Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Desa Waringin. (Terjebak kawin kontrak)

Status
Please reply by conversation.
Pagi itu setelah sarapan dan olahraga pagi. Aku memilih duduk di teras depan rumah pak Supri. Duduk di temani secangkir kopi dan pisang goreng sembari melihat para pekerja pergi ke area. Walau hari Minggu, aktifitas panen masih berjalan, dan para mandor pun masih bekerja di akhir pekan. Berbeda dengan aku yang bisa duduk santai sembari menikmati pagi cerah yang walau sudah pukul 8 pagi tadi cuaca sudah membuat tubuhku gerah.

Aku hanya duduk mengenakan celana boxer pendek milik Joni. Membiarkan badan polos ku terekspos.

"Pagi pak. Wah pagi-pagi udah makan pisang goreng aja nih." Sapa seorang pekerja sembari memikul egrek, alat panen berupa arit besar dan galah yang memiliki panjang 4 meter.

"Pagi pak, iya nih lagi nyantai aja." Jawabku sembari terkekeh kecil.

"Wih enak yah jadi bos, hari Minggu bisa libur." Gurau sang bapak.

Aku segera mengangkat piring berisi pisang goreng. "Pisang pak." Kataku.

"Wah makasih pak, buatan mbak Sri yah?"

"Iya pak." Jawabku.

"Widih mantep nih, buatan mbak Sri mah nggak pernah salah." Jawab sang bapak sembari mencomot pisang yang ku berikan.

"Bapak, nggak sopan ih! Pisang pak asisten kok diambil!" Tegur seorang wanita di belakang pria itu.

"Ya nggak papa toh buk, orang di tawari kok."

Aku menoleh ke arah wanita yang di menegur sang bapak tadi. Yang tak lain adalah istri bapak tersebut. Ku perhatikan seksama ibu itu hanya mengenakan kaos kuning tipis ketat yang memperlihatkan bh berwarna hitam di sana. Walau payudaranya tak besar. Tapi melihatnya saja sudah membuat jakunku naik turun.

Bagaimana tidak. Bra yang terlihat sempit itu membuat payudaranya seolah mau tumpah dan terlihat begitu kenyal.

Aku menahan diri agar komandanku tidak bangun. Beruntung pagi ini dia sudah muntah dua kali jadi masih bisa dikendalikan.

"Nggak papa Bu, buat sarapan!" Jawabku. "Ibu mau?"

"Eh bapak, nggak usah pak, nggak sopan" jawab sang ibu.

"Nggak papa Bu, lagian bik Sri goreng banyak kok. Ambil aja?" Ucapku lagi.

Ku perhatikan mata ibu itu tertuju ke area selangkanganku, yang mana membuatku semakin berani untuk berdiri tegak tanpa menutupi area selangkanganku lagi.

Pagi itu aku tidak mengenakan celana dalam yang membuat komandan yang berukuran pisang molen yang sering di jual tukang gorengan itu tercetak jelas. Apalagi boxer Joni yang kekecilan.

"Oalah bu-bu. Suruh ngambil pisang goreng kok malah mau makan molen toh!" Kelekar sang bapak sembari tertawa keras.

Aku tersenyum malu. Walau tak menutupi apa yang menjadi pusat perhatian sang ibu.

"Apa sih pak. Lawong ibu lagi mau ambil pisangnya kok!" Jawab sang ibu sembari berjalan ke arahku.

"Mau ambil pisang yang mana tuh!" Goda yang bapak. "Awas salah ambil! Haha!" Lagi sang bapak membuat candaan yang menjurus.

Aku mulai terbiasa dengan obrolan orang-orang di sini. Apalagi tentang sex yang mana sudah menjadi kebiasaan yang sedikit belum membuatku terbiasa. Tapi karena aku sudah masuk ke lingkaran ini aku tak bisa berbuat banyak. Jadi nikmati saja.

"Hoalah! Kalo urusan pisang mah ibu bisa bedain pak!" Kelekar sang ibu sembari menjulurkan tangannya. Posisi aku berdiri dan mereka berdiri tentu saja berbeda. Karena ubin tinggi lantai teras rumah pak Supri membuat tubuhku lebih tinggi. Dan tanganku yang memegang piring tentu setara dengan penisku.

"Yang ini kan pak?" Tanya sang ibu yang membuatku terkejut pasalnya sang ibu malah meraih penisku dan menggenggamnya.

