Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT ANCAMAN YANG SEMPURNA

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Ikut pantengin nunggu malam minggu,semoga gak macet ceritanya suhu:semangat:

Siaaap, Komandan
Cerita crot sudah mateng en siap dihidangkan jam 8, siap-siap cekicrot... hatur nuhun udah mampir, Ndan... salam
 
Izin nyimak gan...lanjut..., Pengen liat riduan ga mabok

Siap, Agannn...
ngecrot sambil mabok mana enaknya... :peace:
siap-siap upcrot jam 9 malam...
hatur nuhun udah menyempatkan mampir di cerita alakadarnya ini, salam damey, Agan
 
BAGIAN IV


Setelah lari bagai maling kepergok warga. Sampailah Ridwan di pinggir jalan raya yang sudah sepi dan lengang. Hanya sesekali ada kendaraan yang melintas. Dia berdiri kebingungan dengan suasana hati yang kacau sekali.
“Terkutuk kau, Ridwan! Gila! Sinting!” begitulah kutukan demi kutukan bergemuruh dalam dadanya. Sesak sekali rasanya.
“Aku mabuk saat itu, orang mabuk tidak pernah menyadari apa yang dilakukannya!” begitu Si Setan mencoba membela diri.
“Pergi kemana aku sekarang?” kata hatinya dengan bingung.
“Ke warung Bang Manap, mabuklah! Dengan mabuk, kau bisa melupakan semuanya!” bisik Si Setan.
Langkah kakinya bergerak menuju ke arah warung Bang Manap, tapi mendadak berhenti. Satu pikiran melintas tiba-tiba, “Kalau aku mabuk dan lupa diri, siapa yang tahu aku kembali pulang ke rumah dan…,” Plak! Ridwan menampar jidatnya. Bayangan-bayangan samar kejadian tadi berkecamuk dalam benaknya. Desahannya, rintihannya, jepitan panas dinding vagina yang kencang, tubuh yang sintal dan padat, basah berkeringat…, ahhhh.
“Bajingan sialan!” Hampir saja Ridwan membenturkan kepalanya ke tiang listrik, saking ingin menghancurkan bayangan-bayangan itu.
“Aku…, aku tidak boleh mabuk! Tidak boleeeh!” kepalanya digelengkan keras-keras. Langkahnya memutar arah, “Lalu ke mana aku sekarang?” desisnya kebingungan.
Banu! Ke rumah Banu! Desisnya kegirangan. Wajahnya berubah cerah. Banu sahabatnya, tentu mau menerima dirinya untuk menginap satu atau dua malam, sebelum ia bisa menjernihkan masalah gila yang tengah dihadapinya.
Dengan langkah tetap, akhirnya Ridwan menuju ke gang Haji Sholeh, di mana Banu, sahabatnya tinggal mengontrak hanya berdua ibunya, Bu Leha yang telah menjanda, setelah ayah Banu yang bekerja sebagai supir truk meninggal tabrakan tujuh tahun yang lalu.

Kontrakan Banu hampir sama dengan kontrakan Ridwan, berupa deretan petakan, hanya berbeda gang. Letak kontrakan Banu berada paling pinggir, menghadap gang lain yang menuju ke arah kontrakan RIdwan, Cuma lebih memutar. Sering Ridwan ikut menginap di rumah Banu, atau pun Banu menginap di rumah kontrakan Ridwan. Ke duanya memang bersahabat karib. Dan dia tahu benar, sepeninggalnya dia tadi, Banu tentu ikut pulang, tak pernah dia mabuk tanpa berdua dengan Ridwan.
Ridwan tahu persis kamar Banu, dengan pasti dia menuju letak kamar tersebut, dengan maksud mengetuk jendela kamarnya. Dalam keadaan suasana yang hening waktu menjelang subuh. Tangan Ridwan yang sudah terangkat hendak mengetuk, berhenti di udara. Dia mendengar suara-suara aneh di dalam kamar Banu!
Suara rintihan halus diiringi derit ranjang.
Ridwan mengerutkan keningnya. Apakah Banu sedang mengigau?
Walau pun keheranan, Ridwan meneruskan ketukannya.
Tok-tok-tok! “
Nu…, Banu!” panggilnya dari balik jendela.
Didengarnya suara rintihan itu tersirap berbarengan dengan tak terdengarnya derit ranjang lagi.
“Siapa?” terdengar suara bertanya dengan nada gusar, dari dalam kamar.
“Gue, Ridwan! Gue numpang tidur dong!” sahut Ridwan.
“Lho, bukannya lo udah pulang tadi?”
“Iya, Cuma kunci rumah gue tau jatuh di mana, gue ga bisa masuk, mau gedor pintu, nggak enak sama tetangga, kasihan juga ibu gue tentu udah tidur!” Ridwan memberi alasan.
“Ahhh, ganggu orang lagi molor aja lo!”
“Ayo lahhh, ngantuk banget gue!”
Tak terdengar jawaban, Ridwan seperti mendengar bisikan-bisikan halus dari dalam kamar.
“Ya udah,lo masuk dari depan, sial lu ah!” gerutu Banu.
“Lah, emang gue ga bisa masuk lewat jendela kamar lo?” Tanya Ridwan heran.
“Selot jendelanya macet. Bawel lo ah!”
Sambil garuk-garuk rambutnya, RIdwan memutar kembali, tiba di depan pintu rumah kontrakan Ridwan, pintunya sudah terbuka, tampak Muka Banu, tertekuk cemberut, tanda tidak suka.
“Soriii, Bro…,” kata Ridwan sambil nyengir, menepuk pundak kawannya lalu masuk mendahului Banu. Sekilas, ia seperti melihat sesosok tubuh yang melesat masuk ke kamar belakang, kamar Bu Leha, dan ia rasanya mengenal sosok itu, yang bukan lain Bu Leha sendiri. Walau pun sekilas, ia tidak mungkin salah lihat, sosok Bu Leha itu hanya berkain sarung, mungkin habis dari kamar mandi. Begitu pikiran Ridwan sambil masuk ke kamar Banu.
Di dalam kamar Banu, hidung Ridwan mengendus bau tajam, bau yang dikenalnya saat ia sedang bercinta dengan Si Ningsih, pelayannya Bang Manap, atau bau yang sama tajamnya dari tubuh ibunya tadi…, hhhh. Ridwan menenggelamkan kepalanya di balik bantal apek kepunyaan Banu. Dia tak mau berpikiran macam-macam, di saat pikirannya sendiri sedang dalam keadaan kacau.

