DUA
BU YASINTA
Konon, karakter asli seseorang akan kelihatan di saat situasi sulit, dalam tapal batas ketidakberdayaan. Dan sekarang aku percaya itu. Hanya dalam waktu tiga hari berkenalan dengan Tea, Bu Sukma, dan Bu Yasinta, aku sudah bisa mengenali dan memahami karakter mereka. Mudah? Tidak!!! Keberadaan mereka seringkali membuat situasi hidupku yang sulit malah semakin sulit. Aku seperti harus mengasuh tiga orang dewasa yang memiliki keunikan masing-masing.
Tea adalah gadis cantik dan pintar, namun perasaannya gampang rapuh. Tinggal diam tanpa banyak beraktifitas membuatnya cepat bosan dan bad mood. Juga banyak galau dan nangis sendiri ketika merindukan keluarga dan kekasihnya. Komunikasi memang lancar. Ia bisa menelpon atau video call, tetapi hanya dalam hitungan jam sikap riangnya bisa kembali berubah murung. Mendengar dan melihat tidaklah cukup baginya, kerinduannya adalah perjumpaan. Ia ingin segera berjumpa dan berada di tengah keluarga; juga ingin berjumpa dan dekat dengan Bagas sang kekasih.
Bu Yasinta adalah yang paling unik. Sikap sombong dan selalu merasa diri paling benar tidak pernah bisa hilang. Emosinya cepat meluap ketika pendapatnya disanggah atau keinginannya tidak bisa dikabulkan. Karakter boss bertipikal otoriter sangat melekat dalam dirinya. Di sisi lain yang kontras dengan itu, jiwa melindunginya cukup kuat. Ia sangat melindungi dan memperhatikan kebutuhan Bu Sukma dan Tea dengan caranya. Benar kata orang: “Hal paling menjengkelkan adalah ketika seseorang melakukan sesuatu yang baik untuk kita, tetapi caranya salah.” Itulah dia! Perhatian dan sikap pedulinya seringkali malah membuat kami bertiga tersulut emosi.
Bu Rahma? Dia adalah yang paling kalem dan keibuan. Sikap dan tutur katanya lembut. Boleh dibilang cukup sabar dan terlihat paling tegar. Tapi di balik semuanya itu, ia adalah yang paling suka menyendiri. Dia adalah family mom. Yang ada dalam pikirannya hanya suami dan anak-anak. Ia lebih memikirkan keluarga daripada keadaannya sendiri.
Dan tiba-tiba saja.. dalam tiga hari ini aku harus bergaul dengan tiga wanita betipe seperti itu. Kadang terasa merepotkan. Satu-satunya hiburanku adalah bahwa mereka tidak demam atau menunjukan gejala sakit lainnya. Itu sudah cukup bagiku.
Memasuki hari keempat aku bangun siang. Kemarin malam aku dan Tea sudah belanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari. Jadi aku tidak harus menemui mereka pagi ini. Jam sepuluh aku baru selesai mandi. Kubuka laptop sambil menikmati secangkir kopi. Kubuka beberapa berita di internet, kubrowsing juga beberapa artikel yang bisa kujadikan referensi tugas akhir.
Tak lama berselang smartphone-ku bergetar. Sigap aku mengangkatnya karena pihak Dinas Kesehatan menelpon.
“Pronto.”
“Buongiorno, Signor Alle.” terdengar suara seorang wanita.
“Buongiorno, Signora….”
“Chiara.”
“Buongiorno, Signora Chiara.”
Setelah saling bersalam sapa, wanita bernama Chiara itu mengutarakan maksudnya menghubungiku.
“Kami sudah mendapatkan hasil lab atas nama Signora Sukma, Signora Yasinta, dan Signorina Tea. Kami pikir kamu boleh tahu agar kamu bisa membantu mereka, tapi ini rahasia. Apakah kamu bisa merahasiakannya?”
“Ya, saya akan merahasiakannya. Katakalah.” jawabku.
Kuseruput sisa kopiku. Biar bagaimana pun aku cukup tegang menanti berita yang akan Bu Chiara sampaikan, dan berharap bahwa hasilnya baik-baik saja.
Setelah mendengar kesanggupanku, Bu Chiara pun berkata, “Bagus kalau begitu. Mereka belum tahu, dan kami akan menelpon mereka setelah ini. Untuk hasilnya….”
“Signora Yasinta negatif.”
Aku menghela nafas lega mendengarnya.
“Signora Sukma juga negatif.”
Aku semakin lega.
“Bagaimana dengan Tea?” aku tidak sabar.
“Bagaimana kondisi dia sekarang?” ia malah balik bertanya.
“Kondisinya baik. Selama ini aku tidak melihat gejala sakit pada gadis itu.” jelasku.
Kudengar Bu Chiara menghela nafas, ujarnya, “Sehat belum tentu tidak terinfeksi, Signor Alle. Hasil labnya menunjukan positif.”
Degh!!
Dudukku langsung kaku mendengar penuturan Bu Chiara. Wajah Tea langsung terbayang, dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana shock-nya gadis itu ketika mendengar hasil labnya. Untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar, kutanyakan sekali lagi. Dan jawabannya tetaplah sama.
“Apakah dia perlu dirawat di rumah sakit?” tanyaku lemah.
“Kalau kondisi sekarang dia baik, dia tidak perlu dirawat, tapi harus isolasi lokal.”
Bu Chiara pun menjelaskan langkah-langkah yang harus Tea lakukan, dan juga tindakan-tindakan preventif yang harus kubuat selama membantu dia. Ia juga menjelaskan bahwa yang terpenting aku harus membantu menjaga kondisi mental Tea supaya daya tahan tubuhnya tetap terjaga. Semakin stress seseorang, maka daya tahan tubuhnya akan melemah, dan itu akan semakin memudahkan virus untuk menyerang.
Aku dan Bu Chiara berbicara panjang lebar, dan baru setengah jam kemudian kami mengakhiri percakapan.
Kuputuskan untuk keluar kamar dan menemui Bu Sukma dan Bu Yasinta terlebih dahulu. Sambil menyusuri lorong pandanganku menyapu seluruh gedung. Sunyi dan sepi. Padahal hampir semua apartemen sudah terisi. Sebagian besar adalah warga asing yang diwajibkan menjalani karantina. Aku begidik. Keadaan menjadi mencekam sekalipun di siang bolong.
Bu Sukma membukakan pintu dan langsung mempersilakanku masuk sambil memberi kode dengan jari supaya tidak berisik. Aku paham, kulihat Bu Yasinta sedang menelpon. Aku langsung menduga ia sedang dihubungi petugas karena isi percakapannya, juga bahasanya yang menggunakan bahasa Inggris.
Aku dan Bu Sukma duduk di hadapan Bu Yasinta. Cukup lama kami menunggu, dan berakhir ketika Bu Yasinta menutup telpon sambil berteriak girang. Ia langsung mengabarkan hasil bahwa ia dan Bu Sukma dinyatakan negatif. Dua wanita itu saling berpelukan penuh bahagia.
Rasa syukur pun mereka ungkapkan. Bu Sukma malah berkaca-kaca karena saking senangnya. Aku? Senang ini ada, tetapi tetap saja aku bersedih karena Tea tidak mengalami nasib baik seperti mereka.
“Kita pulaaang.” pekik Bu Yasinta.
Mendengarnya aku hanya tersenyum kecut. Bu Sukma adalah yang pertama melihat kekakuanku.
“Kenapa, Le?”
Bu Yasinta ikutan menatapku dengan heran.
“Alle?!” Bu Sukma berubah khawatir.
“Selamat, ya Bu. Ibu berdua dinyatakan negatif, tapi…” aku menelan liur.
“Kenapa Tea?” Bu Yasinta langsung menduga.
“Alle?!” Bu Sukma berubah panik.
“Tea.. Tea.. ia dinyatakan positif.”
“Apaa?!!!”
Bersama ibu-ibu apapun bisa menjadi drama. Setelah saling berpelukan dan menangis bahagia, kini berganti pekik histeris penuh ketakutan. Titik air mata bahagia Bu Sukma berubah tangis sedih; Bu Yasinta mengerang kecil sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
Tik tok tik tok.
Dua wanita yang tadi berbahagia, kini saling menangis menutup muka. Aku hanya mematung tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Memeluk mereka takut ditabok.
“Kita temui Tea.” Bu Yasinta berdiri sambil mengusapi wajahnya dengan kasar.
“Sebentar, kita bicara dulu.” aku mencegah.
Biar bagaimana pun secara prosedural kami harus menjaga jarak dengan Tea. Aku masih memikirkan etika Indonesia, tapi itu membuat dilema. Menemaninya tanpa masker pelindung akan membahayakan diri kami sendiri, tetapi jika memakai masker dan menjaga jarak bisa membuat Tea tersinggung dan semakin terpuruk.
Bu Yasinta menuruti usulku dan kembali duduk, tapi ia langsung marah-marah tidak jelas. Semua pihak disalahkan, termasuk pihak berwenang yang tak satu pun yang datang. Memberi kabar pun hanya melalui telpon. Sikap berapi-api Bu Yasinta malah membuat Bu Sukma menangis kembali. Ia nampak begitu stress dan frustasi. Hasil labnya yang negatif tidak lagi menjadi kabar yang menyenangkan.
