First Arc:
-The Terror of Wandering Gravedigger-
Chapter V:
The Beginning
Mari kita tinggalkan Mara sejenak yang sedang sibuk dengan lukisan barunya. Kini, geser sudut pandangmu agak jauh ke selatan, ke sebuah
underpass sepi di salah satu jalan raya di kota itu. Karena berawal dari sini, teror baru akan dimulai.
Malam kini sedang menunjukkan kuasanya. Awan-awan hitam yang berarak berhasil menutupi cahaya purnama dari menyinari bumi, membuat suasana jalan sepi itu bertambah gelap. Lampu penerangan umum yang ada di sisi kiri dan kanan jalan seperti ga terlalu berguna sekarang, sebab sinarnya tengah meredup. Temaram. Beberapa motor yang lewat terpaksa beralih ke lampu jauh demi bisa melihat lebih jauh ke depan.
Lalu, pada tengah malam yang paling gelap, melintaslah seorang pria. Tampangnya kuyu, dia berkemeja lusuh dan berjalan lunglai. Oh, sepertinya dia baru saja melewati hari yang berat. Kasihan. Dan mungkin, botak di kepalanya itu akibat terlalu berat mendapat tekanan hidup. Mungkin dia harus mencoba krim penumbuh rambut sesekali, wak doyok misalnya.
Itu pun kalau dia masih hidup setelah malam ini. Karena...
"Boss bangsat! Sekretaris sialan! Bawahan brengsek!" sumpah serapah lancar dia ucapkan, "gara-gara semuanya ga becus ngerjain, gua yang mesti tanggung jawab! Jadi mesti lembur kan gua! Mana mobil mogok di parkiran, taksi ga ada yang
pick up, mau online, konvensional, sama aja! Ga ada yang becus semua!"
Tuh kan, dia benar-benar sedang mengalami hari yang berat. Dan sepertinya, masih ada sumpah serapah lain yang menyusul.
Si pria botak berperut buncit itu menggenggam ponselnya, menyentuh layar yang tertera sebuah kontak di sana. Dia lalu mendekatkan ponselnya ke telinga. Sepuluh detik, dua puluh... bunyi di seberang sana masih nada sambung yang sama. Kesal, si pria kembali berteriak penuh amarah. Menggema di jalanan yang sepi.
Atau ga terlalu sepi, karena dia baru saja menyadari seseorang sedang berjalan ke arahnya, ketika dia menengok ke belakang.
Baguslah, ada temen ngelewatin terowongannya, batin si pria botak. Sebenarnya dia agak takut melewati terowongan gelap itu. Entahlah, manusia memang selalu takut pada kegelapan. Atau, sebenarnya, alam bawah sadar manusia di program untuk takut pada apa yang bersembunyi dalam kegelapan? Seperti di bawah kolong tempat tidur, di dalam kamar mandi gelap yang pintunya terbuka sedikit, atau di dalam lemari. Kegelapan selalu menyimpan misteri, dan biasanya, ga ada misteri menyenangkan di baliknya.
Merasa ada yang menemani, si pria botak melanjutkan berjalan. Pelan, dia mengulur kecepatan. Menunggu orang di belakangnya menyusul, agar bisa berjalan beriringan. Namun entah kenapa, ada suara aneh yang lamat-lamat terdengar semakin jelas. Seperti suara benda bergesekan. Si pria botak ga terlalu menggubris suara itu, dan berkonsentrasi untuk menghalau rasa takutnya. Cukup lama dia mengulur langkahnya, dan baru saja ketika dia mau menoleh ke belakang...
"Pak, kalau mau bareng, ayo. Ndak baik lewat terowongan itu sendirian, memang."
Pria itu terpaku, berdiri sambil melihat ke pria paruh baya yang tengah melewatinya. Matanya membelalak lebar ketika memandangi pria itu. Sekilas, memang ga ada yang aneh dari orang yang baru saja melewatinya. Dia pria kurus, berkaus lusuh, dan menggenggam cangkul di tangan kirinya, yang mata cangkulnya dibiarkan menyeret aspal, sehingga menimbulkan bunyi gesekan yang mengganggu telinga. Bukan, si pria botak ga takut pada bunyi cangkulnya, melainkan pada...
"Pak, kok bengong? Ayo bareng sama saya, daripada diem di situ, nanti dimakan setan," ujar si pria bercangkul, lalu dia tersenyum ramah pada si pria botak. Eh, bukan senyum ramah. Senyum itu berubah menjadi seringai, dimana bibirnya kini tertarik sampai ke sisi pipinya. "Katanya, kalau lewat jalan ini terus ketemu setan, bisa apes nanti," katanya lagi, lalu melempar seringai kedua.
Dan si pria pembawa cangkul terus berjalan ke arah terowongan, namun wajahnya tetap mengarah pada si pria botak. Ah, ternyata lehernya terpelintir ke belakang sehingga wajah si pria bercangkul menghadap ke arah yang salah. Kasihan.
Apa kata si pria pembawa cangkul tadi?
Kalau lewat jalan ini terus ketemu setan, bisa apes nanti. Si pria botak jatuh dengan kedua lutut menyentuh aspal, sambil ucapan si pria itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. "G... Gua... balik ke kantor aja... nginep... di-disana... aman, kayaknya," ucap si pria botak, tergagap.
Maka, setelah pria pembawa cangkul itu menghilang di telan gelapnya terowongan, bersusah payahlah pria botak ini bangun. Meski lututnya lemas dan kakinya gemetar, dia tetap memaksakan berjalan. Segera dia putar haluan, kembali menyusuri jalan yang dia lewati tadi. Meski, suara gesekan dari mata cangkul yang menyeret aspal masih terdengar jelas dari arah belakang sana.
Atau dari depan? Karena, si pria botak kini sedang menatap sosok yang mirip di kejauhan sana. Sosok itu berjalan menghampirinya, dengan bunyi gesekan cangkul terdengar dari kejauhan. Si pria botak ga punya pilihan lain, selain balik arah lagi dan berlari melewati terowongan gelap itu. Dia pasti ga pernah lari sebelumnya, karena kini, nafasnya tersengal berat manakala dia berlari secepat yang dia bisa, memasuki terowongan. Dan si pria botak ga bodoh, dia menyalakan fitur senter di ponselnya, menjadi penerang jalur yang dia susuri, namun...
Bunyi gesekan itu terdengar lagi! Kali ini terasa dari sebelah kirinya. Si pria botak mengarahkan ponselnya ke kiri, dan ga mendapati apa-apa. Lalu, kali ini bunyinya dari sebelah kanan. Dia pun mengarahkannya lagi ke asal bunyi, dan ga ada apa-apa juga. Lalu darimana bunyi itu berasal?
Dan ketika si pria botak berlari makin cepat, kakinya menginjak sesuatu. Licin, bundar, dan... si pria terjatuh dengan kerasnya menghantam aspal. Keningnya membentur aspal, menimbulkan luka cukup parah di kepalanya. Darah mengucur deras seketika, melumuri wajahnya dan menetes ke aspal. Sayangnya lagi, ponsel pria itu rusak karena terbanting. Si pria, antara merasa melayang karena efek benturan keras dan masih digerayangi ketakutan, merangkak tertatih berusaha keluar dari terowongan yang gelap itu. Dia berteriak lirih, berusaha meminta tolong, tapi percuma, suaranya ga keluar. Tercekat. Si pria botak terus merangkak, lebih jauh, lebih jauh lagi...
"Pak, ayo sini Pak," terdengar sebuah suara dari kegelapan, menggema di telinga si pria botak, "ayo mati dulu, baru di kubur. Atau mau di balik Pak? Di kubur dulu, baru mati?"
Detik berikutnya, terdengar suara hantaman dari dalam terowongan. Lalu suara hantaman lagi, lagi, beberapa kali... sampai akhirnya keadaan sunyi kembali. Begitu sunyi, hingga suara gesekan cangkul pada aspal begitu jelas terdengar.
Menggema di sepanjang terowongan yang gelap.
= = = = =
Sudah sejak tadi pagi Mamanya Evan mencak-mencak ga karuan pada anaknya. Evan yang baru saja turun dari lantai dua, kaget karena dimarahi habis-habisan. Kesadarannya belum mengumpul sepenuhnya, tapi sudah dimarahi, jelas memberi shok terapi padanya.
"Kenapa sih Ma, marah-marah aja masih pagi gini?" Evan bertanya, sambil menguap lebar.
"Papa kamu belum pulang Evan!" teriak mamanya, frustasi, "dia belum pernah kayak gini sebelumnya! Nginap-nginap, apalagi ga kasih kabar!"
"Biarin aja apa, Ma. Papa kan udah gede," tukas Evan, enteng. "Eh tapi," Evan kini tampak berpikir, "kalo Papa ternyata nginep di hotel sama cewek, gimana Ma?"
"Evan!" kini, mamanya menghardik. "Cukup kamu aja yang ga bisa di atur, jangan Papa kamu juga!"
Evan ga mengindahkan lagi amarah mamanya, dan memilih kabur ke kamarnya, bersiap-siap ke sekolah. Hari ini ada tugas yang mesti diconteknya dari Winda, dan untuk itu, dia harus datang lebih pagi dari biasanya.
Sejenak, Evan berpikir. Dia sedikit merasa bersalah karena ga mengangkat telepon dari papanya.
Tapi kan gue lagi tidur semalem, jadi bukan salah gue dong? Salah dia lah, yang neleponnya kemaleman, begitu pembenarannya dalam hati.
= = = = =
Hanya butuh sepuluh menit berkendara dengan mobil untuk Evan bisa sampai ke sekolah. Baru jam 6 lewat dua puluh, dan itu artinya Evan harus segera memarkirkan mobilnya, lalu buru-buru ke kelasnya. Winda pasti sudah ada di kelas jam segini, karena memang seperti itu kebiasaan gadis itu.
Evan, dengan rusuhnya, berlari di selasar lantai dua, lalu membuka pintu kelas dengan tergesa-gesa. Ah, benar saja, Winda ada di situ, sedang duduk sambil menulis sesuatu di buku. Hanya dia seorang diri di dalam kelas. Winda, meski
bitchy dan gaya hidupnya ugal-ugalan, tapi untuk urusan tiba di sekolah, Evan harus memberi empat jempol padanya.
Evan melirik ke jam di dinding, dan mengkalkulasi dengan cepat.
Sip, pas kayaknya sampe gue selesai ngerjain nanti, pas sama bel masuk.
"Win, tugasnya gimana? Udah selesai kan?" Evan pun langsung duduk di sebelah Winda, "mana sini, gue mau salin. Mumpung masih ada waktu."
"Tugas... apaan ya?" Pertanyaan ditambah wajah heran Winda, membuat Evan terbengong sambil memandanginya.
"Tugas yang itu, aduh, masa lo lupa sih, Win? Yang suruh bikin poin-poin dari cerpen!"
Tapi Winda tetap pada wajah herannya, dan ini membuat Evan semakin frustasi saja. "Gue semalem udah ngechat elo kan, mau minta salin pagi ini. Padahal udah lo jawab 'oke' semalem, masa lo lupa?" Evan masih berusaha memastikan.
Winda menggeleng, pelan. "Ga tau kan... terus jadinya gimana?"
Evan, dengan frustasi, meraupkan kedua tangannya ke muka. Ah, habis sudah dia siang nanti. Apalagi Evan tahu, bahwa guru Bahasa Indonesia kelas 2 itu guru yang paling
killer di sekolah. Evan lalu pasrah, memastikan bahwa karir belajar Bahasa Indonesianya akan selesai siang ini.
Tapi... ada sesuatu yang mengusik Evan. Ini tentang Winda. Dia agak kalem pagi ini, ga seperti biasanya. Atau terlalu kalem? Karena jika ini Winda yang biasanya, secuek apapun dia, pasti akan ikutan kalang kabut jika ga mengerjakan tugas Bu Ira, si guru Bahasa Indonesia.
"Ahhh... pusing pala gue lah, Win," Evan menggeser kursi, lalu bangun, "gue mau ke kantin dulu lah, sarapan. Mau makan banyak, biar kuat diomelin nanti."
"Iya," begitu jawab Winda, datar. Tanpa ekspresi apa-apa.
"Lo ga ikut ke kantin?"
Winda kembali menggeleng. "Engga," katanya lagi, sama datarnya dengan yang tadi.
Untuk beberapa saat, Evan memandangi Winda. Agak lama. Berusaha mencari tahu sumber keanehan yang membuat sikap teman sekelasnya berubah drastis pagi ini. Tapi ga ketemu juga. Selain wajah datar Winda, bagian lain tubuhnya tampak sama dan baik-baik saja. Evan kemudian melirik ke dada temannya itu, dan menyadari ada sedikit perubahan di sana, meski ga kentara.
Dadanya rada gedean, begitu konklusi yang dicapai Evan dari hasil pengamatan singkatnya.
Dan tepat ketika Evan ingin berpamitan, ponselnya berbunyi. Cowok itu segera mengecek ponselnya, dan mendapati ada satu notifikasi chat yang masuk. Sepasang alisnya naik saat mendapati si pengirim chat. Winda?
Van, gua masih di jalan, sepuluh menit lagi sampe sekolah. Lo udah sampe belom? Evan membaca pesan Winda dalam hati. Seakan masih ga percaya, Evan kembali membaca pesan itu. Lalu dia melihat ke Winda yang sedang duduk di depannya. Pandangannya bolak-balik antara sosok Winda dan layar ponselnya, berikut raut wajah Evan yang berubah pucat pasi.
Chat itu baru masuk tadi. Baru saja. Evan juga ga melihat Winda yang di depannya ini sedang memainkan ponselnya--jika Evan mengira Winda sedang mengerjainya. Engga, Winda di depannya ini masih bersikap kalem dan santai. Ga melakukan apapun. Maka, Evan pun memastikan sesuatu...
Menelepon nomer Winda.
Nada sambung terdengar di telinganya. Dering pertama, kedua, ketiga... Winda yang ada di depannya ini terlihat ga terganggu ketika Evan sedang menelepon nomernya. Padahal, jika Winda tadi bisa mengirim chat kepadanya, maka sangat mungkin kalau dia masih beraktifitas dengan ponselnya. Atau mungkin Winda ga bawa ponsel dan orang lain sengaja mengerjainya?
"Halo? Kenapa sih, Van? Udah tunggu aja, di jalan nih, ribet! Gue sambil nyetir soalnya! Udah ya, tungguin pokoknya!"
Wajah Evan semakin pucat. Yang tadi di dengarnya jelas-jelas suara Winda, lalu juga terdengar suara kendaraan lalu-lalang dan suasana jalanan yang ramai. Jadi, Winda yang dia telepon tadi ga berbohong. Pertanyaannya, yang ada di depan Evan sekarang ini siapa?
Tanpa pamit lagi, Evan segera berjalan meninggalkan Winda. Meski kakinya gemetar, Evan tetap memaksakan diri. Otaknya seketika kacau, penuh dengan ketakutan. Yang pertama ada di benaknya sekarang adalah segera pergi dari kelas dan keluar dari sekolah ini, kalau bisa.
"Evan," Winda tiba-tiba memanggilnya. Entah kenapa, kali ini suara Winda terdengar dalam dan kelam. Evan pun terpaksa menoleh ke belakang, dan mendapati Winda sedang tersenyum kepadanya. Senyum yang dingin. "Mau kemana? Hihi," ucapnya lagi.
Cukup sudah, Evan mengumpulkan seluruh keberaniannya, lalu berlari sekuatnya untuk bisa segera meninggalkan kelas. Dan bertepatan dengan Evan keluar kelas, tawa Winda di belakangnya terdengar samar-samar. Mulanya pelan, lalu semakin nyaring, lebih nyaring lagi, sampai akhirnya membahana, terdengar santer di telinganya.
= = = = =
"Van, sekali lagi gua tanya, lo beneran liat 'gua' di kelas tadi?" tanya Winda, sambil menatap kedua mata Evan dalam-dalam.
"Sumpah demi Tuhan, Win! Gue malah ngobrol sama 'elo' tadi! Gue ga boong apa mengada-ngada, tapi emang beneran! Masa lo masih ga percaya padahal udah gue jelasin tadi?"
Winda menghela nafas, lalu menepuk bahu Evan, pelan. Winda kemudian menatap kepada beberapa teman sekelasnya yang juga berada di sana, duduk mengerubungi Evan di salah satu meja kantin. "Yaudah, gini aja, sekarang lu mau ikut kita masuk kelas ga Van?" tanya Winda lagi.
Evan menggeleng. Pandangannya masih kosong, dengan wajah tegang menahan takut dan tubuh gemetar, Evan memegangi lengan Winda. Atau mencengkeramnya. Winda terpaksa membiarkan hal itu, memberi kesempatan pada Evan untuk melampiaskan rasa takutnya.
Winda tadi menemukan Evan sedang duduk di warung rokok depan sekolah, dengan rokok yang cuma diputar-putar di tangannya tanpa disulut. Ketika Winda menghampirinya, terlihat jelas ada rona takut terpancar di wajah Evan. Winda tahu betul, Evan adalah salah satu preman sekolah yang ga kenal takut, dan jika Winda melihat Evan sedang ketakutan begini, pasti lah terjadi sesuatu yang benar-benar buruk padanya.
Dan setelah Winda susah payah membujuk Evan untuk ikut dengannya ke kantin, Evan pun menceritakan semua yang dialaminya. Itu pun dengan terbata-bata. Sepertinya... Evan mengalami trauma ketakutan yang lumayan berat.
"Tapi masa iya di sekolah kita ada hantunya sih, Win?" tanya Siska, salah satu teman sekelas Evan dan Winda yang sedang ikutan berkerumun di kantin.
Gilang, teman mereka yang lainnya, ikutan bicara. "Makanya itu gua heran. Selama ini sekolah kita aman-aman aja bukannya?"
"Tapi ini kok rasanya ngepas ya...," timpal Siska lagi.
Winda langsung melirik Siska. "Ngepas gimana, Sis?"
"Ngepas jadi banyak teror hantu begini, Win. Soalnya, beberapa hari belakangan ini... lagi santer kedengeran gosip soal hantu juga di kota kita." Siska mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sebelum melanjutkan. "Itu tuh... cerita tentang tukang gali kubur keliling. Banyak yang cerita, ngeliat penampakan hantu tukang gali kubur. Si hantu ini keliling di jalan-jalan sepi pas tengah malem. Nyari mangsa. Udah gitu nih ya, akhir-akhir ini banyak ditemuin kuburan-kuburan baru, yang isinya mayat orang, dan anehnya, mayat-mayat ini di kubur lengkap sama baju yang mereka pake, kayak korban pembunuhan gitu. Mungkin ga ini ada hubungannya?"
Semua terdiam, ga mengamini cerita Siska, namun ga menampik juga. Entah bagaimana, di dasar hati mereka, ada sebersit keyakinan bahwa ini semua terhubung oleh satu benang yang sama. Hanya saja, mereka belum tahu siapa atau apa yang menghubungkannya.
Tepat di saat yang sama, seekor gagak tiba-tiba hinggap pada dahan sebuah pohon yang ada di halaman depan kantin. Gagak itu bertengger cukup lama, hanya untuk suara kicau paraunya di dengarkan oleh Winda dan teman-temannya. Semua menoleh ke arah si gagak, memberi pandangan yang sama; curiga.
Curiga akan pertanda. Karena biasanya, gagak selalu di hubungkan dengan pertanda buruk, juga kematian.
-The Beginning: End-