Begitulah, selama beberapa hari dan beberapa malam, Ridwan menginap di rumah Banu. Tanpa sekali pun berani pulang ke rumahnya. Sering terlintas di benaknya, apa yang kemudian terjadi sepeninggalnya. Ia hanya mampu menebak-nebak dan tak pernah berani pulang ke rumah kontrakannya. Saat mabuk-mabukkan di warung minuman pun, Ridwan menjaga betul takaran minumnya. Ia khawatir lepas kendali, lalu pulang ke rumahnya dan melakukan hal gila kembali bersama ibunya. Walau pun,dari hatinya yang terdalam, sering terasa geliat aneh yang berdesir dan membuat hatinya berdebar-debar tak karuan. Diam-diam, di saat sedang tak ada kerjaan di bengkel dan jauh dari orang-orang, atau pun sedang tiduran di dalam kamarnya Banu, Ridwan mulai sering membayangkan wajah ibunya, dia seperti baru mengenal benar ibunya sekarang ini. Raut wajah ibunya yang cantik manis, bulat telur, dengan tahi lalat di bawah bibirnya yang mungil, juga lesung pipitnya yang menambah manis wajah kemayu keibuan, khas perempuan tanah Pasundan. Ia baru menyadari, betapa cantiknya ibunya. Membayangkan bentuk tubuhnya, membuat dada Ridwan menjadi sesak. Tubuh proporsional, padat dan sekal, dengan pinggul lebar dan pinggang ramping. Sampai di situ, Ridwan kembali memaki-maki dirinya kalang kabut. Apalagi saat dirasanya, penisnya selalu mengeras kaku kala ia tengah membayangkan tubuh telanjang ibunya yang berkilat, basah oleh keringat. Dengan sebal, sering diremas-remasnya batang penisnya itu.

Kalau sedang ereksi seperti itu, Ridwan pasti segera melampiaskannya ke Ningsih, pelayan Bang Manap, hanya sayang, sudah tiga malam, cewek itu tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Kalau kata Bang Manap, katanya, Ningsih sedang tidak enak badan, dan minta ijin untuk tidak bekerja. Jadilah akhirnya, Ridwan banyak menghabiskan spermanya di kamar mandi. Pernah terlintas pikiran gila lainnya. Di kala di rumah Banu, ada Bu Leha, ibunya Banu. Wanita berusia empat puluh tiga tahun, berkulit hitam manis, dengan tubuh sedikit gemuk namun padat. Bu Leha yang di rumah sering berpakaian sembarangan, pernah sekali waktu Ridwan tak sengaja melihat puting payudara gemuk Bu Leha yang menonjol dari balik pakaian tidurnya, menandakan perempuan setengah baya itu tidak memakai apa-apa di balik baju tidurnya. Untunglha pikiran Ridwan masih waras. Ia tak mau membuat rusak hubungan persahabatannya dengan Banu hanya karena napsu sesaat. Lagi pula ia menghormati Bu Leha selayaknya ibu kandungnya sendiri.
Begitulah kehidupan Ridwan dalam hari-hari selanjutnya, setelah kejadian gila tiga malam kemarin.

Pada malam ke empat, saat Ridwan dan Banu sedang nongkrong sambil minum-minum di warung Bang Manap seperti biasanya, Banu menatap ke sahabatnya itu yang sedang melamun.
“Lo nggak pulang-pulang ke rumah, emang ada masalah apa, Wan?” tanya Banu.
“Nggak ada apa-apa, gue lagi males aja pulang,” jawab Ridwan mencoba acuh.
“Soalnya nggak biasanya lo nginep di rumah gue lama,” ujar Banu lagi.
“Lo nggak mau terima gue nginep di rumah lo?” Tanya Ridwan tajam.
“Bukan begitu, lo mau tinggal di rumah gue sampe setaon juga, nggak apa-apa. Cuma gue nggak mau lo kabur dari rumah karena masalah. Kasihan orang tua lo, mereka ngandelin lo buat sehari-harinya. Cobalah selesein itu masalahnya, semarah-marahnya orang tua, nggak pernah mereka makan anaknya. Gitu lho,” kata banu panjang lebar.
“Kalo lo pengen tau. Gue yang makan ibu gue, Nu…,” keluh Ridwan yang tentu saja dalam hatinya.
“Pulanglah, minta maaf kalo lo emang salah, kasihan mereka!” kata Banu kembali. Kemudian lanjutnya, “Dan sori banget, Wan. Mala mini lo nggak bisa nginep di rumah gue, sodara-sodara gue dari kampung mau pada dating nginep di rumah kontrakan gue, jangankan elo, gue aja jadi susah mo tidur di mana, kalo sodara-sodara gue udah pada dateng. Jadi, saran gue, pulanglah ke rumah lo, selesein masalahnya, pasti beres!”
Ridwan tersenyum pahit, “Nggak semudah itu, Kawan!” serunya dalam hati.
“Ya udah, nggak apa-apa. Ntar gue pikir-pikir lagi,” jawab Ridwan kemudian.
“Ayolah semangat! Malem ini gue yang traktir minuman!” seru Banu dengan wajah senang.
Ridwan mengangguk lesu.
Jarum jam sudah menunjukkan ke angka sebelas, Banu pamit duluan, dia beralasan harus beres-beres rumah sebelum sodara-sodaranya datang besoknya.