“Bu Yasinta tenang dulu, kita bicarakan dengan kepala dingin. Lagi pula, sistem di sini sudah tertata secara baik. Mereka tahu kapan harus datang, dan kapan hanya menghubungi melalui telpon. Kalau semua kasus harus dibawa ke rumah sakit, maka semuanya akan semakin chaos, rumah sakit tidak akan mampu menampung pasien lagi. Mereka memiliki prioritas.” aku berusaha menenangkan.
Kalau Bu Yasinta masih menggerutu, Bu Sukma mulai memanggil nama suami dan kedua anaknya di tengah tangis. Keduanya tidak membantuku mencari jalan keluar. Sampai akhirnya…
“Bu Yasinta, Bu Sukma… Sampel lab kalian diambil empat hari yang lalu, dan hasilnya baru keluar hari ini. Apa yang kita lakukan selama menunggu hasil lab? Kita sering berkumpul tanpa menjaga jarak, petugas tidak tahu tentang ini. Artinya, bisa saja kalau diperiksa ulang, kita semua sudah positif.”
Ucapanku sukses membuat Bu Yasinta dan Bu Sukma diam. Keduanya duduk lesu menatapku.
“Apapun itu, yang terpenting sekarang adalah bagaimana menemani Tea agar dia tegar dan tetap semangat.” ujarku lagi.
Bu Yasinta yang sudah agak tenang berujar, “Menurut penjelasan petugas tadi, secara teoritis saya dan Bu Sukma bisa pulang ke Indonesia sambil membawa surat keterangan. Tapi apakah kita tega meninggalkan Tea?”
“Jadi kita akan tetap tinggal di sini sampai Tea dinyatakan negatif?” Bu Sukma berbicara pelan seolah sedang berkata pada diri sendiri.
“Sebelum kita bertemu Tea, sebaiknya kita menyamakan persepsi dulu. Jangan sampai kita malah berdebat di depan dia.” aku menyampaikan usulan.
Drama kembali terjadi. Kedua wanita di hadapanku saling berdebat. Bu Sukma langsung setuju untuk menunda kepulangan, sedangkan malah Bu Yasinta yang plin plan, ia ingin pulang. Kupret!!!
Butuh waktu untuk menyamakan suara, meski pesertanya hanya berdua. Setengah jam kemudian baru ada kata sepakat, keduanya tidak akan pulang ke Indonesia jika tidak bersama Tea. Akhirnya aku bisa bernafas lega.
Setelah sepakat, kami bertiga menuju apartemen Tea. Meski agak berlawanan dengan suara hati, kami bertiga mengenakan masker.
Kami bertiga langsung menghambur masuk ketika mendengar suara tangisan di dalam. Beruntung pintunya tidak dikunci, mungkin Tea sempat keluar untuk mencariku.
Lari kami langsung terhenti ketika melihat Tea sedang duduk di atas lantai. Menangis tersedu sambil memeluk lutut.
“Tea.. Kamu tenang, ya sayang.” adalah Bu Sukma yang pertama bersuara. Tanggungjawabnya sebagai pimpinan gadis itu sekaligus rasa keibuannya membuat ia nampak lebih tenang.
“Kalian jangan mendekat! Hiiiks…” tiba-tiba Tea mengangkat muka, wajahnya bersimbah air mata. Tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah kami bertiga. Tampangnya sangat mengkhawatirkan, sinar hidupnya seolah sirna.
“Hei.. kamu jangan begitu. Ayo duduk.” Bu Sukma tidak menggubris, ia semakin mendekat dan menarik tangan Tea.
Gadis itu meronta dan beringsut mundur sampai ke pojokan. Sedih, marah, dan takut terbias dari raut wajah dan sorot matanya.
Kalau dalam keadaan normal mungkin Bu Sukma akan merangsek dan memaksa memeluk Tea, tapi tidak kali ini. Simpati dan empati bercampur dengan rasa takut. Kami akhirnya kebingungan sendiri dan hanya saling mematung sambil melihat Tea yang kembali menangis.
Kuputuskan menuju dapur dan membuat susu panas. Lalu kubawa dan kusodorkan pada Tea.
“Kamu minum dulu biar tenang.” ujarku.
“Jangan mendekat!” hardik Tea.
“Kamu jangan terlalu takut, Tea. Kami tidak menganggap kamu sebagai virus, tapi kamu adalah manusia, sesama kami, saudara kami.” Bu Sukma menyahut dari sampingku.
“Iya, Tea. Kalau kami tidak sayang kamu, kami tidak akan ada di sini.” Bu Yasinta menambahkan.
Tea menatap kami bertiga bergantian. Tangannya akhirnya terulur menerima gelas yang kusodorkan. Keadaannya sangatlah memprihatinkan, ingin rasanya aku mendekat untuk sekedar menggenggam tangannya dan memberi kekuatan. Tapi Tea malah semakin merapat ke tembok ketika salah satu dari kami mendekat.
Kami terdiam sambil menunggu Tea menghabiskan susunya. Setelah melihatnya lebih tenang, kuminta Tea berdiri dan duduk di atas kursi. Ia menurut, dan kami duduk berjauhan atas permintaan Tea sendiri.
“Tea, virus itu tidak akan menular melalui sentuhan.” ujarku. Kujelaskan kembali bagaimana cara kerja virus ini, sebuah informasi yang sebetulnya sudah saling kami tahu melalui penjelasan petugas yang menelpon, juga melalui berbagai informasi di internet.
“Iya, Tea. Maafkan kami kalau kami memakai masker, tapi ini adalah cara terbaik untuk saling melindungi. Tapi bukan berarti kita harus saling menghindari.” Bu Sukma ikut menenangkan Tea.
Setelah saling bersahut-sahutan menguatkan, akhirnya Tea bisa lebih tenang. Ia sebetulnya hanya kecewa atas hasil pemeriksaan labnya, bukan karena takut pada virus itu sendiri. Atas inisiatifnya, ia pun mengenakan masker dan nampak lebih rileks saling berbicara dari hati ke hati.
Namun drama kembali terjadi ketika Bu Yasinta menyampaikan bahwa ia dan Bu Sukma akan tetap tinggal sampai Tea dinyatakan boleh pulang ke Indonesia. Mereka mengalami nasib dan situasi yang sama, dan harus pulang ke Indonesia secara bersama-sama. Sementara Tea justru sebaliknya, ia meminta Bu Yasinta dan Bu Sukma segera pulang sebelum situasi di tanah air sendiri semakin tidak terkendali. Saat ini semuanya tidak bisa diprediksi. Perdebatan panjang terjadi, dan berakhir tanpa kesepakatan. Semua bertahan dengan pendapat masing-masing.
“Aku masih sendiri. Tapi Bu Sukma dan Bu Yasinta punya keluarga.” Tea masih bersikukuh.
Diam-diam aku semakin mengagumi gadis ini. Di balik keterpurukannya, ia masih memikirkan kepentingan orang lain.
Ucapan Tea tentu saja membuat Bu Yasinta dan Bu Sukma nampak bimbang kembali. Kebulatan hati mereka untuk tetap tinggal nampak goyah. Mulutku terbuka untuk menyampaikan pendapat, aku siap membantu Tea sampai ia dinyatakan negatif dan boleh pulang. Tapi Bu Sukma berujar lebih cepat, “Kalau saya sendiri belum bisa memutuskan sekarang, saya mau bicara dulu dengan keluarga saya dan perusahaan.”
“Alle, kamu bisa membantu menghubungi pihak KBRI dan meminta pendapat mereka?” kali ini ucapannya ditujukan padaku, dan kusanggupi dengan anggukan.
Sebetulnya kami masih ingin ngobrol dan tidak berniat meninggalkan Tea, tapi gadis itu meminta kami pergi. Ia butuh waktu untuk menyendiri, juga ingin berbagi kabar dengan keluarganya. Akhirnya kami pun bubar setelah menyakinkan bahwa Tea akan baik-baik saja. Bu Sukma menyanggupi untuk masak makan siang, dan akan mengantarnya ke kamar kami masing-masing.
“Tea..” aku yang keluar terakhir memanggil gadis itu.
“Iya, Le?”
“Ingat kamu bukan virus, kami sayang kamu.” ujarku.
Tea mengangguk sambil berusaha tersenyum. Dia tidak tahu saja bahwa jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin mengganti kata “kami” dengan “aku”.
Setibanya di kamar, aku menghubungi seorang pejabat KBRI. Kukabarkan situasi dan kondisi mereka bertiga, dan rupanya pihak kedutaan pun sudah memperoleh informasi. Hal ini semakin memudahkanku dalam memberikan penjelasan. Soal apakah Bu Sukma dan Bu Yasinta memutuskan pulang atau tidak, itu diserahkan kepada mereka berdua, yang pasti ada plus minusnya baik untuk pulang maupun untuk yang ditinggalkan. Intinya, pihak kedutaan sendiri yang akan menemui dan berbicara dengan mereka sehingga aku sangat lega mendengarnya.
*
*
*
Di depan kamar setiap apartemen ada balkon kecil yang disekat oleh tembok pembatas di bagian kiri dan kanannya. Sebetulnya balkon ini sangat sempit dan tidak berfungsi sebagai tempat nongkrong, melainkan hanya untuk mempermudah penghuni jika ingin membersihkan kaca bagian luar. Dua hari ini, aku sering berada di balkon untuk mengamati keadaan Tea. Aku tidak ingin ia menunjukan sikap tegar di depan orang lain, tapi terpuruk ketika sendiri. Lama-lama Tea tahu kalau aku sering “mengintip”, akhirnya ia sendiri sering berada di balkonnya dan ngobrol berdua dengan berbataskan tembok setinggi dada. Sudah dua hari ini Tea membentengi diri dan tidak mengijinkan kami berkunjung ke kamarnya.
Seperti senja ini, kami berdua ngobrol sambil menyantap spagheti masakanku. Menikmati birunya langit senja yang seolah datang menghibur manusia yang dirundung sepi dan takut. Aku senang, karena meskipun dinyatakan positif mengidap Covid19, Tea nampak baik-baik saja. Makan dan istirahat teratur membuatnya bertahan, ditambah olahraga setiap malam dengan melakukan yoga di kamarnya.
“Masakanmu enak juga, Le.” ujarnya sambil menghabiskan isi piring.
“Pasti donk.” sombongku.
“Nyesel muji!”
“Hehe…”
Tea masih melanjutkan makannya, kesempatan ini kupakai untuk menatapnya. Sungguh cantik. Keadaannya yang seperti sekarang malah tidak membuatku iba, melainkan semakin kagum. Masa karantina membuatnya nampak semakin dewasa, dan lebih santai menghadapi hidup. Itu kurasakan dari caranya berpendapat dan berbicara.
“Kamu tidak berencana pulang dulu ke Indo, Le?” tiba-tiba ia bertanya.
“Nggak, aku di sini aja sampai selesai kuliah. Itu pun gak tahu sampai kapan kami bisa masuk kampus lagi.”
“Loh kenapa? Walaupun sama-sama menghadapi wabah, bukannya akan lebih baik berada di negeri sendiri, berada di tengah keluarga?”
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Jangankan punya uang untuk membeli tiket pesawat, bisa bertahan hidup sampai sebulan ke depan pun aku tidak yakin.
“Aku di sini aja, Tea.” ujarku sambil menatap ke kejauhan.
“Oh.” singkatnya.
Dari sudut mataku terlihat Tea menatapku lekat, tapi aku pura-pura tidak melihat. Aku malah merasa jengah, dan sebelum ia bertanya lagi, aku pura-pura mengembalikan piring sambil mengambil minum.
Tea masih berada di posisinya yang sama. Matanya jauh memandang pada kaki langit yang bersemburat merah. Rambutnya yang sedikit pirang berkibar diterpa angin senja, berkilau keemasan karena pantulan sinar surya yang tersisa. Wajah Tea yang aslinya sedikit pucat, kini nampak bercahaya. Memberi aura yang serasi dengan merah bibirnya.
Aku mematung, terus memandangnya. Mengagumi kecantikan yang ia miliki. Hatiku pun membatin, “Bahagia seorang Bagas bisa mendapatkan cintanya.”
“Kenapa ngeliatinnya kok gitu banget?” aku tergagap mendapat pertanyaannya.
Langsung kualihkan pandangan ke bawah, pura-pura menatap jalanan.
“Ngg.. hanya untuk memastikan kamu sehat dan baik-baik saja.” aku mencari alasan.
“Bener?” ia mendekat mepet ke tembok yang menjadi pembatas kami.
“Iya.” aku membalas tatapannya, tapi hanya sebentar.
“Kamu bisa lihat sendiri, kan? Aku baik-baik saja kok.” ujarnya.
“Iyah.. aku lihat kamu sehat, tapi hatinya sih kayaknya enggak.” aku memberanikan diri menggoda.
“Sok tahu! Huh!!”
“Hehe..”
“Iih malah ketawa dianya.”
“Iyah Onaaa.. aku percaya.” aku memang merasa salah tingkah karena terciduk mengaguminya, sekaligus merasa gemas karena sikapnya.
“Ona?”
“Yah.. kamu kan kena corona.”
Dugh.. dugh.. aku langsung tercekat. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Aku langsung kembali menatap gadis itu dengan perasaan bersalah.
“Tuh mulut.. congornya pedes banget sih?!” Tea seperti sewot, tapi tertawa setelahnya.
“Maaf.. aku keceplosan tadi.” aku masih tidak enak hati, meskipun kulihat Tea malah tertawa.
“Hehe.. nyantai.. emang bener kan aku positif corona. Congormu juga positif pedes ternyata.”
“Tuh mulut!! Haha…” mau tidak mau aku pun ikut tertawa.
“Bodo!”
Jadilah.. aku dan Tea saling tertawa. Menertawakan kekonyolan, menertawakan situasi yang tidak bisa kami atasi.
“Kamu udah punya pacar, Le?” tanyanya ketika tawa kami reda.
“Nope. Aku memilih jomblo.”
“Haha.. bilang aja gak laku.”
“Mulutmu tuh yang pedes.”
“Hehe.. emang bener, kan? Sok-sokan jomblo itu pilihan… kalau memang gak laku ya bilang aja gak laku. Hahaha…”
Tawa Tea begitu lepas, ia nampak begitu senang karena telah berhasil membalas ledekanku. Aku malah kembali tertegun, bukan lagi sebuah tawa yang dibuat-buat, melainkan natural dan begitu lepas. Ini menampilkan sisi lain pribadinya, namun apapun itu, nada dasarnya selalu sama: ia cantik.
“Aku sudah putus, Tea, pacarku gak tahan LDR.” jiah.. aku malah curhat. Tapi kata-kata ini meluncur begitu saja, seolah membuka ruang bagi Tea agar bisa mengenalku lebih jauh.
“Wow.. sorry… tapi bukannya zaman sekarang mah LDR itu bukan masalah ya. Kalian kan masih bisa komunikasi setiap saat.” ujarnya.
“Halah.. kayak gak ngalami aja. Ini baru pisah beberapa hari dengan Bagas aja udah uring-uringan, padahal kan telponan hampir setiap saat.” aku menyahut.
“Hehe.. iya sih.”
Tea akhirnya banyak bertanya tentang kisah cintaku, dan aku menjawab tanpa beban. Mengingat masa lalu bukanlah sesuatu yang menggangu lagi bagiku, aku malah merasa lebih lega ketika akhirnya putus dengan pacar terakhirku.
“Jadi, sebenarnya pacarmu yang gak tahan LDR donk, jadi dia yang minta putus.” Tea menyimpulkan ceritaku.
“Yep. Aku selalu memulai suatu hubungan, tapi tidak pernah mengakhirinya.”
“Maksudmu?” Tea menyangga kedua dagunya dengan tangan yang ia tumpangkan di atas tembok pembatas.
“Ya.. aku selalu menyatakan perasaanku lebih dahulu, jika diterima dan akhirnya pacaran, aku tidak pernah memutuskan pacarku, kecuali dia yang meminta sendiri.”
“Oke. Aku paham, kamu mungkin tidak mau menyakiti hati pacarmu. Tapi kalau kamu sendiri merasa tidak cocok masa mau tetap mempertahankan hubungan?” Tea tidak sependapat denganku.
“Kita mungkin mudah sakit, tapi jangan mudah menyakiti.” jawabku.
“Sok bijak lu!!” ledek Tea.
Aku hanya tertawa kecil sambil mengangkat kedua bahu. Dan akhirnya.. tanpa diminta Tea pun banyak bercerita tentang hubungannya dengan Bagas. Ia merasa bersyukur bahwa bisa mendapatkan seorang kekasih yang baik, dewasa, dan mapan. Namun ia juga sedih, karena intensitas komunikasi mereka semakin berkurang, Bagas selalu punya alasan bahwa ia sibuk mengurus pekerjaan yang kini sudah mulai dilakukan di rumah alias work from home (WFH).
“Mungkin sebenarnya komunikasi kalian tidak berkurang, kamu aja yang merasa begitu karena kamu hanya di kamar dan tidak banyak kegiatan.” hiburku.
“Hmmm.. iya juga sih. Mungkin!” balasnya.
Aku dan Tea mengakhiri obrolan ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, kami saling pamit dan masuk kamar masing-masing. Kuputuskan untuk langsung mandi.
Jam sepuluh malam bel kamarku berbunyi. Ternyata Bu Yasinta yang datang. Tanpa permisi untuk kedua kali, ia langsung nyelonong masuk dan meraih bungkus rokok di atas meja. Dibukanya maskernya, dan langsung menyulut sebatang rokok. Tampangnya nampak kusut pertanda sedang banyak pikiran.
Tanpa banyak kata aku menemaninya duduk berhadapan. Kusulut juga rokokku.
“Kamu umur berapa, Le?” tanyanya tiba-tiba.
“Dua puluh empat, hampir dua lima.”
“Hmm.. anak sulung ibu baru 17 tahun tapi sangat susah diatur.” gumamnya.
Tanpa diminta ia pun menceritakan kegelisahan hatinya. Rupanya ia sangat mengkhawatirkan anak tunggalnya yang -menurutnya- semakin sulit diatur. Namanya Supra. Hobinya keluar malam dan baru pulang dini hari, bahkan sering tidak pulang. Penerapan aturan supaya tetap tinggal di rumah pun ia abaikan.
Yang membuat Bu Yasinta semakin sedih, Supra seolah tidak peduli jika ibunya sedang tertahan di luar negeri. Suaminya sendiri ada di rumah, namun juga seolah tidak berdaya mengatur anak semata wayang mereka.
Aku hanya diam mendengarkan, sekali-kali bergumam untuk menunjukkan bahwa aku tetap menyimak. Setelah menyampaikan semua unek-uneknya, ia berjingkat membuka kulkas.
“Kok kosong, Le? Bukannya kemarin belanja?” tanyanya ketika melihat isi kulkasku hanya terdapat beberapa bungkus persediaan makanan dan apel.
“Kan belanja untuk keperluan kalian?” ujarku.
“Lah kamu sendiri?”
“Saya mah gampang, Bu, kan sudah tahu supermarket sekitar sini.” jawabku dengan sedikit berbohong.
“Ooh.. Minumannya juga gak ada ya?”
“Hehhe.. habis juga. Tapi kalau ibu mau, kita bisa keluar?”
“Memang boleh?”
“Ibu bawa saja surat keterangan dari dokter kemarin.”
“Nice. Saya ambil dulu ya.”
Tanpa banyak berpikir, ia pun langsung kembali ke apartemennya. Dengan enggan aku mengambil dompetku, juga surat ijin keluar. Kutunggu Bu Yasinta di depan kamar. Tak lama kemudian ia kembali, dan kami menuruni lift sambil tanpa lupa mengenakan masker. Karena supermarket hanya diijinkan buka sampai jam delapan malam, aku dan Bu Yasinta pun membeli beberapa kaleng beer pada mesin di depan sebuah toko. Untuk bisa membelinya tentu saja harus menggunakan kartu identitasku untuk mendeteksi umur.
Kami tidak langsung kembali ke apartemen, melainkan duduk di sebuah bangku taman yang sepi. Hanya ada sepasang muda-mudi yang sedang duduk di sebuah bangku, juga sambil minum dan merokok.
“Kenapa baru sekarang kamu ngajak saya keluar?” tanyanya sambil menyeruput isi kaleng. Ia nampak merasa senang karena akhirnya bisa keluar dari kamarnya dan menghirup udara luar.
“Hehe.. kemarin-kemarin kan masih nunggu hasil lab.” aku beralasan.
“Ini kan sudah dua hari sejak hasil labnya ada.”
“Hehe..”
“Bilang aja kamu sebenarnya gak mau ngajak saya keluar.”
“Bukan begitu, Bu..”
“Begitu juga gakpapa kok. Hehe…”
Obrolan tidak jelas kami sudah cukup membuat Bu Yasinta sedikit terhibur. Ia sudah tidak semurung kami. Semakin malam, semakin nampak beberapa warga dari gedung apartemen sebelah yang pada keluar untuk sekedar membawa binatang peliharaan mereka jalan-jalan. Tentu dengan mengenakan masker dan saling menjaga jarak. Sekali-kali aku saling sapa dengan orang yang dikenal.
“Eh.. itu.. kenapa sih kalau orang sini tidak malu-malu ciuman di tempat umum?” ujarnya sambil setengah menunjuk pada pasangan paruh baya yang sedang ciuman di bangku tak jauh dari kami berdua.
“Ya kultur mereka memang begitu.” jawabku. Aku melanjutkan, “Kalau di sini orang berciuman karena mengungkapkan kasih sayang, bukan mesum.”
“Tapi kalau saya sih lihatnya aja malah nafsu.” ia mulai menunjukan sisi nyablaknya.
Aku setengah tertawa mendengarnya, pikiranku mulai ngeres membayangkan bagaimana seorang wanita secantik Bu Yasinta mendesah di atas kasur.
“Ngomong-ngomong pesanan saya belum ada ya?” tanyanya lagi.
“Susah nyarinya, Bu. Sekarang toko-toko yang boleh buka hanya toko yang menyediakan kebutuhan primer, yang lain pada tutup semua.” jelasku.
Bu Yasinta memang pernah meminta tolong waktu minum di kamarku untuk mencarikan dildo, secara di eropa lebih murah dan lebih mudah mendapatkannya. Tapi dalam situasi sekarang, yang mudah pun berubah susah.
“Seks juga kan kebutuhan primer.” ujarnya, ucapannya semakin ngelantur dan mengundang pikiran mesum.
“Halah.. primer itu kalau ama pasangan, kalau ama dildo mah cuma nafsu doank.” aku berusaha mengimbangi gaya percakapannya.
“Kunyuk memang si Raksy.” ia mendumel.
Kalau tadi di apartemenku keluhannya berisi tentang anaknya, kini beralih tentang suaminya. Lima tahun lalu ia mendapati suaminya melakukan affair dengan wanita lain, dan sejak itu ia tidak pernah mau berhubungan badan lagi. Mereka memang tidak bercerai dan tetap tinggal serumah, namun semuanya langsung berubah seperti orang asing satu sama lain. Ketika kutanya kenapa mereka tetap mau bertahan, alasannya adalah Supra dan juga orangtua mereka masing-masing. Bu Yasinta dan Pak Raksy menikah karena dijodohkan orangtua mereka, dan mereka tidak mau mengecewakan kedua belah pihak jika bercerai.
Dari cerita Bu Yasinta aku langsung bisa menyimpulkan kenapa Supra bersifat seperti masa bodoh seperti itu. Rumah bukanlah tempat yang nyaman baginya. Salah satu alasan tidak bercerai adalah anak, tetapi situasi “dingin” di rumah malah membuat sang anak semakin tertekan.
“Kenapa sih orang harus selingkuh?” ia seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Inginku mengatakan bahwa suaminya selingkuh mungkin karena sikap Bu Yasinta sendiri yang cenderung otoriter, tapi aku takut membuat wanita ini tersinggung dan moodnya jelek kembali. Jawab berbeda kuberikan.
“Mungkin karena ketagihan rasa nikmat. Dan nikmat itu tidak didapatkan dari pasangan. Ibu sendiri kenapa masih setia? Meski tidak bercerai, kan kalau mau, ibu juga bisa selingkuh.”
“Gak tahu. Menurut kamu, kenapa saya tidak selingkuh?” ia malah balik bertanya.
“Mungkin ibu setia karena ibu ketagihan rasa nyaman yang pernah didapatkan. Orang selingkuh karena ketagihan rasa nikmat, sedangkan yang memilih setia karena ketagihan rasa nyaman.” aku ngasal.
“Hahaha.. jadi intinya tetap aja karena sama-sama ketagihan ya, cuma objeknya yang berbeda.” Bu Yasinta tertawa tanpa menyangkal atau mengamini pendapatku.
Obrolan kami semakin tanpa arah, bukan hanya tentang keluarganya, tapi apapun bisa dikomentari. Aku semakin mengenal Bu Yasinta malam ini. Di balik semua kelebihan yang ia miliki sebagai seorang wanita karier, ternyata hatinya sangatlah rapuh.
Obrolan kami sekali-kali diselingi canda tawa untuk menghilangkan semua beban yang mengganggu pikiran, dan tanpa disadari duduk kami pun semakin rapat. Kaleng minuman kami akhirnya habis, dan berbatang-batang rokok sudah kami bakar. Hening.. kehabisan kata.
“Eh..?” aku kaget ketika Bu Yasinta tiba-tiba memeluk lenganku sambil menyenderkan kepala.
“Makasih, Le, udah mau mendengarkan saya. Haissh… kenapa juga saya harus terbuka seperti ini kepada kamu, padahal kita baru saling kenal.” ujarnya.
Aku hanya diam, fokusku bukan lagi pada ucapannya, melainkan pada kenyal payudaranya yang menyentuh lenganku.
“Saya kesepian, Le.” lirihnya.
“Saya paham.” gumamku pelan.
Bu Yasinta pun semakin mengeratkan pelukan, sedangkan aku masih duduk kaku. Aku belum tahu apakah sikap Bu Yasinta ini hanya sekedar untuk mencari ketenangan, atau memang kode yang menjadi peluang untuk membuat kami berdua mengerang.
Bu Yasinta memindahkan tanganku agar melingkari bahunya. Dengan sedikit berdebar kuikuti maunya, kupeluk wanita paruh baya yang tubuhnya masih memesona ini. Merasa aku memberi respon positif, ia malah mendekapku dan menangis tersedu dalam pelukanku.
Secara naluriah aku balik mendekap, dan spontan mengusapi punggungnya. Ia pun semakin menangis.
“Saya butuh pelampiasan, Le. Hiks.. hiks…”
“Maksud ibu?”
Dadaku langsung berdetak kencang. Rasa iba dan nafsu bercampur menjadi satu.
“Kamu jangan pikir aneh-aneh, saya hanya butuh kamarmu untuk masturbasi. Gak mungkin di kamarku karena ada si Sukma.” jawabnya, tangisnya mulai reda.
“Lalu.. ehem.. euuu.. lalu aku? Kenapa.. kenapa…?” aku malah tergagap.
“Saya belum siap kalau harus dijamah lelaki lain. Bukan tidak ingin, tapi saya benar-benar belum siap melakukan perbuatan yang sama, seperti yang pernah dilakukan suamiku. Hiiks…”
Aku hanya bisa menelan liur. Ternyata Bu Yasinta adalah seorang wanita yang tangguh, dan aku harus menghargai itu.
“Maksudku, kalau ibu pake kamarku, lalu aku gimana?” aku mengalihkan jawaban.
“Ya terserah kamu, mendengar boleh, nonton jangan. Hehehe.. hiiiksss…”
Kupret!!!
Bersambung…..