Sambungan...
Intervensi Sang Inspektur.
Kejadian di Awar-Awar ternyata berbuntut panjang. Tak berapa lama setelah rombongan Wira meninggalkan desa itu, para penyidik datang. Mereka terkejut bukan main. Selain warga desa Awar-awar yang tewas, juga ada orang-orang lainnya. Diantaranya beberapa anggota APN, preman sewaan PT MBU, pendekar Matahari Kembar, dan pemuda laskar PPK.
“Lapor komandan, para warga desa yang masih hidup tidak mau mengatakan siapa yang membunuh teman-teman kita.”
“Anjing, warga miskin jahanam!” seorang penyidik yang nampaknya berpangkat kapten misuh. Ia buang rokoknya. Beringin Kuning, sebuah rokok mahal yang biasa diudut oleh para pejabat.
“Bawa kemari mereka!”, ia memerintah.
“Siap laksanakan.”
Seorang wanita yang sudah berumur nampak diseret oleh dua orang aparat. Mukanya penuh luka dihajar oleh penyidik yang gemas karena ia terus membisu.
“Hei rakyat jelata tolol, kau lihat pistol ini? Aku diutus pergi ke Nusa Timur dua tahun lalu dan berdinas disana selama tiga tahun. Lima ratus ribu kepala Fretilin berlubang karena pistol ini, paham kau lonte kere!” Kapten ini memang tolol berhitung.
Sang wanita pemberani tetap membisu.
“Oh, kau mau daftar buat jadi korban ke lima ratus ribu satu ya.”
Kapten Jaguk, begitu nama yang tertera di dadanya, bersiap mengeker dengan mata kirinya. Cara ia memegang pistol sama seperti seorang amatiran yang baru belajar memegang kunci inggris. Maklum, seumur hidup ia hanya bertugas menyupiri atasannya. Karena atasannya pindah tugas, sang supir yang dianggap setia langsung naik pangkat jadi kapten.
“Mampus kau lonte kere. Orang miskin memang tidak usah diberi hidup panjang-panjang!”
Duarrrr...............
Si pistol menyalak.
“Aduhhhhhhhh.....”
Salah seorang aparat yang berdiri di sisi kiri sang wanita mengaduh. Perutnya berlubang. Dari lubang itu keluar darah segar. Merah.
“Ah ternyata menembak tidak semudah itu, anjing”, maki kapten Jagug dalam hati. Untuk menutupi rasa malu ia berdalih.
“Syiriiiikkkk! Pasti wanita kere ini punya sihir dan membelokkan peluruku. Ingat wanita jahanam, aku ini pemburu nomor satu. Waktu aku di Irja, dua puluh delapan ribu gerilyawan OPM tewas karena kelihaianku. Bakar dia, dasar wanita tidak beragama!”
“Baakaaaar........” pekik itu disambut teriakan para aparat APN yang lain.
Dalam waktu lima belas menit, warga desa yang tersisa sudah berkumpul di lapangan, tempat junjungan mereka Bambang Kijang dibantai Pras.
“Aku beri kalian kesempatan. Sebut siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan keji ini, lalu kalian aku bebaskan!”
Tapi warga desa tahu, aparat yang sedang berbicara ini busuk hatinya. Mereka terus membisu. Mereka memilih membisu. Itulah satu-satunya perwujudan terima kasih pada sosok Ratu Adil yang sudah menyelamatkan mereka.
“Oke, kalau kalian tidak mau membuka bacot kalian, aku bunuh kalian semua. Bakar mereka. Mulai dari yang paling kecil!”
“Jangan. Kenapa kau lakukan ini?” seorang wanita maju dan bertanya dengan nada menantang.
“Karena kalian rakyat jelata terus membisu. Cepat katakan dan aku ampuni kalian semua!”
“Kau pelindung masyarakat, harusnya kau melindungi kami!”
Keadaan sunyi sejenak...
“Hahahahaha...................”
Tawa meledak. Para penyidik dan aparat itu tertawa terpingkal-pingkal.
“Hei, kalian Suromenggolo kolot. Tolot! Pergilah ke sekolah, jangan hanya bertani kau tolol! Di mana-mana itu yang punya duit yang harus dibela. Kalian punya apa? Sebentar lagi desa kalian akan digusur dan kami akan kaya!”
“Kau..... teganya kau mengkhianati rakyatmu sendiri!”
“Hei kere! Kau pikir aku mau? Aku dipaksa! Anakku harus kuliah ke ibukota. Istriku minta rumah baru. Gundikku minta mobil baru. Lalu kalau aku tidak berbuat seperti ini aku dapat uang dari mana? Dari langit tempat kalian menangis dan melakukan puja tolol kalian itu setiap pagi? Hahaha”
Lalu Kapten Jegug berdiri. Ia pantik geretannya. Zippo kawe dua belas beli di pasar Bringhardjoe. Ia pandang semua warga desa. Beberapa menit lalu, para aparat sudah menyirami tubuh mereka semua dengan bensin.
“Sebentar lagi kalian akan pergi ke neraka. Itulah nasih orang kere. Suromenggolo lagi. Di dunia ditindas, mati juga masuk neraka jahanam. Dasar penyembah hutan dan gunung tolol!”
Belum sempat ia melempar geretan kawe-nya itu, seorang menjerit.
“Tunggu!”
Semua menoleh ke belakang.
Tampak seorang pemuda tampan dan temannya. Pemuda itu berpakaian dinas resmi. Ia dari kesatuan tempur khusus. Berbagai bintang penghargaan menempel di dadanya. Ia juga membawa senapan serbu. Ana Karenina74 atau populer disebut AK74.
Di sebelah kanannya sorang pria berkulit legam. Nampaknya ia dari Nusa Timor. Itu terlihat dari badannya yang agak pendek, cambang yang lebat dan rambut keriting. Ia juga memakai pakaian dinas resmi. Di tangannya ia membawa senapan serbu Marijem 61 atau populer disebut M61.
“Siapa lagi kalian, badut bodoh!”
“Laknat, berani kau menghina perwira APN?”
Seperti ditampar, Kapten Jegug tersadar. Itu adalah seragam seorang perwira. Tetapi ia tetap tidak yakin.
“Seragam seperti itu banyak dijual di pasar loak. Dan dua senapan itu, pasti kau beli di pasar malam. Replika yang bagus. Hei, aku tahu! Kau pasti terlibat dengan ini semua.”
Sadar bahwa ini semua tidak berguna, Arif Chaniago berdehem.
“Markus!”
“Baik komandan?”
“Dua saja!”
“Tiga boleh?”
“Dua setengah, laksanakan!”
Duarr...duar....duar...
Dua orang aparat tergeletak di tanah. Kepala mereka pecah. Sedang satu lagi, masih berdiri tetapi kemudian jatuh. Peluru menembus bahunya.
“Kalian semua telah melanggar kode etik prajurit APN. Melawan perwira dan melakukan tindak kriminal terhadap rakyat! Kalian pantas dikirim ke Nusajembongan!”
“Ampuuuuuuuuunnnnnnnnnnn..... saya cuma rakyat kecil. Saya baru kemaren diangkat menjadi kapten. Ampuuun komandan. Saya akui saya salah....”, begitu tahu siapa yang dihadapi, kapten Jegug menangis seru. Ia bahkan menghampiri Inspektur Arif dan menjilati sepatu bootnya.
“Ampun, komandan. Saya anjing komandan. Saya budak komandan. Ampun komandan, jangan bunuh saya....”
“Mau jadi apa negeri ini, punya aparat yang hanya berani pasang muka galak pada rakyat. Torang memang anjing. Tak pantas torang di kasih ampun e! Sa akan sembelih leher torang lalu sa kasih lempar ke lobster-lobster!” Markus geram.
“Ampun tuan berewokan. Saya memang tolol. Jangan bunuh saya.... ampun!”
“Sudah jangan banyak bacot.” Markus mengarahkan M61 ke kepala Jegug.
Jegug makin menangis kesetanan...
“Sudahlah Markus. Hei siapa namamu?”
“Jegug, komandan?”
“Baik, kapten Jegug. Aku yang akan mengurus semua ini. Aku sudah berbicara kepada atasanmu. Kau cepat bawa pulang anak buahmu. Ingat, lupakan semua ini. Jangan bilang pada siapapun mengenai tragedi yang barusan terjadi ini. Paham kau!”
“Siap komandan....hiks...hikss....laksa...hikss...kan.....”
Singkat cerita, Jegug dan anak buahnya pergi.
“Kalian sekarang bebas. Aku yang akan menanggung kalian. Bangun kembali desa kalian. Dua hari lagi, pasukan dari ibukota akan datang dan melindungi desa kalian diam-diam.
“Terima kasih, komandan.”
“Panggil saja Arif. Aku juga saudara kalian, hanya saja aku dari Desa Suromenggolo.”
“Jangan-jangan den Arif teman dari Sang Dimas Ratu Adil Prawira Bumi?”
“Siapa itu?”
“Beliau Ratu adil, seorang kesatria yang melindungi kami membasmi para anak buah PT MBU yang kemaren menyerang desa kami.”
“O....” Arif menganggap mereka sama kurang warasnya dengan Jegug.
“Biarlah kuselidiki nanti” ucapnya dalam hati.”
Setelah berbasa-basi, ia pamit.
“Markus, kau tinggal di sini sampai pasukan pelindung dari ibukota tiba.”
“Baik ndan!”
Arifpun langsung pergi. Jam menunjukkan pukul dua siang. Masih ada waktu untuk membeli sebuket bunga dan sekotak coklat. Siapakah yang akan ia temui?