Sepeninggal Banu, tinggalah Ridwan sendirian di warung minuman tersebut, ditemani Bang Manap yang terkantuk-kantuk menonton televisi. Keadaan malam itu sepi dari tongkrongan para pemabuk, ada beberapa yang singgah, hanya membeli minuman untuk di bawa pergi. Bingunglah Ridwan, pulang ke rumah, keberaniannya sama sekali belum terkumpul. Numpang tidur di warung minuman, malu.
Tiba-tiba terlintas pikirannya untuk mampir ke rumah kontrakan Ningsih, pura-puranya menengok, siapa tahu dia beruntung, cewek itu mau melayani hasratnya yang selalu meledak-ledak minta pelampiasan. Walau pun ia sedikit keder dengan bapaknya Ningsih yang tinggi besar dan bermuka seram. Tapi jam segini, bapaknya Ningsih tentu sudah tidur, tak mungkin bisa mengetahui kalau dia menyelinap masuk ke kamarnya Ningsih. Kalau pun tidak bisa, toh dia kenal dengan Anto, kakaknya Ningsih. Mungkin bisa dia meminta tolong padanya untuk bisa menginap di rumahnya.
Senang dengan idenya, Ridwan segera pamit pulang ke Bang Manap yang hanya mengangguk ngantuk.
***

Sementara tiga malam yang lalu. Sepeninggalnya Ridwan yang terbirit-birit kabur. Maya masih meringkuk di atas sofa dengan diselimuti baju tidurnya. Ada isak tertahan penuh penyesalan dari perempuan malang itu. Badannya terasa lemas, malas rasanya ia harus bangun dan membersihkan dirinya dari sisa-sisa senggamanya bersama Ridwan barusan. Dia ingin tertidur, melupakan semua yang dialaminya barusan. Kemudian bangun tidur dengan kenyataan bahwa dirinya baru saja bermimpi sangat buruk, atau mimpi yang …, indah dan nikmat! Kenikmatan yang terus mati-matian ditolaknya. Kenikmatan luar biasa yang kini tinggal sisa-sisanya dan oleh hasratnya berusaha dipertahankan sampai sisa terakhir. Hingga akhirnya, Maya tertidur, nyenyak sekali. Tanpa ingat bahwa dia masih dalam keadaan telanjang dengan sperma yang mulai mongering di vagina dan pangkal pahanya.

