panjang.
“Tapi….”
“Kyoko pantes banget emang buat dikawinin” senyum Stefan. “Gue gak tau ya, apa lo bisa nyaman dan bikin Kyoko gak maksain, gue harap lo bisa kayak gitu, cuman ini cewek setia dan baiknya ke elo keterlaluan banget, dan di mata gue gak wajar, jadi lo harus bener-bener jaga baik-baik perasaannya…. Mungkin nanti kalo lo mau ngegele diem-diem aja ke rumah gue” tawa Stefan.
“Tai…. Ah sudah lah… Tapi yang pasti, kalo soal kawin gue gak bakal mikir dua kali Fan, terutama ngeliat dia nyaman disini” tawaku balik.
“Good for you..” bisik Stefan.
“Tapi, kalo lo bilang suatu saat, dia bakal meledak kalo nahan perasaannya, maksudnya dia bakal ngamuk ke gue gitu?” tanyaku tolol.
“Lo kayak anak kuliahan aja deh, kagak lah, dia pasti meledaknya ke diri sendiri, kecewa kenapa gak kuat, terus nyalahin diri sendiri, stress sendiri, ya kayak yang waktu gue bilangin pas kita di Jepang itu Ya” jelas Stefan.
“Hmm….”
“Iya lo orang baik, baik banget ama cewek, tapi lo ga bisa baca pikiran orang men… Jadi yah, ati-ati aja dah” sahut Stefan ringan, sambil membuang puntung rokoknya ke tong sampah.
“Udah nih” mendadak Sena keluar dan membawa bungkusan minimarket.
“Banyak amat!” teriak Stefan.
“Buat ngemil di hotel juga ntar bang” teriak Sena balik.
“Kampung”
“Dih….” Sena hanya meringis saja. Aku tersenyum sambil berjalan balik ke arah mobil Stefan dan Mang Ujang sudah menunggu disana.
“Neng Kyokonya tidur terus mas ya?” tanyaku saat masuk ke dalam mobil, ke Jok belakang. Di sebelahku Kyoko masih terlelap, dengan memeluk handbagnya.
“Kecapean kali dari kemaren” tawaku. Ya, selain pembicaraan panjang lebarku malah hari dengannya, tentu dia pasti kelelahan menyaksikan resepsi dan akad nikah Bagas.
“Mmm?” Kyoko agak terbangun dan melihatku bersandar di jok mobil. “Hai Aya” senyumnya.
“Hi” sapaku balik sambil menggenggam tangannya.
“Jaran lagi?” tanya Kyoko.
“Ya”
“Kyoko tidur lagi? Atau aya mau bicara?” senyum Kyoko sambil menyenderkan kepalanya ke bahuku.
“Tidur lagi aja, gapapa” senyumku.
“Okei”
Kyoko tampak nyaman, memeluk tasnya. Dandanannya hari ini lucu, celana jeans ¾, sneakers, kemeja, cardigan dan beanies. Dia tampak lebih muda daripada umurnya. Aku menepuk kepalanya dan membiarkan dia terlelap di perjalanan Jakarta ke Bandung ini. Tak sabar rasanya ingin segera memperkenalkan dia ke anak-anak Frank’s Chamber.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Benar saja, sesampainya kami di hotel yang masih dalam area venue itu, bahkan sebelum kami selesai beres-beres, ada ketukan di pintu.
“Permisi…. Rum Serpis… Serpis kamar… Serpis payung…” suara dengan logat sunda yang kental itu terdengar di depan pintuku. Kyoko bingung mendengar suara yang kalimatnya amburadul itu, dia sedang mengeluarkan baju ganti dan menatanya di lemari yang tersedia.
“Akang!” teriaku saat membuka pintu, dan muncul Kang Bimo dan Kang Wira di depan pintu.
“Jangan keras-keras euy teriaknyah.. Kamu kayak orang desa, pacar interlokal tapi kelakuan kamu masih wartel” ledek Kang Bimo.
“Eh, aya ningan kabogohna” celetuk Kang Wira.
“Eh iya, kenalin ini Kyoko” Kyoko lantas menghampiri mereka berdua dan menunduk sambil menjulurkan tangannya, untuk berkenalan ala orang Indonesia. Kang Bimo dan Kang Wira malah menunduk, berkenalan ala Jepang.
