Mohon ijin para suhu sekalian, newbie mau coba berbagi cerita buatan newbie
kisah ini 80% kisah nyata, dan 20% fiksi. hanya supaya kisahnya lebih dramatis dan enak dinikmati.
mohon kritik dan sarannya
semoga ada yang suka
Wanita berkulit putih itu terus merintih keenakan, sesekali menjerit tertahan. Posisinya sedang membungkuk, bertumpu ada dua lutut dan dua tangannya. Tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Di belakangnya, seorang pria berlutut dengan selangkangan yang mengarah tepat di pantat si wanita. Si pria berkulit legam itu memajumundurkan pantatnya, sesekali menggeram. Di depan si wanita, seorang pria lain yang berkulit legam juga berlutut, tanpa busana. Penisnya panjang, kehitaman dan mengkilap, berada tepat di depan mulut si wanita berkulit putih itu. Sesekali ketika tidak mengerang dan mendesah, si wanita nampak asyik menjilati dan mengulum penis hitam kekar di depannya itu.
Sebuah pergumulan yang begitu panas, melibatkan tiga orang yang sudah sama-sama bugil dengan nafsu yang terlihat membara.
Aku menghela napas panjang, gambar-gambar panasnya persetubuhan bertiga di televisi itu mulai membuat nafsuku bergejolak. Kurasakan Gina, istriku yang sedang bersandar di dadaku juga mulai tidak tenang. Dia menggeser duduknya, memperbaiki posisi kepalanya di dadaku. Dia pasti bisa merasakan detak jantungku yang semakin kencang. Tangannya mengelus paha bagian dalamku, hanya beberapa senti dari penisku yang terekspos tak tertutup kain.
Kami baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan yang hangat di malam yang dingin. Kami belum sempat berpakaian ketika aku muncul dengan ide menonton film porno. Gina menurut saja, hanya sempat membersihkan bagian sensitifnya di kamar mandi sebelum bergabung kembali denganku di atas ranjang.
Elusan Gina semakin intens di pahaku, bahkan ujung jarinya mulai menyentuh penisku yang masih tertidur. Darahku bergolak, debar jantungku mengirim semakin banyak darah ke selangkanganku, mendorong penisku mulai bereaksi.
Otakku bergerak cepat merespon perubahan itu. Sinyal perintah dikirimkan ke tanganku yang sedang merangkul Gina, menyuruh tangan kiri itu bergerak ke arah dada istriku yang juga terekspos tanpa sehelai benang. Detik berikutnya terlewati dengan posisi tangan kiriku yang mulai meremas daging kenyal dengan kulit mulus itu. Kurasakan putingnya mengeras, bereaksi terhadap rangsangan dari jariku dan semakin panasnya percintaan di layar televisi yang kami saksikan.
“Ackhhhhh…” lenguhan terdengar dari bibir Gina. Napasnya memburu.
Buatku, ini kode untuk melanjutkan apa yang sudah aku mulai. Aku menundukkan kepala, mendekati wajahnya. Dia menengadah, menyambut wajahku yang mendekat. Bibir kami bertemu, berpagutan, lidah kami saling membelit, tanganku meremas dadanya dan tangannya meremas penisku.
“Ackhhh…” hanya suara itu yang berbaur dengan suara-suara bertemunya bibir kami. Aku mendesah, dia mendesah. Kami sama-sama tergulung nafsu birahi yang semakin memanas. Tangan kami bergerak ke sana ke mari, meremas yang bisa diremas dan mengelus yang bisa dielus. Jariku sampai di selangkangannya, mempermainkan klitorisnya yang mulai menonjol di bagian atas vaginanya. Tersembunyi oleh rimbunnya bulu hitam keriting. Gina mengejang, suaranya sengau, desahannya semakin keras.
Kugigit lembut kupingnya, kugosokkan hidungku di lehernya, kutekan kuat bibirku di lehernya. Dia menggelinjang, aku semakin bersemangat. Ciumanku turun ke dadanya, mendarat di dua bongkahan daging kenyal dengan kulit mulus itu. Lidahku bermain di putingnya, sesekali kugigit lembut. Gina sekarang tidur telentang, membiarkan aku bermain di atas tubuhnya. Jariku masih asyik bermain di vaginanya, mengusap klitorisnya dan bahkan masuk ke dalam liang kenikmatan itu. Telunjuk dan jari tengahku bisa merasakan lembab dan basahnya bagian dalam vaginanya. Dia sudah terangsang hebat, sama dengan aku. Kurasakan penisku semakin mengeras dengan tetesan cairan bening kental di ujungnya.
“Fuck me pleasee…” Gina mengerang, memohon dengan suara berat yang sengau. Aku tahu dia tidak tahan lagi, tubuhnya sudah sangat siap menantikan tubuhku. Vaginanya sudah sangat basah, siap menjadi tuan rumah yang hangat untuk penisku.
Aku memposisikan diri di atasnya, membuka lebar kakinya. Wajahnya sendu, matanya sayu, mulutnya merekah. Dia benar-benar sudah dilanda nafsu, pun denganku. Aku menjatuhkan ciuman ke bibirnya, sambil perlahan mendorong pantatku, merasakan senti demi senti masuknya penisku ke dalam lubang vagina yang hangat dan licin itu.
Lalu, bless! Seluruh penisku sudah masuk ke dalam vaginanya.