Pada malam pertama Ridwan tidak pulang. Kebetulan saat itu Maya sedang tidak bisa tidur, benar-benar gelisah dan terus kepikiran kejadian malam sebelumnya. Ada rasa takut dan malu, ada juga hasrat yang meledak-ledak dari hasrat birahinya yang menuntut untuk dipuaskan kembali. Makin malam, saat memejamkan mata, malah semakin terbayang debur ombbak birahi yangg dikayuhnya bersama Ridwan. Napasnya makin berat, dia merasakan sekujur tubuhnya merinding oleh hasratnya yang bergejolak. Dia melihat ke samping, ke tempat Rudi sedang mendengkur tidur, “Ini semua salahmu, Mas!” tuduh Maya dalam hatinya, “Gara-gara sakitmu, aku mengalami keadaan seperti ini!”
Dalam kegelisahannya, tiba-tiba dia mendengar ketukan halus di pintu.
“Ridwankah?” tanyanya dalam hati. Mendadak ia merasa malu hati, kenapa ia berani-beraninya mengharapkan Ridwan. Bukankah Ridwan punya kunci sendiri. Perempuan tak tahu malu, makinya dalam hati.
Ketukan halus itu kembali terdengar. Baru Maya teringat, itu tentulah si Pak Hendi!
Maya terduduk di samping tempat tidurnya. Haruskah ia menyambut dan melayani Pak hendi, apalagi dia sedang dalam keadaan membutuhkan belaian panas seorang laki-laki. Tapi ia benar-benar trauma, khawatir kalau ia melayani kembali hasrat Pak Hendi, ada yang mengintip kembali persetubuhan mereka.
“Tidak!” Maya menggelengkan kepalanya. Baru sekali saja ia berbuat mesum dengan suami orang sudah ketahuan. Entah bagaimana kalau ia masih nekad melanjutkan perselingkuhannya itu. Apalagi Si Pak hendi sama sekali tak mampu memuaskannya. Kecuali bantuan uangnya. Itu pun ditawarkan Pak Hendi saat tagihan yang punya kontrakan di depan pria gendut itu. Pak Hendi memang membantunya untuk meyakinkan yang punya kontrakan, bahwa bayaran kontrakan akan dibayarkan. Walau pun ujung-ujungnya di saat sepi tidak ada orang lain, Pak Hendi menawarkan bantuannya membayar tagihan kontrakan tapi dengan syarat Pak Hendi tengah malam mau datang bertamu. Dan terjadilah peristiwa itu, baru sekali itu dia berselingkuh, bagus ccuma ketahuan oelh Ridwan, anaknya. Kalau ketahuan lain orang, bisa jadi dia diarak keliling kampung seperti yang sering ia baca di surat kabar tentang penggerebegan pasangan selingkuh. Hiyyy! Maya bergidig ngeri.
Jelaslah, bahwa ia sekarang harus menolak hasrat Si pak Hendi, soal nanti uangnya diminta kembali, dia akan minta waktu untuk mengembalikan uang tersebut.
Setelah meyakinkan diri, Maya pun segera keluar kamar, menuju ke depan pintu. Pintu samasekali tidak dibukanya, ia hanya membuka gorden, dan dari kaca jendela ia melihat Pak Hendi sedang celingak-celinguk. Begitu melihat gorden terbuka dan Maya muncul di balik jendela, dia segera memberi isyarat agar Maya segera membuka pintunya. Tapi balasan Maya sungguh di luar dugaannya. Wanita itu menggeleng sambil memberi isyarat untuk Pak Hendi pergi. Jelas sekali pria itu menjadi jengkel, dia sudah bela-belain minum obat kuat demi memuaskan hasratnya menikmati tubuh sintal tetangga kontrakannya itu, tiba-tiba saja disurruh pergi, mana obat kuat itu sudah mulai bereaksi, pegal sekali penisnya terasa saat itu.
“Buka!” katanya tanpa suara. Hanya mulutnya saja yang mengisyaratkan kata yang diucapkannya.
Maya kembali menggeleng. Dia terus memberi isyarat yang makin sukarr dipahami. Panas hati Pak Hendi. Secara reflek, didorong urat berangasannya, ia menendang pintu.
“Brak!” keras sekali suara itu. Memecah keheningan di gang tersebut.
Pak hendi baru tersadar akibat dari perbuatannya itu. Tapi sudah terlambat. Maya mulai timbul keberaniannya, membuka pintu yang baru saja ditendang Pak Hendi. Entah ada keberanian dari mana, perempuan itu berani menghadapi Pak hendi yang terkenal berangasan itu.
“Saya sudah tidak mau melayani bapak! Dan uang itu akan saya kembalikan nanti!” kata Maya lantang.
Wajah Pak Hendi tampak merah padam, hampir saja ia menampar Maya saking malunya. Tapi tetangga kontrakan kiri-kanan dan sebrang, mulai bermunculan.
“Ada apa, Pak? Kenapa Bu Maya?” kata Pak Bandi, tetangga sebelah kiri kontrakan Maya. Sementara yang lainnya mulai berdatangan menghampiri mereka.
Pak Hendi merasa serba salah. Tapi Maya yang menjawab, “Ini Pak Hendi, meminjamkan uang kepada saya, tapi menagihnya tak tahu aturan. Tengah malam begini menagihnya, di saat orang sudah tidur. Apa maksudnya?”
“Oh, kirain kenapa. Sudahlah Pak Hendi, besok kan bisa. Lagipula kita bertetangga, tak baik ribut-ribut sesama penghuni kontrakan,” kata Pak bandi, sedikit maklum. Hapal ia akan sifat Pak Hendi yang ceriwis dan genit, tentulah ada apa-apanya dia menagih utang kepada Bu Maya malam-malam. Bu Maya memang wanita yang cantik manis dan bertubuh montok menggiurkan. Apalagi suaminya sedang terserang penyakit stroke bertahun-tahun. Tentulah ada udang di balik batu untuk pinjaman tersebut.
“Oxe, besok uang itu harus sudah ada!” bentak Pak Hendi, kemudian tanpa permisi membalikkan tubuhnya kembali ke tempat jaganya dengan langkah sedikit ngengkang, akibat penisnya yang sudah mengeras dan mengganjal celananya akibat reaksi dari obat kuat yang diminumnya.
Para tetangga yang menyaksikan mulai bergunjing sebelum masuk kembali ke kontrakan masing-masing. Yang terakhir tentulah Pak Bandi, “Ibu Maya, kalau memang butuh bantuan, bilang saja ke saya atau istri saya. Tentu dengan senang hati akan membantu, tak usah berpikir bahwa saya akan cari kesempatan seperti pak Hendi, ya Bu!” kata Pak Bandi tersenyum.
“Terima kasih banyak, Pak. Saya sungguh sedang bingung saat itu, dan saya tidak meminta, tapi pak Hendi yang menawarkan sendiri, saya pikir tidak ada apa-apa di belakangnya, tapi ternyata...,” jawab Maya sambil menghela napas panjang.
“Ya sudahlah, besok istri saya yang akan ambilkan uang buat membayar utang ibu ke pak Hendi. Bayarnya boleh kapan saja, oke?”
“Terima kasih banyak, Pak,” ujar Maya berlinang air mata.
“Sama-sama, saya permisi Ibu.”
“Silahkan, Pak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak!”
“Sama-sama, selamat malam!” pamit pak Bandi sambil tersenyum.
“Selamat malam, Pak!” Maya pun masuk kembali ke dalam dengan hati sedikit lega. Tiba-tiba ia teringat Ridwan, ke mana anak itu, kenapa belum pulang. Tanyanya dalam hati, terselip rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak dari hatinya.

Pertanyaan itu berubah menjadi kekhawatiran, saat malam-malam selanjutnya ia menyadari bahwa Ridwan sama sekali tidak pulang ke rumahnya. Dia tahu bahwa Ridwan sering pulang saat subuh, pernah pada malam yang ke tiga dia sengaja begadang, barangkali Ridwan pernah menyelinap pulang, dan berangkat kerja tanpa dirinya mengetahui.
Sepanjang malam Maya terjaga, tapi ternyata Ridwan tak pernah menampakan kepulangannya. Atas kekhawatirannya itu, pada siang harinya dia mencoba mencari tahu secara diam-diam ke bengkel tempat kerja anaknya. Lega lah hatinya saat dari kejauhan, dia melihat sosok Ridwan tengah bekerja di bengkel tanpa menyadari kehadirannya. Yang ia ingin tahu, di mana anak itu bermalam, atau mungkin di rumah temannya? Tapi siapa?
Akhirnya Maya memutuskan untuk membuntuti Ridwan ke mana ia akan menginap, agar tenang hatinya. Setelah menetapkan hati, ia segera beranjak pulang, untuk nanti kembali lagi, karena ia tahu, sepulang kerja Ridwan selalu rutin mengunjungi warung minuman untuk bermabuk-mabukan. Dan kebetulan sekali, dia berpapasan dengan Sobari, salah satu teman kerja yang dikenalnya.
“Eh, tante. Mau ketemu Ridwan ya?” sapa Sobari kepada ibu temannya itu.
“Ah, tidak. Tante habis dari pasar, kebetulan lewat aja. Tante boleh tanya ga? Kalau main biasanya Ridwan sama siapa, Nak Sobari?” tanya Maya hati-hati.
“Oh, Ridwan mah biasa ke mana-mana bareng solmetnya, Tante. Si Banu, mereka berdua udah kayak ban sepeda, berdua terus,” jawab Sobari tertawa-tawa.
“Banu? Banu anaknya Bu Leha yang mengontrak di gang Haji Soleh itu ya?”
“Tul. Bu Leha yang janda semok itu lho, tante, ha-ha-ha!”
“Hush! Ya sudah lah. Ga apa-apa. Terima kasih ya. Tolong jangan kasih tau Ridwan tante tanya-tanya sama kamu ya,” kata Maya wanti-wanti.
“Siap, tante. Tenaaang, rahasianya amaaan!” Sobari mengacungkan jempol sambil mengedip sebelah matanya.
“Genit kamu!” Maya mencubit tangan Sobari yang pura-pura meringis.
“Cubit lagi dong, Tante. Tapi jangan di sini,” kata Sobari lagi sambil cengengesan.
“Dasar!” umpat Maya sambil tersenyum, kemudian pamit kepada Sobari yang terus mengedip-ngedipkan matanya dengan genit.

Sambil melangkah pulang, benak Maya dipenuhi berbagai pikiran, betulkah Ridwan bermalam di rumah Banu, di rumah Bu Leha yang janda itu? Jangan-jangan..., hati Maya mulai panas. Kenapa ia merasa cemburu kepada Bu Leha? Ridwan itu anaknya. Dan..., hwuhhh. Maya menarik napas dalam-dalam. Mencoba membuang rasa cemburu dari hatinya.

Malam harinya, tumben Rudi suaminya belum juga tidur, padahal waktu sudah menunjukkan waktu pukul sebelas malam. Padahal menurut rencana, ia akan ke rumah Banu, memastikan Ridwan memang menginap di rumah kawannya itu, sekalian memastikan bahwa anaknya itu tidak mempunyai hubungan spesial dengan Bu Leha. Tanpa ia mengetahui, bahwa malam itu justru Banu tidak mengijinkan Ridwan untuk bermalam di rumahnya, dikarenakan rumahnya itu akan kedatangan sodara-sodaranya dari kampung.
Jam sebelas lewat, barulah suaminya terlelap, dengan memakai sweater, Maya akhirnya keluar rumah, berjalan kaki dengan tujuan menuju rumah kontrakan Bu Leha yang sudah dikenalnya. Di mulut gang, sungguh tak diduganya ia bertemu dengan Pak Hendi beserta teman-teman jaga malamnya.
“Nahhh, kawan-kawan. Ada yang jualan serabi hangat tuh. Siapa berani nawar, siapa tau dapet goceng!” seru Pak Hendi tertawa sinis. Menunjuk terus terang ke arah Maya yang berjalan tak perduli. Pria gemuk itu rupanya masih dendam dengan kejadian malam itu. Apalagi ia harus bersilat lidah menjelaskan tentang pengembalian uang pinjamannya dari Maya yang langsung dikasihnya di depan istrinya yang cerewet.
“Heyyy, Lonte. Berapa lu jual?” teriak Pak Hendi membuat panas kuping Maya. Belum lagi teman-temannya yang memanas-manasi sambil terbahak-bahak.
Maya menguatkan hati untuk terus tak peduli. Langkahnya makin dipercepat.
Si Pak Hendi tak terbiasa dibiarkan begitu saja, sambil mendengus marah, ia hampir saja mengejar Maya kalau saja tidak dicegat Rosid, teman jaganya.
“Ngapain ente ngejar-ngejar betina liar kaya gitu! Bentar lagi bini ente keluar pabrik, ganti shift, bisa habis ente dicakar bini kalo tau lakinya ngejar-ngejar betina lain, ha-ha-ha!” kata Rosid terbahak-bahak.
“Sial, sundal itu bener-bener belum tau siapa ane,” geram Pak Hendi marah-marah.
“Sudahlah, kapan-kapan kan bisa. Kalo perlu ane bantuin dah. Upah ane mah kaga mahal. seperti biasaaa…,” Rosid mengedipkan matanya.
“Kampret! Kemaren kurang puas apa jatah dari bini ane?” dengus Pak Hendi.
“Gimane mo puas, lah ente malah rame di depan kontrakan. Bini ente malah ketakutan, bukannya lanjut main malah ngusir ane!”
“Ente masih mending dapet pelampiasan, lah ane, kesiksa ma obat kuat! Tau ente diusir, mendingan ane balik ke rumah make bini!”
“Apes kite!”
“Iye, gara-gara Si Lonte sok jual mahal itu. Minta harga berapa itu memeknya! Dasar sundal!”
Begitulah percakapan dua preman kampung itu. Sementara Maya sudah memasuki gang Haji Soleh di mana kontrakan Banu berada.

Kalau saja Maya lebih cepat sedikit, tentu ia akan berpapasan dengan Banu yang pulang dari warung minuman sendirian, dan seandainya saja Maya mampir sebentar ke warung minuman itu, tentu ia akan bertemu dengan Ridwan yang berniat ke rumah Ningsih.

Maya dan Banu berjalan dalam jarak tak terlalu jauh, namun mereka sama sekali tidak saling menyadari. Dan Maya lah yang melihat Banu lebih dulu, teman anaknya itu terlihat sedang mengetuk pintu rumahnya. Dari balik bayangan rumah besar di samping gang, Maya mengawasi Banu dengan hati bingung.
“Banu kok sendirian? Di mana Ridwan? Jangan-jangan sudah di dalam rumah dari tadi!” begitu pikiran Maya. Hatinya mulai panas, rasa cemburu mulai merasuk hatinya. Di saat ia hendak berseru memanggil Banu, ada sesuatu kejadian di mana Maya melengak kaget.
Jelas sekali, di dalam penerangan lampu gang, pintu rumah terbuka, tampak Bu Leha berdiri di pintu yang sudah terbuka. Yang membuat kaget Maya adalah bahwa tiba-tiba saja Banu menunduk dan …, mencium bibir Bu Leha!

Maya sampai mengucek-ucek mataknya, saking tak yakinnya dengan penglihatan matanya. Tapi itu benar-benar terjadi. Ke dua anak beranak itu saling bepelukan dan berciuman sambil berjalan masuk ke dalam rumah kontrakannya. Dan pintu kontrakan pun tertutup rapat. Entah apa yang akan terjadi di dalam rumah kontrakan tersebut kemudian.
“Gila! Apa-apaan ini!” seru Maya dalam hatinya. Didorong rasa penasaran dan tak yakin benar akan apa yang barusan disaksikannya. Diam-diam Maya melangkah hati-hati ke depan kontrakan Banu, berusaha mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi.
Dari jendela kaca di samping pintu dengan tirai yang tak tertutup rapat. Ibu Ridwan itu mengintip dengan hati-hati ke dalam rumah kontrakan Banu. Hatinya berdebar-debar, tak henti-hentinya berseru keheranan dengan muka merah padam. Takjub betul dia melihat kejadian gila yang dilihatnya di dalam sana.

Di dalam sana, di atas selembar karpet, karena ruangan tamu Banu sama sekali tak terdapat kursi, hanya dialasi oleh karpet yang menghadap ke televisi. Terlihat oleh Maya, Banu sedang menghisap-hisap puting payudara gemuk Bu Leha! Sementara jari-jari Banu tampak sedang mengocok-ngocok selangkangan Bu Leha.
“Owh sayang! …, ouwh sayang!” terdengar erangan samar dari Bu Leha yang tampak mengap-mengap seperti kehabisan napas. Kain sarung yang melilit alakadarnya tubuh montok itu telah tergulung di bawah perutnya.
Tangan dari Bu Leha dengan cepat membuka ikat pinggang celana Banu, setelah melonggar pelorotkannya celana anaknya itu sampai turun ke lutut. Dan tangan Bu Leha mengocok-ngocok sesuatu, tak terlihat dari posisi Maya mengintip.
Jilatan Banu sudah naik ke leher Bu Leha, menghisap dan menggigit, tak lama kemudian ke dua bibir anak beranak itu saling bertemu, berpagutan panas sampai terdengar berdecap-decap ke kuping Maya.
“Dasar keluarga gila!” seru Maya dalam hatinya. Lalu tiba-tiba ia menjadi malu hati, teringat ia pernah diperkosa dua kali oleh Ridwan anaknya, dan sejujurnya ia menikmati perkosaan tersebut. Kini, hasrat birahinya mulai bangkit dan bergejolak, melihat persetubuhan terlarang antara Banu dan Ibunya. Entah apa yang terjadi, peristiwa yang tengah disaksikannya ini telah secara ekstrim merubah pengetahuan tentang apa yang disebut moral. Ada rasa bahagia dan senang, bahwa ia ternyata tidak sendirian. Yang berbeda adalah dalam perlakuannya. Maya sedikit iri dengan perlakuan Banu kepada ibunya yang begitu lembut penuh kasih sayang. Tak sekasar perlakuan Ridwan.
“Ikh!” hampir saja Maya menjerit. Saat melihat Banu berdiri hampir telanjang dengan selangkangan menghadap ibunya. Pantat Banu tampak bergoyang-goyang dengan tangan agaknya memegang kepala ibunya yang tengah…, sepertinya sedang mengulum penis Banu!
“Sungguh kurang ajar dan tidak sopan!” kutuk Maya dalam hatinya. Tidak pernah dibayangkannya ada kejadian seperti itu, seorang wanita mengulum penis laki-laki, walau pun itu hubungan yang sah, dia tak pernah dapat membayangkannya. Maya bergidik ngeri. Ketahuanlah, bahwa ternyata Maya masih sangat awam dalam pengetahuan soal bercinta, yang ia tahu hanya lah si wanita pasrah saling menerima kelamin sampai selesainya pihak si pria memberi sperma di dalam vaginanya. Bahkan rasa orgasme pun, baru dialaminya dua malam berturut-turut dalam pelukan Ridwan anaknya.
Membayangkan bahwa ia mengulum penis besar Ridwan, seperti yang dilakukan Bu Leha, mendadak seluruh tubuh Maya merinding. Merinding yang nikmat. Persis seperti seorang pria membayangkan dapat meremas dan menghisap payudara perempuan. Sebetulnya aneh juga. Karena seharusnya, yang merasakan kenikmatan adalah si obyek bukan subyek. Tapi itulah kehebatannya rasa, rasa nikmat menjadi milik subyek dan obyek sekaligus. Itulah yang dirasakan Maya saat ini. Ia merasakan vaginanya mulai basah, sementara birahinya makinmemuncak. Pikiranya melayang membayangkan Ridwan, membayangkan penisnya yang berurat kekar. Napasnya mulai memburu.

Sementara di dalam sana, banu mulai melenguh dan menggeram, pantatnya bergerak makin cepat. Lalu tiba-tiba, tubuh Banu menjengking, ke dua tumit kakinya terangkat dengan kepala terdongak.
Sepi sejenak.
Saat tubuh Banu terduduk kemudian di samping tubuh montok Bu Leha, barulah Maya melihat mulut Bu Leha menggembung, ada sebagian cairan putih berleleran di dagunya.
Maya menjengit jijik. Saat melihat Bu Leha seperti menelan cairan yang bisa dipastikan sperma dari banu, anaknya, “Bu Leha gila!” makinya dalam hati. Sementara jari-jarinya menyelusup ke balik celana dalamnya, mengusap-usap vaginanya yang telah licin oleh lendir kewanitaannya.
Sepasang mata Maya tetap mengawasi ke dalam.
Bu Leha tampak bersender di bahu Banu, sambil mengelap penis Banu dengan memakai kain sarungnya. Dengan kain sarung itu pula ia mengelap sisa sperma yang menetes di dagunya.
Mau tak mau, Maya bisa melihat ukuran penis Banu, tiba-tiba saja ia bangga dengan penis Ridwan yang ternyata lebih besar dan lebih kekar dari penis Banu. Pikiran yang tiba-tiba membuatnya tersipu malu. Ah, ia benar-benar rindu kepada Ridwan. Di mana anak itu sekarang? Karena jelas sekali anaknya itu tak ada di dalam rumah kontrakan Banu.

Saat pikiran Maya sedang bertanya-tanya. Dilihatnya Bu Leha seperti sedang mengocok-ngocok kembali penis Banu, ibu dan anak itu berciuman bibir dengan rakusnya. Tangan Banu pun tak tinggal diam, yang satu meremas-remas payudara gemuk ibunya, yang satu lagi mengocok-ngocok vagina ibunya yang berbulu lebat. Sungguh vagina yang gemuk dan tebal. Puas berciuman, Mulut Banu turun ke bawah, menelusuri leher ibunya, makin menunduk ke belahan payudaranya, sementara penisnya telah kembali mengacung tegak, dikocok tanpa henti oleh Bu Leha. Pemandangan yang sungguh menakjubkan buat Maya. Lebih hebat sensasinya dibandingkan saat ia dipaksa menonton film mesum orang barat oleh Ridwan, pada malam pertama perkosaannya.

Ke dua tubuh itu seperti ular yang saling membelit, hingga tiba saatnya, ketika Banu menarik pantat besar ibunya. Bu Leha seperti sudah faham, ia segera mengganti posisinya menjadi menungging, menghadap pintu kamar anaknya, kalau dari sudut pandang Maya, dia melihatnya dalam posisi menyamping. Sehingga dengan jelas dia melihat Banu menyodok vagina ibunya dari arah belakang.
“Apa-apaan lagi ini?” seru Maya dalam hatinya. Jelas dia tak mengerti posisi-posisi bercinta selain laki-laki di atas dan si perempuan di bawah. Posisi yang saat itu dilihatnya adalah posisi yang baru dikenalnya, tapi cukup untuk merasakan vaginanya berdenyut panas.
Dengan dada sesak oleh desakan birahinya yang mulai meledak-ledak, Maya melihat Banu menyodok cepat ibunya dari belakang, sambil sesekali tangannya menabok pantat besar ibunya itu.
“Plak! Plok! Plak!” Bu Leha terdengar mengerang-ngerang halus. Sesekali menggigit bibirnya dengan mata meram melek. Jelas kelihatan wanita setengah baya itu sangat menikmati sodokan kencang penis anaknya.
Tubuh ke duanya telah basah oleh peluh. Lumayana lama, Banu dan ibunya bercinta dalam posisi tersebut, sampai terlihat Bu Leha pinggangnya melenting, dan sesaat kemudian ambruk ke atas karpet dengan napas terengah-engah, ke dua payudara gemuknya tergencet tubuh montoknya.
Hampir bersamaan dengan ambruknya tubuh Bu Leha, Banu seperti kesetanan menyodok pantat ibunya. Dan sesaat kemudian, pantat Banu menekan dalam-dalam sambil melenguh panjang. Lalu tubuhnya ikut ambruk menindih tubuh ibunya dari atas, hingga tubuh ke duanya terguling berdampingan, dengan salah satu kaki Bu Leha naik ke atas tubuh Banu, sehingga terlihat jelas oleh Maya, penis Banu masih terjepit vagina ibunya yang masih melelehkan sperma Banu.

Saat itu pula Maya menggigit bibirnya untuk menahan erangan kenikmatan atas kocokannya sendiri di vaginanya. Otot-otot perutnya mengeras, menahan kontraksi dari semburan kenikmatan yang tengah menguasainya. Dua jarinya masih tenggelam dalam lubang vaginanya yang sedang berdenyut dan mengalirkan cairan orgasme, saat terdengar suara ketokan tukang bakso keliling di ujung gang.
Dengan napas masih memburu, Maya cepat-cepat bangkit, karena Banu dan ibunya tampak bangkit sambil berpelukan masuk ke kamar. Dengan terburu-buru takut Si Tukang Bakso sampai ke tempatnya dia mengintip barusan, setelah menenangkan napasnya, dia berjalan kembali menyusuri gang, meninggalkan rumah kontrakan Banu, dengan pengetahuan baru. Maya manggut tersenyum kepada tukang bakso yang berpapasan di gang.
Sesampainya di mulut gang, Maya berdiri kebingungan. Ia bermaksud pulang ke rumahnya, tapi merasa segan saat ia teringat harus melewati lagi tempat di mana ia tadi digoda Pak Hendi, ada jalan lain untuk menuju rumah kontrakannya tanpa harus melewati tempat jaga Pak Hendi, hanya saja jalannya memutar lebih jauh, dan juga melewati warung minuman Bang Manap.

Secercah harapan muncul saat teringat kemungkinan ia bisa bertemu Ridwan di warung minuman itu. Diam-diam Maya merutuki keterlambatan berpikirnya, kalau saja ia terlebih dahulu mampir ke warung minuman Bang Manap, tentulah ia tidak akan menonton persetubuhan tabu Banu dan ibunya, tapi segera ditepisnya penyesalan itu. Kalau mengintip persetubuhan terlarang itu ternyata telah membuka wawasan baru di benaknya. Wawasan yang telah menghiburnya atas perasaan bersalah karena telah melayani napsu birahi anaknya.

Waktu telah menunjukkan lewat tengah malam, saat Maya tiba di warung Bang Manap. Keadaan telah sepi, selain si pemilik warung, tak ada orang lain yang dilihatnya nongkrong di warung tersebut. Entah di manakah Ridwan saat itu, atau diam-diam anak itu telah pulang ke rumah tanpa setahunya. Sungguh! Ia tak pernah sekali pun memeriksa kamar anak itu, karena rasa bersalahnya sering mengingatkan di kamar itu ia pernah melayani Ridwan.
Mendapat pikiran seperti itu, Maya yang tadinya hendak menghampiri Bang Manap untuk menanyakan kabar Ridwan, mengurungkan niatnya. Dengan langkah terburu-buru, ia meninggalkan warung minuman tersebut dengan tujuan hendak langsung pulang ke rumahnya dengan harapan Ridwan memang sudah ada di rumah.

Gang yang dilaluinya malam itu memang bukan gang yang biasanya sering dilewatinya. Gang itu terlalu memutar-mutar, terlalu banyak persimpangan, belum lagi gangnya yang sempit sekali. Satu persimpangan lagi, maka akan sampailah ia ke depan rumah kontrakannya. Maya makin mempercepat langkahnya, saat tiba di persimpangan terakhir, tiba-tiba saja ada sosok lain yang yang juga melangkah cepat dari arah gang lain, jelas tak terlihat, karena persimpangan gang itu tertutupi tembok-tembok rumah yang tinggi-tinggi.
Keduanya bertubrukan. Maya menjerit kaget, tubuhnya yang lebih kecil hampir terjatuh ke selokan kalau tidak dengan sigap, sosok yang menabrak, meraih pinggangnya dengan cepat.

Di tengah kekagetannya, Maya menengadah, ingin melihat wajah sosok itu, dan ia segera berseru tertahan;
“Rr-Ridwan?”
“Ii-buuu?”

***
 
:baca: dulu:
 
Ridwan udh sadar jgn2 ibunya yg malah menggoda, jadwal updatenya brp hari sekali ni hu?
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd