Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kesepianku sebagai Istri

GODAAN

"Ah aku betul-betul masih cantik dan molek tubuh yang disebut gembul. Ilham benar, barangkali kalau aku...."
"Astaghfirullah, bisa-bisanya aku terpintas ingin bercerai dari suami"

"Hati-hati, kirim-kirim foto begini, misalkan ada yang lihat bagaimana? Hapus saja!".

Setelah mengirimkan foto beberapa pose menggoda dengan daster bunga-bungaan berbahan rayon tanpa lengan, suamiku malah marah-marah. Aku kecewa. Sudah susah payah bergaya hingga berdiri menyingkap bagian bawah daster yang nyaris terungkap paha dan selangkanganku yang agak basah, begitu juga kedua buah dada ini yang putingnya telah kumancungkan, hampir meluap tumpah ketika aku copoti kedua tali daster yang melingkar di ketiak.

Penyesalan senantiasa muncul belakangan kalau diingat-ingat pesan suami. Andai saja aku mendengarkan kata-kata Mas Pras saat itu, barangkali Mas Johari tidak akan menyimpan foto-foto sensualku selama tinggal jauh dari suami. Mas Pras pernah berpesan agar aku tidak lagi mengirimkan foto-fotoku yang erotis. Karena berselancar di dunia jaringan, semua serba mungkin. Aku malah meremehkan. Terjadilah ini semua. Bagaimanapun, aku mengirimkan agar Mas Pras terpengaruh, terpancing, ingin dimanja-manja, lalu keluar sifat nakalnya. Kalau saja dia peka, tak akan aku bela-bela mengirimkan potret lekak-lekuk tubuhku yang berpotensi memicu syahwat mata pria untuk melahapnya. Huh. Di samping itu, aku masih heran, bagaimana bisa Mas Johari mendapatkannya, ya? dari ponsel suamiku? jelas. Haduh. Aku bingung jadi harus bagaimana sekarang.

Akibat mengetahui Mas Johari menyimpan foto-foto sensualku, aku menjadi was-was, maka aku jarang berbicara berdua dengannya. Aku menghindari Mas Johari, kecuali saat ia bersama Mba Rini. Sikapku kepadanya berubah canggung. Aku khawatir sesuatu terjadi kepadaku. Aku berpandangan malah Mas Johari adalah ancamannya. Maafkan Aku Mba Rini. Aku tidak tahu bagaimana bilang ke kamu. Sebaliknya Aku ingin melaporkan ke Mas Pras. Akan tetapi pastinya dia akan terkejut, suka tidak suka. Mas Pras akan berbalik mengomeliku karena tidak dengar pesan-pesannya dulu. Kini aku sekadar bisa melamun, berharap Mas Johari dan Mba Rini mengakhiri perjalanan dan kembali ke kampung, agar hidupku normal lagi.

Pilihan terbaik yang mendesak bisa dilakukan sekarang adalah Aku terpaksa balik ke kandang. Balik ke situasi di mana mengurung diri dalam kesepian di kamar adalah sesuatu yang terbaik, kendati perlahan mengerikan, menghabiskan banyak waktu untuk sendiri menonton televisi, membereskan kamar, dan bermain ponsel. Mengapa masa kelam dan tertekan ini harus balik lagi, ya Tuhan? Aku pusing. Apakah dunia luar sudah takdirnya berbahaya bagi aku?

"Aku butuh pelindung. Mas pras, tolong temani aku di sini....", ujarku memeluk bantal sembari mengirimkan chat ke suami. Aku menitikkan air mata. Air mata kerinduan yang mengalir deras ketika melihat wajah mungil anakku yang tumbuh besar kurang belaian dan kasih sayang ibunya. Andai ayahnya mau mengerti.

Sikap Mas Johari semenjak aku menghindari berduaan dengannya tidak ada yang aneh. Dia belum sadar kalau aku telah mengetahui apa yang dia sembunyikan. Daripada dihantui kecemasan berlanjut, aku berupaya menelepon Mas Pras, syukurlah kali ini dia menjawab teleponku.

"Kamu tuh sudah kubilang, Maayaaaa.... Hati-hati...."

"Iya Mas, aku minta maaf, maafin aku Mas, aku menyesal banget..."

"Permintaan maafnya, mudah. Penyelesaian dengan Johari ini kita enggak tahu bagaimana membereskannya"

"Mas tinggal ngomong aja, ditelepon Mas Joharinya"

"Enggak segampang itu, Johari dan Rini kan kerabat kita. Jika Johari menyimpan foto itu sebabnya karena tertarik dengan kamu, bagaimana?"
"Masalah ini bisa merembet ke mana-mana"
"Bisa rusak hubungan keluarga"

"Terus aku harus bagaimana dong?"

"Sekarang hapus dulu semua foto aneh-aneh di hape kamu"

"Sudah, Mass, sudah..."
"Aku curiga dia ambilnya dari hape kamu"

"Iya, sepertinya, dia sering pinjam hapeku, aku lupa kalau kamu setelah mengirim foto tidak langsung menghapus sekaligus"

"Terus kita harus apa?"

"Kamu bersikap seperti biasa saja, nanti aku telepon Johari"

"Beneran begitu aja? Aku tetap cemas"

"Rini sedang sakit, jangan kasih beban pikiran dia"

"Baik, aku tunggu kabar dari kamu"
"Masalah ini, ibu jangan sampai tahu ya..."

"Iya, aku usahakan"

Kalau betul kata Mas Pras, Mas Johari sampai menaruh hati, duh kiamat! Mau ditaruh di mana wajah ibu dan keluarganya. Ah jangan-jangan betul sebab Mas Johari lebih sering mampir ke rumah daripada Mba Rini kalau aku sedang di kampung. Manalagi aku pernah menyusui anakku di hadapannya. Apakah saat itu ia sudah memendam syahwat. Ditambah ketika ia berkunjung hanya ditemani ibuku, aku sudah biasa saja dasteran mengemong anak di depannya.

"Pras pantes seger bener wajahnya semalam aku temui"
"Lama enggak dikasih jatah sih dia, ya? hahahaha"

"Langsung tubruk", sahut Ibu menambah gurauan.

"Kalau di kampung saja gregetannya, aku di Jakarta enggak pernah disusul"

"Malah keburu disusul yang lain"

"Sudah ibu bilang, kamu saja yang mengalah"

"Iya Bu, sedang aku usahakan. Namun seenggaknya, selagi aku usaha, Mas Pras ada ke Jakarta untuk mengunjungiku. Bukan melulu aku yang pulang"

"Aji, aji, mau ikut mamanya ke Jakarta, gak?", tanya Mas Johari kepada anakku saat bertamu ke rumahku bersama ibu di kampung.

Ketika aku pangku, anakku menarik-narik tali dasterku. Padahal, usianya sudah tidak pantas menyusu lagi.

"Jangan dong, jangan ditarik-tarik baju mamanya nanti copot, sini sama nenek, Ajiii...", rayu ibu membujuk cucunya yang masih ingin menyusu.

"Enggak mau kalah dengan bapaknya ya? Masih mau nenen sama mamahnya ya?", ujar Mas Johari bercanda diiringi tawa. Aku ketika itu memaklumi. Namun, kalau situasinya seperti sekarang. Jangan-jangan... Aku berharap Mas Pras segera memberi kabar. Kalut diriku di dalam kamar.

"Kalau aku ajak Ajii ke Jakarta bagaimana?"

"Boleh banget Mas, apalagi Mas paling bisa bujuk Mas Pras. Kalau belum bisa bujuk dia, bawa anakku jalan-jalan ke sini saja. Ada kerabat yang bisa nemenin juga gak apa-apa"

"Oke, aku coba ya"

"Terima kasih ya Mas"

"Santai saja, demi Aji bisa nenen lagi sama mamanya"
"Hehehe"

"Ih Mas Johari, anakku sudah enggak nenen lagi"

Di sisi lain, Mas Johari telah berjanji kepadaku akan membawa anakku jalan-jalan ke Jakarta. Aku sangat menantikan hal itu. Kalau menunggu gerak Mas Pras sepertinya hampir tidak mungkin. Ibu tidak berani temani anakku jalan-jalan ke Jakarta. Kerabat yang lain tidak diperkenankan oleh suamiku. Satu-satunya jalan ya dengan Mas Johari, meski sekarang dia telah berulah. Pada dasarnya Aku tetap harus menjaga hubungan baik dengan dia agar anakku bisa ke sini.

Malam harinya Mba Rini mengajak aku makan malam bersama di luar. Namun, karena aku sudah duluan membeli makan malam lewat ojek online. Aku tak pergi kemana-mana. Sambil menikmati makan malam seorang, aku video call dengan anakku dan suami. Mas Pras mengatakan ia masih sedang mencari waktu yang tepat bicara dengan Mas Johari. Masalah ini tidak bisa diselesaikan lewat sambungan telepon. Keduanya harus bertatap muka. Mas Pras mengingatkanku kembali. Dia memintaku bersikap normal saja dan merahasiakannya dari Mba Rini, khawatir tersangkut pikiran sepupuku itu.

Walau sedikit kecewa dengan penuturan suami, aku menganggap ada benarnya juga secara pelan mengurai benang kusut masalah Mas Johari. Oleh karena itu, aku tetap bersikap normal dengan Mas Johari di depan Mba Rini. Namun, terkadang saat aku berusaha menghindari berduaan dengan Mas Johari, ada saja momen tak sengaja yang mempertemukan kami.

"Ayo agak dicepetin larinya..."
"Hehe"

"Eh? Hehe", aku sekadar melempar senyum malu karena kecepatan berlariku berhasil disusul Mas Johari. Terlebih, aku sudah berangkat berlari dari tempat kos lebih pagi semata-mata menghindari berbarengan dengan Mas Johari.

"Kamu coba browsing ada bra khusus perempuan yang suka olahraga, May"

"Maksudnya Mas?"

"Iya daripada kamu risih dan ngumpet-ngumpet terus saat berlari"
"Kalau pakai bra biasa, ya yang terjadi payudara kamu kelihatan goyang"

"Hehehe begitu ya?", aku tertawa kecil. Mas Johari mengimbangi kecepatan berlariku.

"Iya, risih banget kan, kalau ada yang lihat"

"Bener banget Mas"

"Berhenti sebentar"

"Iya? Ada apa?", tanyaku heran.

"Posisi badanmu saat berlari juga salah"
"Coba lebih tegap kepala dan badanmu"

"Begini?"

"Sedikit lagi..."

"Begini?", Mas Johari bisa saja memanfaatkan keadaan. Aku hanya bisa menuruti dan mengiyakan karena dia memiliki jam terbang yang lebih tinggi daripada aku untuk olahraga ini. Sambil membetulkan posisi badanku. Ia sempat menyentuh pinggang, bokong, dan perutku dengan embel-embel kata "MAAF". Pundakku yang dibuka melebar. Kepalaku ditegapkan sembari memegang leher.

"Nah ini baru bener. Tapi ya emang kamu harus tetap beli bra khusus olahraga juga"
"Hehehe", ujar Mas Johari posisi pundakku yang dibuka melebar membuat sepasang gunung kembarku lebih menantang. Ia mengamati bagian dadaku.

"Iya betul sih, kalau berlari seperti ini, akunya yang belum nyaman dan terbiasa, yang lainnya enak dapat pemandangan gratisan"

"Supaya buah dada kamu tetap kencang juga, tidak kendur"
"Sayang saja, kalau sampai susu itumu kendur"

"Ck...", ucapan Mas Johari membuat mood berlariku jelek, kehilangan semangat. Kepadanya aku terpaksa mengaku lelah dan tidak meneruskan. Kami memutuskan jalan kaki. Padahal, aku sudah mempersilakan Mas Johari melanjutkan larinya tanpa harus merasa tidak enak. Aku yang justru risih kembali berduaan, sedangkan sedang berupaya menghindar dari dia.

