[1 –
intro]
Tanganku menggosok-gosok kepala dengan handuk, mengeringkan rambut yang masih basah. Kaos kotor yang aku lingkarkan di pundak, kulempar kedalam keranjang pakaian kotor bersama celana dalamku. Aku berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan.
“Hey Google,
Good morning!”
Sebuah perangkat diatas lemari pendingin menyala karena instruksiku tadi.
“Good morning, Tama!
It’s half to Seven in Bandung, and 21 degrees celcius.
Today there will be a light rain, don’t forget to bring your umbrella.
Have a nice day.
Now playing on Spotify, Dont Go Away by Oasis.”
Petikan gitar elektrik menandakan perangkat tersebut selesai membaca kegiatanku hari ini. Aku yang masih duduk di kursi minibar, mulai melahap oatmeal sembari membaca berita dari gawaiku.
Dari kejauhan, terdengar suara langkah. Suara itu makin mendekat, sampai seseorang memelukku dari belakang.
“Joeunachim, Appa!” seorang bocah laki-laki berusia sekitar 4 Tahun menyapaku. Aku membalikan badanku, lalu mengangkatnya tinggi.
“Selamat pagi, Arka!” kuturunkan Arka agar sejajar dengan wajahku, lalu mencium pipinya. Setelah itu, ia kembali berpijak ke lantai.
“Papa hari ini makan malem sama Arka, kan?” Arka naik keatas kursi di sebelahku. Aku tersenyum melihatnya.
“Pasti dong! Arka mau pizza?”
“Yeay! Pizza!” ia menepuk tangannya cepat. Aku tertawa kecil, lalu melanjutkan sarapanku ditemani Arka yang asik memakan stroberi yang belum aku kembalikan ke kulkas.
Selesai dengan sarapanku, aku mengganti bajuku, lalu menuruni tangga menuju garasi yang terletak di basement rumah ini. Beberapa kendaraan terparkir disana. 4 motor dan 2 mobil berbaris rapih, hanya tinggal menunggu giliranku membawa salah satu dari mereka.
Sebuah Ducati 899 keluar dari garasi, membelah jalanan Bandung menuju sebuah kantor di bilangan Asia Afrika.
***
“Selamat pagi, mas.” Sapa seseorang ketika aku baru saja tiba di mejaku. Aku menoleh.
“Oh, selamat pagi, Ibu Im. Ada yang bisa saya bantu?”
Seorang wanita dengan tinggi 163 sentimeter menyapaku. Orang-orang di kantorku biasa memanggilnya Bu Nana, singkatan dari namanya, Im Nayeon.
“Kemarin mas Tama dicari pak Andre, katanya dihubungin gak bisa juga, ada yang harus di selesaikan.”
“Oh, kemarin saya lagi dinas luar bu, kebetulan gaada sinyal juga di sana. Baiklah, segera saya ke ruangan pak Andre bu. Terimakasih.” Aku tersenyum kepadanya, yang dibalas dengan senyuman dan anggukan. Bu Im berlalu.
Bu Nana sebenarnya adalah sekertaris dari bosku, pak Andre. Perawakannya yang manis dan lucu mungkin memikat bosku itu.
Sebuah kursi meluncur ke mejaku, bersama dengan seseorang yang mendorongnya.
“
Tingali Bu Nayeon, indah kitu anjir body na.”* seseorang diatas kursi tadi langsung berbisik kepadaku. Matanya masih mengekor bu Nayeon. Reflek, tanganku menjitak kepalanya.
“Budak hiji pamajikan dua kurang hah?!”** aku mendorong kursinya menjauh. Lelaki itu hanya tertawa dan kembali ke mejanya.
Dasar maniak.
Tanganku merogoh tas, mengambil beberapa berkas dan menuju ke ruangan pak Andre.
Ohiya, perkenalkan kembali, namaku Tama Andhika. Aku hanya karyawan biasa sebuah perusahaan startup yang memiliki kantor di Bandung. Setidaknya, begitulah mereka mengetahuinya. Diam-diam, aku juga menjalankan sebuah perusahaan kenamaan di Indonesia milik mantan Istriku. Perusahaan itu sekarang dikelola oleh kakaknya, yang juga dekat denganku. Sesekali aku mengunjunginya untuk memeriksa keadaan perusahaanku.
Baiklah, mari kembali ke ruangan pak Andre.
“Jadi, gitu ya mas Tam. Coba aja databasenya di sortir ulang, soalnya ini yang masuk agak acak-acakan. Juga beberapa user nge report kalau mereka gak bisa masuk dan nge cek keadaan toko mereka.” Lebar sekali request dari pak Andre ini.
“Baik pak, segera saya kordinasikan sama tim saya. Ada lagi pak?” aku menutup catatan kecilku dan memasukannya kedalam saku hoodie yang aku kenakan.
“Nanti ada beberapa yang training di divisi mas Tama, diarahin aja mas.”
“Baik pak siap.”
“Kalo gitu, kamu bisa meninggalkan ruangan saya.”
Aku berdiri, sedikit membungkuk kearahnya.
“Terimakasih pak.”
Aku berjalan keluar ruangan pak Andre, dan langsung dicegat oleh bu Nayeon.
“Eh, Bu. Kenapa?”
Kuperhatikan bu Nayeon. Telunjuknya menggulung-gulung sedikit ujung rambutnya. Kepalanya sedikit bergoyang.
“Em, mas Tama mau makan siang bareng?”
Aku menatapnya sedikit heran. Ia kemudian tersadar.
“Eh, ma-maksud saya, mau se meja bareng?”
Aku tertawa, lalu mengangguk pelan. Ia tersenyum, lalu segera berlari menajuh.
“Dasar.”
**
“Permisi pak.” Kurasakan pundakku di tepuk oleh seseorang. Aku yang sedang menggunakan earphone segera melepaskannya lalu menoleh.
“Saya pegawai baru yang training di divisi bapak, nama saya Myoui Mina, pak. Bisa dipanggil Mina.” Seorang wanita dengan tinggi 165 sentimeter itu mengenalkan dirinya tanpa aku minta. Aku berdiri, lalu menyalaminya.
“Yang di divisi database cuman kamu?” aku sedikit melongok ke belakang tubuhnya. Ia hanya mengangguk.
“Oh, saya Tama, orang-orang disini biasa manggil saya mas Tama. Kebetulan, secara tidak sengaja saya jadi kepala divisi database ini.”
“Baik, mas Tama.”
Kuperhatikan penampilannya. Kemeja lengan pendek berwarna putih susu polos, rok span se lutut, sneakers Vans Oldschool. Casual-formal sekali.
“Ngomong-ngomong, meja kamu ada di sebrang meja saya tepat. Hari ini kamu bisa kenalan dulu sama tim database.” Aku kembali duduk dan mengenakan bantal leher sembari tersenyum. Mina segera menuju ke mejanya sembari berkenalan dengan beberapa orang yang ia lewati.
Sebuah kursi kembali datang ke arahku.
“Geulis, bangsat!”*** pun, sebuah jitakan kembali melayang ke kepalanya.
“Begini ya, bapak Jo yang terhormat. Dirumah udah ada istri dua, yang satu hamil, dan masih nyari? Bangsat sekali anda.” Aku menggeleng melihat kelakuannya. Jo hanya terkekeh lalu kembali ke mejanya.
Maniak memang.
Aku berdiri, menuju meja Mina. Kulihat ia sedang menata beberapa pernak-pernik di mejanya. Sebuah foto membuatku tertarik.
“Squad nya ya?” Mina terkejut, lalu menoleh sembari tersenyum.
“Eh, iya mas. Kebetulan saya suka main game juga, ini satu tim saya dulu.”
Kuperhatikan foto itu, ada 7 orang perempuan. Mataku tertuju kepada seseorang yang berada di bagian paling ujung kanan.
“Ini siapa?” aku menunjuk gadis berambut panjang dengan poni.
“Oh, namanya Puti Nadhira, mas. Setim kok sama saya sampe sekarang. Mas kenal?”
==========
nb.
*liat bu Nayeon, indah gitu body nya
**anak satu istri dua kurang, hah?!
***cantik, bangsat!