“Ohhh!” Gina menjerit tertahan. Penisku sudah sepenuhnya masuk, menyisakan pangkalnya saja. Gina selalu kagum pada penisku yang katanya begitu penuh di dinding vaginanya dan begitu mentok di rahimnya. Aku selalu senang dipuji seperti itu meski kadang kurasa dia terlalu memuji.
“Enak sayang?” Pertanyaan bodoh yang entah kenapa selalu kuajukan ketika penisku sudah bergerak keluar masuk vaginanya.
“Enak, banget…” jawabannya selalu sama. Selalu berhasil membuatku semakin bersemangat memompa, maju dan mundur.
Gina mendesah, merintih, mengerang. Aku memacu dengan penuh semangat, menggeram, sesekali mendesah. Suara-suara yang lebih erotis keluar dari televisi. Kami sudah tidak peduli lagi apa yang dilakukan tiga orang tanpa busana itu. Kami sibuk dengan kelakukan kami sendiri.
“Mau gak kalau ditambah satu lagi?” Tiba-tiba aku bertanya seperti itu. Nafsuku mendorong pertanyaan itu keluar setelah sekian lama kusimpan di mulutku saja.
Gina tidak langsung menjawab, dia masih mendesah, menikmati setiap hentakan penisku di dalam vaginanya.
“Mau..aku mau. Satu masuk di memekku, satu lagi aku isap,” aku terkesiap. Nyaris tidak percaya dia akan menjawab seperti itu. Kukira dia akan marah kutanya begitu, tapi ternyata tidak. Justru dia semakin bersemangat.
Gilanya, aku juga semakin bersemangat mendengar jawabannya.
“Kamu mau coba kontol lain sayang?”
“Iya sayang, aku mau. Kontol yang besar, hitam, panjang..ackhhh…”
“Dua kontol sayang?”
“Iya, dua kontol. Buat aku…. Ackhhh…akhhh”
Dia meracau, terus mengerang, mendesah. Tubuhnya menggelinjang, menerima setiap sodokanku. Hingga tiba-tiba dia seperti kaku, tersentak dan berteriak tertahan. Aku tahu dia sudah mencapai puncak orgasmenya. Wajahnya meregut, seperti seseorang yang menahan rasa sakit. Matanya terpejam erat, keningnya berkerut. Seperti biasa, aku berhenti sejenak, memeluknya dan membiarkannya melewati puncak.
Ketika dia sudah tenang, kami berciuman. Mesra, panas dan semakin panas. Aku bisa merasakan vaginanya begitu basah. Kalau sudah begitu biasanya aku mencabut dulu penisku, menyekanya dengan tisu sebelum meneruskan kembali apa yang sudah aku mulai. Tapi kali itu tidak, aku sudah terlalu bernafsu, tak sempat lagi untuk berhenti sejenak. Kuteruskan genjotanku di vaginanya, suara-suara pertemuan kelamin kami semakin keras.
Plok! Plok! Plok!
Aku membayangkan ada laki-laki lain di ruangan ini. Laki-laki yang ikut membantuku memuaskan Gina. Laki-laki yang begitu terkagum-kagum pada tubuh montok istriku ini, yang tidak tahan ketika penisnya diisap istriku ini, yang mengaduh keenakan ketika penisnya digoyang vagina istriku. Bayangan itu begitu nyata, membuatku semakin bersemangat, jauh lebih bersemangat dari biasanya.
Aku melihat lelaki itu begitu menikmati isapan Gina di penisnya, dengan kasar meremas dada Gina dan menciuminya dengan penuh semangat. Aku juga melihat bayangan Gina yang menggelinjang di bawah tubuh lelaki itu, dan aku semakin bersemangat.
Lalu..
“Arghhhhh!” Aku berteriak tertahan. Tubuhku mengejang dengan sekujur tubuh yang terasa kaku. Aku orgasme, memuncratkan bermili liter cairan sperma di dalam vagina istriku. Aku seperti kehilangan kesadaran beberapa detik sebelum akhirnya lemas di sisi Gina.
Samar-samar bayangan yang tadi membuatku begitu bersemangat mulai menghilang. Aku mengatur napas, membiarkan orgasmeku berlalu. Gina bergeser ke arahku, menaruh kepalanya di dadaku. Merasakan detak jantungku yang belum normal dan napasku yang masih memburu.
Di televisi, wanita berkulit putih itu sedang berlutut menerima tumpahan sperma dari dua pria hitam kekar yang berdiri di dua sisinya.
“Kamu serius Pah?” Tanyanya dengan pandangan menyelidik.
Aku tertawa, geli melihatnya penasaran begitu. “Ya seriuslah,” jawabku. Aku mengisap rokokku sebelum melanjutkan,”Ya itu kalau Mamah mau, hihihi.”
Sore itu kami duduk berdua di teras atas, menemani senja yang pulang. Teras atas yang terhubung langsung ke kamar tidur kami adalah tempat favorit di sore hari. Dari teras yang tak seberapa luas itu kami bisa melihat jauh ke lingkungan sekitar. Bisa melihat bayangan matahari yang pelan-pelan hilang di balik awan, di balik pepohonan dan di balik rumah-rumah bertingkat di depan sana.
Serombongan burung melintas di atas kami. Pulang ke sarangnya menjelang malam.
“Hihihi, kayaknya menarik juga,” Gina cekikikan.
Sore itu kami duduk di kursi panjang dari kayu yang seperti kursi taman. Membicarakan tentang threesome atau percintaan dengan tiga orang sekaligus. Entah kenapa, topik itu seperti semakin membuatku penasaran sejak beberapa bulan terakhir. Aku semakin sering membayangkan bekerjasama dengan laki-laki lain memuaskan satu perempuan. Fantasi ini sebenarnya sudah lama ada di kepalaku, kurasa sejak aku masih lebih muda 10 tahun. Tapi, intensitasnya semakin bertambah belakangan ini. Entah apa sebabnya.
Awalnya aku membayangkan bercinta dengan pasangan lain, membantu si suami memuaskan istrinya. Fantasi liar saja yang lama kelamaan mulai kuganti dengan fantasi yang lebih gila. Aku bersama laki-laki lain, memuaskan Gina istriku.
Aku ragu mengungkapkannya ke Gina pada awalnya. Tapi ketika nafsuku semakin membubung tinggi, aku akhirnya berani melontarkannya. Di luar dugaanku, Gina tidak protes. Bahkan dia menyambutnya dengan antusias ketika kami bercinta. Tapi kami tidak pernah membahasnya lagi selepas bercinta, baru pada sore ini. Sekali lagi aku agak terkejut, Gina tidak marah dan bahkan menanggapinya dengan bercanda.
Delapan belas tahun menikah dengan Gina, sesungguhnya kami sudah benar-benar terbuka satu sama lain. Termasuk soal seks. Sudah begitu banyak variasi yang kami coba, semua demi mengenyahkan rasa bosan akan seks. Berbagai gaya kami coba, sesekali juga melarikan diri ke hotel di kota kami, bercinta kilat seperti pasangan muda yang belum sah. Sering juga kami memainkan peran. Aku pernah berperan menjadi pemijat yang memijat tante-tante kesepian, pernah juga dia yang berperan sebagai pemijat yang digoda pelanggannya. Sekali waktu dia berperan sebagai suster yang nakal, di waktu lain aku berperan sebagai polisi jahat yang memperkosa tahanannya. Segala yang bisa dicoba, kami coba.
Aku bisa berbangga diri, di usia yang tak lagi muda ini kami bisa merawat nafsu seks kami tetap panas. Soal tubuh pun kami juga tak pernah abai. Meski sudah di atas 40 tahun, aku masih merasa cukup tegap dan tidak terlalu tambun seperti umumnya pria seumuranku. Gina pun begitu. Tubuhnya masih montok meski tentu saja dia tidak bisa sepenuhnya melawan lemak dan guratan di tubuh dan wajahnya. Tapi, dibandingkan wanita seusianya dia masih menggoda.
40 tahun, dengan kulit putih mulus karena rasnya yang Mongolid, dada yang membusung berukuran 36C, pantat yang kencang hasil kebiasaan lari dan bersepeda, Gina adalah contoh paling pas menggambarkan seorang MILF. Mom I’d Like to Fuck.
“Dengan body kayak gini, anak ABG bisa saja ejakulasi prematur kalau sama kamu, Mah.” Kataku suatu waktu.
“Ah, masak sih Pah?” Dia tak percaya. Wanita memang aneh, menurutku. Selalu saja merasa tidak percaya diri, merasa kurang.
“Ih, gak percaya. Mau aku buktikan?”
“Heh? Emang gimana caranya?”
“Fotomu aku masukin forum ya, tentu saja tanpa wajah. Biar kamu bisa lihat sendiri kalau masih banyak cowok-cowok yang kesengsem sama bodimu sayang,” kataku.
Aku memang baru saja menemukan sebuah forum di internet. Forum yang sebagian besar isinya adalah percakapan tentang seks. Bahkan ada satu topik khusus di mana anggotanya memamerkan tubuh istri mereka. Forum itulah yang kutunjukkan pada Gina. Meski awalnya agak jengah, dia akhirnya luluh juga dan mengijinkan aku menunjukkan fotonya kepada para penghuni forum.
“Nih Mah, lihat ini. Masih banyak yang konak tuh melihat bodimu,” kataku sambil menunjukkan komentar anak-anak forum melihat foto bugil Gina.
Senyumnya merekah, pipinya memerah. Aku tahu dia senang, hanya masih malu saja mengakuinya. Wanita mana sih yang tidak senang dipuji? Apalagi ketika dia mulai terserang penyakit rendah diri di usia 40 tahun. Komentar dan pujian anggota forum yang begitu vulgar dan kadang agak kurang sopan, ternyata berhasil mendongkrak rasa percaya diri Gina. Dia semakin panas di ranjang, dan bahkan semakin percaya diri berpose menantang.
Dia senang, aku bahagia.
Lalu fantasi threesome itu semakin berkembang. Di salah satu topik, seorang anggota forum menceritakan pengalaman threesome bersama istri dan salah satu anggota forum lainnya. Cerita itu disempurnakan dengan foto dan video percintaan yang panas. Sungguh komplit dan berhasil membuatku semakin bersemangat menjaga fantasi itu.
“Itu betulan?” Tanya Gina ketika kutunjukkan foto threesome mereka.
“Iya betulan,”
“Wow!” Hanya itu jawabnya, sambil matanya terus menatap foto-foto dan cerita panasnya percintaan segitiga itu. Kalau selama ini kami hanya menyaksikan adegan percintaan segitiga itu dengan aktor dan aktris bule, kali ini kami melihat sesuatu yang lebih nyata. Dilakukan oleh orang Indonesia seperti kami, dan tanpa skenario seperti film. Semua nyata dan apa adanya.
“Gimana? Mau gak?” Tanyaku menggoda.
“Sepertinya menarik juga,” jawabnya lalu tertawa renyah. Mungkin untuk menutupi rasa malunya. Tapi aku senang melihatnya tertawa. Aura kecantikannya masih memancar dengan sangat kuat. Semburat keemasan cahaya matahari jatuh tepat di wajahnya, membuatnya semakin terlihat menarik. Aku ikut tertawa.
Salah satu kunci keterbukaan kami adalah menghindarkan penghakiman. Kami bebas berfantasi apa saja, tanpa harus menghakimi satu sama lain. Ini juga yang membuat dia begitu bebas menjadi diri sendiri, pun dengan aku. Tidak perlu jaim, segila apapun fantasimu kita nikmati bersama, begitu prinsip kami. Itu juga yang membuat fantasi threesome kami semakin membara.
“Halo Bro, lagi sibuk?” Sapaan itu masuk ke BBM ku, malam selepas magrib.
“Halo juga Bro. Gak sih, biasa aja, hehehe,” kubalas sapaan itu dengan sopan.
Lawan bicaraku mengaku bernama Andy. Kami tersambung lewat BBM setelah dia mengirim pesan pribadi ke akunku di forum. Katanya dia penasaran melihat foto tubuh Gina yang kuposting di forum. Memang sejak kutuliskan kalau kami sedang berfantasi threesome, beberapa anggota forum segera mengirimkan pesan ke akunku, meminta tukaran pin BBM dan bahkan ada yang terang-terangan mengaku ingin mencicipi tubuh Gina.
Tidak semua permintaan pertemanan itu aku penuhi. Beberapa yang kuanggap tidak sopan dan tidak sreg tidak aku acuhkan. Hanya mereka yang kuanggap sopan dan cukup dewasa saja yang kuterima permintaan pertemanannya. Bagaimanapun buat aku kenyamanan nomor satu, apalagi buat Gina.
Dari sekian banyak yang sering chat denganku, Andy ini salah satu yang paling intens. Dia mengaku berusia 40 tahun juga, sudah pernah menjadi pasangan threesome dari sepasang pasutri dan tentu saja mengaku punya pengalaman banyak soal seks. Dari nada bicaranya di chat, dia sepertinya sangat sopan dan dewasa. Dia bukan tipe yang tiba-tiba minta foto telanjang. Meski kadang dia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak mengutarakan kekagumannya pada bodi Gina.
“Gila bro, itu pantat wife lu semok banget. Gue jadi pengen nepok2, jilat2 dan gue doggy sampai dia orgasme,” tulisnya suatu waktu.
Pesan itu kusampaikan pada Gina dan kontan membuat wajahnya tersipu malu. Itu pertama kalinya dia melihat langsung rasa penasaran seorang lelaki lain kepadanya lewat jalur pribadi, membaca langsung bagaimana seorang lelaki lain berfantasi tentang tubuhnya. Dan dia mengaku suka.
Sebagai ucapan terima kasih, Gina memotret langsung tubuh bugilnya dan memintaku mengirimkannya buat Andy. Kami memang masih memegang teguh aturan, tidak boleh ada hubungan apapun antara Gina dan lelaki lain. Semua pesan harus lewat aku. Untuk persoalan ini aku benar-benar hati-hati, bagaimanapun kami punya kehidupan nyata yang harus dijaga.
Betapa senangnya Andy ketika pesan dari Gina kusampaikan padanya. Keesokan harinya dia mengakui, ketika bercinta dengan istrinya semalam dia malah membayangkan tubuh Gina. Pengakuan yang sebenarnya membuat Gina jengah juga, tapi sekaligus membuatnya bernafsu.
Pendekatan Andy yang begitu sopan dan ulet meski sesekali nakal, membuat Gina luluh juga. Dia oke saja ketika aku menyarankan untuk ngobrol bertiga dengan Andy.
“Biar Mamah bisa dengar langsung pujiannya,” kataku. “Siapa tahu dia bisa jadi partner threesome pertama kita, hehehe” lanjutku. Gina tersenyum menggoda mendengarnya.
Lalu jadilah kami ngobrol bertiga di sebuah grup khusus.
Percakapan awalnya berjalan canggung. Gina masih agak malu, ini pertamakalinya seorang lelaki lain masuk ke dalam kehidupan pribadi kami. Beruntung Andy cukup pandai membawa suasana. Perlahan tapi pasti dia bisa membuat Gina menjadi nyaman. Dari obrolan biasa hingga akhirnya mulai memanas. Aku lebih banyak mengamati saja obrolan di grup itu, sambil menahan nafsu yang memuncak.
Di malam pertama kami ngobrol bertiga, aku dan Gina benar-benar menjadi liar di ranjang. Kami bercinta seperti berbulan-bulan tidak bercinta. Panas, penuh gairah. Obrolan panas di grup dan bayangan Andy kami hadirkan, membuat kami benar-benar tepar dengan rasa puas yang lebih dari sebelumnya.
“Baru fantasi aja udah begini enaknya. Gimana kalau betulan ya?” Kataku dengan napas tersengal. Gina hanya mengangguk, napasnya juga sama tersengalnya.
Kami mengakhiri malam itu dengan ciuman lembut dan pelukan hangat. Sebelum tidur, aku membisikkan sesuatu ke telingat Gina.
“Kayaknya Andy ini bisa dapat kesempatan buat merealisasikan fantasi kita ya Mah?”
“Kayaknya bisa,” jawab Gina singkat. Lalu dia tersenyum. Aku sulit menerka arti senyumnya, tapi kuanggap itu sebagai lampu hijau.
Fantasi itu semakin dekat menjadi kenyataan.
kisah ini 80% kisah nyata, dan 20% fiksi. hanya supaya kisahnya lebih dramatis dan enak dinikmati.
mohon kritik dan sarannya
semoga ada yang suka
I
Wanita berkulit putih itu terus merintih keenakan, sesekali menjerit tertahan. Posisinya sedang membungkuk, bertumpu ada dua lutut dan dua tangannya. Tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Di belakangnya, seorang pria berlutut dengan selangkangan yang mengarah tepat di pantat si wanita. Si pria berkulit legam itu memajumundurkan pantatnya, sesekali menggeram. Di depan si wanita, seorang pria lain yang berkulit legam juga berlutut, tanpa busana. Penisnya panjang, kehitaman dan mengkilap, berada tepat di depan mulut si wanita berkulit putih itu. Sesekali ketika tidak mengerang dan mendesah, si wanita nampak asyik menjilati dan mengulum penis hitam kekar di depannya itu.
Sebuah pergumulan yang begitu panas, melibatkan tiga orang yang sudah sama-sama bugil dengan nafsu yang terlihat membara.
Aku menghela napas panjang, gambar-gambar panasnya persetubuhan bertiga di televisi itu mulai membuat nafsuku bergejolak. Kurasakan Gina, istriku yang sedang bersandar di dadaku juga mulai tidak tenang. Dia menggeser duduknya, memperbaiki posisi kepalanya di dadaku. Dia pasti bisa merasakan detak jantungku yang semakin kencang. Tangannya mengelus paha bagian dalamku, hanya beberapa senti dari penisku yang terekspos tak tertutup kain.
Kami baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan yang hangat di malam yang dingin. Kami belum sempat berpakaian ketika aku muncul dengan ide menonton film porno. Gina menurut saja, hanya sempat membersihkan bagian sensitifnya di kamar mandi sebelum bergabung kembali denganku di atas ranjang.
Elusan Gina semakin intens di pahaku, bahkan ujung jarinya mulai menyentuh penisku yang masih tertidur. Darahku bergolak, debar jantungku mengirim semakin banyak darah ke selangkanganku, mendorong penisku mulai bereaksi.
Otakku bergerak cepat merespon perubahan itu. Sinyal perintah dikirimkan ke tanganku yang sedang merangkul Gina, menyuruh tangan kiri itu bergerak ke arah dada istriku yang juga terekspos tanpa sehelai benang. Detik berikutnya terlewati dengan posisi tangan kiriku yang mulai meremas daging kenyal dengan kulit mulus itu. Kurasakan putingnya mengeras, bereaksi terhadap rangsangan dari jariku dan semakin panasnya percintaan di layar televisi yang kami saksikan.
“Ackhhhhh…” lenguhan terdengar dari bibir Gina. Napasnya memburu.
Buatku, ini kode untuk melanjutkan apa yang sudah aku mulai. Aku menundukkan kepala, mendekati wajahnya. Dia menengadah, menyambut wajahku yang mendekat. Bibir kami bertemu, berpagutan, lidah kami saling membelit, tanganku meremas dadanya dan tangannya meremas penisku.
“Ackhhh…” hanya suara itu yang berbaur dengan suara-suara bertemunya bibir kami. Aku mendesah, dia mendesah. Kami sama-sama tergulung nafsu birahi yang semakin memanas. Tangan kami bergerak ke sana ke mari, meremas yang bisa diremas dan mengelus yang bisa dielus. Jariku sampai di selangkangannya, mempermainkan klitorisnya yang mulai menonjol di bagian atas vaginanya. Tersembunyi oleh rimbunnya bulu hitam keriting. Gina mengejang, suaranya sengau, desahannya semakin keras.
Kugigit lembut kupingnya, kugosokkan hidungku di lehernya, kutekan kuat bibirku di lehernya. Dia menggelinjang, aku semakin bersemangat. Ciumanku turun ke dadanya, mendarat di dua bongkahan daging kenyal dengan kulit mulus itu. Lidahku bermain di putingnya, sesekali kugigit lembut. Gina sekarang tidur telentang, membiarkan aku bermain di atas tubuhnya. Jariku masih asyik bermain di vaginanya, mengusap klitorisnya dan bahkan masuk ke dalam liang kenikmatan itu. Telunjuk dan jari tengahku bisa merasakan lembab dan basahnya bagian dalam vaginanya. Dia sudah terangsang hebat, sama dengan aku. Kurasakan penisku semakin mengeras dengan tetesan cairan bening kental di ujungnya.
“Fuck me pleasee…” Gina mengerang, memohon dengan suara berat yang sengau. Aku tahu dia tidak tahan lagi, tubuhnya sudah sangat siap menantikan tubuhku. Vaginanya sudah sangat basah, siap menjadi tuan rumah yang hangat untuk penisku.
Aku memposisikan diri di atasnya, membuka lebar kakinya. Wajahnya sendu, matanya sayu, mulutnya merekah. Dia benar-benar sudah dilanda nafsu, pun denganku. Aku menjatuhkan ciuman ke bibirnya, sambil perlahan mendorong pantatku, merasakan senti demi senti masuknya penisku ke dalam lubang vagina yang hangat dan licin itu.
Lalu, bless! Seluruh penisku sudah masuk ke dalam vaginanya.
“Ohhh!” Gina menjerit tertahan. Penisku sudah sepenuhnya masuk, menyisakan pangkalnya saja. Gina selalu kagum pada penisku yang katanya begitu penuh di dinding vaginanya dan begitu mentok di rahimnya. Aku selalu senang dipuji seperti itu meski kadang kurasa dia terlalu memuji.
“Enak sayang?” Pertanyaan bodoh yang entah kenapa selalu kuajukan ketika penisku sudah bergerak keluar masuk vaginanya.
“Enak, banget…” jawabannya selalu sama. Selalu berhasil membuatku semakin bersemangat memompa, maju dan mundur.
Gina mendesah, merintih, mengerang. Aku memacu dengan penuh semangat, menggeram, sesekali mendesah. Suara-suara yang lebih erotis keluar dari televisi. Kami sudah tidak peduli lagi apa yang dilakukan tiga orang tanpa busana itu. Kami sibuk dengan kelakukan kami sendiri.
“Mau gak kalau ditambah satu lagi?” Tiba-tiba aku bertanya seperti itu. Nafsuku mendorong pertanyaan itu keluar setelah sekian lama kusimpan di mulutku saja.
Gina tidak langsung menjawab, dia masih mendesah, menikmati setiap hentakan penisku di dalam vaginanya.
“Mau..aku mau. Satu masuk di memekku, satu lagi aku isap,” aku terkesiap. Nyaris tidak percaya dia akan menjawab seperti itu. Kukira dia akan marah kutanya begitu, tapi ternyata tidak. Justru dia semakin bersemangat.
Gilanya, aku juga semakin bersemangat mendengar jawabannya.
“Kamu mau coba kontol lain sayang?”
“Iya sayang, aku mau. Kontol yang besar, hitam, panjang..ackhhh…”
“Dua kontol sayang?”
“Iya, dua kontol. Buat aku…. Ackhhh…akhhh”
Dia meracau, terus mengerang, mendesah. Tubuhnya menggelinjang, menerima setiap sodokanku. Hingga tiba-tiba dia seperti kaku, tersentak dan berteriak tertahan. Aku tahu dia sudah mencapai puncak orgasmenya. Wajahnya meregut, seperti seseorang yang menahan rasa sakit. Matanya terpejam erat, keningnya berkerut. Seperti biasa, aku berhenti sejenak, memeluknya dan membiarkannya melewati puncak.
Ketika dia sudah tenang, kami berciuman. Mesra, panas dan semakin panas. Aku bisa merasakan vaginanya begitu basah. Kalau sudah begitu biasanya aku mencabut dulu penisku, menyekanya dengan tisu sebelum meneruskan kembali apa yang sudah aku mulai. Tapi kali itu tidak, aku sudah terlalu bernafsu, tak sempat lagi untuk berhenti sejenak. Kuteruskan genjotanku di vaginanya, suara-suara pertemuan kelamin kami semakin keras.
Plok! Plok! Plok!
Aku membayangkan ada laki-laki lain di ruangan ini. Laki-laki yang ikut membantuku memuaskan Gina. Laki-laki yang begitu terkagum-kagum pada tubuh montok istriku ini, yang tidak tahan ketika penisnya diisap istriku ini, yang mengaduh keenakan ketika penisnya digoyang vagina istriku. Bayangan itu begitu nyata, membuatku semakin bersemangat, jauh lebih bersemangat dari biasanya.
Aku melihat lelaki itu begitu menikmati isapan Gina di penisnya, dengan kasar meremas dada Gina dan menciuminya dengan penuh semangat. Aku juga melihat bayangan Gina yang menggelinjang di bawah tubuh lelaki itu, dan aku semakin bersemangat.
Lalu..
“Arghhhhh!” Aku berteriak tertahan. Tubuhku mengejang dengan sekujur tubuh yang terasa kaku. Aku orgasme, memuncratkan bermili liter cairan sperma di dalam vagina istriku. Aku seperti kehilangan kesadaran beberapa detik sebelum akhirnya lemas di sisi Gina.
Samar-samar bayangan yang tadi membuatku begitu bersemangat mulai menghilang. Aku mengatur napas, membiarkan orgasmeku berlalu. Gina bergeser ke arahku, menaruh kepalanya di dadaku. Merasakan detak jantungku yang belum normal dan napasku yang masih memburu.
Di televisi, wanita berkulit putih itu sedang berlutut menerima tumpahan sperma dari dua pria hitam kekar yang berdiri di dua sisinya.
II
“Kamu serius Pah?” Tanyanya dengan pandangan menyelidik.
Aku tertawa, geli melihatnya penasaran begitu. “Ya seriuslah,” jawabku. Aku mengisap rokokku sebelum melanjutkan,”Ya itu kalau Mamah mau, hihihi.”
Sore itu kami duduk berdua di teras atas, menemani senja yang pulang. Teras atas yang terhubung langsung ke kamar tidur kami adalah tempat favorit di sore hari. Dari teras yang tak seberapa luas itu kami bisa melihat jauh ke lingkungan sekitar. Bisa melihat bayangan matahari yang pelan-pelan hilang di balik awan, di balik pepohonan dan di balik rumah-rumah bertingkat di depan sana.
Serombongan burung melintas di atas kami. Pulang ke sarangnya menjelang malam.
“Hihihi, kayaknya menarik juga,” Gina cekikikan.
Sore itu kami duduk di kursi panjang dari kayu yang seperti kursi taman. Membicarakan tentang threesome atau percintaan dengan tiga orang sekaligus. Entah kenapa, topik itu seperti semakin membuatku penasaran sejak beberapa bulan terakhir. Aku semakin sering membayangkan bekerjasama dengan laki-laki lain memuaskan satu perempuan. Fantasi ini sebenarnya sudah lama ada di kepalaku, kurasa sejak aku masih lebih muda 10 tahun. Tapi, intensitasnya semakin bertambah belakangan ini. Entah apa sebabnya.
Awalnya aku membayangkan bercinta dengan pasangan lain, membantu si suami memuaskan istrinya. Fantasi liar saja yang lama kelamaan mulai kuganti dengan fantasi yang lebih gila. Aku bersama laki-laki lain, memuaskan Gina istriku.
Aku ragu mengungkapkannya ke Gina pada awalnya. Tapi ketika nafsuku semakin membubung tinggi, aku akhirnya berani melontarkannya. Di luar dugaanku, Gina tidak protes. Bahkan dia menyambutnya dengan antusias ketika kami bercinta. Tapi kami tidak pernah membahasnya lagi selepas bercinta, baru pada sore ini. Sekali lagi aku agak terkejut, Gina tidak marah dan bahkan menanggapinya dengan bercanda.
Delapan belas tahun menikah dengan Gina, sesungguhnya kami sudah benar-benar terbuka satu sama lain. Termasuk soal seks. Sudah begitu banyak variasi yang kami coba, semua demi mengenyahkan rasa bosan akan seks. Berbagai gaya kami coba, sesekali juga melarikan diri ke hotel di kota kami, bercinta kilat seperti pasangan muda yang belum sah. Sering juga kami memainkan peran. Aku pernah berperan menjadi pemijat yang memijat tante-tante kesepian, pernah juga dia yang berperan sebagai pemijat yang digoda pelanggannya. Sekali waktu dia berperan sebagai suster yang nakal, di waktu lain aku berperan sebagai polisi jahat yang memperkosa tahanannya. Segala yang bisa dicoba, kami coba.
Aku bisa berbangga diri, di usia yang tak lagi muda ini kami bisa merawat nafsu seks kami tetap panas. Soal tubuh pun kami juga tak pernah abai. Meski sudah di atas 40 tahun, aku masih merasa cukup tegap dan tidak terlalu tambun seperti umumnya pria seumuranku. Gina pun begitu. Tubuhnya masih montok meski tentu saja dia tidak bisa sepenuhnya melawan lemak dan guratan di tubuh dan wajahnya. Tapi, dibandingkan wanita seusianya dia masih menggoda.
40 tahun, dengan kulit putih mulus karena rasnya yang Mongolid, dada yang membusung berukuran 36C, pantat yang kencang hasil kebiasaan lari dan bersepeda, Gina adalah contoh paling pas menggambarkan seorang MILF. Mom I’d Like to Fuck.
“Dengan body kayak gini, anak ABG bisa saja ejakulasi prematur kalau sama kamu, Mah.” Kataku suatu waktu.
“Ah, masak sih Pah?” Dia tak percaya. Wanita memang aneh, menurutku. Selalu saja merasa tidak percaya diri, merasa kurang.
“Ih, gak percaya. Mau aku buktikan?”
“Heh? Emang gimana caranya?”
“Fotomu aku masukin forum ya, tentu saja tanpa wajah. Biar kamu bisa lihat sendiri kalau masih banyak cowok-cowok yang kesengsem sama bodimu sayang,” kataku.
Aku memang baru saja menemukan sebuah forum di internet. Forum yang sebagian besar isinya adalah percakapan tentang seks. Bahkan ada satu topik khusus di mana anggotanya memamerkan tubuh istri mereka. Forum itulah yang kutunjukkan pada Gina. Meski awalnya agak jengah, dia akhirnya luluh juga dan mengijinkan aku menunjukkan fotonya kepada para penghuni forum.
“Nih Mah, lihat ini. Masih banyak yang konak tuh melihat bodimu,” kataku sambil menunjukkan komentar anak-anak forum melihat foto bugil Gina.
Senyumnya merekah, pipinya memerah. Aku tahu dia senang, hanya masih malu saja mengakuinya. Wanita mana sih yang tidak senang dipuji? Apalagi ketika dia mulai terserang penyakit rendah diri di usia 40 tahun. Komentar dan pujian anggota forum yang begitu vulgar dan kadang agak kurang sopan, ternyata berhasil mendongkrak rasa percaya diri Gina. Dia semakin panas di ranjang, dan bahkan semakin percaya diri berpose menantang.
Dia senang, aku bahagia.
Lalu fantasi threesome itu semakin berkembang. Di salah satu topik, seorang anggota forum menceritakan pengalaman threesome bersama istri dan salah satu anggota forum lainnya. Cerita itu disempurnakan dengan foto dan video percintaan yang panas. Sungguh komplit dan berhasil membuatku semakin bersemangat menjaga fantasi itu.
“Itu betulan?” Tanya Gina ketika kutunjukkan foto threesome mereka.
“Iya betulan,”
“Wow!” Hanya itu jawabnya, sambil matanya terus menatap foto-foto dan cerita panasnya percintaan segitiga itu. Kalau selama ini kami hanya menyaksikan adegan percintaan segitiga itu dengan aktor dan aktris bule, kali ini kami melihat sesuatu yang lebih nyata. Dilakukan oleh orang Indonesia seperti kami, dan tanpa skenario seperti film. Semua nyata dan apa adanya.
“Gimana? Mau gak?” Tanyaku menggoda.
“Sepertinya menarik juga,” jawabnya lalu tertawa renyah. Mungkin untuk menutupi rasa malunya. Tapi aku senang melihatnya tertawa. Aura kecantikannya masih memancar dengan sangat kuat. Semburat keemasan cahaya matahari jatuh tepat di wajahnya, membuatnya semakin terlihat menarik. Aku ikut tertawa.
Salah satu kunci keterbukaan kami adalah menghindarkan penghakiman. Kami bebas berfantasi apa saja, tanpa harus menghakimi satu sama lain. Ini juga yang membuat dia begitu bebas menjadi diri sendiri, pun dengan aku. Tidak perlu jaim, segila apapun fantasimu kita nikmati bersama, begitu prinsip kami. Itu juga yang membuat fantasi threesome kami semakin membara.
III
“Halo Bro, lagi sibuk?” Sapaan itu masuk ke BBM ku, malam selepas magrib.
“Halo juga Bro. Gak sih, biasa aja, hehehe,” kubalas sapaan itu dengan sopan.
Lawan bicaraku mengaku bernama Andy. Kami tersambung lewat BBM setelah dia mengirim pesan pribadi ke akunku di forum. Katanya dia penasaran melihat foto tubuh Gina yang kuposting di forum. Memang sejak kutuliskan kalau kami sedang berfantasi threesome, beberapa anggota forum segera mengirimkan pesan ke akunku, meminta tukaran pin BBM dan bahkan ada yang terang-terangan mengaku ingin mencicipi tubuh Gina.
Tidak semua permintaan pertemanan itu aku penuhi. Beberapa yang kuanggap tidak sopan dan tidak sreg tidak aku acuhkan. Hanya mereka yang kuanggap sopan dan cukup dewasa saja yang kuterima permintaan pertemanannya. Bagaimanapun buat aku kenyamanan nomor satu, apalagi buat Gina.
Dari sekian banyak yang sering chat denganku, Andy ini salah satu yang paling intens. Dia mengaku berusia 40 tahun juga, sudah pernah menjadi pasangan threesome dari sepasang pasutri dan tentu saja mengaku punya pengalaman banyak soal seks. Dari nada bicaranya di chat, dia sepertinya sangat sopan dan dewasa. Dia bukan tipe yang tiba-tiba minta foto telanjang. Meski kadang dia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak mengutarakan kekagumannya pada bodi Gina.
“Gila bro, itu pantat wife lu semok banget. Gue jadi pengen nepok2, jilat2 dan gue doggy sampai dia orgasme,” tulisnya suatu waktu.
Pesan itu kusampaikan pada Gina dan kontan membuat wajahnya tersipu malu. Itu pertama kalinya dia melihat langsung rasa penasaran seorang lelaki lain kepadanya lewat jalur pribadi, membaca langsung bagaimana seorang lelaki lain berfantasi tentang tubuhnya. Dan dia mengaku suka.
Sebagai ucapan terima kasih, Gina memotret langsung tubuh bugilnya dan memintaku mengirimkannya buat Andy. Kami memang masih memegang teguh aturan, tidak boleh ada hubungan apapun antara Gina dan lelaki lain. Semua pesan harus lewat aku. Untuk persoalan ini aku benar-benar hati-hati, bagaimanapun kami punya kehidupan nyata yang harus dijaga.
Betapa senangnya Andy ketika pesan dari Gina kusampaikan padanya. Keesokan harinya dia mengakui, ketika bercinta dengan istrinya semalam dia malah membayangkan tubuh Gina. Pengakuan yang sebenarnya membuat Gina jengah juga, tapi sekaligus membuatnya bernafsu.
Pendekatan Andy yang begitu sopan dan ulet meski sesekali nakal, membuat Gina luluh juga. Dia oke saja ketika aku menyarankan untuk ngobrol bertiga dengan Andy.
“Biar Mamah bisa dengar langsung pujiannya,” kataku. “Siapa tahu dia bisa jadi partner threesome pertama kita, hehehe” lanjutku. Gina tersenyum menggoda mendengarnya.
Lalu jadilah kami ngobrol bertiga di sebuah grup khusus.
Percakapan awalnya berjalan canggung. Gina masih agak malu, ini pertamakalinya seorang lelaki lain masuk ke dalam kehidupan pribadi kami. Beruntung Andy cukup pandai membawa suasana. Perlahan tapi pasti dia bisa membuat Gina menjadi nyaman. Dari obrolan biasa hingga akhirnya mulai memanas. Aku lebih banyak mengamati saja obrolan di grup itu, sambil menahan nafsu yang memuncak.
Di malam pertama kami ngobrol bertiga, aku dan Gina benar-benar menjadi liar di ranjang. Kami bercinta seperti berbulan-bulan tidak bercinta. Panas, penuh gairah. Obrolan panas di grup dan bayangan Andy kami hadirkan, membuat kami benar-benar tepar dengan rasa puas yang lebih dari sebelumnya.
“Baru fantasi aja udah begini enaknya. Gimana kalau betulan ya?” Kataku dengan napas tersengal. Gina hanya mengangguk, napasnya juga sama tersengalnya.
Kami mengakhiri malam itu dengan ciuman lembut dan pelukan hangat. Sebelum tidur, aku membisikkan sesuatu ke telingat Gina.
“Kayaknya Andy ini bisa dapat kesempatan buat merealisasikan fantasi kita ya Mah?”
“Kayaknya bisa,” jawab Gina singkat. Lalu dia tersenyum. Aku sulit menerka arti senyumnya, tapi kuanggap itu sebagai lampu hijau.
Fantasi itu semakin dekat menjadi kenyataan.