"Hus! Ngawur ibu ini! Salah buk! Bukan yang itu! Tapi yang di piring!" Jawab sang bapak sambil tertawa.

Aku ikut tertawa karena perbuatan mereka. Walau sedikit kikuk tapi ya sudahlah...

"Ehh aduh salah... Maaf ya pak, tangan saya suka nggak sopan kalo liat yang besar-besar." Jawab sang ibu lalu melepaskan tangannya dari penisku dan segera mencomot satu pisang goreng dari piring.

"Nggak papa kok Bu, si komandan juga suka kalo diajak kenalan!" Jawabku sembari terkekeh.

"Wih ternyata komandan ramah juga ya pak. Jadi pengen kenal lebih dekat." Balas sang ibu sembari terkekeh.

"Ibu! Hayo! Masih pagi jangan nakal!" Tegur sang bapak.

"Apa sih pak! Orang lagi kenalan juga!" Balas si ibu.

"Kenalannya nanti lagi. Udah siang ini. Ayo pergi ke lahan!" Balas sang bapak mengingatkan sembari berjalan mendahului sang ibu.

"Yah... Bapak mah..." Si ibu merengut. Lalu menoleh ke arahku dan menatapku sebentar. "Kenalannya nanti lagi ya pak, mau kerja dulu hehe."

"Iya buk, lain kali saja." Balasku.

Kemudian sang ibu berlalu dan ku hanya bisa menatap si ibu yang berjalan membelakangi ku. Ku tatap pantat besar membusung itu. Sungguh walau tidak terlalu besar. Tapi melihat benda kenyal itu bergerak membuatku menggeleng kepala.

"Siapa den?" Bik Sri baru saja keluar membawa pisang goreng kedua.

"Oh nggak tau bik, itu tadi ada bapak sama ibu yang nyapa."

"Oh si intan sama Deni!" Balas bik Sri sembari menaruh pisang di atas piring yang ku pegang.

Bik Sri sudah memakai daster pendek yang sudah lusuh dan ada sobekan di bagian pinggang kiri dan juga ketiak serta di area pantat. Di dalamnya bibik tidak memakai apa-apa lagi karena kejadian pagi tadi Membuatnya malas menggenakan pakaian dalam.

"Aden nggak ada kerjaan pagi ini?" Tanya bik Sri kemudian.

"Nggak ada bik, rencana mau keliling kamp sih sama Joni. Tapi nanti."

"Lah sih Joni malah pergi barusan pak?"

"Oh iya, itu tadi katanya Joni mau nyusul bapaknya dulu." Balasku lagi.

Lalu setelahnya obrolan mengalir diantara kami berdua. Banyak hal yang membuat ku penasaran seperti bagaimana kehidupan di kamp (atau sebut saja desa biar lebih mudah) ini berlalu. Dan bagaimana mereka bisa hidup dan tinggal di sini.

Bik Sri menjelaskan, setidaknya ada sengah orang penduduk asli daerah ini yang harus mengungsi dan menaruh harapan di PT dengan menjual tenaga mereka sebagai pekerja.

Sebenarnya desa mereka sebelumnya terletak di ujung lahan PT ini. Namun karena mereka semua kena tipu membuat mereka harus menggantungkan hidup di PT ini agar memiliki tempat tingga.

"Jadi dulu kami itu tergiur sama orang kaya yang ngajak kerja sama untuk membuat tambang minyak den. Dulu lahan kami diminta untuk dibuat tambang minyak. Yang sebagian besar itu juga desa kami. Terus mereka janjikan ganti lahan dan uang 500 juta perorang. Tapi sudah dua tahun jalan. Kami belum dapat apa-apa, tambang udah jalan dan udah dapat hasil. Tapi mereka malah lupa sama kita. Terus pas kita tanya perihal perjanjian di awal, mereka mengelak dan katanya nggak ada perjanjian itu."

"Terus nggak di minta tanahnya?"

"Nah itu apesnya kami, setelah kami menanyakan surat-surat tangah kami yang ada di tangan mereka. Ehh mereka jawab tanah apa? Dan setelah kami mendesak, ternyata semua Tanah kami sudah dibalik nama atas nama dia. Jadi ya udah kami nggak bisa apa-apa saat di usir dan ya jadi tinggal di sini."

Sungguh ironis. Aku malah tidak tahu banyak tentang asal usul penduduk asli yang terdampar di sini.