"Ayo kita mulai lagi"

"Enggak, mas. Mas Johari aja yang lari duluan. Aku sudah lelah"

"Kok ditinggal sendiri. Gak mungkinlah. Mau Aku gendong?"
"Hehehe"

"Ish ngaco. Keberatan kali mas. Aku gemuk begini"

"Bukan gemuk. Semok badan kamu"

"Badan semok itu yang paling disenengin laki-laki ya Mas?"

"Enggak juga, hanya yang kamu itu bikin laki-laki gemes, pengen meluk, ngangenin"
"Lihat kan Mba Rini? Cuman ya dia udah mulai agak kurusan karena sakit"

"Terus kenapa Mas Pras, kurang perhatian ke aku? Apa karena dia lebih suka yang kurusan dan aku enggak menarik lagi?

"Woh bukan, itu beda kasus. Itu Pras saja yang betah dan sedikit malas di kampung. Pegang hape muluk, tetapi ya main game juga setahuku"

"Masih begitu-begitu aja ya?"

"Iya, yang sabar dan kuat ya, Maya"
"Aku dan Mba Rini akan terus bujuk dia"
"Kamu tetep fokus kerja

Beberapa topik kami bicarakan, terutama kondisi kesehatan Mba Rini. Akhir bulan ini mereka akan pulang ke kampung. Sesuatu yang sedang kutunggu-tunggu walau itu berarti aku akan kehilangan kerabat yang biasa menemaniku mengobrol. Siap tidak siap. Perjalanan kami pun tidak berujung sarapan, aku memilih buru-buru kembali ke tempat kos.

ALHAMDULILLAH

Kabar bahagia kepulangan Mas Johari dan Mba Rini sedikit menenangkan. Namun, seminggu terakhir jelang kepulangan mereka. Mba Rini menaruh curahan hati kepadaku di kamarnya ketika Mas Johari sedang berada di luar rumah. Ia mengatakan kalau memang suamiku sudah tidak bisa dibujuk lagi, alangkah lebih baik aku yang mengalah. Aku harus cari upaya mutasi ke kantor yang daerahnya dekat dengan tempat tinggalku. Kepadanya aku bilang, masalahku dengan suami bukan sebatas itu saja, melainkan perhatian yang nyaris jarang dia beri. Bagaimanapun sebagai perempuan dan istri aku perlu perhatian dari suami. Kami bercerita sambil rencana gantian memijat badan. Aku giliran pertama. Aku lepas baju tanpa lepas bra, maka Mba Rini lantas tertegun menatap tubuku.

"Badan kamu masih bagus"

"Ah badanku melar, lemak bertumpuk, badan emak-emak, banyak beban hidup", kataku memegang perut.

"Tandanya kamu sehat dan makmur"

"Enggak seperti waktu SMA, masih langsing dan belum ada beban"

"Para lelaki biasanya lebih seneng yang model kamu ini"
"Bersyukur harusnya kamu"

"Enggak ada senengnya, kalau bukan suami yang ngedeket. Lalat malah yang datang"

"Lalat mana yang datang? Kamu di sini tidak ada keluarga.

"Lalat yang aku maksud yang matanya jelalatan, Mba"
"Haha", aku bergurau.

"Kirain aku, betulan Lalat"
"Sudah, jangan dibahas lagi, tengkurap sini", sebelum tengkurap, aku mencopot bra dan meletakkannya di atas baju yang kutanggal.

Kemudian sambil dipijat, Mba Rini lanjut cerita bahwa Mas Johari sangat perhatian kepadanya hingga rela mengambil cuti dan pergi menemaninya terapi di Jakarta. Ia bangga dengan suaminya. Ah aku tidak perlu merasa iri. Kalau aku mau aku bisa merusak jalan cerita Mba Rini karena Mas Johari menyimpan foto-foto sensualku. Namun, aku menjaga perasaan dia. Mba Rini percaya dengan suaminya karena seumur-umur memang tidak ada tanda-tanda Mas Johari berpaling atau memiliki wanita idaman lain.

Jika sebelumnya aku yang lebih banyak cerita, sebaliknya giliran Mba Rini yang meluapkan isi hatinya. Ia mengatakan sakit yang dideritanya jadi menyusahkan Mas Johari kendati Mas Johari memaklumi. Mba Rini mencemaskan karena penyakitnya pekerjaan Mas Johari menjadi terganggu. Aku coba menetralkan perasaan Mba Rini. Perbincangan pun aku alihkan ke hal-hal yang menyenangkan bukan yang sedih agar emosi Mba Rini stabil.

Memijatnya tak lebih dari 1 jam. Namun pembicaraan kami tak mengenal waktu hingga Mas Johari yang habis kelayapan dari luar masuk ke dalam begitu saja, lupa mengetuk. Aku yang masih telanjang dada spontan kaget buru-buru mengambil bantal untuk menutupi tubuh karena jarak baju dan bra sulit dijangkau.

"Kamu ketuk pintu dulu, sudah tahu Maya lagi enggak pakai baju"

"Maaf, aku kira cuman ada kamu di dalam"

"Bagaimana? Sudah jalan-jalan cari bukunya?"

"Sudah, lumayan untuk bekal bahan ajar tambahan"

"Kamu habis pijat Maya?"

"Iya, sebetulnya aku giliran dapat juga,
"Lebih asyik ngobrolnya ya enggak dapat giliran"

"Kamu sama aku aja nanti hehehe", ucap Mas Johari ke Mba Rini sesekali memandangiku yang masih menutupi bagian dada dengan bantal. Kemudian Ia pamit keluar. Kesempatan itu aku gunakan untuk segera memakai pakaian kembali lalu masuk ke kamar. Lama kelamaan aku merasa main kucing-kucingan dengan Mas Johari. Benar-benar tidak bisa bersikap normal.

Puncaknya, menjelang kepulangan ke Yogyakarta, Mba Rini mengajakku makan malam sambil berbelanja di Mall. Aku bilang ke Mba Rini bahwa aku langsung dari kantor menuju Mall tempat kita bertemu. Yang terjadi adalah Mas Johari datang seorang. Kata Mas Johari Mba Rini menitip belanjaan dan cemilan saja kepada Mas Johari. Efek obat terapi membuat ia mengantuk. Dengan kerelaan sedikit terpaksa aku keliling dengan Mas Johari.

"Ini Maya, yang aku maksud ke kamu"

"Apa Mas?"

"Bra khusus olahraga"

"Mahal, Mas, online bisa lebih murah lagi"

"Yang ini original, bahannya bagus bukan katun yang kalau basah bikin lembab"

"Aku enggak punya uang untuk bra semahal itu"

"Aku saja yang belikan"

"Eitsss, Mas Johari, jangaaaaan!"

"Sudah, anggap ini supaya kamu rutin olahraganya, tidak malu-malu"

"Duh Mas ngerepotin banget"

"Enggak seberapa ini. Aku juga jarang ke Jakarta"
"Berapa ukuranmu yang pas? bilang ke Mbaknya"

Ketika sedang mencari-cari pakaian untuk Mba Rini, Mas Johari berhenti sejenak di sebuah outlet olahraga. Ia membelikanku bra olahraga berwarna abu-abu. Aku terpaksa menerima karena dia mendesak terus. Ketika aku berbicara dengan salesnya ia mendengarkan, termasuk mengetahui berapa ukuran lingkar payudaraku. Untung saja dia tidak meminta aku mencobanya lebih dahulu terus menunjukkan kepada dia bagus atau tidak. Terlepas dari sikap yang berlebihan itu, aku tetap berterima kasih kepada Mas Johari.

"Mas, jangan colek-colek. Maksudnya apa?!"

"Gemes sama lengan kamu"

"Jangan macem-macem!"

"Jangan marah dulu, aku bisa jelaskan nanti..."

"Ya tapi jangan pegang-pegang..."

Ketika berjalan menuju tempat makan, Mas Johari tiba-tiba mencolek lenganku. Ia juga sempat berupaya merangkul pinggangku. Namun, aku bisa mengelak. Aku lekas kehilangan kepercayaan kepadanya. Kalau aku mau, bisa aku adukan ke Mba Rini pulangnya nanti. Akan tetapi, aku perlu dengar alasannya dulu. Yang jelas aku tidak yakin alasan yang diberikan Mas Johari bisa kuterima dengan akal sehat. Ketika tiba di tempat makan malam, kami bicara menu yang dijual. Barulah ia mengemukakan alasan atas perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukannya kepadaku.

"Kalau kita selingkuh, kamu berminat?"

"Ngaco!"

"Diem-diem saja, May. Aku bisa bantu kamu bawa Aji ke sisi kamu"
"Kita tidak perlu saling rusak rumah tangga"

"Mas seharusnya fokus ke kesehatan Mba Rini"

"Aku fokus kepada kesehatannya, tetapi apa dia memikirkan perihal kebutuhanku yang lain? Tidak. Aku perlu menagihnya kepada dia? Ya tidak mungkin"

"Kebutuhan apa yang mas maksud sih?"

"Kebutuhan yang kamu jarang dapatkan dari Pras"

"Astaghfirullah Mas. Bagaimana kamu bisa-bisanya sempat memikirkan hal begitu?"

"Aku tetap laki-laki biasa, May. Laki-laki normal. Laki-laki tulen"

"Mas itu punya Mba Rini yang sayang dengan Mas!"

"Iya aku tahu, sayang itu bukan sekadar perhatian saja. Ada hal-hal lain yang memang suami perlu dapatkan dari istrinya sebagi bentu sayangy tetapi tidak bisa"
"Aku rasa kamu yang bisa"

"Tidak mungkin, mas. Tidak mungkin!"

"Kamu belum mencoba"

"Tidak akan mau!"

"Aku tidak akan paksa kamu menjawab hari ini, masih banyak waktu. Selagi kamu sudah ada jawabannya, hubungi aku"
"Jangan jawab sekarang"

Makan malam dengan Mas Johari berubah bisu. Setiap ia bertanya aku jawab ala kadarnya. Menjelang kepulangan, kesan bahagia terhadap suami sepupuku ini luput seketika. Mba Rini yang tak bersalah ikut kena dampak diamku ketika mengantarkan kepulangannya di stasiun. Ia menanyakan kepadaku mengapa aku berbeda sekali. Aku bilang sedang banyak pekerjaan. Beban pikiranku kian bertambah ketika Mas Johari membisikkan sesuatu sebelum menyusul istrinya yang telah berjalan ke arah pemeriksaan tiket kereta api.

"Aku tunggu jawaban kamu, Maya. Aku bisa memberi lebih dari suamimu".



Sampai ketemu di bagian berikutnya. Terima kasih banyak bagi yang sudah singgah membaca.
Gur gk wae ra gelem mdun... Alah2... Wkwk greget nih bacanya.. Ajiiibbb
 
Terakhir diubah:
Tetangga Baru

Kendati kerabat telah pergi, bukan berarti tempat kos ini lekas sepi. Ia tetap dihuni oleh beberapa orang, sayangnya aku tak kenal satu per satu dari mereka, sekedar bertatap muka dan menyapa lalu menata kehidupanku kembali. Tak lama berselang beberapa hari, kamar sebelahku sudah diisi oleh seorang perempuan bernama Viona yang berusia 36 tahun. Dia samahalnya denganku seorang perantauan dari luar ibukota yang sedang mencari nafkah untuk keluarga. Viona berasal dari Tasikmalaya. Berbedanya denganku, ia mengajak putranya kemari. Viona dan suaminya memiliki 2 orang anak, laki-laki dan perempuan. Laki-laki ikut dengan dia, sedangkan perempuan ikut suaminya. Viona adalah seorang pegawai di sebuah perusahaan farmasi plat merah. Ketika pagi, ia berangkat lebih awal dariku karena tempat kerjanya masih cukup jauh dari rumah kos ini.

Kami berdua berkenalan. Aku terhibur dengan kehadiran mereka, termasuk kehadiran anak laki-laki Viona, mengingatkan aku kepada anak laki-lakiku sendiri di kampung. Dari segi usia memang berbeda. Fadli, putra Viona, berusia 12 tahun, sedangkan anakku masih balita. Kedekatan anak dan ibulah yang justru membuatku cemburu. Mereka sering makan bersama di kamar kos. Akhir pekan, mereka sering berpamitan berlibur atau pulang ke kampung halaman walaupun harus diakui jarak Tasikmalaya dan Yogyakarta dari ibukota beda jauhnya. Aku berupaya menenangkan diriku agar tidak tertekan secara batin dengan kebahagiaan keluarga lain. Ditambah ucapan Mas Johari beberapa waktu yang lalu.

Sebaliknya aku justru harus bisa belajar dari Viona. Ketika situasi batin terguncang dan menyibukkan diri tak sedang mempan, biasanya ada Mba Rini pelarianku bercerita. Awalnya sungkan, namun karena kedekatan secara latar belakang sebagai perempuan perantauan mendekatkan hubunganku dengan Viona. Ia sering mengajakku bergabung untuk makan malam atau berlibur. Terlebih, Viona memiliki mobil pribadi yang bisa membawanya kemanapun. Menurut Viona, menyenangkan diri sendiri ada baiknya bersama teman-teman, kalau sendirian tak akan menghilangkan rasa kesepian sama sekali. Barangkali itu penyebab aku tertekan secara batin, menikmati kesendirianku, kesepianku. Yang berujung menikmati stresnya jiwaku. Stres kok dinikmati? Ucap Viona. Karena kedekatan itu juga, aku mengajak Viona dan putranya ke museum tempat aku bekerja saat akhir pekan. Apalagi Fadli, putra Viona, memiliki hobi merekam tempat-tempat wisata atau hal menarik lainnya.

Beberapa bulan kehadiran mereka rasa kesepianku perlahan hilang, Viona menjadi teman berceritaku untuk melepas segala tekanan batin. Kami sering berbagi. Menurut Viona segala kegundahan pikiran dan batin jangan dipendam karena akibatnya akan menjadi penyakit mental yang entah kapan bisa muncul tiba-tiba. Ceritakan kepada seseorang yang memang bisa kamu percayai dan mau mendengarkan, lebih baiknya lagi bisa memberi solusi.

"Kamu sudah bicarakan baik-baik dengan suami kamu, mau dia apa?"
"Menurutku, dia merasa kamu sudah serba bisa tanpa dia, jadi dia beranggapan tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari kamu"

"Belum, aku belum bicara berdua dengannya, yang kurasa adalah suamiku senantiasa sibuk dengan dunianya"

"Iya, May. Dia menyibukkan diri dengan dunianya karena dia merasa sudah tidak diperlukan lagi, dia merasa lemah"
"Kamu bantu ingatkan suami kamu, salah satu fungsi seorang suami adalah menjaga rasa aman dan nyaman bagi istri dan anaknya"

"Aku telepon dia?"

"Kamu mesti temui dia, ingatkan kembali komitmen berumah tangga kalian, bicarakan yang ringan dan manis dulu"

"Aku akan coba, selain itu, aku ingin suamiku bekerja mencari nafkah dengan begitu aku merasa layak diperjuangkan"

"Untuk itu nanti dulu, sekarang upayakan dulu suami kamu mau peka dan peduli kepadamu"

"Anakku? Bagaimana?"

"Termasuk, untuk kali ini kamu bersabar dulu yaa"
"Satu per satu"

"Iyaaa"

"Suamimu merasa tertekan, dia merasa sudah putus asa untuk bekerja lagi apalagi harus bersaing di Jakarta. Dia cemas kamu akan menjadikan dia mengurus anakmu saja, sedangkan mencari kerja pastinya sulit"

"Tidak, aku tidak pernah berniat menuntut dia menjaga dan mengurus anak"

"Pikirmu begitu, suami kamu, siapa yang tahu?"

Tak hanya bicarakan hal yang ringan dan berat, Viona kadang menyentuh pembicaraan masalah seks denganku. Ia mengatakan ketika pulang menengok suaminya ke Tasikmalaya. Viona membawa nafsu birahi yang akan diluapkan kepada suaminya. Begitu juga suaminya di sana. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan soal seks. Namun selama di perantauan. Viona terbiasa menggunakan alat bantu seks sebagai pemuas nafsunya.

"May, kalau boleh tahu, dengan jauh dari suami begini kebutuhan seks kamu bagaimana?", Aku dan Viona sedang ngobrol di kamarku malam hari karena di kamar Viona, putranya sudah tertidur.

"Aku? Ya enggak bagaimana-bagaimana"

"Loh kok begitu? Misalnya kamu suka teleponan sama suami sambil masturbasi atau kamu juga menggunakan alat bantu seks?"

"Sebelum ke aku, kamu sendiri bagaimana?"

"Kamu ya, ditanya malah balik tanya"

"Kalau aku sih begitu, emang enggak biasa masturbasi, enggak greget banget karena biasanya dimasukkin suami"

"Menderita banget kamu"

"Enggak menderita sih, aku lebih perhatian suamiku, bukan perkara burungnya"

"Hahahaha bisa aja guyonnya kamu"

"Kalau kamu gimana? Hayo belum dijawab"

"Iya, kalau aku loh ya, masturbasi pakai alat bantu. Sebentar, aku ambilkan..."

"Eitssss, udah gak usah diambilkan"

"Biar kamu tahu, siapa tahu kan kamu tertarik"

"Kamu sales alat bantu seks selama ini ya?"

"Isssshhh bukan, May!"

"Eh iya, kamu risih gak sih dengan penampilan fisikmu itu?", tanyaku ke Viona kami berbicara hadap-hadapan selonjoran di atas tikar yang aku gulirkan. Secara Fisik, Viona menang banyak atasku. Kulitnya yang putih, rambut panjangnya yang terurai bergelombang sebahu, dan wajahnya berparas awet muda tanpa harus dandanan yang berlebihan. Dari segi tubuh hingga ke bawah, mungkin kami sedikit mirip. Sama-sama dikaruniai tubuh sintal dan bentuk payudara yang mengundang birahi untuk menerkamnya. Kalau kata Viona tubuh kami seperti ini yang digilai laki-laki, jadi aku tak perlu risih jika dibilang gemuk atau gendut. Sepatutnya beruntung.

"Ukuran payudara kamu berapa?"

"Aku? Enghh, lebih besar kamu", sahut Viona.

"Aku tanya ukuran, bukan lebih besar mana"

"Penting banget yaa?"

"Enggak juga sih"

"Aku sudah menyusui dua anak, kamu bisa simpulkan sendiri"

"Hahahaa, kamu ini yaaah, jawabnya kok begitu"

"Males aja kalau ditanya ukuran, untuk apa? Untuk diikutsertakan lomba payudara terbesar? Enggakkan?"

"Hahaha"
"Aku suka risih, kalau cowok merhatiin bagian dadaku"

"Ya bagus, berarti kamu jadi perhatian"

"Apa yang bagus kalau di otaknya jadi kotor"

"Di otak cowok, banyak kotornya kalau soal cewek, May"

"Eemmmh gitu yaaa"

"Ya enggak semuanya sih, kalau menurutku enggak usah terlalu dipusingkan, kecuali kamu sudah dilecehkan baru beda ceritanya"

Bulan demi bulan kedekatanku dengan Viona sudah seperti teman karib. Kami sering ghibah bersama tak kenal waktu dan tempat hingga larut malam. Fadli kadang ikut nimbrung atau sekedar mendengarkan pembicaraan kami. Namun satu hal yang aku sedikit terganggu soal Viona adalah dia memiliki seorang teman laki-laki bernama Andre. Usia mereka sepertinya tidak begitu jauh. Viona mengaku Andre adalah teman mesra-mesraannya dia. Andre yang berperawakan sebagaimana laki-laki pada umumnya dengan lengan gempal dan perut sedikit ke depan, tinggi kurang lebih 173 cm adalah rekan kerja Viona. Mereka telah menjalin hubungan 2 bulan tanpa sepengetahuan Fadli. Bahkan Andre beberapa kali mengunjungi Viona ke rumah kos ini

Viona mengatakan hubungannya dengan Andre sekedar teman berbagi perhatian. Walau sudah bersahabat karib denganku, Viona merasa perhatian laki-laki tetap utama. Dia punya pandangan berbeda soal rumah tangga. Suaminya juga punya teman perempuan mesra-mesraan dan berbagi perhatian juga. Namun, Viona dan Suami terbuka secara hubungan dekat dengan siapa, asalkan hubungan rumah tangga mereka tetap nomor 1, termasuk anak-anak. Bahkan aku pernah memergoki Viona dan pasangannya, Andre di kamarnya sedang asyik dalam lautan birahi. Ketika itu, Fadli sudah diantarkan ke sekolah. Aku kembali ke kamar kos untuk mengambil barang yang tertinggal. Karena merasa ada kegaduhan di kamar sebelah, menarik perhatianku untuk mencari tahu. Pada saat itu, Viona sedang bergumul dengan Andre.

"Kamu enggak tertarik ikutin jejak aku?"

"Enggak deh, terima kasih"

"Uhhhh gayamu, May, kayak enggak butuh aja"

"Emang betul"

"Kamu gak pernah ada yang deketin? Masa sih? Bohong banget"

"Ada, banyak, malahan"

"Ya satu orang enggak ada gitu yang bisa diajak jadi temen mesraan kamu?"

"Enggak ada deh, aku dari dulu menghindari laki-laki begitu karena niatnya macam macam doang sama aku"

"Ya cari dong yang pengen berbagi perhatian dengan kamu, bukan temen asal mau itu doang"
"Itu sama aja kita diperlakukan kayak pelacur sama mereka"

"Siapa?"

"Kamu yang lebih tahu, kok tanya aku"

"Aku takut suamiku cemburu"

"Cemburu bagaimana, suami kamu aja jarang telepon dan nanyain kabar kamu"
"Lebih baik kamu cari yang bisa isi kekurangan itu"

"Hhmmmm....."

"Enggak apa, May, daripada kamu berharap terus-terusan dapat perhatian suami kamu? Bisa-bisa kamu stres kepikiran itu melulu"
"Kalau kamu punya teman cowok yang bisa berbagi perhatian dan kalian bersepakat tetap saling dukung rumah tangga masing-masing, bagus banget. Kayak aku dan Andre."

"Iya, siapa?"

"Mau dicariin?"

"Enggak, terima kasih"

Ucapan Viona membekas dalam benakku. Aku sejujurnya tidak mau punya teman yang disebut Viona teman mesra-mesraan. Bukankah itu sama aku mengkhianati suamiku? Namun, untuk sekedar berbagi perhatian apa salahnya? Terlalu lama aku mengemis perhatian dari suamiku. Sikap dan tingkah lakunya sudah demikian. Sebagai istri, aku harus siap menerima kekurangan suami. Berharap dia berubah, entah sampai kapan. Lalu kekurangannya bagaimana? Itu yang bikin aku sangat menderita dari kejauhan. Itu yang membuat mentalku tak sehat. Haruskah aku punya teman berbagi perhatian? Aku ingat aku punya Ilham, tetapi itu dulu. Sekarang? Ilham? Tidak dia sudah punya istri yang sangat sayang dengan dia. Aku tidak mau mengusik hubungan Ilham dan Winda.
Aduh, kesepianku memang terkesan sudah usai dengan keberadaan Viona. Akan tetapi, itu semu. Hilangnya rasa sepi itu semu. Sejatinya kesepian itu masih ada. Kesepian yang berwujud kepekaan dari pasangan yang memahami dan mengerti salah satu pasangannya perlu diperhatikan dan disayang. Oh suamiku, bagaimana menyadarkanmu....

"May, jadi kapan kita bisa duduk ngopi-ngopi?"
"Oh ya, kamu blokir kontakku ya?"

"Blokir? Enghh, coba nanti aku cek ya, ponselku di ruangan"

"Iya, buktinya aku kirim whatsapp ke kamu cuman ceklis satu, profpic kamu mendadak hilang"

"Nanti aku coba cek ya"

"Iya, santai aja, May, aku cuman laporan aja ke kamu"

"Untuk bagian desain publikasi pameran bulan juli, kamu yang kelola ya konten dan desainnya"

"Beres"

"Sudah termasuk teasernya kan?"

"Dokumentasi pun sudah termasuk, cuman kita perlu bahas detail pembuatan video pamerannya"
"Skenario atau skripnya sudah jadi?"

"Itu yang belum, kamu tahu kantorku seperti apa, saking semua dikerjain, banyak yang terlewatkan"

"Hahahhaaha ngerti banget, May, selaaaaww, biar aku yang bikin skenarionya"

"Eh beneran?"

"Iya"

"Budget enggak nambah kan?"

"Enggak, asalkan"

"Asalkan apa?"

"Yuk ngopi"

"Iyaaaa sabaaar, ngajakin ngopi mulu perasaan deh"

"Aku sudah sabar semenjak kamu blok aku dan belum dapat jawaban, masih senyum-senyum aja kan?"

"Kamu sehat?"

"Sehat, aku kira senyum ini aku gila ya?"

"Iya, hehe", tawaku mencandai Bimo.

"Parah kamu, bisa-bisanya"

Bicara teman dekat selain Ilham, aku mempunyai seorang teman dekat bernama Bimo. Kantor kami biasa menjalin kerja sama untuk kegiatan pameran. Bimo biasa menjadi partnerku untuk sesi dokumentasi dan publikasi. Usianya 33 tahun. Bimo adalah seorang duda beranak 1. Ia tinggal di daerah Bogor. Seandai tidak diblokir oleh Ilham, mungkin pembicaraanku dengan Bimo akan semakin intens. Apakah aku harus menjadikan Bimo sebagai pengganti Ilham? Bimo tak ada yang menunggu di rumah, kecuali putra semata wayangnya. Namun, apakah dia berbahaya? Kami sering bertemu dalam kerja sama kegiatan untuk apa aku khawatir. Aduh, apa yang disampaikan Viona mengganjal pikiranku.

Aku belum mengiyakan janjian ngopi dengan Bimo berhari-hari setelah penyelenggaraan kegiatan dimulai sekalipun. Kami bekerja secara profesional dan Bimo tak pernah menyentuh privasiku sama sekali. Setelah aku membuka blokir Bimo dalam rangka kami bekerja untuk suatu kegiatan, ia sering menjawab statusku yang kerap jalan ke sebuah Mall atau berolah raga sendiri. Terusik? Iya, namun ia sekadar mengatakan.

"Kapan-kapan, bareng May, aku juga suka kelayapan sendiri"
"Hehehe, siapa tahu kalau bareng, galaunya jadi berjamaah"

Karena hubungan kemitraan kerja yang kerap terjadi itu, aku menjadi tahu siapa Bimo dan karakternya yang mudah bergaul. Menjelang tidur, apabila rindu berbalas chat dengan suami. Aku menuntaskannya dengan sering berbalas chat dengan Bimo, karena juga sudah jarang sekali berbalas chat dengan Ilham. Kami biasa bahas seputar pekerjaan kami berdua yang mirip-mirip. Bahas projek yang sedang dia kerjakan dan bahas kesibukanku yang tak pernah selesai. Kemudian,

"Ehem, ngopinya kapan Nona?"

"Kapan yaaa"

"Aku kirimin kopi aja ke kamu deh, kita ngopinya virtual gimana?"

"Boleh banget tuh"

"Ini☕"

"😑 Kirain beneran"

"Kalau beneran, ya beneran kita ngopi bareng"
"Hahaha"
"Aku yang traktir loh, padahal"

"Iya boleh, kamu mau kapan?"

"Besok, lokasinya deket kantor kamu aja"

"Bener nih?"

"Beneran, aku motoran, daripada kamu harus jauh-jauh. Lagi musim hujan juga"

"Oke, berarti kita ketemuan aja ya?"

"Iya"

"Sampai jumpa besok, Nona"

"Namaku, Maya"

"Iya Nona Maya"

"Ckckck"

Besoknya, tiba-tiba Ilham menodong sebuah pertanyaan kepadaku. Pertanyaan yang tidak kusangka-sangka bagaimana dia tahu bahwa aku akan jalan dengan Bimo. Ternyata ia tahu dari memata-matai ponselku lagi. Ia tidak kehabisan akal. Mulai detik itu, aku memproteksi seluruh ponsel dan alat elektronikku agar tidak diketahui oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, khususnya Ilham. Parahnya, Ilham berupaya mencegahku untuk bertemu Bimo. Ia menuduh Bimo punya niat macam-macam denganku. Ilham lagi dan lagi berspekulasi. Padahal, aku dengan dia sudah tidak dekat lagi. Aku sudah punya beberapa kawan dekat, satu di antaranya adalah Bimo.

Ilham tidak menyerah. Bahkan Ia mengancam akan memberitahu suamiku bahwa aku berniat bertemu laki-laki lain, berduaan. Meledak amarahku ke Ilham. Aku menegaskan kepada Ilham jangan ikut campur urusanku lagi. Atau, perkara hubunganku dengan dia dahulu kubocorkan kepada Winda. Aku menggertak balik supaya Ilham mundur, tak menghalang-halangi.
Setelah gertakan itu, aku sedikit merasa bersalah, namun tidak terlalu kuhiraukan. Aku biarkan Ilham berpikir dan betul fokus dengan rumah tangganya. Bukan lagi tentang aku. Tentang dia dan istrinya.

Parahnya Ilham lupa sesuatu tentang hari ini, serupa dengan suamiku. Yang beberapa kali kucoba ingatkan ada hari istimewa hari ini. Rekan-rekan kantor juga demikian. Mereka biasanya mengingatkan perihal hari ulang tahun para pegawainya. Namun, kosong. Aku ingin mengingatkan suamiku, pastinya tak akan spesial lagi. Biarlah ia ingat sendiri dan mengucapkannya padaku. Kalau lupa, ya sudah.

Menjelang sore, aku lihat langit mendung. Aku bingung pertemuanku dengan Bimo jadi atau tidak. Yang jelas, Viona menghubungiku. Dia kuajak agar tidak sekedar berduaan obrolan aku dan Bimo. Sedihnya, baik Viona dan Bimo memintaku berangkat duluan menuju sebuah cafe di daerah Jakarta Pusat. Terlebih jadwal pulang jam kerjaku lebih awal dari mereka.

"Kamu di mana?"

"Aku berangkat 15 menit lagi, lagi nanggung sama kerjaan dadakan, May"
"Sabar yaaah"

"Haduh kamu, aku jadi cumaan berduaan dong dengan ini cowok"

"Ya enggak apa-apa, siapa tahu bisa jadi teman mesra-mesraannya kamu hihihi"

"Viona, kamu ya omongannya"
"Yaudah buruan, aku tunggu"

Sesampainya di kafe, aku memesan secangkir cokelat panas sembari menunggu dua orang kawanku. Aku juga mengelap beberapa bagian tubuh, terutama rambut dan tangan yang kebasahan karena kehujanan. Blazerku basah, jaket tak bawa. Tersisa kemeja biru lengan panjang yang aku kenakan. Aku berharap semoga Bimo bukan laki-laki ngeres karena tonjolan bukit kembarku yang menyorot membentuk lekukan tubuh bagian dada. Sejauh ini, apa yang kami bicarakan lurus-lurus saja. Aku tanyakan sudah di mana. Dia sudah berada di parkiran.

Jantungku berdegup tak normal. Padahal, kami terbiasa bicara berdua di kantorku. Barangkali karena momennya berbeda, suasana dingin ruangan yang kurasakan jadi sedikit membuatku gugup.

"Maaf ya, agak telat, macet tadi di jalan"
"Kamu ke sini naik apa?"

"Ojek online, enggak apa-apa kok"

"Kamu sudah mesen?"

"Sudah, kamu mau dipesenin?"

"Oh gak usah biar aku pesen sendiri aja", ujar Bimo. Setelah melepas jaketnya, ia pergi memesan langsung ke pelayan tanpa harus melihat-lihat menu terlebih dulu.

"Gak kelamaan nunggu kan?"

"Enggak Bimo, aku baru juga datang"

"Aku enggak enak aja kalau kamu sudah kelamaan nunggu"
"Jangan ngomongin pekerjaan ya di sini"
"Hahaha"

"Karena kamu rekan kerja, ya omongin kerjaan, habisan mau omongin apalagi"

"Omongin yang ringan-ringan aja"

"Yang ringan itu bagaimana?"

"Yang ringan itu yang bikin kita tersenyum bahagia, gak mumet di pikiran"
"Kayak kita ini pegawai/pekerja kantoran"

"Kamu pekerja kantoran? Kukira pekerja proyek"

"Proyek kantormu"
"Puas?!"

"Hehehe, iya....."

Perbincangan dengan Bimo menyenangkan sekali. Dia sering menyelipkan guyon dalam obrolan kami. Yang serius diolahnya menjadi ringan, termasuk perihal pekerjaan. Bimo bercerita sebagai orang tunggal bagi anaknya yang berumur 4 tahun merupakan pekerjaan berat. Istrinya pergi meninggalkan dia dengan menikahi pria lain. Bimo tangguh menerima kenyataan pahit rumah tangganya ambruk. Ditambah ia membesarkan putranya tanpa kasih sayang seorang ibu. Kini putranya dititipkan kepada orang tuanya di kampung. Bimo di Jakarta tinggal kos sendirian sembari mengumpulkan uang untuk anak tercinta kendati bekerja serabutan. Ini berbanding terbalik dengan suamiku. Aku tertegun dengan cerita Bimo menafkahi putranya.

Setelah menceritakan kehidupannya, aku perlahan menceritakan kehidupanku yang tak kalah berlikunya sebagai seorang ibu yang tinggal jauh dari suami dan anak. Bimo bersimpati dengan rumah tanggaku dan tak berharap kandas sepertinya. Kemudian kami makan malam bersama hingga aku lupa mengundang Viona datang. Viona menyesali tidak bisa datang karena hujan yang lebat dan lekas pulang ke tempat kos.

"Alhamdulillah kenyang, tenkyu ya, Bimo"

"Sama-sama May, ditunggu giliran traktirannya kamu"

"Oh, jadi traktirannya perlu dibalas nih?"

"Enggak, bercanda. Heheh"
"Maksudnya kapan-kapan kita ngobrol lagi"
"Nanti malam boleh kutelepon kan?"

"Boleh, kalau belum ketiduran ya..."

"Oke, eh itu..."

"Itu apa?"

"Kancing baju kamu"

"Astaghfirullah, duh maaf...", kancing kerah kemejaku bagian tercopot satu, sedikit terlihat belahan dadaku entah semenjak kapan.

"Untung aku yang lihat"

"Kalau yang lain kenapa?", tanyaku sebelum beranjak meninggalkan kafe.

"Ya enggak kenapa-kenapa, untung aku yang lihat, jadi bisa kasih tahu kamu langsung"
"Hehehe"

"Ih gak jelas deh..."

"Besok kamu kerja?"

"Sebagai salah satu pegawai rajin, tentunya ya aku harus kerja"

"Seneng bisa makan malam bersama pegawai rajin"

"Terima kasih traktirannya"

"Mau dianterin gak?"

"Enggak usah, deket biar aku pesen ojol aja"

"Beneran nih?"

"Bener"

Tiba-tiba Bimo membuka jok motornya dan mengeluarkan jaket hitam yang diletakkan ke badan belakangku. Aku tersipu dengan perhatian Bimo. Dalam hati bertanya, apakah maksud ia memperlakukanku begitu. Ah, sebagai teman apa salahnya. Kemudian Bimo berkata di hadapanku.

"Selamat Ulang Tahun, Maya"

Sampai jumpa di bagian berikutnya. Harap bersabar ya untuk bagian yang ada ehem ehemnya hehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd