-------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------
Cerita 196 – Misteri Tersembunyi
Bagian 01
Sebuah desa kecil di Jawa.. beberapa belas kilometer dari batas dua propinsi, sudah lewat tengah malam.
Tak ada bulan, sedikit bintang. Terlalu gulita. Teramat sepi.
Dingin menyeruak ke dalam daging, menerobos tulang. Rerumputan berbasah embun.
Sepotong jari bergerak cepat.. lewat dari belakang telinga ke bagian kanan depan..
Dari sepasang mata yang menyorot tegang. Beberapa pasang kaki bergerak perlahan.. tanpa bunyi.
Sejumlah bayangan hitam menerobos perdu-perdu liar.. tanpa bersuara.
Lalu dipecahkan.. “Sudah dekat. Kurangi nyala obor..! Sebagian kecilkan, sebagian matikan..”
Terdengar seutas suara berat memerintah. Wajah orang itu bercoreng moreng jelaga hitam.
Embusan nafas yang kuat, tapi perlahan menghempas mati dua nyala obor.
Beberapa jemari kemudian sibuk memetik daun segar..
Kemudian membuat semacam dinding di sekeliling obor yang masih menyala.
Daun itu diikat oleh akar-akaran di sekeliling bibir obor agak ke bawah, agar tak jatuh tertiup angin.
Cahaya kini redup. Api obor seperti berkelojotan di lingkung daun basah. Sinar obor hanya menyembur ke atas..
Bebareng dengan jelaga yang menjilati pinggiran daun pelindung nyala obor.
“Lekas..!” Suara berat itu terdengar lagi.. dengan kelebat jari..
Yang memerintahkan agar orang-orang di belakang maju lebih cepat.
Semua orang itu, juga berwajah coreng moreng jelaga. Nyaris tak tersisa warna rautnya.
Bahkan.. ekspresi yang sedikit tegang, rapi tersembunyi di balik belepotan warna arang itu.
Kini.. sekitar 50 tapak di depan, sebuah rumah joglo besar berdinding kayu terpampang dalam remang.
Secuil cublik –lampu minyak tanah, biasanya terbuat dari kaleng bekas dan sumbu terbuat dari kain perca..–
yang digantung di tiang melintang.. hanya mampu membuat orang tau ada pintu persis di dekat lampu minyak itu.
Namun tak cukup terang untuk menjelaskan warna pintu itu.
“Di mana kamarnya..?” Seseorang berbisik.
“Di ruas kanan, agak ke tengah..!” Seseorang menjawab, tak kalah lirih.
Mata si penanya seperti elang mengibas ke kanan. Tampak tajam di balik baluran jelaga.
Segera tiga orang mengendap ke ruas kanan.. sementara satu yang lain mengawasi dari kejauhan..
dengan obor berdinding daun yang tak habis-habisnya menyemburkan jelaga.
“Jendela terkunci..” desis seorang yang mengendap persis di bawah kamar di ruas kanan tengah.
“Congkel. Tapi, jangan ada bunyi..!” Ujar salah seorang yang sedari tadi bertugas memberi perintah.
Sepotong linggis kemudian merangsek pinggiran jendela. Tak banyak derak terdengar.
Orang yang memegang linggis melongok ke dalam, lewat jeruji kayu yang memalang-melintangi jendela.
Matanya menyapu ruang dalam.
“Ada orang. Tapi bukan dia..!” Seru pemegang linggis itu pelan.
“Bukan dia..? Lalu siapa..? Tak mungkin ada orang lain di rumah ini. Perhatikan baik-baik sekali lagi..!”
Kata si pemberi perintah.
Pembawa linggis dan seorang lagi melongok. Ia membuka sedikit daun pelindung nyala obor.
Jelaganya bertebaran ke dekat wajah. Cahaya lebih terang terhantar ke dalam ruang.
“Sini kulihat..” si pemberi perintah menyingkirkan bahu pembawa linggis dan melongok sendiri.
Matanya melotot.
“Bukan dia..!” Gelegarnya lirih.
“Lalu siapa..?”
“Seperti bukan orang dari daerah ini. Pakaiannya bagus, berwarna-warni.
Ada tas besar berwarna-warni pula di sebelahnya. Ia tidur pulas..” jawab seorang.
“Bagaimana ini?” Si pemberi perintah berpikir sebentar.
“Biarkan dia. Tutup kembali jendela. Yang kita cari pasti berada di kamar lain.
Kita masuk lewat pintu belakang. Tutup lagi obormu, tolol..!”
Cepat seorang yang terlanjur mengupas daun pelindung obor membetulkan lagi daun itu.
Si pemberi perintah kembali mengumbar perintah.
Kali ini ia memimpin di depan berjalan mengitari rumah ke arah belakang.
Gemerisik kaki menerjang rumput basah.
“Pintu belakang tak terkunci..” si pembawa linggis berseru lirih.
“Langsung masuk..” pemberi perintah mendesah.
Pintu mengeliat sedikit, gesekannya menimbulkan lengking kecil.
Keempat orang itu masuk satu per satu tanpa suara.
“Kasih lampu..!” Pemberi perintah menyalak lagi, pelan.
“Periksa kamar itu..” telunjuk pemberi perintah mengarah ke depan.
Delapan lonjor kaki bergerak ke arah telunjuk itu.
“Itu dia..!” Pembawa linggis mendesis, “Orangtua yang kita cari ada di sini..”
Pemberi perintah merangsek maju.. mengamati sejenak sosok yang teronggok di bale-bale kayu..
dengan penerangan lampu cublik yang sama redupnya dengan cublik di depan rumah.
Tanpa suara.. ia kemudian mendekati sosok itu; sesosok renta yang jelas-jelas nampak tua..
dengan tulang pipi yang menonjol seperti gunung dan pipi seperti lembahnya.
Rambutnya putih, matanya cekung dan nafasnya berat. Tidurnya sangat pulas.
Pemberi perintah menarik nafas. Kumisnya berdiri, nyaris sama tegang dengan sorot matanya yang melotot.
Secepat kilat tangan kanannya bergerak menjemba kerah kain dril baju orangtua itu.
“Bangun, peot..!” Berangasan sekali suara itu. Orang tua itu tergagap. Matanya berkedip-kedip.
Nafasnya seperti mau putus. Tak langsung kesadarannya pulih.
Tak pernah sebelumnya ia bangun dengan cara semendadak itu.
Lama sekali ia mampu membaca situasi sekelilingnya. “Aaaa.. apa ini.. siapa.. kalian..?”
Gagap mulut tua itu berkata-kata.
Pemberi perintah memandangnya dengan sorot mata kejam.
Ia memberi orangtua itu jawaban dengan sebuah hempasan ke bale-bale, dengan bunyi gedebuk cukup keras.
“Cepat katakan, tua bangka, di mana kau simpan bukti-bukti itu..!?” Hardik pemberi perintah.
“Apa yang kau.. bicarakan..?” Orang tua itu merintih.
“Bukti itu..!” Si pemberi perintah mendekatkan wajahnya ke wajah orangtua.
“Bukti yang sudah kau simpan bertahun-tahun itu. Berikan padaku..!” Gemeletuk gigi si pemberi pemerintah..
dengan ludah membuncah, menciprat di wajah renta.
Orang tua itu berusaha beringsut bangkit. Tapi cepat sebatang besi menghantam dadanya.
“Aduh biyung! A-apa ini.. ” kakek itu merintih. Dadanya bergetar.
Tak terkira rasa sakit linggis yang menghantam tulang tua itu.
“Cepat katakan. Kalau tidak, kuobrak-abrik seluruh isi rumah ini! Aku tidak sabar lagi..”
“Aku.. sung.. guh tak paham.. maksudmu. Mengapa.. malam-malam.. kau yang gagah ini masuk rumah orang tua..
untuk mena..nyakan sesuatu yang aku tidak tau..” masih merintih orang tua itu..
dengan kedua belah tangan mendekap dada. Hidungnya bersusah payah memompa udara.
“Tua bangka banyak mulut..!” Pemberi perintah meraih kepala kakek itu dan tanpa belas kasihan..
Lalu membenturkan kepalanya ke dinding kayu. Bunyi tulang tua membentur dinding demikian memilukan.
Orang tua itu melolong-lolong.. “Ampuuuuun.. Gusti.. ada apa.. iniiiiii..!?”
“Bukti itu..! Bukti itu..! Lekas berikan padaku..!” Gelegar suara pemberi perintah membahana.
Lupa sudah bahwa ia seharusnya menjaga agar suaranya tak menimbulkan gaduh.
Kepalan tangannya yang seberat palu godam melibas kepala renta.
Orang tua itu terjengkang dan nyaris terlempar dari tempat tidur. “Ampuuuuuuunnn..! Biyuuuuuuung..!”
“Kubunuh kau.. kubunuh sekarang juga kau. Dan kubakar rumah ini..!”
Kembali suara berat dan keras menggelegar. Ia menyambar linggis dari tangan pembawa linggis.
Kini ia adalah seorang pemberi perintah dan pemegang linggis, dengan ancaman kejam di bibirnya.
“Ayo bicara! Ayo..!” suaranya lantang, linggis tergenggam mantap di tangan.
“Guuuuustiiiiiiiiiiii..!”
“Modar kau, tua bangka..!” Berayun tangan berlinggis itu.
“Kang..! Terlalu gaduh..! Bisa didengar orang..” seorang dari empat orang itu memperingatkan.
Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan, dalam pakaian warna-warni berkelebat mendekat.
Tak percaya ia melihat empat orang gagah berpakaian serba hitam..
sedang bersiap mengakhiri nyawa seorang kakek tua.
“Hentikan..!” Sebuah suara menerabas.
Cepat keempat orang gagah berbusana hitam itu mendengus sumber suara.
“Siapa kalian..? Kenapa menyerang orangtua tak berdaya..?”
Hardik orang muda berjaket cerah, yang muncul dari ruang dalam. Sebuah cublik di tangan.
Tak banyak cakap, secepat angin, tiga orang berbaju hitam bergerak menerjang sang pemuda.
Paham ia tak mungkin meladeni tiga orang besar yang beringas itu..
ia berlari ke dalam dan menerobos pintu tengah.
Sekuat tenaga ia membanting pintu.. dan tak menyia-nyiakan waktu memasang palang pintu.
Sekuat tenaga pula ia menghambur ke pintu depan dan berteriak..
“Rampoooook.. maling.. bajingan.. tolong.. rampok.. pembunuhan.. rampoooooooook..!!!”
“Celaka, kang..! Orang kampung bisa bangun..!” Satu dari empat orang itu mulai panik.
“Lari.. lari, menyebar..!” Ini perintah terakhir yang disampaikan sang pemberi perintah.
Selanjutnya ia sendiri segera berlari keluar rumah dan menghilang dalam gelap menyusul yang lain-lain.
Gedebuk kaki masih terdengar. Linggis dilemparkan ke lantai tanah.
Menghantam obor yang masih menyala. Jelaga obor membalut ujung linggis.
Tak lama kemudian.. gedebuk orang tiba-tiba makin banyak. Kelap-kelip obor serentak mengitari rumah.
Sang pemuda terengah-engah memimpin orang kampung masuk rumah.
“Si mbah dianiaya empat orang berbaju hitam. Periksa kamar belakang..!”
Berlarian orang-orang itu menyerbu rumah. Sang pemuda terduduk. Nafasnya tersengal-sengal.
Orang-orang sibuk mengurus si mbah. Dua orang bergegas ke luar untuk menjemput Pak Mantri.
Lalu terdengar pula perkataan bahwa ada darah bertebaran di sarung bantal.
Rumah si mbah mendadak ramai dan sibuk dinihari itu. Tapi sama sekali tak tak terdengar rintihan si mbah.
-----ooOoo-----
Desa Kemiren membisu.
Punggung-punggung bukit bertebaran seperti potongan sabut kelapa yang berserak telungkup.
Rembang terang sinar mentari pagi menyirami separuh punggung-punggung bukit.
Kadang gumpalan transparan kabut menyelam ke lembah-lembah kecil di lingkung bukit..
kadang terlihat menyelinap di gugusan pucuk pepohonan.
Lewat bias matahari yang menikam bumi Kemiren.. bisa dipastikan langit akan cerah sepanjang hari ini.
Awan menyingsing jauh. Langit terbentang lebar.
Bayang-bayang ufuk timur berkilau di sungai yang airnya berhenti mengalir di sela-sela perbukitan.
Begitu manis dipandang. Tapi wajah Kepala Desa Asromo pagi itu benar-benar berkurung mendung.
Matanya menatap tajam ke perbukitan yang masih bersalut kabut.
Kerut-kerut di wajahnya bergetar perlahan dan bibirnya tegang.
Jari-jari Asromo mencengkeram erat pinggiran jendela.
Tak ia hiraukan angin dingin mengusik kerah seragam Kepala Desa yang sepagi itu sudah ia kenakan.
“Benar-benar keterlaluan. Amat keterlaluan..” Asromo mengatupkan gigi..
“Nyaris tak percaya aku ada manusia tega menyerang orang tua tak berdaya.
Apa mereka tidak tau siapa mbah Parto Sumartono..?”
Asromo bicara, nyaris pada dirinya sendiri, karena terlalu pelan ia bersuara.
Bu Lurah yang sedari tadi sibuk di meja, mendekat.. “Habiskan dulu kopimu, pak..!” Cangkir kopi tersodor.
Asromo menerima cangkir kopi dan meneguk habis sisa kopi yang masih terasa hangat.
“Bagaimana mungkin berita itu cepat tersebar..?”
Gumam Asromo, belum selesai dengan kalimatnya yang beraroma kecewa.
“Berita apa to, pak..?” Sergah istrinya. Bu Lurah perlu ikut bicara, sebab sedari tadi ialah yang merasa diajak bicara.
Sangat tak enak bila tak sepatah katapun tertimpal untuk gumam-gumam suaminya itu.
Asromo menoleh, tapi tak menjawab. Bu Lurah tak bertanya lebih jauh. Ia tau betul adat suaminya.
Kalau Asromo tak menjawab sebuah pertanyaan, itu berarti Asromo tak suka berbagi informasi dengan istrinya.
Bu Lurah mengibaskan taplak meja dan menyibukkan diri.
Ia maklum di benak suaminya ada setimbun masalah dan ia bakal sibuk luar biasa hari ini.
Jauh sebelum subuh tadi.. Gimun, staf kantor desa, menggedor rumah..
mengabarkan ikhwal peristiwa di rumah si mbah tengah malam lalu.
Sebentar lagi, seluruh staf desa berkumpul untuk sebuah rapat darurat membahas peristiwa semalam.
“Lagi, kopinya..?” Bu Lurah bersuara pelan, takut kalau-kalau tawaran itu dibalas bentakan.
Asromo menggeleng.. “Mereka sudah datang..” Mata Asromo terlempar ke depan.
Tiga orang berseragam staf desa berjalan tergopoh di jalan setapak yang berhias berbagai bunga di kanan kiri.
Asromo segera mengisyaratkan agar tiga tamu itu langsung menuju ke balai desa, tak jauh dari rumah tinggal lurah.
“Aku ke kantor, Bu. Kalau yang lain datang, suruh langsung ke balai desa..” Asromo menyambar rokok..
kemudian melangkah cepat ke bangunan beberapa meter di sebelah kanan rumah.
Empat staf desa lain yang baru datang bergegas membuntuti Asromo.
“Di ruang dalam saja..” Asromo menunjuk ruang kerjanya begitu mereka sampai di pendopo kecil yang terawat rapi.
Tujuh orang itu segera berjejal masuk ruang kerja lurah yang teramat sempit.
“Siapa yang belum datang..?” Tanya Asromo menyapukan pandangan dari tempat duduk.
“Murjito, Hamdani dan Gimun. Gimun masih menjemput mahasiswa itu..” jawab salah seorang.
“Oh ya, siapa nama mahasiswa yang tinggal di rumah mbah Parto itu..?” Tanya Asromo. “Aku lupa namanya..”
“Rio.. Rio.. siapa gitu. Nama belakangnya sulit..” jawab Karman, sekretaris desa.
“Ya, sudah. Nanti sekalian minta fotokopi KTP dan kartu mahasiswanya. Di mana dia sekarang..?” Tanya Asromo.
“Di rumah Si Mbah, menunggui Pak Mantri merawat Si Mbah..”
Asromo tercenung sejenak. “Kita tunggu yang lain saja. Huh, dinginnya..”
Asromo menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.
“Jo, tolong kau mintakan ibu kopi buat semua yang hadir..”
Asromo memerintah Harjo, staf desa yang paling muda. “Baik, Pak..!”
Harjo berlalu cepat ke arah rumah Asromo. Langkahnya ringan dan bergegas.
Setiap diminta pergi ke rumah, Harjo tak pernah menunjukkan rasa enggan.
Entah kenapa.. ia suka sekali kalau harus bicara dengan Bu Lurah.
Menurut Harjo.. wanita yang usianya jauh lebih muda ketimbang Pak Lurah itu..
benar-benar wujud wanita yang menarik hati.
Pernah terbersit dari mulut Harjo.. Bu Lurah itu rautnya anggun.. bibirnya seperti delima merekah.
Rambutnya tebal.. alisnya menawan dan tubuhnya terlalu indah untuk wanita seusia 37 tahun.
Harjo juga sering rasan-rasan.. kulit Bu Lurah begitu bersih.. kencang dan amat cerah.
Dan lagi —masih menurut Harjo— Bu Lurah itu orangnya sangat telaten..
dan tampak penyabar dalam menangani segala sesuatu.
Pendopo kelurahan yang dulu kurang terawat.. kini tampak rapi dan necis berkat sentuhan tangan Bu Lurah.
Kembang beraneka warna di sekeliling lantai pendopo, adalah hasil tangan dingin Bu Lurah.
Dulu.. Harjo suka ceplas-ceplos melontar kekagumannya pada Bu Lurah.
Untung puja-puji Harjo buat Bu Lurah segera dipatahkan rekan kerjanya.
Teman-teman sering mengingatkan.. tak baik ngomongkan keelokan istri Pak Lurah secara terang-terangan.
“Kalau Pak Lurah tau.. bisa dibayangkan betapa repotnya engkau menyembunyikan rasa malumu..”
Demikian kawan-kawan menasehati.
“Nuwun sewu, Bu. Bapak minta kopi buat peserta rapat..”
Harjo membungkuk sopan begitu mendapati Bu Lurah sedang menuang air panas ke dalam teko.
“Sedang saya buatkan, Jo..! Nanti saya suruh Marni mengirim ke sana. Sudah datang semua, to..?” Tanya Bu Lurah.
“Belum semua, Bu..” jawab Harjo, waspada sekali matanya mengawasi tengkuk langsat Bu Lurah.
Sepertinya.. seluruh jiwa raga Harjo pagi itu disalurkan hanya untuk menatap Bu Lurah.
Harjo juga tampaknya waspada untuk segera memalingkan wajah..
kalau mendadak Bu Lurah memergoki sedang menatapnya.
“Kamu ke sana saja dulu, biar nanti Marni yang kirim..” ujar Bu Lurah, tanpa menoleh.
“Saya tunggu saja, Bu. Rapat belum dimulai, kok. Lagipula, saya yang disuruh bawa kopi itu oleh Pak Lurah..”
Harjo rikuh.. tapi menampakkan hasrat ingin dipersilakan duduk.
“Ya, sudah kalau begitu. Duduklah dulu..” kata Bu Lurah.
“Nggih..!” Harjo mengambil tempat yang tak dibelakangi Bu Lurah..
Ya.. agar leluasa ia memperhatikan raut wanita yang dikagumi.
Sembari duduk.. tak habis-habisnya ia terpesona oleh bibir Bu Lurah..
saat wanita itu sedang mencicipi kopi di ujung sendok.
Mudah ditebak apa yang sedang dibayangkan Harjo saat ini.
Begitu Bu Lurah memindahkan sejumlah gelas dari meja ke baki, cepat Harjo mengulurkan tangan membantu.
Ia sangat berharap ada keajaiban yang menggerakkan tangan Bu Lurah menyentuh tangannya, meski tak sengaja.
Tapi keinginan Harjo tak terpenuhi. Gelas-gelas itu cepat sekali berpindah..
Dan tak sekalipun tangan Bu Lurah lebih dekat dari setengah meter dari tangan Harjo.
“Nah, bawa sana..! Tekonya sekalian, barangkali ada yang mau nambah..” Bu Lurah meletakkan teko di atas baki.
Harjo meraih pegangan baki dan melempar senyum.
Saat itulah ia memperhatikan baju kaus ketat Bu Lurah..
yang menonjolkan bulatan buah dadanya yang lumayan besar.
Hmm.. dan rok tipis sepaha itu.. seolah-olah bila kakinya terbuka sedikit lebih lebar..
maka Harjo dapat melihat celana dalamnya.
“Ayo, kamu nunggu apa..?” Tegur Bu Lurah sambil membereskan toples gula.
Harjo tidak menjawab.. hanya matanya terus mengikuti ke manapun perempuan itu bergerak.
Dengan imajinasinya, ia seolah-olah bisa mengintip isi rok Bu Lurah.
Sapuan matanya menyapu tubuh montok itu dan tak sadar mulai melamun..
Sampai tiba-tiba Bu Lurah menegurnya. “Kamu lihat apa, Jo..?”
Harjo terkaget-kaget di tempat duduknya menatap wajah cantik Bu Lurah yang kini memandangnya..
“A-apa, Bu..? Ah, enggak..” Bu Lurah tersenyum..
Lalu gerakan matanya menunjuk ke sesuatu di antara kedua kakinya yang jenjang.
“Dari tadi kamu noleh ke sini terus..!?“ Betapa malunya Harjo saat ditembak langsung seperti itu.
Mukanya makin memerah.. apalagi saat Bu Lurah mendekatkan diri kepadanya dan berkata..
“Kamu berusaha lihat dalemanku, ya..?”
Harjo yakin.. mukanya sudah semerah kepiting rebus sekarang. Dan Bu Lurah menambahkan..
“Warnanya coklat muda, kalau kamu pingin tau..” kata perempuan itu sambil tersenyum manis.
Harjo makin tak berkutik. Diam dia memperhatikan Bu Lurah yang sedikit membuka kakinya..
sambil mengedipkan sebelah mata. Harjo tergagap. Matanya nanar menatap rok Bu Lurah yang terdapat celah.
Bila dia maju sedikit, pasti bisa langsung melihat celana dalam yang katanya coklat muda itu.
Bu Lurah tertawa geli melihat raut rikuh Harjo. “Belum pernah lihat celana dalam perempuan ya..?”
Harjo menggeleng pelan.
“Pengen tau..?” Bu Lurah tersenyum nakal. Dan Harjo langsung mengangguk.
Bu Lurah tertawa. “Tapi nanti dimarahi Pak Lurah lho..” Harjo cuma bisa menelan ludah gugup.
Dia terdiam membayangkan Bu Lurah membuka rok di depannya.
Pasti kaki perempuan itu indah sekali. Betisnya saja putih, apalagi pahanya.
Juga pantat dan pinggulnya. Harjo makin ngiler saat membayangkannya.
“Mau lihat..?” Tanya Bu Lurah memutus lamunan Harjo.
“M-memangnya, ibu b-bersedia..?” Pemuda itu memberanikan diri bertanya.
Bu Lurah tersenyum dan mengangguk. “Kamu imut, Jo. Aku jadi penasaran..”
“I-ibu juga c-cantik.. s-saya jadi pengen nyium..”
Kata Harjo nekat, didorong oleh gejolak di kepalanya yang sudah memuncak.
Napasnya berat dan penisnya sudah mengacung tegak.
Bu Lurah agak kaget sebentar, tapi kemudian kembali tersenyum.
“Kamu itu polos, Jo, tapi juga kurang ajar..”
Harjo tersipu malu. “M-maafkan saya, B-bu..”
Bu Lurah berdiri dan dengan pelan ia bergeser mendekati pemuda itu.
“Santai saja, Jo. Aku tau kalau sudah dari dulu kamu mengagumiku.”
Harjo tetap duduk di kursinya.. teramat sangat gugup.
Apa yang telah lama ia impikan, akan terjadi sebentar lagi. Sungguh tak pernah disangka dan diduga.
Bu Lurah yang mengerti kegamangan pemuda itu,.. perlahan memeluk badan Harjo erat-erat.
Lalu ia ciumi pipinya sambil berkata.. “Aku yakin kamu masih perjaka, Jo. Sudah siap melepasnya sekarang..?”
Harjo mengangguk perlahan. Bu Lurah tersenyum dan berikutnya ia mundur..
agar Harjo bisa melihat bentuk tubuhnya dengan jelas.
Sebetulnya Bu Lurah melakukannya dengan cepat..
Akan tetapi dalam pandangan Harjo, semua gerakan itu jadi seperti gerak lambat.
Pertama Bu Lurah membuka kaus ketat tipisnya, melemparnya ke atas meja.
Tersenyum lebar.. ia mengelus-elus perutnya yang putih dan kencang sambil membuat gerakan menggoda.
Lalu dia menarik sesuatu di belakang rok.. sehingga terjatuhlah kain itu menutupi jari-jemari kakinya yang lentik..
menampakkan celana dalam coklat muda yang tadi ia katakan.
Sampai di sini, Harjo benar-benar tidak kuat duduk.
Batang penisnya sungguh-sungguh menegang dan sakit kalau dibuat untuk duduk.
Maka ia lantas berdiri.. sambil matanya tak berkedip..
memperhatikan tubuh mulus Bu Lurah yang terpampang bebas di hadapannya.
Kulitnya sungguh mulus, bagai marmer yang dipahat halus.
Payudaranya besar.. belahannya curam dan beha yang membungkusnya terlihat kekecilan.
Perut Bu Lurah masih nampak langsing..
serasi dengan pinggul lebar yang ditopang oleh sepasang kaki jenjang.
Pahanya licin sekali.. meliuk mengikuti alur pantat yang sungguh terlihat padat.
Harjo jadi sesak napas, tapi dia sangat senang. Apalagi saat Bu Lurah mulai mendekat dan memeluknya..
Hingga wajahnya jadi terbenam di antara belahan buah dada perempuan cantik itu.
“Kamu suka, Jo, dengan tubuhku..?” Tanya Bu Lurah dengan perut menempel di dada Harjo.
Pemuda itu tidak menjawab. Bukan karena malas..
Tapi karena mulutnya memang lebih sibuk menciumi harum tubuh Bu Lurah daripada mengeluarkan kata-kata.
Oh.. sambil balas memeluk tentunya. Kaku ia pegang pinggul dan pantat Bu Lurah yang terasa sekal.
Dan saat terpegang olehnya celana dalam berenda rumit..
spontan Harjo memasukkan jari-jarinya ke dalam kain segitiga itu.
Dia jamah bulatan pantat Bu Lurah yang terasa lembut..
lalu meremasnya perlahan hingga membuat Bu Lurah jadi menjerit kecil.
“Ahh..!! Nakal kamu, Jo. Tidak sabaran amat..”
Harjo melucuti celana dalam itu; dia menurunkannya ke bawah..
Menariknya melewati paha dan membiarkannya di lutut.
Selanjutnya Bu Lurah sendiri yang melepasnya dengan mengangkat kaki bergantian,..
sambil tetap memeluk pemuda itu erat-erat.
“Bu..” Harjo merintih..
Geli dia merasakan rambut tipis yang tumbuh di selangkangan Bu Lurah menggelitiki perutnya.
Ingin dia mengintip.. tapi Bu Lurah sedang menciumi pipi dan bibirnya sekarang.
“Telanjangi aku, Jo..!” Pinta Bu Lurah.
Harjo segera meraih ke belakang untuk membuka kait beha..
Karena hanya itulah satu-satunya penutup yang masih tersisa di badan sintal Bu Lurah.
Dia menariknya begitu saja, lalu mencampakkannya ke lantai.
Tak berkedip matanya menatap kedua gunung kembar milik Bu Lurah yang kini terurai.
Benda itu tampak senang dan gembira karena sudah dibebaskan.
Keduanya bergetar seirama dengan desah napas Bu Lurah yang mengalir lembut..
seakan ingin mengucapkan terimakasih.
“Ohh.. indah sekali, Bu..!” Harjo meratap..
Matanya tak lepas memandangi kedua puting Bu Lurah yang berwarna coklat muda.
“Sentuh, Jo, kalau kamu memang suka..” tawar Bu Lurah. Harjo menatap wajah perempuan itu sejenak..
Lalu perlahan mengulurkan tangan dan mulai meremasi buah dada Bu Lurah dengan jari-jari gemetar.
Rasanya empuk dan kenyal.. juga ada sedikit kesan padat saat Harjo mencoba memijit lebih keras.
Putingnya terasa kaku..
Dan Bu Lurah sedikit melenguh sambil terduduk di kursi.. ketika Harjo mulai memilin-milinnya lembut.
“Terus, Jo. Kamu juga boleh menciumnya kalau mau..!” Bisik Bu Lurah..
sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sehingga dadanya kian membusung indah..
Sedang posisi pinggul dan memeknya tersodor jauh ke depan bagai ingin disajikan.
“B-bu..” Harjo memajukan kepala untuk menciumi bulatan padat itu.
Rasanya begitu empuk ketika ia mulai menempelkan bibirnya ke sana.
Dari satu puting, dia bergerak ke puting yang lain. Lidahnya terjulur panjang untuk membasahinya..
sambil tak lupa juga terus memenceti kedua bulatannya yang terasa kian membesar padat.
Lagaknya sudah seperti lelaki yang berpengalaman, padahal dia hanya menuruti bisikan naluri.
“Hhh.. Jo..!” Bu Lurah menggelinjang, ia tekan kepala Harjo agar mengisap lebih kuat lagi.
Sambil menikmati gelitikan itu, tangannya yang kanan mulai bergerilya ke bawah.
Ia raba celana panjang Harjo yang berisi batang daging kaku..
Uhhh.. terasa panjang dan besar sekali saat digenggam.
Bu Lurah setengah membuka pahanya..
Lalu dengan sekali sentak ia buka celana pemuda itu hingga batang penis Harjo mencuat keluar.
“B-bu..” Harjo merintih menyadari kemaluannya telah bebas dan kini mengambil posisi tempur.
Bu Lurah hanya tersenyum saja.
Lembut ia pegang penis Harjo.. yang segera saja semakin menegang dan membesar panjang..
manakala mulai dikocoknya perlahan.
“Aduh.. penismu, Jo..” kata Bu Lurah sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah terangsang, ya..?”
“I-iya, Bu..“ Harjo berbisik gemetar.
Bu Lurah tertawa mengikik..
Dengan genggaman terasa semakin kuat menahan kulit kulup Harjo agar tidak menutupi kepala kontolnya.
Perempuan yang masih nampak sintal di usia paruhbaya itu menotol-notolkan jari telunjuknya pada ujung penis Harjo.
Dan setiapkali jarinya menyentuh.. setiapkali itu pula Harjo merasa tersengat oleh rasa geli-geli yang aneh.
“Hhh..” pemuda itu mendesah kenikmatan.. “Bu, s-saya tak tahan..!”
Bu Lurah menatapnya geli. “Tak tahan apa..?”
“Pengen main..” sahut Harjo dengan tangan kembali meraba-raba bulatan daging di dada Bu Lurah.
“Main petak umpet..?” Tanya Bu Lurah menggoda.
Harjo menggeleng tak sabar, “B-bukan, Bu. Pengen main seperti yang dilakukan Pak Lurah sama ibu..”
Bu Lurah tertawa. “Memangnya kamu tau..?”
Harjo mengangguk. “S-saya pengen.. n-ngentot, Bu. Sama ibu..!” Akhirnya keluar juga kata-kata itu.
Tapi Bu Lurah malah menowel hidungnya..
“Anak bandel..! Kecil-kecil sudah pengen ngentot! Memangnya kamu bisa..?”
Harjo menggeleng pelan, “Nanti ajari saya ya, Bu..” Bu Lurah menatap lucu.
“Kalau begini, aku mana bisa puas main sama kamu. Caranya saja kamu tak tau..”
“Aduh, tapi saya sudah kepengen sekali, Bu..!”
Ratap Harjo sambil terus meraba-raba payudara sintal milik Bu Lurah.
“Gimana, Bu, boleh ya..?”
“Ehmm.. gimana ya..?” Bu Lurah pura-pura berpikir..
Tapi tangannya terus memijit-mijit batang penis Harjo hingga jadi bertambah besar dan panjang.
Tak tahan lagi.. Harjo pun mencium bibir Bu Lurah..
Sehingga batang kontolnya tak urung menyentuh daerah di sekitar paha.
Bu Lurah menggeliat, tapi tidak menolak. Malah dia membalas pagutan Harjo yang asal-asalan..
dengan menggigit-gigit bibir pemuda itu, lalu mengisap lidahnya, sebelum akhirnya berkata..
“Tapi janji ya, Jo, jangan bilang-bilang sama Pak Lurah..”
“Buat apa saya bilang, Bu..”
Harjo mencium lagi bibir tipis Bu Lurah..
Meresapi kehangatan serta kelembutannya yang begitu membangkitkan gairah.
Dia menelungkup.. menindih tubuh telanjang perempuan cantik itu..
kemudian membiarkan tangan lentik Bu Lurah menyentuh-nyentuh kepala kontolnya.
Rasanya sungguh luar biasa.. selangit pokoknya.. sampai bikin dia meronta..
Menggelinjang keenakan.. sekaligus juga tidak puas. Harjo ingin lebih. Dia ingin ngentot..!
Maka, untuk memenuhi keinginan itu, Harjo menjejakkan kaki kirinya ke lantai.
Dalam posisi setengah berlutut.. dia menindih tubuh sintal Bu Lurah.. mulai mendesaknya..
Hingga akhirnya kepala penisnya yang tumpul..
Slebbbb.. perlahan-lahan melesak di antara dua bukit curam yang berhutan lebat.
Errgghh..!! Rasanya basah sekaligus juga hangat ketika Harjo menekan pantatnya.
“Ughhh.. Jo..!” Bu Lurah membusungkan dadanya dan mendongak..
Sehingga pandangan Harjo hanya berisi payudara dan puting susu kecoklatannya itu.
Plus bonus ujung hidung Bu Lurah yang bangir.
“Buu..” Harjo merintih saat kepala penisnya mulai melesak masuk.
“Iya.. terus, Jo..! Dorong terus..!” Bu Lurah memberi semangat dengan mengambil posisi berlutut.
Keduanya kakinya ditekuk saat Harjo berusaha menubrukkan pinggulnya.
Jlebb..!! Sekali dorong.. masih nampak sulit. Harjo tak mampu menembus.
Tapi jepitan mulut vagina Bu Lurah sudah membuatnya ketagihan.
Slebb..! Dia mencoba lagi. Jlebb..! Lalu lagi. Clebb..! Dan lagi. Jlebb.!!
Dan di usahanya yang keempat.. baru ia memperoleh jalan yang diinginkan.
Slepph.. Blessekkh..!! Penisnya dengan lancar menembus memek sempit Bu Lurah yang menganga rakus.
“Ughh..” Harjo terpesona merasakan gesekan penisnya dengan dinding dalam kemaluan Bu Lurah.
Perempuan itu tersenyum.. mengisyaratkan pada Harjo agar mulai menggoyang.
“Pelan-pelan saja, Jo..” dia berbisik.
“I-iya, Bu..”
Dengan tubuh gemetar.. Harjo mulai mengayun-ayunkan pantatnya..
Membuat sensasi luar biasa pada setiap gerakan dan gesekan yang terjadi.
Badannya serasa terbakar pelan-pelan..
hangus oleh perasaan geli-geli nikmat yang menjalar cepat di sekujur batangnya.
“Ughh.. enak, Jo..! Terus..!” Desis Bu Lurah saat Harjo mempercepat goyangan.
Kursi yang mereka jadikan tumpuan berderit-derit ribut menahan beban.
Harjo memejamkan mata. Sambil meremas-remas kembali payudara sintal Bu Lurah..
dia merasakan rangsangan geli di penisnya semakin melebar ke seluruh badan.
Merasuk hebat di sekujur permukaan kulitnya dan sampai pada titik tertentu nampaknya tak tertahankan lagi.
“Pelan, Jo. Santai saja..” Bu Lurah mencoba menghambat saat melihat Harjo sudah merintih-rintih.
Tapi nampaknya terlambat. Karena tiba-tiba .. Surrr.. surrr.. surrr.. Dia merasakan Harjo 'mengencinginya'.
Sperma kental berhamburan mengisi rahim hangat miliknya.. Menggantikan perasaan nikmat yang tadi sempat terasa.
“Hhh.. hhh.. Bu..!” Harjo menunduk, tak kuasa melepas getaran nikmat yang perlahan mulai menguap.
“Kok sudah keluar, Jo..?” Tanya Bu Lurah memprotes.
Dia kembali menggerakkan pinggulnya, ingin ditusuk lagi. Namun nampaknya Harjo sudah tak kuasa melayani.
Penisnya melembek dan meninggalkan jepitan memek Bu Lurah dalam satu getaran dingin.
“M-maafkan saya, b-bu..” bisiknya malu. Gerakan Bu Lurah berhenti.
Lesu dipandanginya penis Harjo yang sudah terlalu lemas.. sehingga tak dapat lagi dipakai.
Dipegangnya benda itu dan dokocok-kocoknya ringan.. tapi tetap tidak bangun juga.
“S-saya tidak bisa, Bu..” Harjo berkata lirih.. merasa tak berguna sebagai laki-laki.
Bu Lurah menarik napas panjang.
Harjo sudah siap kalau memang akan dimarahi, tapi nyatanya Bu Lurah malah tersenyum.
“Tidak apa-apa, Jo. Kamu lumayan kok. Ini pengalaman pertamamu kan..?” Tanya Bu Lurah sambil duduk tegak.
Harjo mengangguk, masih tidak berani menatap.
“Ibu senang bisa memetik perjakamu..” Bu Lurah memeluk dan sekali lagi menciumnya.
Harjo tak berani membalas lumatan itu, merasa tidak pantas karena tak sanggup memuaskan.
“M-maafkan saya, Bu..” kembali dia berujar.
“Sudah, tak apa-apa..” Bu Lurah mencoba menenangkan. Meski kecewa, dia tidak berusaha untuk menunjukkannya.
“Mungkin ini yang terbaik. Kalau lama, nanti Pak Lurah bisa curiga..”
“I-iya, Bu..” Harjo melirik Bu Lurah yang mulai mengenakan pakaiannya kembali.
“Ayo, Jo. Jangan sampai Pak Lurah nyusul kemari gara-gara lama nunggu kopi kamu..”
Perempuan itu memasang kaos dan rok pendeknya.. sementara beha dan celana dalamnya ia sampirkan di lengan.
“I-iya, Bu..” Harjo ikut mengenakan celana, sedangkan bajunya cuma ia rapikan karena tadi memang tidak dilepas.
“Lain kali berusaha lebih kuat ya, Jo..” kata Bu Lurah dengan senyum menggoda.
“Biar aku juga puas..” bisiknya.
Harjo tidak dapat menjawab, dia hanya bisa mengangguk saja.
Namun Bu Lurah nampaknya suka dengan jawaban itu.. soalnya dia kembali memeluk Harjo dan menciuminya.
Sebelum berpisah.. Harjo menyempatkan menyusu sejenak..
Sementara Bu Lurah memainkan burungnya sekali lagi dengan jemari-jemari lentiknya.
Selanjutnya Harjo balik ke tempat Pak Lurah.. meninggalkan Bu Lurah yang berpaling..
untuk mengemasi toples plastik persediaan gula dan kopi yang masih ada di meja.
Ketika Harjo datang dengan sebaki kopi di ruang rapat, semua yang ditunggu sudah pada datang.
Rio.. mahasiswa yang semalam menginap di rumah mbah Parto, sudah pula ada di sana.
Di meja Pak Lurah.. sebilah linggis berjelaga terentang.
Sehabis melirik besi panjang itu, pak lurah mendesah panjang. “Saudara-saudara..” Asromo mulai bicara.
“Ini peristiwa berbau kekerasan yang pertama kali terjadi sepanjang saya memerintah desa ini.
Saya sedih, malu, kecewa, tak percaya ini terjadi.
Ada yang punya pendapat kenapa mbah Parto dibokong demikian rupa..?”
Asromo menebar pandangan ke mata staf desa. Tapi semua masih sibuk dengan kopi masing-masing.
Tepatnya, pura-pura sibuk meniup kopi lantaran tak sebuah gagasan pun terlintas di benak.
“Anda punya, dik Rio..?” Asromo menatap Rio, mahasiswa muda itu.
Tampaknya Asromo bosan menunggu jawaban yang tak kunjung tiba dari stafnya.
“Tidak, Pak..! Saya sendiri bingung dan panik malam itu. Memang semalam.. sebelum tidur Mbah Parto sempat bicara banyak.
Bahkan saya diminta tidur di kamar yang biasa ditempatinya.. dan si mbah sendiri tidur di kamar belakang.
Beliau juga bercerita banyak tentang koleksi temuan purbakala yang ada di rumahnya.
Si Mbah orangnya baik. Saya heran kenapa ada orang yang memusuhinya..” Rio bicara panjang.
Kening Asromo mengkerut. “Saya juga gusar. Selama ini Mbah Parto Sumartono sangat dihormati dan disegani orang.
Namanya dikenal banyak orang dari dalam dan luar negeri. Tega benar orang –orang itu.”
Semua orang terpekur. Tak ada komentar, tak ada urun suara. Semua bisu.
Tak terkecuali Rio yang mulai kelihatan letih dan mengantuk.
“Sekarang begini..” Asromo masih muram.
“Untuk sementara waktu kita rahasiakan peristiwa panganiayaan itu pada orang luar.
Jangan sampai berita ini menyebar ke kampung tetangga; bisa menimbukaan pikiran yang macam-macam.
Sementara itu, kita selidiki perlahan-lahan siapa yang bertanggung jawab di balik perbuatan kotor itu..”
Asromo menarik nafas..
“Bagaimana keadaan Mbah Parto, Dik Rio..? Dinihari tadi, ketika saya jenguk, Si Mbah belum siuman.”
“Sudah agak baik. Tapi bicaranya masih pelo. Rupanya beliau terpukul atas penyerangan itu..” kata Rio.
“Syukurlah kalau begitu..” desah Asromo.
Selama beberapa menit kemudian Asromo sibuk mengurai apa-apa yang perlu dilakukan staf desa..
untuk mencegah terulangnya kejadian semalam.
Asromo juga menginstruksikan agar penjagaan Hansip di gardu reyot tak jauh dari rumah mbah Parto diaktifkan kembali.
Hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan Kamtibmas.. begitu istilah yang dipakai, bakal digencarkan.
Asromo agaknya mewarisi watak pemimpin level desa pada umumnya; bikin tindakan ketika insiden sudah terjadi.
Rio nyaris tak mampu mendengar strategi-strategi pak lurah yang disambut manggut-manggut oleh anak buahnya.
Ia demikian mengantuk dan lelah.
Kemarin siang.. ia baru saja mengalami perjalan panjang dari Surabaya..
Berdiri di atas kereta api penuh lintas Ekspres siang Surabaya – Bandung dan turun di ibukota kabupaten..
yang menelan lama perjalanan 5 setengah jam dari Surabaya tanpa berkesempatan mendapat tempat duduk nyaman.
Dari setasiun ia naik becak ke terminal kendaraan umum yang membawanya ke kota kecamatan.
Dari kota kecamatan, ia diantar tukang ojek yang mengemudi motor ugal-ugalan yang terus tancap gas di jalan bergeronjal.
Begitu datang, ia berkeliling desa dan sorenya mulai ngobrol degan Mbah Parto Sumartono sampai menjelang saat tidur.
------ooOoo------
Matahari sudah tinggi tatkala rapat berakhir. Manakala Asmoro hendak mengucapkan kata-kata penutup..
mendadak muncul seorang pemuda. Tergopoh-gopoh ia menghampiri Karman yang duduk dekat pintu.
Pemuda itu membisikkan sesuatu di telinga Karman. Karman mendelik.
“Ada apa..?” Tanya Asmoro.
“Anu, pak. Ini Dayat, tukang ojek. Ia bilang baru saja ia mengantar seorang wartawan perempuan..
yang ingin bertemu Mbah Parto. Wartawati itu sudah dengar Mbah Parto disiksa orang..”
“Wartawati..? Dari mana..?” Asromo berdiri.
“Nyuwun duko, saya tidak tau darimana. Ia cuma bawa tas ukuran tanggung, pakai tas kecil melilit pinggang..
dan berkalung alat potret. Pakai jaket plastik hitam..” tutur Dayat, si tukang ojek.
“Bagaimana kau tau ia wartawati..?” Desak Asromo.
“Ia bawa kamera..!”
“Benar katamu ia tau Mbah Parto disiksa orang..?” Tanya Asmoro lagi.
“Saya bersungguh-sungguh. Berita itu sudah sampai di kota kecamatan.
Wartawati itu dengar kasak-kusuk di kota kecamatan.” Dayat bicara panjang lebar.
“Waduh..!” Asromo terduduk. “Kasak-kusuk merambat melebihi kecepatan cahaya..”
Gumam Asromo. Makin puyeng ia kelihatannya.
“Di mana wartawati itu sekarang..?”
“Menjenguk Mbah Parto. Ia bilang nanti sesudahnya, ia mau ke kantor Kepala Desa..”
Sejenak Asromo tampak gelisah. Kerut-kerut di wajahnya makin jelas.
Kalau sebuah mikropon didekatkannya ke dagunya.. akan terdengar jelas giginya gemeletuk.
Rio menatap Pak Lurah dan ganti menatap orang-orang yang hadir.
Semua menampakkan kegelisahan dan wajah-wajah hampa. Rasanya mati sudah semua gagasan.
Petunjuk Pak Lurah soal bungkam untuk peristiwa penganiyaan Mbah Parto agaknya mulai diuji.
Informasi sudah bobol sebelum tanggulnya dibuat.
Makhluk yang dinamakan wartawati, rupanya sedang menekuni pekerjaannya; mengendus berita.
Dan orang-orang di sini tampak tegang dan khawatir.
Bisa dipastikan ada sesuatu yang lain di balik kekhawatiran yang terpancar di balik masing-masing mimik ini;
Sebuah kekhawatiran yang berbaur dengan ketidakjelasan.
Tampaknya.. sulit sekali untuk mulai memahami apa sebenarnya yang terjadi di desa ini.
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------