"Dan apesnya lagi. Kami malah diminta bayar denda dengan nominal yang cukup besar."

"Kok bisa?"

"Ya gimana ya den. Kami orang desa pedalaman yang nggak tau hukum. Jadi begitu tau Tanah kami diambil paksa, kami emosi dan berontak buat ngelawan, akhirnya kami merusak alat bor mereka. Dan karen itu para polisi dan tentara datang yang buat kami kena hukum dan jujur kami sendiri nggak tau hukum apa itu. Tapi ya udahlah mau gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Kami kena denda 50 juta per keluarga, kalau nggak bayar ya masuk penjara."

Aku benar-benar nggak bisa berkata-kata lagi saat bik Sri menjelaskan itu. Seperti penguasa yang menindas rakyat kecil. Dan tentu saja mereka menggunakan hukum yang tak diketahui oleh orang pelosok seperti bik Sri. Sungguh miris.

"Jadi...." Aku ragu untuk bertanya, tapi jujur saja aku penasaran. "Alasan bibik mau kawin kontrak sama aku karena itu?"

"Iya den. Sebenarnya ada alasan lain kenapa kami terjebak di lingkaran yang nggak ada habisnya ini."

"Apa itu bik?"

"Ya itu. Karena kami kena denda 50 juta per keluarga, akhirnya kami yang nggak punya uang dengan bodohnya percaya sama orang asing yang menawarkan uang dengan bunga yang cukup tinggi. Dan karena kami takut di penjara jadi kami ambil uang di dia, yang mana bunga dari yang itu nggak habis-habis. Dan kalo kami nggak bayar kami bakal di hajar sama mereka."

Tentu saja mendengar penjelasan itu membuatku terkejut. Sungguh biadab orang seperti mereka itu. Mengambil keuntungan untuk orang-orang yang tidak tahu apa-apa.

"Dan karena itu bibik dan yang lain harus ngelakuin hal tabu ini?"

"Tabu?" Tanya bibik dengan dahi mengkerut.

"Iya, apa yang bibik lakukan bukannya menjual diri ya?"

"Oh itu... Kalo itu mah desa kami sebelumnya juga gitu den, desa bibik tuh memang desa yang bebas dan masih kental dengan adat. Jadi ya hal seperti itu sudah biasa. Jadi karena hal biasa itulah yang buat muncul ide untuk menguangkan hal itu agar kami bisa tetap bertahan dan tetap hidup."

Lagi dan lagi aku terkejut, sungguh, aku tak bisa berkata-kata. Di lain sisi aku kasihan, tapi di sisi lain aku juga menikmatinya.

Di tengah perbincangan kami, tiba-tiba Jumirah datang dengan wajah marah dan penampilan yang acak-acakan.

Aku dan bik Sri yang masih ngobrol tentu terkejut.

"Loh Jum? Katanya kamu ke lahan nyusul bapaknya Joni? Kok masih di sini?" Tanya bik Sri yang yak tak di tanggapi oleh Jumirah. Wanita itu malah duduk di bawah dengan wajah cemberut.

"Kenapa kamu Jum! Kusut banget mukamu." Tanya bik Sri lagi.

"Diam dulu Sri! Aku lagi mumet!"

"Kenapa lagi? Ada masalah lagi sama Hartono?" Tanya bik Sri.

"Iya itu! Laki-laki nggak guna, udah tau lagi di kejar hutang. Tapi males betul buat kerja. Malah mabok-mabokan sama anaknya! Bikin aku kesel aja!" Rutuk Jumirah. "Kamu ada simpanan nggak sri? Bos Joko datang siang ini dan aku nggak ada uang lagi."

"Berapa emang?"

"5 juta!"

"Gila kamu Jum! Mana ada aku uang sebesar itu."

"Ya siapa tau kami ada simpanan kan Jum. Aku lagi bingung soalnya." Ujar Jumirah.

Aku hanya diam memperhatikan interaksi mereka sembari memperhatikan tampilan jumirah diam-diam.

Ku perhatikan Jumirah ini cantik juga, dengan tubuh yang tak setinggi bik Sri, langsing, putih dengan rambut lurus dengan bodi dan proposional. membuatku berpikir. Sepertinya nikmat juga bisa mencicipi tubuh wanita ini.

Apalagi di kondisi seperti sekarang, hemm... Apakah Dewi Fortuna akan berpihak kepadaku lagi?

"Kalo pak Adit ada uang 5 juta nggak?" Tembak Jumirah kepadaku.

Aku yang masih memperhatikannya hanya diam sejenak.

"Pak?" Tanya Jumirah padaku.

"Ehh iya gimana?"

"Bapak ada uang 5 juga nggak?" Tanya Jumirah lagi.

"Waduh kalo cash saya nggak ada buk." Jawab ku karena memang uangku ada di ATM semua. Dan aku hanya memiliki yang 2 juta cash.

"Yah... Terus aku harus cari dimana coba." Keluh Jumirah frustasi.

Bik Sri menatapku sebentar. "Den nggak ada uangnya?"

"Ada sih bik kalo 5 juta mah, cuma yang jadi masalah uangnya di ATM bik."

"Kalo misal transfer bisa nggak den?" Tanya bik Sri.

"Nah iya pak, transfer bisa nggak?" Lanjut Jumirah.

"Ya bisa aja sih buk...." Jawabku agak ragu.

"Nah! Tolongin aku dong pak. Aku butuh banget. Kalo nggak bisa bayar hari ini bisa mati aku!"

"Ya gimana ya buk..." Aku sengaja mengulur waktu dan bersikap seolah ogah-ogahan.

"Tolong ya pak.... Aku udah nggak tau lagi harus cari uang itu di mana." Ujar Jumirah. "Kalo bapak mau tolong aku, aku janji bakal ngelakuin apa aja buat bapak!"

"Apa aja?" Tanyaku mulai tertarik dengan penawaran Jumirah.

Pucuk dicintai, sepertinya aku bisa bersenang-senang lagi siang ini. Siapa sangka ikan akan datang sendirinya walau tanpa umpan.

"Iya apa aja asal bapak mau bantu aku!"

"Hem... Gimana ya buk.... 5 juta bukan uang yang kecil soalnya."

"Jadi gimana dong pak...." Tanya Jumirah dengan tatapan sendu.

Aku menatap bik Sri sebentar, dan mengingat ucapan pak Supri sebelumnya. Asal ada kesepakatan semua bisa.

Aku tersenyum sebentar lalu menatap Jumirah.

"Gini deh, aku kasih ibu 10 juta, tapi..." Aku sengaja menggantung kalimat ku.

"Tapi apa pak?" Kejar Jumirah.

"Kita kawin kontrak?!" Ucapku semangat.

Jumirah terlihat berpikir sebentar. "Hemmm gimana ya pak... Tapi bapak udah kawin kontrak sama Sri, emang nggak papa?"

"Emang kenapa?" Tanyaku heran. Kan kawin kontrak tidak harus mendapatkan izin dari bik Sri yang notabennya istri kontra pertamaku. Jadi aku bebas dong kawin kontrak sama siapa aja?
Lagian, siapa sih yang nggak mau ngeluarin uang 10 juta untuk satu tahun full, dan aku bebas crot di mana saja. Kalo bagiku tentu saja itu hal yang menguntungkan, apalagi 10 juta itu setengah gajiku dalam sebulan.

"Ya itu. Kalo nikah kontrak, bapak harus kasih saya tanggungan tiap bulannya. Emang nggak papa?"

"Hemmm... Nikah kontrak tanpa tanggungan lah!" Jawabku sekenanya.

"Mana bisa pak, nikah kontrak sama saja bapak harus kasih nafkah ke saya." Jawab Jumirah.

Aku berpikir sebentar, iya juga sih kalo nikah kontrak harus kasih nafkah juga seperti aku kasih ke bik Sri.

"Sebenarnya saya bisa kasih uang bulanan buat ibu, tapi nggak sebesar bik Sri. Gimana?"

"Berapa?"

"Untuk tanda jadi saja. 300 perbulan."

"Kok kecil banget pak."

"Ya itupun kalo ibu mau."

Aku sudah tak bisa kasih penawaran lagi. Kalo aku kasih sebesar bik Sri. Bisa bangkrut aku.

"Haduh ... Gimana ya pak..."

"Ya terserah ibu sih. Saya cuma bisa bantu ibu segitu..."

Jumirah termenung sembari menatap bik Sri. Sepertinya banyak pertimbangan yang harus di ambil.

Sedangkan aku hanya diam dengan tenang menyeruput kopi dan mencomot pisang goreng sembari membayangi jika Jumirah ambil penawaran ku. Maka akan ku eksekusi dia siang ini.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd