CHAPTER 6 : MAYA, MITA DAN TEMANNYA
Sabtu senja itu aku kembali dari kantor, sengaja aku masuk dihari libur ini sampai sore hari, niatku adalah menyelesaikan lebih dini tugas yang diberikan kantor kepadaku walaupun tenggat waktu dari klien masih cukup lama, kami memberi istilah ini dengan sebutan kejar setoran, ini dimaksudkan agar aku dapat jatah libur yang cukup lama dari kantorku. Malah aku rencananya akan pulang malam, toh dirumah juga gak ngapa2in, lagian kan malu dong aku malam minggu harus dirumah sementara yang lainnya pada ngelayap entah kemana, tapi karena kulihat mendung telah bergelayut di langit, aku mengurungkan niatku semula, kuputuskan untuk pulang lebih cepat.
Tiba dirumah, dalam keadaan sepi, biasalah sabtu menjelang malam minggu begini, semua seolah2 berebut untuk meninggalkan rumah, tinggal aku sendiri yang seolah ditugaskan menjaga rumah, paling2 dengan bi Iyem yang kalo sepi matanya seolah gak mau lepas dari sinetron di tivi kamarnya.
Aku baru menyadari bahwa hari ini Tante Mala tidak ada dirumah, semalam dia berpesan kepadaku untuk menjaga dan mengawasi adik-adik sepupuku, beliau hendak terbang ke kota J untuk menyusul sang suami disana. Om Mirza meminta kepada Tante Mala untuk datang menemaninya karena beliau mendapat undangan pernikahan dari seorang pejabat disana, mungkin Tante Mala dan Om Mirza akan kembali hari senin lusa.
Saat memasuki rumah, tak sengaja aku melihat pemandangan 2 sosok mahluk cantik di ruang makan, kulihat didepanku sesosok wanita cantik berpenampilan sexy, baju coklat terusan dengan rok mini sewarna, mungkin sekilas aku memandangnya seperti layaknya wanita mengenakan daster, seandainya tidak ada ikat pinggang yang menempel dipinggangnya, dan pernak-pernik accessoris yang banyak menghinggapinya. Dengan riasan yang cukup mencolok bagi mata lelaki untuk memandangnya lebih dalam, entah siapa gerangan, aku baru kali ini melihatnya. Disebelahnya kulihat Mita tersenyum juga memandangku, dan membuatku terpana melihatnya, dengan kemeja putih lengan pendek, dipadu dengan rok hitam yang cukup mini, menampilkan kakinya yang jenjang bagaikan kaki jangkrik yang panjang, pahanya yang putih menantang seolah mengajak setiap pria untuk mengelus dan merabanya hingga keatas.
Tampak tersenyum kepadaku, aku memandangnya penuh tanda tanya dan berusaha membalas senyumnya. Seolah dapat membaca jalan pikiranku, bibir indahnya bergerak disusul kemudian dengan meluncurnya suara yang renyah Sore Kak, baru pulang kerja ya ? katanya, mungkin karena melihatku berpakaian kemeja dengan celana katun serta ditanganku ada tas kerja hitam menggantung. Aku tersenyum mengiyakan menjawab pertanyaannya dan berpaling ke arah Mita seolah untuk meminta penjelasan. A Fandy, ditungguin juga dari tadi, kirain Aa pulang malam, ini temen Mita, namanya Ira, , kenalin A, kita berdua mo ke ulang tahunnya Diah, eh kebetulan Aa Fandy pulang katanya meluncur begitu saja seolah memberikan keterangan kenapa dia memakai baju seperti itu.
Aku menjulurkan tanganku ketika dia kulihat hendak menjulurkannya, berjabat tangan, halus, putih dan mulus layaknya wanita2 yang berasal dari kota ini. Kulihat dia tersenyum, manis tapi matanya seolah memancarkan kegenitan, kutatap sekilas sambil kukatakan namaku kepadanya lirih. Duh, cewek model begini nih yang bikin deg-degan, dengan dandanan yang cukup berani dan gayanya yang kecentilan bukan mustahil ini adalah gambaran model cewek gampangan yang dengan beberapa lembar uang kertasan kita mudah untuk menikmati tubuhnya.
Aku mengambil tempat duduk di meja makan itu, kulihat kedua anak itu juga telah kembali duduk, sambil menikmati cheesecake didalam piring kecil yang tersedia dimeja, dengan duduknya yang terlihat sembrono, pahanya yang terbuka lebar seolah tak perduli aku duduk didepannya, seperti berusaha memancing aku untuk melihat jauh kebawah meja makan yang terbuat dari kaca ini.
Aku jadi terpancing untuk ikut menikmati kue yang ada dimeja, kuambil air putih segelas, meminumnya dan mencomot kue dipiring seakan aku ingin menikmati kue tersebut, padahal aku ingin melihat dan menikmati cara duduknya yang sembrono itu. Sambil berbasi basi sejenak menanyakan padanya kemana Moza dan Maya ?, ia menjawabnya dengan acuh tak acuh sambil terus berbicara kepada Ira dengan pembicaraan yang aku tak nyambung sama sekali. Ia bilang bahwa Moza belum kembali dari kuliah dan Maya ada dikamarnya, mungkin nonton televisi.
Tak lama kemudian Mita dan Ira mengangkat badannya dan berkata kepadaku, A, Mita pamit dulu, mo berangkat sambil menoleh padaku dan memandangku ringan.
Kata-katanya yang bilang mau pamit bukan ijin, seakan mengatakan padaku bahwa ia tidak perlu minta ijin kepadaku, toh aku bukan kakak kandungnya yang harus minta ijin-ijin segala. Namun aku seolah tak rela, mengijinkannya pergi dengan pakaian yang seperti itu, bukan mustahil ada lelaki2 iseng yang mencoba untuk menggodanya, bahkan mencoba untuk menjamahnya.
Kupandang sejenak keduanya, dengan menarik napas, seolah2 ingin menunjukkan rasa wibawaku, Oh, iya deh Mit, tapi hati2 ya ? dan pulangnya jangan terlalu malam. Kataku perlahan seolah aku perduli padanya, khawatir dan ingin dia pulang dengan cepat dan utuh.
Mereka bergerak cepat, seolah2 tak ingin kehilangan moment yang sangat penting. Aku memperhatikan keduanya, duh cara berpakaian mereka terlalu berani, dengan lenggok tubuh yang aduhai dari keduanya bak peragawati yang berjalan diatas catwalk, dimana menyuruh aku untuk memandang dan memperhatikannya seolah aku akan memberinya nilai, berjalan centil menghilang dari balik pintu.
Aku berjalan meniti tangga keatas, menuju kekamarku, bermaksud untuk mandi agar badanku terlihat segar, kulewati kamar Tante Mala yang kini tampak tertutup dan terkunci. Melewati kamar Mita dan Maya, terbuka lebar, kulihat dikamar maya sedang duduk dibawah beralaskan karpet, dengan kepala menghadap televisinya, tidak menyadari bahwa aku memperhatikannya dari belakang. Dengan kaos dan celana pendek seperti biasanya, serius menonton acara di televisi.
Aku berjalan terus, melewatinya pintu kamarnya, menuju kamarku, membuka baju, mengambil handuk dan menuju kamar mandi, menyegarkan badanku, mengguyur kepalaku dengan air yang dingin, cukup memberikan kesegaran kedalam otakku, yang seharian kukerahkan untuk berpikir.
Selesai mandi, berganti pakaian dengan pakaian dinasku yang biasa, celana pendek belel dan kaos gombrang. Keluar kamar berencana kebawah untuk melihat menu dimeja dan makan malam.
Kulewati kamar Maya, pintu masih terbuka, dan kutengok kedalamnya, kulihat Maya masih serius dengan acara tivi di depannya. Entah timbul pikiran darimana, hendak kuisengi dia, aku menghampirinya perlahan, duduk pelan2 dibelakangnya tanpa suara, tanpa dia menyadarinya, aku memeluknya kencang dari belakang sambil berteriak mengagetkannya Serius Amat !.
Maya kaget bukan alang kepalang, sambil menjerit kencang, berusaha bergerak untuk melepaskan pelukanku terhadapnya, berusaha untuk meronta dan bangkit berdiri. Namun gerakannya itu ternyata berakibat fatal. Karena kencangnya pelukanku, malah membuatnya terdorong kedepan, dan membuatku ikut terbawa gaya tariknya, sehingga membuat kami berdua terguling. Posisi badanku kini berada dibelakangnya sambil rebahan, tanganku yang semula memeluk pinggangnya, kini telah pindah kedadanya, memegang payudaranya !.
Ih Aa, iseng banget sih, ngagetin Maya aja ! katanya kepadaku sambil memperlihatkan mimik mukanya yang seolah-olah hendak marah, aku hanya cengengesan aja, dan menjawabnya ringan Lagian serius banget, kalo yang masuk perampok gimana ?, ntar kamu diapa2in ma itu perampok gimana coba ?, Yee, biarin aja, gaklah, bodo amat katanya sambil memonyongkan mulutnya. Aku tertawa ringan dan membalas perkataannya cepat, pura-pura tak menyadari bahwa tanganku sedang berada didadanya, menyentuhnya dan sepertinya ia tidak menyadarinya juga.
Emang kamu lagi nonton apaan sih May ?, segitu seriusnya kataku, dan Maya menjawabnya, nonton sinetron, lagi seru-serunya nih ! katanya lagi, dan sepertinya ia menyadari keadaan kami, berusaha bangkit. Aku melihat situasi seperti itu, melepaskan tanganku kananku didadanya dan menaruhnya dipantatnya. Maya mengangkat badannya sejenak seolah memberi keleluasan buat tangan kiriku yang tertindih badannya di bawah ketiaknya untuk menariknya, Namun ia tidak bangkit bangun, malah menarik bantal didepannya dan menaruhnya dikepalanya, tetap tiduran dengan posisi memiringkan tubuh membelangiku. Aku menaruh tangan kiriku dibelakangnya sejajar badan miringnya, sementara tangan kananku tetap berada dipantatnya, Otak Iblisku mulai berjalan.
Emang kamu gak ada rencana keluar May ?, kan sekarang malem minggu begitu kata-kata yang meluncur keluar dari mulutku untuk membuka percakapan, Maya menjawabnya ringan, Ngapain keluar, capek ah, males, mendingan nonton teve , katanya, Ya, kali aja jalan ma temen2 cewek kamu, kali aja nemu cowok dijalan, hehehehe kataku menggodanya, Yaa, Aa kayak gak tau aja, temen-temen Maya semuanya rata2 udah pada punya cowok, cuman Maya doang yang belum, tauk ! katanya sambil tetap manyun dan terus mengarahkan matanya ke televisi didepannya.
Dasar memang otak iblisku yang bekerja, sepertinya tanpa kuatur dengan pikiran jernihku, aku mengangkat tangan kiriku mengarahkannya untuk menopang kepalaku, dan tangan kananku kuarahkan untuk menaruhnya dikepalanya, serta mengelus-elus rambutnya.
Dengan posisi kepalaku yang terangkat ditopang oleh tangan kiriku, kini kepalaku tepat berada dibelakang kepalanya, lebih tinggi dari rebahan kepalanya, seolah ikut rebahan dan ikut menyaksikan acara televisi yang ditintinnya. Aku merapatkan badanku ke badannya, pantatku tanpa disuruh mulai bergeser untuk maju merapat kepantatnya, tepat mengarahkan dedeku yang berada dicelana dalam menyentuh garis belahan pantatnya. Maya seakan tak perduli dan mungkin tak menyadari akan hal ini, karena ini merupakan hal yang biasa sering aku lakukan.
duh kesian, Ade Aa yang satu ini, belum punya cowok, jadi belum tau dong gimana enaknya pacaran ! kataku lagi. hmmm..., Tauk Ah hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Maya, dan seolah berusaha untuk tersenyum. Biarin deh May, kita senasib, kataku lagi sambil cengengesan, Maya tidak menjawabnya dan seakan2 tidak mendengar, ia tampak serius menyaksikan acara teve didepannya.
Aku seperti kehilangan akal, terdiam sejenak, kemudian segera memindahkan tanganku yang mengelus2 rambutnya meraih pinggangnya, dengan berpura2 serius ikut menyaksikan acara televisi didepannya. Aku memeluknya erat, seakan membantu badanku untuk makin merapat ke badannya. Dedeku semakin tegang dan mengeras.
Maya sepertinya diam tak bereaksi, namun kurasakan dia malah seakan menyorongkan pantatnya ke belakang, mempersilahkan dedeku untuk makin merapat dengan pantatnya. Aku yang mulanya hanya berusaha menempel ketat saja dengan hanya mengharapkan adanya tekanan terhadap Dedeku, tanpa disuruh mulai meningkatkan serangan.
Sambil pura2 ikut menyaksikan acara televisi, tanganku yang berada dipinggangnya mulai turun dan mulai mengelus2 bagian pinggangnya, pura2 untuk memijitnya, kadang memijit hingga kebelakang punggung dan perutnya.
Mungkin karena ada perasaan tak enak dan ada perasaan lain, karena kulihat maya tampak serius dengan acara di televisinya, setelah beberapa saat, aku akhirnya menghentikan kegiatanku, kurebahkan badanku, menarik pantatku, menarik tanganku yang menempel dibadannya.
Yah A, kok berhenti sih, enak bener nih, Maya kan lagi pegel, mana perut maya lagi sakit nih, pijitin lagi dong A, terusin ! tiba2 kudengar Maya berkata kepadaku sambil berhenti menatap televisi dan memalingkan kepalanya ke arahku.
"Yee
kirain gak mao, gak taunya malah minta nambah kataku sambil menggodanya, Orang tadi Aa iseng doang, sambil ikutan nonton !, ya udah kamu berbalik lagi kaya tadi kataku lagi dan mulai merapatkan lagi badanku ketika badannya sudah dalam posisi seperti awal tadi.
Entah darimana mulainya, aku memijit2 bagian punggung badannya, sambil tentu saja merapatkan dedeku ke pantatnya yang bahenol itu, dan pandangan mataku seolah turut menyaksikan acara tivi yang ditontonnya, padahal pikiranku menerawang entah kemana. Kadang pijitanku bergerak nakal, mencari daerah jajahan baru untuk dikuasainya.
Kadang aku memijit punggungnya, bergerak terus kebawah, kearah pinggangnya, menekan keras sampai ia menjerit lirih dan seakan bahwa yang aku pijit adalah daerah yang mengalami sakit cukup parah, sehingga memerlukan terapi yang khusus, aku mulai memberanikan menaikkan kaos yang dikenakannya hingga memperlihatkan pusarnya dan menurunkan tali celana pendeknya hingga beberapa centi kebawah. Membuat celana dalamnya yang berwarna pink terlihat.
Seperti yang sudah-sudah, bagaimanapun sifat manusia selalu kurang dalam mencari kepuasan, aku mulai berani menurunkan celana pendeknya hingga kebawah sekali nyaris mencapai batas bawah celana dalamnya itu, hingga jelas terlihat bahwa celana dalamnya seperti melorot kebawah. Maya sepertinya diam, tak perduli dengan keadaannya dan tampak menikmati pijitanku. Dan tanpa diketahuinya aku memelorotkan celana pendekku juga dan menempelkan celana dalamku ke celana dalamnya. Sehingga dedeku dan garis pantatnya hanya hanya dibatasi 2 lembar kain tipis saja.
Aku mulai berani memijit kearah depan pantatnya, seolah memberi pijitan, lebih tepat rabaan, kepahanya dan menyentuh pinggiran tonjolan daging didepannya. Memberinya tekanan, menyuruhnya lebih menekan lagi ke Dedeku. Entah mungkin akibat rabaan2 yang kulakukan terhadapnya, kelihatannya Maya mulai terpengaruh. Pada saat aku mengulanginya untuk keberapa kali, memijit pahanya dan menyentuh tonjolan dagingnya, kulihat matanya melirik kepadaku dengan tatapan lirih dan sayu.
Ia mulai terangsang. Entah berapa lama ini kulakukan, dedeku semakin tegang. Aku pura2 capek memijitnya, mulai melepaskan pijitan dipantatnya dan meraih pinggangnya dengan telapak tanganku menyentuh perutnya. Kurebahkan kepalaku dibantal dimana kepalanya juga berada disitu, terpejam.
Tanganku mulanya hanya menyentuh diperutnya, dengan jempolku diatas pusarnya. Mulai bekerja kembali, tidak memijitnya namun mengusap-usapnya bagaikan seorang ayah yang menenangkan bayi yang dikandung istrinya. Namun itulah yang mungkin justru membuat maya semakin terangsang. Ia mulai melenguh pendek, membiarkan tanganku diperutnya dan menarik kaosnya kedepan agar lebih longgar bagi tanganku didalamnya. Entah pikiran darimana, hal ini seakan memberikan lampu hijau kepadaku untuk lebih jauh.
Dengan mataku yang terpejam, sementara badanku merapat erat dibelakang badannya. Aku melancarkan seranganku terhadap maya semakin gencar, tanganku melewati pinggangnya, mengelus2 perutnya, mengelus bawah pusarnya, menelusup kedalam celana pendeknya, meraba tonjolan dagingnya, kurasakan bulu2 yang mengumpul bagaikan permadani yang terhampar, menyentuhnya sebentar seolah tanpa sengaja, menariknya kembali keatas. Maya seakan pasrah, tanpa perlawanan, seolah tak menyadari apa yang akan kulakukan terhadapnya. Aku mulai melebarkan rabaanku, mengelus perutnya berputar keatas pusarnya, menyentuh ujung batas bawah BH pinknya dengan jempolku, terus berputar meraba, diam sejenak menunggu reaksi maya terhadapku, apakah ia akan menghentikanku, meraih tanganku dan menyentakkannya keluar dari badannya ?.
Namun hal itu tidak terjadi, maya seolah menunggu aksiku untuk melangkah
lebih jauh, memindahkan tangannya yang semula menindih tanganku, menjadi berada diatas kepalanya menutupi kupingnya. Mataku tetap terpejam seolah yang kulakukan ini adalah mimpi, seakan aku mengigau melakukan sesuatu yang tak kusadari. Tanganku mulai keatas, meraba payudaranya yang tertutup bra merah jambu itu, menyentuhnya bebas seakan milikku dan tak ada seorangpun yang berhak melarangnya. Merabanya dan hanya menekannya sesaat, menunggu reaksi penolakan yang tak kunjung tiba. Giat aku mencari pemenuhan kepuasan, aku mulai meraba lebih jauh keatas, menyentuh buah dada yang tak tertutup oleh bra, mengelusnya pelan, memberikan rangsangan terhadap pemiliknya. Kebawah lagi, membelai dan menekan bra yang menempel, meremasnya perlahan, kudengar suara Maya seperti merintih tertahan, namun tetap membiarkan. Aku semakin buas menjamahnya, meremasnya bagaikan sobekan kertas, menarik BH-nya kebawah, membiarkan putingnya mencuat keluar. Kembali meremasnya, menjepit putingnya dengan telunjuk dan jari tengahku, memutar2kan telapak tanganku, memberinya sensasi yang mungkin belum pernah dirasakannya.
Kurasakan puting payudara Maya yang sebelumnya kecil dan lunak, kini semakin panjang dan mengeras, begitu juga dengan payudaranya, yang semula lembek dan seakan landai bagaikan lembah, kini bagaikan gunung yang menjulang tinggi. Namun aku tak berani melangkah lebih jauh, ingin aku membalikkan badannya yang miring itu, telentang dan aku menindih diatasnya. Remasan tangan kananku di payudaranya semakin tak terkendali, aku sangat menikmatinya, tak terasa Dedeku yang menempel erat di garis pantatnya seakan tak terkendali, seakan pantatku turut bergoyang untuk mengarahkan dedeku agar lebih menikmati sensasi yang ada. hingga kudengar dari mulut Maya suara yang lebih tepat dikatakan rintihan.... Aa... hanya itu kata yang keluar dari mulutnya. Namun itu cukup menyentakku dan menyadarkanku akan apa yang telah kulakukan.
Kuhentikan gerakanku, kutarik BH-nya dan kututupi kembali payudaranya, kuraih tanganku, diam sejenak. Kurebahkan badanku telentang, menjauhinya, mengatur napas agar normal, diam beberapa saat. Kusesali apa yang barusan terjadi, aku bangun berdiri, memperhatikannya sesaat, kutatap wajahnya, kulihat matanya terpejam seolah tertidur. Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan, tak ada gerakan apapun darinya, entah itu memprotes terhadap apa yang telah kulakukan kepadanya atau pun lainnya. Kubalikkan badanku, membelakanginya, meninggalkannya keluar ke arah kamarku.
Aku menghempaskan badanku, merebahkan diri dalam ranjang tempat tidur, mendengarkan suara rintik hujan yang datang, entah apa yang kurasakan, seolah pikiranku kosong seiring dengan air yang jatuh dari langit, melayang, menjemput impian.
Terjaga aku dalam nyenyakku, kurasakan dingin menyelimutiku, hingga kesumsum tulangku. Berusaha mencari kehangatan dengan meraba dalam kegelapan, mencari selimut. Namun rasa dingin menyergap dan semakin terasa, sepertinya tubuhku tak kuasa menahannya dengan perut laparku !. Kupaksakan diriku untuk bangun beranjak keluar dari ranjangku, kupicingkan mata dalam kegelapan, memandang kedinding untuk bertanya kepada sang waktu. Jam menunjukkan pukul 1 lebih 10 menit, lewat dari tengah malam, melangkah gontai aku berjalan keluar kamar, melangkah pelan, yang kutuju adalah ruang makan !.
Kuperjalan setengah terpejam, dalam keremangan lampu koridor, kulirik kamar Moza, sore tadi kamar yang kulihat gelap gulita, kini telah diselimuti lampu temaram, yang menandakan bahwa kamar itu telah berpenghuni, dan penghuninya mungkin telah tertidur pulas. Melewati kamar Maya, menengok ke arah dalam pintu yang terbuka lebar, sekilas diranjang sebelah kiri kulihat maya tertidur dengan posisi miring menghadap tembok, pulas. Aku tak melihat ranjang disebelah kanan, karena terhalang oleh daun pintu yang tertutup sebelah. Kuteruskan langkahku, meniti anak tangga, kebawah menuju ruang makan.
Kuhampiri meja makan, terdapat piring yang tertelungkup beberapa, kubuka tudung saji, meletakkannya disalah satu bangku, dan kubalikkan piring, mengambil nasi yang sudah menjadi dingin secukupnya mengambil lauk yang tersedia beberapa, mulai menyuapnya, mengunyahnya dan menelannya dengan terpaksa. Dalam keheningan malam, serasa hidup didalam hutan belantara, sendirian, melamun, menerawang sambil sedikit demi sedikit menjejalkan makanan mengisi rongga perutku.
Tiba-tiba dalam keheningan malam kudengar suara mobil, yang semula pelan, semakin keras dan menderu, mendekat. Berhenti seperti mendadak mengerem dengan decitnya, suara mesin terdengar seperti aku mengenalnya, hapal akan suaranya. Terdengar suara mesin menggerung seakan memastikan bahwa posisi kopling berada dalam posisi netral dengan diikuti injakan pedal gas yang dalam untuk memastikannya. Terperanjat aku melirik kearah ruang depan, seakan ada cahaya menyinari dari balik gorden, terang sesaat, menandakan bahwa mobil tersebut berhenti di depan rumah ini.
Segera aku bangun, bangkit dari kursi, meninggalkan nasi dalam piring yang sedikit lagi habis, bergerak menuju ke depan. Kunyalakan lampu ruang depan, sambil bertanya dalam hati, siapakah gerangan ?. saat lewat tengah malam begini rupa, mencoba menentramkan hatiku dengan mengira kalo itu adalah mobil Om atau Tanteku yang baru kembali dari luar kota dan memutuskan untuk pulang lebih awal. Kubuka perlahan gorden ruang tamu, mencoba tetap tenang namun tetap waspada, mengintip dari celah gorden yang tersibak. Terperanjat aku melihat ke arah luar !.
Tampak diisana, kulihat Mita sedang menutup pintu mobil sebelah kanan, lalu berjalan memutar mengelilingi mobil, membuka pintu mobil sebelah kiri, berbicara sejenak, tak lama kemudian kulihat temannya tadi siang yang bernama ira keluar, kulihat Mita meraihnya, merangkulnya dan memapahnya setelah menutup pintu mobil.
Bergegas aku bergerak ke arah pintu, memutar anak kunci pintu dan membukanya, menghampiri Maya yang terlihat berat memapah temannya, Ya ampun Mit, darimana ? kok jam segini baru pulang sih ?, namun sepertinya aku tak memperoleh jawaban, hanya kudengar suara seperti orang menggeram, atau melenguh, kuperhatikan wajahnya sesaat, tampak mukanya merah dengan sorot mata yang dipaksakan untuk membuka. Kulihat lagi wanita yang disebelahnya yang dipapahnya, berusaha keras untuk berdiri, juga dengan mata setengah terpejam, berusaha untuk berjalan. Kucium bau menyengat dari arah mulut keduanya, bau yang tak asing bagiku, minuman keras !.
Dengan mengambil posisi ditengah2 keduanya, kubimbing mereka menuju kedalam rumah, tangan mereka berdua berada dibahuku dan tanganku berada dibahu keduanya, berjalan pelan menuju ruang tamu, mendudukkan mereka.
Aku meninggalkan mereka sambil menggelengkan kepala, berjalan keluar, menutup garasi yang memang terbuka mungkin sejak sore, dan kembali kearah pintu masuk, menguncinya dan memastikannya bahwa rumah dalam keadaan safety. Pikiranku berputar keras, darimana mereka ? apa yang telah terjadi terhadap mereka ?, bukankah mereka tadi pamit kepadaku untuk menghadiri pesta yang diadakan temannya ? Kenapa Mita pulang2 tampak seperti mabuk ? giting, teler, namun ada yang lebih kucemaskan, seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan, apa yang akan kulakukan ? bagaimana Mita dapat menyetir mobilnya dalam keadaan seperti itu ? Bagaimana bila terjadi kecelakaan menimpanya ?
Berjuta pikiran berkecamuk didalam otakku, memikirkan Mita, menyudutkanku, seolah aku tak peduli dengan adik sepupuku ini, membiarkannya terjadi, namun ini bukan seperti Mita yang kukenal, sepertinya ia terpengaruh oleh teman-temannya, biar dikatakan cewek gaul, ia mengikuti ajakan temannya untuk meminum minuman keras.
Memasuki ruang dimana kududukkan Mita dan Ira, kulihat mereka seolah tak perduli kepadaku, mereka saling memandang kemudian entah apa yang dibicarakan, seolah berbisik dan kemudian tertawa keras, sejenak kuperhatikan, dengan rok mini yang dipakai keduanya, tak peduli dengan keadaannya, duduk sembrono. Mita kulihat mengangkat kaki kanannya dan menyilangkannya ke salah satu sandaran tangan yang terletak dipinggiran kursi mebel, seolah tak perduli dengan posisinya, rok mininya seperti tertarik keatas pinggangnya, memperlihatkan selangkangannya yang ditutupi celana dalam warna putih.
Kulihat Ira lebih parah lagi, merebahkan kepalanya ke sandaran tangan mebel itu, kakinya yang kanan diletakkannya diatas, dan kaki kirinya dijulurkannya kebawah, kelantai, dengan posisi seperti itu, jangankan hanya selangkangannya, celana dalamnya pun terlihat sampai kebagian atas, celana dalam berwarna putih itu menampakkan bayangan hitam diatasnya. Kutertegun sejenak menatap mereka. Apa selanjutnya yang harus kulakukan ?
Aku berpikir sejenak, lalu kuputuskan untuk memindahkan mereka keruang atas, memikirkan situasi terburuk yang akan terjadi, seandainya sang kakak melihatnya dalam kondisi seperti ini, atau Bi iyem melihatnya, dan mungkin yang lebih parah lagi bila kedua orang tuanya melihatnya, aku takut memikirkannya seandainya Om Mirza atau Tante Maya pulang lebih awal dan melihat kondisi Mita seperti ini. Tentu semuanya akan berbalik kepadaku.
Kuangkat dan kupapah mereka, berusaha berjalan tertatih-tatih, pelan namun pasti, bergerak menuju lantai atas. Mereka menurut saja dengan apa yang kulakukan, mengikuti langkahku dengan berat. Kutarik napas panjang setelah selesai meniti anak tangga, terengah sejenak, lalu melangkah kembali, menuju kamar Mita. Kubuka perlahan daun pintu yang terbuka setengah, kulihat Maya tertidur, terlentang, tak sadar dengan apa yang terjadi, kulihat saking pulasnya, kaos bajunya terbuka keatas, memperlihatkan Bra-nya sebagian, mengingatkan aku dengan apa yang terjadi tadi sore.
Bingung kusesaat, dimana aku harus menaruh kedua wanita ini, kulihat dengan ukuran kamar yang sama besar denganku, terdapat 2 tempat tidur yang kecil, yang hanya cukup muat ditiduri oleh satu orang, sedangkan dibawahnya kulihat hanya terdapat karpet tipis kecil polos yang mungkin muat satu orang, namun banyak buku berserakan disana. Setidaknya aku harus membereskannya terlebih dahulu.
Aku berpikir cepat, entah darimana ide ini, aku bergerak balik keluar, kupapah keduanya melewati lubang pintu yang sama, bergerak kearah kamarku, kuputuskan untuk menaruh keduanya dalam kamarku, toh nanti setelah membaringkan keduanya dalam tempat tidurku yang cukup besar, yang mampu menampung dua orang atau malah cukup untuk tiga orang, aku dapat menumpang tidur dikamar Maya, diranjang tidur Mita.
Memasuki kamar, mungkin antara sadar dan tidak, Mita sepertinya sudah tak tahan untuk merebahkan dirinya, dan mungkin juga akibat kendornya peganganku terhadap Mita, kulepaskan Mita yang seolah hendak terjatuh kelantai, sambil memegang lengan bahuku, mencari tempat yang nyaman diatas karpet tebal di lantai kamarku. Setelah memastikan posisi tubuhnya aman, dia segera merebahkan dirinya.
Sementara Ira, masih dalam papahanku, kuraih tubuhnya dengan tangan kiriku yang semula memegang Mita, merangkulnya dan hendak mengangkatnya kepembaringan. Cukup berat memang mengangkat tubuh montok yang tingginya hampir sebaya denganku. Aku berusahan untuk mendudukkannya dipinggiran pembaringan, tangannya berada dibahuku, memeluk leherku, dengan mata berusaha membuka, berupaya melihat siapa yang berada didepannya. Aku tak peduli, kedorong tubuhnya untuk membiarkannya berbaring, dan celakanya dengan mendorongnya, karena tangannya masih melingkar dileherku, justru membuat badanku ikut terbawa, terhempas kedepan!.
Tertegun aku sejenak, posisi badanku kini menindih ira, kepalaku tepat diatas kepalanya dan kurasakan hembusan napasnya dihidungku, sangat dekat. Kulihat ira menatap mataku, saling menatap, sekilas. Entah siapa yang memulai, dan seakan insting membimbingku, padahal hati kecilku seakan menolak, kurengkuh kepalanya seakan menyuruhnya mendongak, kusentuh bibirnya dengan bibirku, lembut, dan entah bagaimana, seolah tangan yang berada dileherku seakan berpindah kebelakang kepalaku, menariknya agar lebih mendekat, merapatkan kedua wajah kami.
Kurasakan kedua bibir kami saling bertautan, saling mencengkram, berusaha mendahului satu sama lain, saling menguasai, berusaha untuk memonopoli. Merengkuhnya, melumatkan bibirnya, memainkan lidahku didalam rongga mulutnya. Posisi badanku mulai mencari tempat yang pas, dan Ira seperti mengerti akan keadaan, dia mengangkat kakinya, bergeser dan membuka pahanya agar lebih terbuka dan membiarkan aku berada ditengah2nya. Aku seakan memanjat tebing, berusaha menjalari tubuhnya, memposisikan diriku agar berada pas diatas badannya.
Bibirku bergeser ke pipinya menuju arah lehernya, menciuminya, memancing gairahnya yang mulai meledak, terus menuruninya, bergerak ke arah dadanya. Tanganku seolah mengerti akan tugasnya, kutarik dari belakang leher yang menimpanya, berusaha menjamah badannya, meraba sekujur tubuhnya dari mulai paha terus keatas, kepinggang, perut dan mengarah ke dada. Kutarik bagian atas bajunya yang menutupinya dadanya sebagian. Menariknya sehingga memperlihatkan tonjolan dadanya yang putih, dan ranum itu. Aku mencium dada bagian atasnya, mengecupnya perlahan dan memainkan tanganku di dadanya yang menggumpal. Menekannya, merabanya dan meremasnya perlahan, kulihat dari mulutnya terdengar suara lirih melenguh, dengan mata terpejam.
Aku mulai menuruninya, kuturunkan kepalaku, sesekali mulutku meraba tubuhnya, menciumi baju luarnya, terus kebawah, ke atas kemaluannya hingga mencapai pahanya. Kutarik keatas baju yang menutupinya, seolah mengerti akan kemauanku, diangkatnya pinggangnya, menyorongkannya ke depan, dan membuka ikat pinggang besar yang melingkari pinggangnya, menariknya dan melemparkannya kebawah.
Aku makin beringas dan seolah ikut tak sadarkan diri, kuciumi bagian bawah pahanya, merabanya dengan kedua tanganku, dan menggerakkan bibirku untuk menciumi selangkangannya dari luar CD-nya. Seakan tak puas atas apa yang telah kulakukan, dan menginginkanya lebih dari itu, dia memegang bagian bawah bajunya, menariknya keatas hingga keleher, diangkatnya kepalanya, disusul dengan mengangkat badannya, duduk dan meloloskan bajunya melewati kepala, menaruhnya disebelahnya dan kembali merebahkan badannya.
Kini dihadapanku tergolek tubuh setengah telanjang, hanya dengan Bra dan Celana dalam warna krem menutupinya, menatapku setengah terpejam, berharap aku untuk menyelesaikan apa yang telah kumulai. Aku melirik ke lantai, bawah ranjang, tampak tergolek disana tubuh Mita, tak mengetahui apa yang telah terjadi diatas ranjang ini. Sejenak kutatap wajahnya, kulihat lengannya menutupi matanya, seperti berusaha agar memejam. Kupikir saat itu situasi dalam keadaan aman terkendali. Kembali mataku menatap ke depan, menatap tubuh mulus yang tergolek setengah sadar.
Kuangkat kaos bajuku, mengeluarkannya lewat kepala, melemparkannya kebawah. Sesaat kemudian badanku menjalar, menindih tubuh didepanku. Menciuminya kembali bertubi-tubi, bibir sensualnya, lehernya, dadanya, menarik Bra hingga payudaranya menyembul keluar.
Seolah mengerti akan keinginanku dan mengharapkan lebih perlakuanku, ketika aku terus merabanya, menciuminya turun terus kebawah, kearah selangkangannya, Ira menyorongkannya badannya kedepan, menarik pengait BH dibelakangnya, melepaskannya, saat yang sama, aku menarik celana dalamnya, memelorotkannya kebawah lewat ujung kakinya.
Kuraba paha mulus, jenjang, putih dihadapanku, menundukkan wajahku ke arah selangkangannya, menghembuskan napas diatas dataran paha yang rata, licin tak berdempul itu, menciuminya sesaat dan mengarahkan bibirku ke vaginanya. Kuendus perlahan, terasa aroma yang sensasional, menggiringku untuk lebih mendekat, menjulurkan lidahku dibawah tonjolan bukit landai itu, merasainya. Kubelai permukaan celah sempit itu dengan lidahku, seolah mencicipi es cream saat pertama kalinya, dan menjulurkannya kembali, menjalarinya dengan lidah, mengecapnya berulang-ulang.
Kudengar rintih halus yang keluar dari mulut Ira, desahan-desahan lembut yang diiringi bunyi napas yang semakin tak beraturan, diikuti gelengan kepala kiri kanan yang semakin cepat. Tangannya diarahkannya ke belakang kepalaku, berusaha menekan kepalaku, berharap agar aku melakukan penetrasi lebih dalam, dan membuka jarak antara kedua pahanya semakin lebar, memberikan ruang kepadaku agar aku dapat memasukinya lebih dalam.
Tanganku tak tinggal diam, kuangsurkan keatas, mengarah ke dadanya. Kubelai pelan kedua buah dada yang kini telanjang itu, bulat, lonjong, kenyal. Merabanya, menekannya, merasakan kedua putingnya berada dalam rengkuhan telapak tanganku. Berusaha mengumpulkannya dalam genggaman, agar dapat merengkuhnya sekaligus. Meremasnya dengan lembut namun semakin lama semakin gemas. Desahan dan rintihan Ira semakin terdengar jelas, disusul oleh bunyi kecupan bibir dan lidahku, seprei yang semula rapih kini telah kusut dan tertarik kemana-mana. membuat kesan bahwa di kamar itu sedang terjadi aktifitas.
Sesaat pikiranku kosong, melayang entah kemana, menikmati sensasi yang ada, melupakan keadaan sekeliling, hanya terfokus pada satu keinginan, memuaskan segala hasrat yang terpendam.
Sesaat kehentikan segala aktifitas, terdiam sejenak ketika menyadari ada sesuatu yang lain. Kupalingkan wajah kearah belakangku, tak jauh dari pinggir ranjangku, kulihat Mita sedang berdiri, menatap ke arah kami berdua !.
Mita yang semula kukira tertidur pulas, dibawah, dilantai karpet kamarku, tampak telah berdiri dihadapan kami berdua, mita yang semula kukira tidur terpejam, berusaha menghilangkan rasa pusing akibat minuman keras yang diminumnya, berdiri, menatap tajam, memperhatikan segala gerakan yang kami lakukan. Terhenyak aku melihatnya, terkejut !
Namun rasa terkejutku tak lama, kulihat Mita yang berdiri memandangi kami berdua, membuka kancing baju kemejanya satu demi satu, terus menerus menatap kami tak bergeming seakan tak ingin kehilangan moment.
Ira begitu menyadari bahwa aktifitas yang kulakukan terhenti, mengangkat kepalanya berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Dilihatnya aku terdiam sambil memalingkan wajah ke samping, ikut mengarahkan wajahnya ke arah pandanganku, dan dilihatnya Mita menatap kami berdua. Namun Ira seolah tak perduli akan adanya pihak ketiga, yang memperhatikan apa yang dilakukannya denganku. Dia mengangkat badannya, memelukku dan menarikku kedalam pelukannya, memintanya agar aku menindihnya, melanjutkan aktifitas yang sempat terhenti.
Aku memperhatikannya Mita dengan penuh tanda tanya, apa yang akan dilakukannya ?, karena kulihat Mita, mencopot semua kancing bajunya, mengarahkan tangannya ke punggungnya, dan tak lama kemudian kulihat ia telah memegang BH-nya disalah satu tangannya dan melepaskannya dilantai. Dengan kemeja yang kancingnya telah terbuka semua, jelas memperlihatkan hampir semua bagian payudaranya yang montok, melangkah dengan anggun, menghampiri ranjang kami.
Aku yang berada diatas tubuh Ira dengan posisi terduduk diatas pahanya, terdiam sejenak, memperhatikannya mengangkat kaki kanannya, dan menaruh lututnya di bibir ranjang, kaki kirinya menyusul kemudian, beringsut, menjejakkan pantatnya disamping pinggul Ira yang telentang, menatap wajahku dengan tatapan sayu.
Dipegangnya bahuku, direngkuhnya agar mendekat, yang membuat badanku miring kearahnya, memaksaku untuk memalingkan wajahku kearahnya, mendekatkan bibirku ke bibirnya, yang dengan segera melumatnya. Terpejam aku menikmati perlakuannya.
Seumur hidupku, jangankan membayangkan, bermimpipun aku tidak pernah mengalaminya, kini dihadapanku terdapat dua gadis manis, yang memintaku untuk mencumbunya, satu dibawahku telah terbujur polos menunggu untuk aku setubuhi dan satu disampingku dengan dada terbuka menunggu giliran berikutnya. Aku bergerak bangkit, mengangkat salah satu kakiku, melangkahi badan Ira, beringsut ke arah Mita.
Aku jongkok dihadapannya, memelorotkan celana pendek katunku, sekaligus dengan celana dalamku, menurunkannya perlahan melewati ujung kakiku dan bersimpuh dihadapan Mita, merengkuhnya, dan dibalas dengan Mita yang memelukku erat, menciumi bibirku dengan rakus, mengulumnya, memainkan lidahnya didalam rongga mulutku, dan kubalas dengan memainkan lidahku dimulutnya. Di dalam hatiku jelas aku lebih memilih sepupuku Mita dibandingkan dengan temannya Ira, dalam hal wajah Mita jauh lebih cantik, bodypun Mita lebih bagus, kulit putih, mulus, ditumbuhi bulu-bulu halus, dengan pantat yang diturunkannya dari sang ibu, dan dengan dada bulat, ranum, montok.
Ira tak tinggal diam, seakan tak rela, mainannya direbut oleh Mita, berusaha bangkit, duduk, dan memelukku dari belakang. Menjilati kupingku, menciumi leherku, dan mengusap-usap dadaku, dengan terus menekan payudaranya kepunggungku, menggoyangkan badannya seolah-olah punggungku sedang meremas payudaranya.
Aku menciumi leher Mita, tak perduli dengan apa yang dilakukan Ira terhadapku, kulihat Mita menengadahkan kepalanya, menikmati sensasi ciumanku, tangannya bergerak meraba payudaranya. Aku mengerti, kearahkan ciumanku ke dadanya, menelusuri lidahku disekeliling lingkaran merah kecoklatan putingnya. Dari payudara yang satu ke payudara yang lain, bergantian. Dan tak lama kemudian, cuimanku kuarahkan kembali ke leher dan bibirnya, tanganku merengkuh Mita, kumiringkan badanku, bergerak untuk mengambil posisi berbaring, mengajak Mita untuk menyusulku, berbaring disebelahku.
Mita mengerti akan keinginanku, tanpa melepaskan ciuman dibibirnya, mengikuti arah kepalaku, menciumiku yang kini terbaring telentang. Disisi lain kulihat Ira, yang melihatku akan berbaring, melepaskan pelukannya dipunggungku, tetap duduk diposisinya. Begitu aku terbaring, tanpa menunggu lama, kulihat ia telah memegang penisku. Menundukkan kepalanya dan mulai menciumi penisku. Dicicipinya sekujur batang penisku bagaikan anak kecil yang mendapat ice cream yang diidamkannya, membuatnya semakin keras dan menegang.
Sambil terus menikmati ciuman pada bibirku, dan aku membalas ciumannya, juga tanganku memberikan kenikmatan kepadanya dengan meremas-remas payudaranya, membuat payudaranya semakin mengeras dan putingnya semakin menegang. Mata Mita nampak terpejam sesekali terdengar lenguhan dari dalam mulutnya, rintihan, akan nikmatnya sensasi yang kuberikan.
Tak lama kulihat Mita, mengangkat pantatnya, menurunkan rok mini dan celana dalamnya, membuka bajunya, hingga tubuhnya polos tanpa ditutupi oleh sehelai benangpun. Aku terkesima menatapnya, bagian tubuh yang selama ini tertutup dan hanya kulihat bagian luarnya saja, walaupun kadang aku sering membayangkannya, dengan pakaian yang super mini yang suka dikenakan oleh pemiliknya ini, tapi saat ini aku diperlihatkannya semuanya.
Kembali ia mengarah padaku, menciumi dada, leher, dan bibirku, disusul keningku, kemudian melewati kepalaku, mengerti akan keinginanya ketika payudaranya berada diatas mulutku, kujulurkan lidah menggapainya, memainkan lidahku diputingnya, mengulumnya perlahan dan menghisapnya dengan keras untuk memberikan rasa yang lebih padanya. Sementara tangan kananku kuselusupkan ke selangkangan Mita dan memainkan jari-jariku di bibir vaginanya.
Kurasakan dipenisku ada getaran-getaran halus, kuturunkan mataku melirik Ira yang sedang memegang batang penisku, dan memasukkannya kedalam mulutku, ada rasa yang menyeruak ketika kuluman mulut ira hampir mencapai pangkal penisku dan menariknya dengan perlahan. Berulang-ulang terus sampai beberapa lama.
Aku ingin merasakan sensasi lain, lebih dari kepuasan yang ada sekarang. Aku ingin penisku merasakan sensasi baru, ingin memasukkannya ke salah satu vagina gadis-gadis ini. disaat yang genting ini ketika dirasakan ada desakan yang memuncak dari batang penisku, ketika rutinitas yang dijalani serasa belum memberikan kepuasan lebih. Kuhentikan semua gerakan, bangkit dari posisi berbaring, menarik Ira yang berada dibawahku, dekat penisku dan mengarahkannya agar menindihku.
Memahami keinginanku, Ira menindihku, kemudian menegakkan badan dan mengambil posisi duduk diatas pahaku, mengangkat pantatnya dan mengangkangiku, memegang penisku dan memasukkannya ke dalam vaginanya, pelan, pelan dan mantap menusuk.
Didalam hatiku sebenarnya aku ingin sekali memilih Mita sebagai alat pemuasanku, pemuas napsu birahiku, yang jelas aku memilih barang yang lebih bagus diantara dua pilihan, walaupun yang satu tidak kalah menariknya dari yang lain, namun otakku berpikiran lain, Mita biar bagaimanapun adalah sepupuku, masih saudara denganku, yang aku diminta untuk menjaganya, gadis lugu dan perawan yang saat ini mungkin dalam keadaan tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tegakah aku untuk menodainya, ketika dirinya dalam keadaan mabuk dan tidak sadar dengan apa yang mungkin telah dilakukannya ?.
Namun Mita seolah sadar dengan pilihanku, dia tidak beringsut menjauh, duduk disampingku, menciumiku dan memberikan kepadaku dadanya untuk aku nikmati.
Ira memberikan sensasi kenikmatan kepadaku, merem melek aku dibuatnya, menikmati goyangan pantatnya, menahanya dengan lutunya, turun naik mengarahkan penisku keluar masuk vaginanya, sesekali aku mengikuti iramanya dengan menggoyang-goyangkan pantatku kekiri dan kekanan, dan kadang mengangkat keatas pantatku agar penetrasi yang ditimbulkan lebih dalam, hingga beberapa saat.
Bangkit aku menegakkan badanku, meminta Mita agar menggeserkan badannya menjauh, kurengkuh Ira, menariknya cepat, membalikkan dan memutar badannya, memintanya merebahkan badannya dan aku mengambil posisi diatasnya. Ira seakan mengerti akan keinginanku, dibukanya pahanya lebar-lebar agar posisi pantatku bisa memasuki selangkangannya. Aku arahkan penisku lurus menuju lubang kenikmatannya, memasukkannya cepat dan menusuknya perlahan hingga mencapai titik maksimum yang dapat kuberikan.
Diangkatnya pantatnya agar penetrasi yang kuberikan lebih dalam, kutarik lagi keluar penisku, sampai ujung kepala penisku, kumasukkan lagi perlahan, begitu terus hingga kulihat Ira memejamkan matanya menikmati sensasi ini.
Kulirik Mita yang terlihat sedang duduk bersandar pada sisi atas ranjang, dengan beralaskan bantal pada punggungnya, kulihat ia sedang memainkan jari-jarinya pada vaginanya, membelai bibir vaginanya serta menggosok-gosokannya perlahan dan semakin cepat, sementara matanya mengarah padaku seakan-akan aku yang memberikan sensasi itu padanya.
Aku terus memaju mundurkan pantatku, seakan menyuruh penisku untuk bergerak maju mundur, keluar masuk. Menatap wajah ira yang terpejam namun terus menggeleng-gelengkan kepalanya, Menatap Mita yang tampak makin terhanyut dengan aktifitas yang dilakukannya, membayangkan bahwa yang sedang kusetubuhi dibawah ini adalah Mita, Aku memacu dengan penuh semangat.
Terdengar lenguhan, desahan dan rintihan dari kami bertiga, tak perduli seandainya ada orang yang mendengar suara-suara yang datang dari arah kamar ini. Peluh bercucuran dimalam yang dingin ini, berlawanan dengan udara dingin setelah hujan yang menerpa sejak sore hingga tengah malam tadi.
Ketika kenikmatan telah mencapai puncaknya, ketika tujuan akan diraih dan ketika awal telah mencapai akhirnya, entah berapa kali kulihat Ira mencapai orgasmenya, namun ketika menjelang titik kulminasi akan menyerangku, sesaat setelah Ira mencapai orgasmenya, kukocok dengan cepat penisku, dan makin cepat, memuncratkan cairan hangat putih kental ke dalam rahim Ira.
Mengerang aku sesaat, demikian juga Mita, yang juga telah mencapai orgasme dengan mastursabiny, kurebahkan badanku disampingnya, memeluknya dengan erat, merangkulnya, membagi kebahagian dan kepuasan yang baru dialami. Ia memelorotkan tubuhnya, bergeser kearah Ira yang tampak telah terbaring dengan wajah penuh kepuasan dan mata terpejam, pulas. Aku mengikutinya, mensejajarkan tubuh kami bertiga, mencium keningnya, memejamkan mata sambil berbaring memeluknya. Tubuh indah yang semula hanya berada dalam bayanganku kini berbaring bugil tidur kelelahan disampingku.
Mataku terpejam mengingat sensasi yang baru saja terjadi, namun pikiranku menerawang jauh. Ada sedikit penyesalan yang kurasakan, rasa khawatir dan takut yang datang silih berganti. Memikirkan kejadian yang tak kuduga sama sekali, membuat mataku makin sulit terpejam.
Tak berapa lama, aku menegakkan badan, bangun dari posisi rebah, melirik ke arah kiriku, dua gadis cantik tanpa busana, tampak tertidur pulas. Menarik napas perlahan seakan tak ingin membangunkan keduanya, menurunkan kakiku menyentuh lantai.
Mataku menerawang dalam keremangan cahaya kamar, mencari benda yang kutuju, pakaianku, menggapainya, dan meraihnya serta mengenakannya. Melangkah pelan, menuju sisi penjuru kamar, mencari selimut yang biasa diletakkan disana, mengambilnya dan melebarkannya, menutupi dua tubuh bugil yang tertidur pulas.
Malangkah ke arah pintu kamar, melangkah pelan, kulirik jam yang saat ini hanya satu-satunya yang bersuara. Jam 3 lewat 37 menit, kupegang gagang pintu, memutarnya, membukanya dan melewatinya. Menutupnya kembali, berjalan gontai menuju kamar Maya, mendorong pintu yang sedikit terbuka, memasukinya, menutupnya rapat-rapat.
Kurebahkan badanku, diranjang yang biasanya dipakai tidur Mita, kurebahkan kepalaku dibantalnya, kupeluk guling dan tercium wangi harum dikeduanya, wangi yang sangat kukenal, wangi yang baru saja kunikmati. Namun wangi harum itu tidak dapat mengalihkan pikiranku, pikiran-pikiran yang membuat otakku menerawang, memikirkan dengan apa yang harus kulakukan besok, memikirkan seandainya Mita sadar dengan apa yang telah kami lakukan, menyesali yang telah diperbuatnya, memikirkan jika ia marah besar, dan mengadukan hal ini kepada saudara-saudaranya, atau bahkan kepada ibunya, apa yang nanti harus kujawab bila Tante Mala menanyakannya kepadaku, memarahiku, meminta tanggung jawabku atau bahkan mengadukan kepada orang tuaku.