Oh ok, thanks udah dijelaskan detail ya Gan..
Menurut saya tetap.. No excuse Gan soal itu.
Untuk mempermudah penalaran saya akan share realita yg terjadi di diri saya juga kehidupan pernikahan saya..
Saya dulu bekerja, dengan 30 orang pria dan saya sendirian wanita dalam rig ditengah lautan pulang 3 bulan sekali.
Ada sih 2 wanita lainnya di Lab dan 1 lagi seorang dokter, tapi kami jarang banget bersua dalam 1 kesempatan schedule.
Dalam artian klo di samakan opportunitynya, masa iya dalam 30 orang itu saya ga bisa tertarik sama 1 orang pun.
Dan jawabnnya exactly, ga tuh.. ga sama sekali.
Mau saya pernah juga dalam beberapa kasus pun, saya 1 kamar sama 3 orang pria juga dan pernah kedapatan 1 room berdua sama seorang partner kerja cowo juga ga ada rasa ataupun keinginan untuk masuk ke zona romansa atau keliaran sementara dengan alih2 untuk menghilang rasa penat dan rasa rindu akan hangatnya bonding bersama pasangan dalam pergulatan esek2.
Klo dibilang dalam skala opportunity tsb, sal kasus saya justru lebih berbahaya drpd istri Agan.
Bayangin aja, saya dikelilingi bahkan pernah selamat dengan beberapa cowo yg setahun bahkan sebulan pun ga dapet jatah batiniah dari pasangan mereka masing2.
Saya juga seringkali telponan dengan beberapa rekan kerja terdahulu saat masih bekerja ataupun sekarang tidak bekerja hingga sama orang forum ini.
Ngobrol ngalor ngidul, skala telponan juga intense kayak anak sekolah bimbel..
Cuma ya ga ada untuk tertarik, karena saya tau tujuan saya dan apa yg saya mau capai dalam tiap kontakan dengan orang2 tsb terutama yg lawan jenis.
Klo soal tolak ukur mindset profesionalitas, ya memang seharusnya begitu..baik dalam bekerja ataupun tidak.
Alias, ketika kita bekerja ya kita harus profesional terhadap pekerjaan kita juga tapi tetep rasa profesionalisme kita untuk menjaga mahligai rumahtangga-pernikahan itu juga mesti bersinergi.
Begitu juga sebaliknya, ketika kita masih bekerja sedangkan sekrnag istri dan suaminya adalah seorang pekerja.
Ga bisa profesionalnya dipake cuma ketika bekerja aja, yg ada jomplang.
Banyak orang yg berasumsi,
"loh profesional cuma dikerjaan aja kali, di rumahtangga-Pernikahan ah ga perlu. Kaku amat jadi orang."
Ya justru ga kaku, kaku pun itu untuk mengakukan hati agar tetap kuat pada prinsipnya komitmen dan hati+pikiran yg terjaga dengan optimal.
Agar ga melakukan kebodohan juga kekonyolan yg mengatasnamakan kurang perhatian, lalu sah sah aja jika ada yg berhasil mengisi dan sah juga merasakan kemudian menjalankan hubungan yg ga seharusnya berlaku untuk skala profesional hingga non profesional.
Contoh jomplangnya apa?
Ya yg ada seperti banyaknya kasus perselingkuhan ditempat kerja dengan teman sejawat kerjaan atau antar atasan bawahan.
Memang benar jika pasangan kita sendiri ga LAGI GA BISA ngasih porsi perhatian dan kepeduliannya dalam beberapa case keteteran ngurus ini itu, kita bisa inisiatif sendiri untuk mencari dari orang lain.
NAMUN... BUKAN ORANG KETIGA yg nomaden lalu jadi permanent.
Cukuplah dianggap dan dinamakan Orang Lain ga perlu naik pangkat jadi orang ketiga.
Maksud lebih detailnya Orang Lain lagi yaitu cukuplah dianggap teman, sahabat atau memang stranger yg ga lebih jadi pengganti Agan sebagai seorang pasangan hidup.
Memangnya kenapa gitu harus ga bisa untuk ga memakai porsi sisi hati yg harusnya porsi untuk Agan seorang malah dipakai buat di isi orang lain?
Memangnya kenapa boleh gitu pakai alibi sah sah saja karena merasa kekurangan terus kita boleh mensahkan tameng ketidakmampuan dan kekurangan kita??
Padahal diri kita itu sadar dan tahu benar klo pasangan lagi ga bisa dulu.. Walaupun sekalinya pasangan ga bisa tetap ga ada kata sah untuk membagi hati yg porsinya untuk yg jelas2 permanent malah dikasih ke yg non permanent.
Memangnya hati itu kontrakan?
Ini bukan soal udah biasa dikasih hati terus ga dikasih hati lagi, ngelunjak merasa kurang terus malah milih nyari hati sama jeroan di tempat lain biar ngenyangin.
Tapi ini soal prinsip, kesadaran kerjasama dan rasa syukur.
Don't be so naive Gan.
Aku ga bermaksud untuk ngeracunin sikap Agan dari keputusan yg sudah diambil yaitu memaafkan, itu udah bagus banget ko..
Malah saya turut senang dan salut Agan melakukan itu.
Sayangnya klo Agan terka lagi dengan hati Agan.. Itu belum terlalu benar wlwpn sudah baik.
Karena masing2 dari saya dan Agan ataupun mungkin orang2 disini yg akal sehatnya tanpa pakai ego itu masih dipake..
dalam hal kasus ini itu ga berlaku ya, no excuse buat begitu.
Ini udah masalah soal komitmen,
dimana ini tentang kesadaran sebuah pemilahan kepentingan dan hal penting yg harus dijaga.
Bukan cuma hitam diatas putih aja dalam buku merah hijau doang.
Dan bukan hanya janji antar 2 manusia aja, tapi juga dengan Tuhan.
Istri Agan dan Atasannya sudah membodohin Agan, Tuhan (wlwpn Tuhan ga bisa dibohongin), diri mereka sendiri juga pasangan mereka.
Istri Agan sendiri pun juga sudah mengkhianati janji suci dengan Tuhan dan dengan Agan.
Istri Agan sendiri pun juga sudah ga ada rasa respect dan kepeduliannya kepada Agan,
untuk mengerti peristiwa yg intense terjadi pada ruanglingkup keluarga yg Agan sampaikan barusan.
Bukannya prihatin, bantu dan respect sama usaha Agan untuk handel dengan apa2 yg terjadi malah melarikan diri + hatinya dengan cara seperti itu dari yg Seharusnya juga Waktunya adalah bagian tanggungjawab dia sebagai seorang Istri dan bagian dari keluarga.
".... cukup dengarkan apa yg wanita katakan dan itu akan membuatnya senang" ini yg membuat istri luluh,"
Sorry ini tuh yg luluh seharusnya rasa emosional yg kayak nano2 itu ya, bukan hatinya. Klo seluruh hatinya sampai luluh udah bablas namanya.
Disini aja udah ga tepat guna, ga bisa memilah dan ga tau tujuannya apa yg dicapai.
"... kebetulan istri pasti akan suka dengan pria yg "pintar" bukan fisik dan penampilan."
But your wife isn't smart enough to be receive and get a smart person in the smart colony living.
So sorry.. Kontradiktif banget sama gambaran kisah personalitynya.
Ya sama Gan, saya juga tipikal yg begitu ko.
Klo dibilang ruanglingkup profesional saya kurang pintar apa? (bagi yg udah tau saya dekat ya)
Jangankan ruanglingkup saya, ruanglingkup setiap orang kalau sudah di bidang pekerjaan ya itu pintar semua. Karena orang yg bekerja itu orang2 yg terpilih sekalipun dia ga kerja dikantoran atau cuma supir atau tukang jualan atau pengangkut sampah atau kurir sekalipun.
Mereka pandai dalam ability mereka.
Klo soal standarisasi kemampuan otak, ga usah diomongin lah.. Kecuali klo emang tiap manusia di dunia ini jadi member Mensa.
Makanya disini kita pakai standarisasi logika akal sehat.
Klo standard akal sehat aja ga berjalan dengan baik, mau make hawa nafsu lagi yg terdepan?
Lantas jika itu terjadi, manusia mau disamakan dengan apa yg katanya di sebagian besar kitab manusia adalah makhluk yang memiliki akal?
Dan dalam Kitab selalu ditekankan..
sebaik2nya manusia itu yg berpikir.
"kembali ke pertanyaan.. kira2 istri sanggup ya melupakan perasaan nya,dengan kondisi pasti bertemu dan berkomunikasi (hal pekerjaan) Kembali?"
Sepertinya ini sudah gamblang saya jawab dari penjelasan saya sebelumnya.