“Saya Bimo”
“Dan Saya Wira…”
“KAMI DARI!!! BENGKEL MOTOR SARIMAHI BARU, MENGUCAPKAN SELAMAT IDUL FITRI…”
“Belegug siah” Kang Wira lalu menoyor kepala Kang Bimo yang belum belum sudah mengajak Kyoko bercanda. Candaan yang tentu saja disambut Kyoko dengan ekspresi aneh, melihat kelakuan ajaib kedua orang gila ini.
“Ano… Kyoko desu” angguk Kyoko dengan canggung ke mereka berdua.
“Halo… Ano… Kimigayo, suzuki,honda, kawasaki, hitachi, samsung….” Jawab Kang Bimo.
“Atuhlah kamu jangan heureuy wae atuh” tegur Kang Wira sambil menatap sinis ke arah Kang Bimo.
“Maaf abisnyah suka grogi di depan cewek geulis teh”
“Eeee?” Kyoko bingung harus merespon dengan apa.
“Punten, maaf yah, hampura, baturan saya sok heureuy teu puguh” sahut Kang Wira dalam bahasa Sunda.
“Kang, ini dia baru lancar bahasa Indonesia, jangan dibikin pusing pake bahasa sunda dong” keluhku sambil tersenyum simpul.
“Hai… iya, Kyoko bisa bicara Indonesia… Jadi…” Kyoko berusaha menambahkan.
“Jadi kapan kawin kalian teh” potong Kang Bimo.
“Eh? Kawin? Kekkon?” Kyoko tampak panik menanggapinya. Dia berusaha melihat ke arahku, berharap aku mengatakan sesuatu untu menjelaskan situasi super aneh yang dia hadapi sekarang.
“Wah, maap atuh, kalo kejauhan nanyanya” maaf Kang Bimo.
“Kamu kebanyakan becanda ah” tegur Kang Wira, lagi-lagi.
“Maap, grogi kan ketemu yang adem-adem” senyumnya.
“He euh adem siga Adem Sari meureun”
“Ngomong naon sih si gelo”
Dan mereka bertukar-tukaran hinaan, sementara Kyoko masih bingung harus merespon dengan bagaimana.
------------------------------------------
Setelah sedikit kerusuhan tadi, akhirnya Kyoko dan aku berhasil menyiapkan kamar agar nanti malam setelah kami manggung acara tahun baru, bisa ditiduri dengan nyaman. Aku dan Kyoko tidur-tiduran, berpelukan dengan malasnya sambil menunggu waktu makan siang. Tentunya makan siang di Maja House, sambil bicara dengan panitia acara, dan bertemu para penampil, awak /ndif, Frank’s dan beberapa band pembuka sebelum kami manggung.
Sudah lama aku tidak bertemu dengan Kang Arri /ndif dan kawan-kawan. Pasti seru juga.
“Aya, di Indonesia, bahasa ada banyak?” tanya Kyoko langsung ke telingaku dengan bisikannya yang menggoda.
“Iya, tergantung daerah masing-masing”
“Ano… tadi Aya birang, mereka tadi bicara bahasa Sunda?” tanya Kyoko lagi.
“Iya”
“Aa… Ano.. bahasa yang kawaii” senyum Kyoko. “Aya bisa, sunda?”
“Gak bisa” jawabku singkat.
“Demo… Aya perunah birang, kalau Aya ada darah Sunda, demo… Aya tidak bisa Sunda, bahasanya, bagimana bisa?” selidik Kyoko.
“Soalnya aku tinggal di Jakarta”
“And?”
“Emm….”
“?”
“Ah…. Susah ya menjelaskannya….” Tawaku sambil mencium keningnya dan mempererat pelukanku. Kyoko masih tampak bingung atas penjelasanku yang tidak selesai. Tapi dia tampaknya tidak mempedulikannya lagi, dan malah mencium bibirku dengan lucunya. Aku menghindar dan malah melumat bibirnya dengan penuh nafsu. Kyoko menyambutku. Bibir kami berdua saling memagut, saling melumat dengan panasnya. Mata kami berdua terpejam, menikmati ciuman itu. Kami makin berpelukan dengan erat, sambil merasakan lembutnya bibir masing masing.
“Mmmnn…” Kyoko mendesah dalam ciuman bibirku. Aku melepasnya.
“Kyoko?” bisikku.
“Hai?”
“Apakah…. Sudah…bisa…”
“WOI!!” tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan di depan pintu kamar.
“Siapa?” teriakku.
“Udah disuruh makan siang bareng tuh, sambil technical meeting!” suara Stefan terdengar lantang sampai ke dalam kamar.
“BENTAR” teriakku balik.
“Si Kontol pasti lagi ngewe ya!!” balas Stefan.
“Ano…. Kontoru? Murah? Ngewe apa?” tanya Kyoko dengan polosnya.
“Aduh…. Soal itu belom sempet diobrolin ya?” senyumku awkward.
“E?” bingung Kyoko.
“Yaudah, entar ya, kita makan siang dulu.. Taberu” bisikku yang diamini oleh senyum Kyoko.
“CEPET KONTOL!!!”
------------------------------------------
“Oke, jadi jadwal semua udah megang ya… Abis makan, agendanya Check sound, tapi jadwalnya kebalik sama jadwal manggungnya, yang check sound duluan penampil utama” senyum ketua panitia acara malam hari nanti, di meja makan. Kami semua mengiyakan, tentunya karena kami lebih fokus dengan makanan yang ada di atas meja dan dengan obrolan kami masing-masing.
Sena dan Stefan tampak berbisik-bisik mesum dengan Kang Arri /ndif sambil memperhatikan beberapa perempuan yang lalu lalang. Bagas duduk di pojok meja dengan ekspresinya yang kosong, seperti biasa. Pengantin baru yang aneh, yang malah manggung di Bandung sehari setelah hari pernikahannya. Bahkan setahuku, dia tidak merencanakan honeymoon sama sekali. Para pengisi acara yang lainnya malah sibuk mengobrol sendiri, dengan teman mereka masing-masing.
Aku duduk di sebelah Kang Bimo yang dari tadi malah membentuk bentuk-bentuk aneh dengan makanannya. Kang Wira tampak sedang mengobrol dengan Kyoko yang duduk di sebelahku, sambil mengajarkannya bahasa sunda yang sangat basic.
“Si Bagas dah kawin nya, kok malah manggung sih” tanya Kang Bimo sambil berbisik kepadaku.
“Ga tau Kang”
“Ga tau kalo dah kawin apa ga tau kalo kenapa sekarang manggung?”
“Yang kedua”
“Emang semacam ajaib nya jelema teh”
“Yah gitu deh” balasku.
“Ari kamu kapan kawin?” bisiknya lagi.
“Hah? Bakal atuh, tunggu aja” senyumku penuh arti.
“Buruan, keburu pulang ke Jepang”
“Ah dia balik kesana juga ga bakal berubah kok hubungan kita mah” jawabku.
“Sok romantis kamu, ga takut apa disamber ama si Wira” candanya.
“Hahahaha”
“Moal saya mah, ini cocok pisan dikawin Arya yah” sahut Kang Wira mendadak tanpa aba-aba.
“Enya cocok pisan” balas Kang Bimo.
Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, sambil meraba celana jeansku. Aku lantas melirik ke arah Kyoko yang dari tadi tampak serius berbincang bincang dengan Kang Wira.
“So, bandung bagaimana”
“Tanoshii…” senyum Kyoko.
“Segini mah belum Bandung atuh euy, ini mah lembang, eh, bahkan belom lembang ketang…” sahut Kang Bimo sambil menyalakan rokoknya.
“Aya” Kyoko mendadak tersenyum lebar sambil menatapku dengan malu-malu.
“Apa?”
“Mung anjeun nu ku abdi di pikacinta” senyumnya menahan geli. Aku hanya bingung sambil melongo, mendengar Kyoko berbicara dalam bahasa sunda, Cuma kamu yang aku cinta, katanya.
Dan tawa Kang Bimo serta Kang Wira mewarnai ekspresiku yang mendadak bodoh karena mendengar Kyoko bicara tadi.
------------------------------------------
BERSAMBUNG
Terakhir diubah: