AVENGERS
A GIGANTIC PENETRATION
***
Avengers Tower, tiga belas tahun yang lalu.
“Bagaimana gadis baik-baik sepertimu bisa berada di tempat seperti ini?” Bruce menggodaku pada suatu pesta.
“Seorang pria memperlakukanku dengan buruk,” balasku bercanda.
“Seleramu memilih pria memang buruk, sih...,” timpal Bruce dengan senyumnya yang canggung.
Kulirik sekilas wajahnya. Garis-garis tawa di sana membaur sempurna dengan garis lainnya; garis usia, gurat kesedihan, torehan bekas kehidupan yang kelam dalam pelarian, dan cercah-cercah kejeniusan.
Dia terlihat begitu rapuh namun kuat (oh, kalian tahu dia salah satu makhluk terkuat di alam semesta), begitu canggung namun mempesona.
“Dia sebenarnya tidak seburuk itu, kok....” ujarku perlahan sambil mengangsurkan segelas cocktail.
Jarinya terulur menyambut gelas yang kusodorkan, menyapu sekilas punggung tanganku. Walaupun sekilas dan gemetar, kehangatan sentuhannya begitu nyata. Kemesraan yang tersamar dalam basa-basi canda.
Bruce duduk di depanku, bertelekan dengan siku. Bahunya yang lebar bercabang pada dua lengan yang kokoh. Aku ingin berbaring berbantalkan lengan itu.
“Yah, walaupun dia pemarah, tapi aku tahu, dia sebenarnya pria yang lembut.” Mataku lekat terkunci padanya. Pada sang pria yang balik menatapku sambil menyesap cairan berwarna merah muda.
“Dan berbeda sekali dari semua pria yang pernah kukenal.”
Bruce terus terdiam menatapku. Sesekali - saat tatapanku teralih, dengan ekor mata kurasakan - Bruce curi-curi melirik belahan dadaku. Aku suka.
“Aku terbiasa dengan pria-pria yang senang bertarung. Kemudian tiba-tiba muncullah pria ini, yang seumur hidupnya berusaha menghindari pertempuran, karena tahu pasti bahwa dia akan menang dan merusak semuanya.”
“Kedengarannya pria yang hebat,” kata Bruce pada akhirnya. Aku mulai sebal padanya. Belum pahamkah dia siapa pria yang kumaksud?”
“Dia juga seorang kutu-buku yang ketinggalan jaman,” kataku seolah mencibir. Kamu jangan besar kepala dulu, hihi….
Bruce termangu sesaat.
“Wanita suka itu kok,” ujarku cepat. Tapi kamu jangan segitu kecil hati juga, dong….
“Jadi bagaimana menurutmu? Apakah aku harus melawan perasaanku? Atau melanjutkannya?” tanyaku lagi.
“Lanjutkan saja, bukan?” jawabnya ragu-ragu. Kecanggungan pria kadang benar-benar menjengkelkan.
“A-apakah dia, ng, maksudku, a-apa sih yang pria itu pernah lakukan padamu yang membuatmu merasa begini?” Bruce masih saja tergagap dalam kalimatnya.
“Tidak melakukan apa-apa, sih….”
“…dan itulah masalahnya,” kataku tandas. Lalu pergi begitu saja meninggalkannya yang masih terbengong sendiri.[sup](1)[/sup]
***
Oregon, masa kini.
“Mom, aku berangkat!” Putriku berseru dari ambang pintu.
Aku bergegas keluar dari ruang makan. Nance - putriku semata wayang - sudah mengenakan sebelah sepatunya sambil berdiri.
“Ini terlalu pagi, bukan? Dan kau belum sarapan!”
“Aku harus berangkat pagi-pagi, Mom. Mrs. Lynn berulang tahun, aku harus memastikan kejutan untuknya berjalan lancar,” ujarnya santai sambil berdiri.
“Tapi aku sudah membuat pancake!” Aku menyilangkan lengan.
“Tapi Mom! Ak-“
“Nancy Svetlana Romanova!”
Nance berdiri mematung menyadari aku tidak berniat mengalah.
“Kau ingat pesan Mrs. Lynn, kau sendiri yang bilang padaku, bahwa beliau bilang ‘Sarapan adalah mak-‘”
“Ya ya ya, Mom,‘Sarapan adalah makanan paling penting dalam sehari’”. Dilepasnya kembali sepatunya lalu berjalan mengikutiku ke ruang makan.
“Bawel,” gerutunya.
“Hey, aku dengar itu,” aku menegur, sulit menahan senyum.
Nance duduk dengan wajah cemberut. Ditariknya sebuah piring putih, dengan wajah tetap tertekuk. Selembar plain pancake ludes dalam dua detik. Dua, lalu tiga.
“Kau mau maple syrup?”
Nance menggeleng.
“Aku mau bacon dan scrambled egg,” katanya dengan mulut penuh.
“Itu maumu,” kataku tertawa.
Kutatap wajahnya. Kuulurkan tangan, membelai pipinya, mencubit dagunya yang runcing. Wajahnya begitu rupawan, seperti bidadari. Bukan, dia cantik bagaikan dewi. Mataku mengamati bintik jerawat yang sudah mulai menghiasi area di sekitar hidungnya.
Putriku akan segera memasuki masa pubertas.
Nance berdiri, dengan mulut penuh diciumnya pipiku. Iseng, disambarnya cangkir kopiku, lalu menyesap isinya yang pekat.
“Wekh… Pahit!”
Aku tertawa dan mengacak rambutnya. Kuantar dia ke pintu pagar.
“Bus sekolah belum datang, tampaknya,” ujarku ke arah jalanan yang masih sepi.
“Ya sudah, aku lari saja.” Nance berkata dengan santai.
“Ok. Tapi ingat, jang-“
“Jangan sampai terlihat orang! Iya iya, aku ingat, Mom….”
“Love you, Mom!” serunya sambil melesat dalam kecepatan kilat.
Aku menghela napas. Untunglah rumahku yang berposisi di ujung jalan cukup jauh dari rumah warga yang lain. Tidak ada tetangga yang melihat Nance saat mulai berlari dan berpindah kecepatan menjadi tidak biasa, seperti yang baru saja dia lakukan.
Tiba-tiba aku teringat pada hari aku melahirkan Nance, saat Vision[sup](2)[/sup] berbisik padaku,
“Gadis kecilmu akan baik-baik saja sampai dia beranjak remaja. Ketika kedewasaan mulai menjelangnya, dia membutuhkan ayahnya. Karena, kau tahu, gadismu ini berbeda.”
***
Avengers Tower, tiga belas tahun yang lalu. Malam yang sama, gedung yang sama, di kamarku larut malam itu ketika kekacauan karena kemunculan Ultron[sup](3)[/sup] telah mereda.
Kubuka pintu sebelum Bruce mengetuknya. Senyumnya mengembang di ambang pintu.
“Hai, big guy,” sapaku sambil bersandar di kusen pintu.
“Oh, kau takkan setenang ini jika yang berdiri di sini adalah pria besar itu…,” ucap Bruce, masih tersenyum.
“Kata siapa aku tenang?” kataku lirih.
Bruce melangkah mendekat, melingkarkan lengan di pinggangku, lalu dengan mengejutkan menyentakkan tubuhku mendekat. Sebuah sentuhan singkat yang masih bisa dianggap pelukan bersahabat. Namun itu hanya bagi pikiran yang naif.
Ketika kemudian kami memisahkan diri, wajah kami begitu bersemu. Kurasakan tetesan embun di sudut mataku.
“Semoga setelah ini kau tidak lagi menganggapku tidak pernah melakukan apa-apa,” ujarnya. Aku memang sengaja memberi alkohol berlebih pada cocktail-nya tadi.
Alih-alih menjawab, aku kembali meraih ke arahnya, meletakkan telapak tanganku yang kecil di belakang tengkuknya yang terasa keras namun hangat. Kudekatkan bibirku ke bibirnya yang menyambutku dengan ciuman kecil yang lembut.
Kami berciuman. Ringan pada mulanya, lalu berangsur memanas ketika lidahnya menelisik sela bibirku, menemukan lidahku yang semula menunggu.
Bruce bergerak maju, merapatkan diri pada tubuhku yang - ya Tuhan - mulai bergetar karena gairah. Pinggulnya merapat ke tubuhku, dadanya menekan dadaku, seluruh tubuhnya mengirimkan pesan, sebuah permintaan yang tidak dapat ditolak oleh naluriku.
“Kau mau masuk?” kataku pada sela kuluman bibirnya.
Bruce mengangguk, lalu melangkah melewatiku ke dalam kamarku yang temaram. Sebuah bilik biasa. Satu tempat tidur, satu rak pakaian. Tanpa poster, tidak juga hiasan.
Di dalam kamar, Bruce memutar badan, berbalik ke arahku. Sikap berdirinya seolah berkata, ‘Sekarang apa?’
Aku tahu, waktu kami tidak banyak. Beberapa jam lagi kami harus memulai pencarian posisi Ultron, sebelum ancamannya benar-benar terjadi. Bagiku dan Bruce, perasaan di antara kami sudah begitu gamblang untuk berbasa-basi.
Aku pernah berhubungan seks dengan banyak pria, juga wanita. Dalam peristiwa perkosaan, aku pernah menjadi korban, namun lebih sering menjadi pelaku yang dominan.
Namun malam ini, dunia benar-benar berbalik. Aku gugup! Pria yang kurayu pada permulaan malam, kini berdiri mengamatiku yang melangkah canggung ke arahnya.
Aku berjalan perlahan, mendekat ke arahnya yang terus menatapku dengan mata indahnya yang seakan menghipnotis. Hasratku begitu membesar pada setiap langkah. Miliki aku, Bruce….
Seakan mampu membaca pikiranku, Bruce menyongsongku, meraih pipiku, lalu menarik wajahku ke dalam ciumannya.
“Oh, Bruce…. Mmmmmhhh….”
Sejujurnya aku tidak mengira kami akan bergerak secepat ini. Aku memang gemas pada sikapnya yang begitu kaku dan pemalu. Tapi sejujurnya aku menikmati semua itu. Dan kemunculannya yang tiba-tiba di depan pintu kamarku tadi cukup mengejutkanku. Baiklah, aku tidak benar-benar terkejut. Aku mata-mata yang terlatih dengan tingkat kewaspadaan sempurna. Aku membuka pintu bahkan sebelum dia mengetuknya, kan? Tapi kalian tahu maksudku.
Dan malam ini Bruce menghilangkan keraguan yang semula kurasakan.
“Mmmmmmmhhhhh…. Natasha…,” gumamnya di sela pergulatan lidah kami yang mulai menemukan ritmenya.
“Mmmmhhhh, Bruce…. Panggil aku Nate. Untukmu, aku Natalia[sup](4)[/sup]….”
Kau tahu itu cinta, ketika seorang mata-mata rela memberitahu nama gadisnya pada seorang pria.
Jas abu-abu yang dikenakannya terlepas jatuh, membelit kaki-kaki kami ketika Bruce mendesakkan tubuhnya ke tubuhku.
Bibir kami terus bertautan, saling pijat dengan lembut. Oh, Tuhan, betapa indah ciumannya. Betapa lembut kulumannya.
Mengapa aku terkesima? Dia Bruce Banner; saintis dengan pengetahuan mendalam mengenai anatomi tubuh manusia hingga mikroba. Tak heran Betty Ross[sup](5)[/sup] jatuh cinta setengah mati padanya.
Lengannya yang besar dan berbulu merangkul pinggangku, jemarinya meremas kedua bulatan pinggulku dengan nakalnya.
“Ahhhhh, Bruce… Kau pria yang na-“
“Nampak rupawan?” ucapnya berseloroh.
Dia makin berani.
“Aku mau bilang kau nakal, tapi rupawan juga ada benarnya….”
Kulepaskan kancing kemeja abu-abu yang dikenakannnya. Kancing teratas. Kancing kedua, ketiga hingga tampak dadanya yang bidang dihiasi rambut yang tumbuh merata. Oh, betapa aku tergila-gila kepada pria dengan rambut di dada. Aku berlutut di depannya, melepaskan gespernya dengan mataku tetap lekat menatap matanya.
Klik!
Bertelanjang dada, dengan boxer pant hitam-hijau, Bruce menunduk meraihku, namun tangannya kutepis dengan manis. Kuselipkan jari-jariku di pinggang boxer pant-nya, meloloskan pinggulnya yang membulat khas lelaki, seperti lekukan pada arca Yunani.
Batang kelelakiannya menyembul perkasa, berdiri setengah keras karena gairah seperti yang kurasa. Kutelusurkan telapak tanganku di sepanjang garis batangnya, sedikit meremas dan memijat-mijat, sebelum - tanpa ragu - kumasukkan setengahnya ke dalam kulumanku.
“Ohhh, Nate….”
Bruce mendesah. Matanya terpejam, wajahnya terangkat menatap langit-langit dengan gelisah, - mungkin - sedang menikmati betapa nikmatnya perlakuanku di selangkanganya.
“Tatap aku…,” bisikku di sela-sela gerak lincah bibir dan lidahku yang memanjakan kejantanannya.
Bruce menunduk memandangku, namun lehernya kembali tersentak, membuatnya menengadahkan wajah, ketika dengan tenggorokan kulakukan semacam geraman untuk memberi efek vibrasi – salah satu trik fellatio yang sangat kukuasai - lalu memutar-mutar lidahku dari pangkal hingga ujung penisnya, sambil kembali berbisik,
“Tatap aku, Bruce… Tatap aku….”
Dia – sepertinya – tidak tahan lagi. Dengan tergesa ditariknya tubuhku berdiri hingga wajahku menjajari wajahnya. Kedua tangannya menyentuh bahuku, meremas dengan lembut, dan dengan kekuatan yang mengejutkan merenggut ke samping, mengoyak lepas tanktop sekaligus sport bra-ku.
“Aiiihhh…. Bruce!!!” Aku terpekik dibuatnya.
Bruce tersenyum. Aku memeluknya erat-erat, belum sembuh dari keterkejutanku. Hasratnya yang menggebu membuatku merasa sangat didambakan, dan itu membuatku senang.
Aku menggelayut penuh pada lehernya ketika Bruce menggendongku, lalu menurunkanku dengan lembut di tempat tidurku. Pelukanku kian kueratkan, mengajaknya ikut rebah menindihku. Bibir kami kembali saling menemukan, saling lumat dan pijat dalam gumaman-gumaman samar.
Aku memutar tubuh hingga membelakanginya, menempatkan bulatan pantatku tepat di lengkungan di antara perut dan pahanya. Bruce memelukku dari belakang, tangannya mulai melucuti celanaku dengan tidak sabar. Kugerakkan kaki bergantian, membantu upayanya untuk membuatku telanjang sepenuhnya.
Bruce menciumi tengkuk, leher dan kulit tipis di belakang telingaku. Napas dan rambut cumbu di wajahnya terasa menggelitik, membuatku bergidik namun tidak berhenti mendambakan lebih.
“Ohhhh…,”
Aku mendesah ketika jari-jarinya menyusup di antara kakiku. Bruce menempatkan jari tengahnya tepat seperti yang kuinginkan; terselip di sepanjang belahan vaginaku yang mulai lembab karena percumbuan.
Bruce mulai menggerakkan jarinya. Menekan, menelisik dan menggerus celahku yang semakin licin.
“Ahhhhh…. Bruce…. Ooouhhhhhh….”
Aku tidak lagi ingat mengatur raut wajah. Aku tidak lagi peduli pada upaya untuk terlihat cantik di depannya. Ekspresi wajahku tertekuk sama sekali di luar kendali, terlarut dalam kenikmatan yang ditorehkan jari-jari Bruce di bawah sana.
“Bruuuuuuuce…. Ahhhhhh…. Ini gilaaaaa…. Ahhhhh, jangan berhentiii….”
Bruce menarik wajahnya dari tengkuk dan telingaku. Dia memandangiku, terlihat sangat menikmati bagaimana dia bisa mengendalikanku dengan permainan jari. Aku memejamkan mata kuat-kuat, sekuat kedua pahaku yang kukatupkan erat-erat, menjepit lengannya yang masih bermain di area genitalku yang kini membanjir. Tubuhku didera dilema yang benar-benar akut; menggelinjang menikmati, atau menegang kaku agar tangannya di bawah sana terkunci.
“Bruce, Bruce, Bruce, Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh….”
Pinggulku terangkat, menghentak, sekali, dua kali, tiga kali, sebelum tubuhku mengejang kaku. Seluruh otot di paha, perut dan pinggulku menegang ketika semburan cairan kenikmatanku menyembur membasahi tangan Bruce. Aku mengalami ejakulasi.
Bruce memutar tubuhku sebelum aku bisa memulihkan diri. Ditariknya pinggulku ke belakang, memposisikanku seperti merangkak, lalu menyelipkan batang kejantanannya yang telah tegak maksimal ke dalam celahku yang begitu mendambakannya. Gerusan batangnya di dalam relung organ vitalku terasa kasar, memberi efek gatal-nikmat yang menyiksa.
“Ouuuuhhhhh, Bruce… Rasanya, ahhhhh… Penuh sekali….”
Bruce mulai bergerak memompa dengan cepat. Terlalu cepat. Kugapaikan lenganku ke belakang, menyentuh pahanya dengan lembut,
“Ini bukan balapan..hhhh, Bruce..hh…,” kataku dalam desah, sambil menolehkan wajah.
Setelah beberapa kali hujaman, Bruce berhenti sejenak. Dia tahu bahwa jika dia terus bergerak, dia akan langsung meledak. Dari sentuhan gerak-geriknya aku tahu, dia ingin aku orgasme sekali lagi, bersamanya, dan dia tidak ingin mendahuluiku.
Pada saat seperti ini biasanya pria akan mencari alasan agar terlihat wajar menghentikan gerakan. Berlagak hendak berciuman, menyuarakan rayuan, atau menanyakan alat pengaman. Tapi aku tahu bahwa Bruce tahu, kami tidak butuh alat kontrasepsi. Semua mata-mata wanita KGB tidak akan dapat hamil, karena operasi pengangkatan rahim pada masa remaja.
Bruce kembali menggerakkan pinggulnya maju dan mundur. Kenikmatan kembali merangkak dari pertemuan tubuh kami di dalamku. Aku menegakkan setengah tubuhku bagian atas, menggapai sebelah tangan Bruce, membawa telapaknya ke depan. Kugenggam tangannya, mengajaknya meremasi payudaraku yang berguncang-guncang seirama tusukan Bruce dari belakang.
“Ahhhhh, Nate, ini nikmat sekali….. Ahhhhhhhh….”
“Iyaah, Bruce…hhh, teruskan…. Ouuhhhh…. Aku sukaaa…hhhh….”
Sebelah tangan Bruce meremas lembut bahuku, sementara yang lainnya meremasi payudaraku kanan dan kiri, menderaku dengan sentakan-sentakan lewat pilinan jari pada kuncupnya, berganti-ganti.
“Bruce…. Ahhhhhhh…. Dalam sekali…hhh… Ouuuhhh, Bruce…..”
Aku tidak tahan lagi. Kenikmatan yang dihujamkan Bruce di sekujur tubuhku begitu menghentak, beberapa saat lagi orgasmeku akan meledak. Bruce mempercepat gerakannya. Tanganku kembali menggapai ke belakang, meremas pantatnya yang berkontraksi sekeras batu.
“Ahhhhhhhh, Nate…. Aku mau sampai….”
Aku hanya merintih, tak kuasa berkata-kata lagi. Suaraku kemudian berubah menjadi jeritan, ketika pada saat yang sama Bruce menghujamkan penisnya dalam sentakan yang begitu dalam.
Kami mendesahkan orgasme ke udara, ketika pendakian kami berakhir di puncak pada detik yang sama. Bruce menyentak beberapa kali, seirama dengan semburan nutfahnya di rahimku. Pinggulnya mendesak, seolah akan menghilang ke dalam tubuhku, ke dalam kehangatan dekapan vaginaku yang berdenyut menyambutnya.
Peluh membanjiri tubuhku dan tubuhnya, melekatkan kami yang bertindihan dalam trance akibat kenikmatan yang baru saja mendera.
Tubuh Bruce mengendur, turun menekan punggungku yang kini tertelungkup di ranjang yang tidak lagi keruan bentuknya. Bibirnya menyentuh kupingku, terus mendesah, meredakan napasnya yang memburu, sama sepertiku.
“Oh, Nate…,” bisiknya.
[/URL]
Jika saja rasa mendamba kami satu sama lain tidak demikian kuatnya, tentu saat itu adalah saat yang canggung bagi kami. Menyadari bahwa masing-masing kami belum melepaskan kaus kaki, dan celana dalamku masih melingkar di pergelangan kakiku sebelah kiri, hihi…
Kami lalu saling mencari dalam posisi berpelukan. Kutarik selimut, menutupi sebagian tubuh kami yang didera kelelahan.
Aku berbaring memeluk Bruce, berbantalkan bahu dan ketiaknya. Keringat tubuhnya menguarkan samar aroma keringat bercampur cologne yang maskulin. Lengannya membelai pinggang, perut, dada, leher lalu wajahku,
[/URL]
“Setelah semua latihan, pertarungan dan peperangan yang kau lalui, bagaimana mungkin kulitmu masih sehalus ini, Nate?”
“Oh, sebelum Avengers, banyak bekas luka di beberapa bagian tubuhku. Tetapi kini hilang, terima kasih padamu dan Helen[sup](6)[/sup],” jawabku.
“Aku dan Helen?”
“Ya. Serum yang kalian buat dari healing factor dalam kromosom-mu, ingat?”
“Ah, iya….” Bruce tergelak.
“Serum itu membuatku, Clint dan Steve bisa menyembuhkan diri dari hampir segala macam luka. Tidak secepat raksasa hijau ini, sih, tapi sangat membantu,” ucapku sambil mencubit tangannya yang kembali meremasi payudaraku.
Kami berpelukan beberapa lama. Lalu Bruce mengecupku dan beranjak pergi sesaat sebelum rasa lelah membuatku menyerah pada lena.
***
Oregon, masa kini.
Menjadi ibu rumah tangga bukan hal yang sulit bagiku. Pada masa lalu, aku pernah menyamar menjadi apa saja, menjalani bermacam-macam profesi sebagai kamuflase. Ibu Negara, pengusaha, wanita panggilan, sekretaris hingga pembantu rumah tangga.
Namun begitu, menghabiskan waktu di rumah adalah membosankan. Mau tidak mau, ingatanku selalu melayang pada Bruce.
Kami pernah mengangankan keluarga kecil bersama. Namun ketika hal itu kusampaikan pada Bruce, dia punya keinginan yang berbeda,
“Aku tidak bisa, Nate. Aku tidak bisa punya rumah seperti ini. Aku tidak bisa punya keluarga….” [sup](7)[/sup]
Keinginan Bruce untuk menyendiri begitu kuat. Dia memilih meninggalkanku, Avengers dan bayi dalam rahimku (baiklah, waktu itu aku sendiri belum tahu tentang kehamilanku), dengan satu tombol yang ditekan perlahan, di atas Quinjet, pada penghujung Battle of Sokovia,
“Hei, big guy. Kita berhasil.”
Bruce dalam wujud raksasa hijau, menatap balik ke arah monitor yang - tentu - menampilkan wajahku.
“Tugas sudah selesai,” lanjutku. Bruce masih terdiam.
“Sekarang tolong ubah modus pesawat ini, ya? Kami tak bisa melacakmu dalam modus siluman.”
“Nate….” Suaranya seperti gemuruh saat menyebut namaku.
Dia hanya menatapku dari proyeksi tiga dimensi. Tidak berbicara, namun aku tahu matanya menyiratkan perpisahan.
“Mengapa, Bruce? Tolong-,“
Komunikasi holografis real-time terputus. Bruce pergi. [sup](8)[/sup]
[/URL]
Berhari-hari kemudian aku baru dapat memahami alasan kepergiannya. Hulk adalah makhluk paling destruktif di bumi, dan salah satu makhluk dengan kekuatan mematikan yang massif di level alam semesta. Mungkin kenyataan itu membuatnya khawatir, suatu saat akan muncul lagi pihak yang dapat menggunakannya sebagai alat pemusnah dunia. Dia memutuskan bersembunyi.
Lagi?
Ya. Tidak ada jaminan bahwa manipulasi yang dilakukan Loki Odinson dan Wanda Maximoff[sup](9)[/sup] adalah yang terakhir kali terjadi.
Ting!
Lonceng tembaga kecil di pintu pagarku berdenting, membuyarkan lamunanku. Aku bergegas membuka pintu.
“Selamat siang, Mrs. Romanova,” sapa seorang pemuda berusia belasan. Empat belas tahun, bukan, tiga belas tahun lebih tujuh atau delapan bulan.
“Selamat siang,” jawabku. Pertanyaan seorang ibu kulontarkan tanpa kata, hanya kerutan di jidat dan raut mata.
“Saya mencari Nance. Kami ada pe-er berpasangan,”
Terdengar suara pintu kamar terbuka di lantai dua.
“Mom, apa itu Dave?” seru Nance dari atas.
“Hmmmm, entahlah. Apakah ini Dave?” tanyaku kepada Dave dengan senyum menyelidik.
“Oh, maaf Mrs. Romanova. Kenalkan, saya Dave,” kata anak itu dengan sopannya.
“Senang berkenalan denganmu, Dave. Dave untuk David?”
“Ya, Mrs. Romanova. David. David Railey.”
“Oh, Railey.” Keluarga Railey tinggal di perempatan jalan 16 dan 7. Mr. Railey seorang polisi lalu lintas. Istrinya, Joanna Railey adalah guru piano. Mereka bersih.
Aku tidak bisa menahan diri dalam hal ini. Aku mengenal setiap nama orangtua siswa yang bersekolah di sekolah Nance. Aku tahu profesi, alamat, kebiasaan hingga catatan kejahatan masa lalu mereka. Di samping sudah menjadi kebiasaan, ini juga bagian dari mekanisme perlindunganku terhadap diri dan - terutama - Nance.
“Interogasinya sudah selesai, Mom? Kami boleh kerja pe-er, sekarang?” Nance bertanya dengan sebal.
Nampak sekali Nance ingin membuat teman prianya terkesan. Dasar remaja.
“David, kau boleh naik. Nancy, tolong turun sebentar ada yang harus kusampaikan. Kamar Nancy di sebelah kiri, Dave.”
“Baik, Mrs. Romanova.” Dave beranjak dengan patuh.
Nance turun dengan malas, lalu berdiri menatapku dengan tidak sabar.
“Nancy, Mom hanya mau meningatkanmu, kau harus berhati-hati,” bisikku ketika Dave sudah menghilang ke dalam kamar.
“Iya, Mom, pasti…,” jawabnya malas.
“Kau harus selalu ingat, kendalikan kekuatanmu, kendalikan kecepatan gerakmu. Jangan ada pertunjukan aneh, jika kau tidak mau diperlakukan sebagai orang aneh. Ayahmu adalah orang dengan kekuatan yang tidak biasa, dan itu menurun padamu,”
“Ya ya ya, dia seorang superhero hasil eksperimen pemerintah yang mati demi melindungi bumi, bla-bla-bla. Ceramah ini sudah kau sampaikan jutaan kali, Mom, aku paham…,”
Aku menghela napas. Maafkan Mommy, sayang, kebohongan yang sama demi kebaikanmu sendiri….
“Ok, sayang. Have fun….”
“Kami mau kerja pe-er, Mom, bukan pesta *****,” jawabnya senewen sambil berlari menaiki tangga ke lantai dua.
Sejujurnya aku tidak pernah terlalu mengkhawatirkan kekuatan tubuh dan kecepatan gerak Nance. Dia sudah pandai mengendalikan dan menyamarkan itu sejak usianya tujuh tahun. Ketakutanku adalah apa yang dikatakan Vision, pada kunjungan-kunjungannya terdahulu,
“Aku merasakan sesuatu pada putrimu, Nate. Dia akan berubah menjadi seperti ayahnya,”
“Menjadi lelaki?” ucapku bercanda.
Vision tidak menanggapi. Dia memang bukan manusia, bukan makhluk yang akrab dengan emosi.
“Aku mendapat visi, Nate. Pubertas akan menjadi titik vital bagi Nancy. Pada periode itu akan ada masa di mana dia tidak dapat mengendalikan perubahan fisiknya. Dia akan menjadi raksasa seperti ayahnya, beberapa kali, sebelum akhirnya dia dapat mengendalikan diri sepenuhnya.”
***
SHIELD Headquarter, tiga belas tahun lalu.
Direktur Fury menertawakanku ketika kusampaikan permintaanku untuk pensiun dini setelah Battle of Sokovia.
“Oregon? Kau bercanda? Mengapa tidak memilih tempat lain di negara yang sepi untuk hidup normal? Hahaha…,”
Aku hanya tersenyum.
“Kau memilih Oregon karena kau tidak benar-benar ingin pensiun, Agen Romanoff. Kau tidak bisa hidup tanpa aksi. Karena kau sadar, kau akan tersiksa dengan hidup menyepi.”
Direktur Fury tidak sepenuhnya benar. Aku mengajukan pensiun bukan karena pencarian ketenangan diri. Aku begitu terkejut saat itu, mendapati diri mengandung. Healing factor pada DNA Bruce Banner ternyata begitu kuat dan mampu menumbuhkan sel, jaringan hingga organ tubuhku yang sudah dipotong bertahun-tahun sebelumnya. Rahimku terbentuk utuh, dan - bukan hanya itu - juga terbuahi dengan sempurna.
Thor berpendapat bahwa paparan Teserract juga punya andil pada akselerasi pertumbuhan sel-sel tubuhku. Kekuatan Teserract memang memiliki efek yang berbeda-beda pada makhluk hidup hingga benda mati.
Tetapi aku tidak terlalu ambil pusing dengan hal itu. Fokusku adalah menjadi non-aktif dan membesarkan anakku; sebuah kemewahan yang tidak akan pernah kudapatkan seandainya aku masih di KGB. Dan aku memilih Oregon untuk melakukannya bukan karena alasan tertentu. Acak saja.
Agen SHIELD level tujuh[sup](10)[/sup] sepertiku tahu betul, bahwa tidak ada tempat di muka bumi ini yang benar-benar lepas dari jangkauan agensi. Terima kasih untuk super-satelit Stark Industries.
Tidak ada tempat yang aman. Maka - dalam kasusku - sembunyi bukanlah pilihan. Aku hanya perlu hidup di mana saja dengan penuh kewaspadaan.
***
Oregon, masa kini.
Blarrrrrrr!!! Blarrrrr!!!
Bunyi benturan dan dinding remuk membuyarkan lamunanku. Aku berlari menuju sumber suara; kamar putriku di lantai dua! Mataku terbelalak memandang lubang besar di void lantai dua, serta tangga kayu yang porak-poranda.
“Nancy! Apa yang terjadi???” Aku berteriak dengan panik.
“Tolooongg!!!”
Terdengar suara jerit mengerikan seorang pemuda dari ruang tamu, menghentikan gerakanku yang sesaat lagi hendak melompat ke atas, menuju kamar Nance.
“David? Kau di mana?” Mataku memandang berkeliling, berusaha melihat di sela-sela debu reruntuhan.
“Di sini, Mrs. Romanova! Di bawah sini!” serunya dari balik tumpukan papan kayu yang - jelas - runtuh dari lantai atas. Dengan sepenuh kekuatan, kuangkat reruntuhan itu, menampakkan wajah Dave yang ketakutan.
Blaarrrrrr!!!
Sekali lagi terdengar benturan keras dari arah kamar Nancy.
“Apa yang terjadi? Kau terluka?” tanyaku ketika Dave terbebas dan berdiri.
Dave tidak langsung menjawab. Jelas sekali dia shock berat. Dave lalu mulai berbicara dengan gagap karena paniknya,
“A-aku tidak apa-apa, Mrs. Romanova. Hanya terkilir waktu me-melompat turun. Tangga d-dan lantainya runtuh. Tapi monster itu, Mrs. Romanova! To-tolong Nance, dia masih di atas. Monster itu akan menangkapnya, Mrs. Romanova!”
“Monster?” tanyaku.
Dave menangis mengangguk. “Iya, Mrs. Romanova. Tadi aku keluar kamar untuk menerima telpon. Ketika masuk lagi, monster itu sudah di sana. Tolong Nance, Mrs. Romanova!”
“Dave, Dave, dengar aku. Hey, hey!” aku menamparnya pelan, ketika paniknya tidak juga mereda.
“Kau pulanglah dulu. Jangan katakan apa-apa pada siapa-siapa.”
“Baik, Mrs. Romanova,”
Kurenggut kembali lengannya, “Berjanjilah,” aku setengah berbisik, menatap matanya lekat-lekat.
“Aku berjanji, Mrs. Romanova,” katanya cepat. Matanya yang tidak fokus membuatku tahu, janji anak ini tidak dapat kupegang.
Dave berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh ke belakang. Terdengar suara geraman pelan dari lantai atas, seperti gemuruh.
Seperti monster.
Aku berjalan ke tempat di mana – tadinya – tangga terpasang. Sebelum melangkah naik, aku berkata dengan suara biasa,
“Mary[sup](11)[/sup], aku butuh bantuan. Semua ini perlu dibersihkan. Kirim Wanda[sup](12)[/sup] ke kediaman Railey. Ingatan mereka butuh pembaruan.”
Aku tahu, SHIELD selalu mendengarkan. Rumah yang kutempati ini - tanpa perlu kuperiksa dengan teliti - kuyakin penuh dengan penyadap agensi. Super-sensor suara dan gerakan. Aset nonaktif akan selalu dipantau penuh selama dua puluh tahun pertama. Pemantauan diturunkan pada sepuluh tahun sisanya. Mereka akan tiba ke rumahku dalam tiga belas menit, dan perbaikan menyeluruh akan selesai dalam enam menit.
Satu lompatan membawaku berdiri di ambang kamar Nance. Dengan waspada aku melangkah masuk. Kamar Nance porak poranda. Kukenali perca-perca dari pakaian yang tadinya Nance kenakan, berserakan berantakan di penjuru kamar. Suara geraman masih terdengar, menuntunku menuju lemari di dinding sebelah kanan.
“Nancy?” aku berseru pelan.
Sesosok raksasa bergerak di balik pintu lemari yang bergantung miring, nyaris lepas. Aku melangkah mendekat.
“Nance, sayang….”
Kuulurkan tanganku sambil berjalan pelan-pelan, berusaha untuk tidak membuat gerakan yang tiba-tiba. Yang terlihat dari posisiku berdiri hanya sebentuk punggung besar. Nance - dalam wujud raksasa abu-abu - meringkuk membelakangiku. David tentu tidak mengira bahwa raksasa ini adalah makhluk yang sama dengan gadis cantik yang selama ini dikenalnya.
“Nance, lihat aku…,” panggilku lembut.
Nance bergerak memutar. Wajah remaja yang cantik itu hilang, berganti dengan raut keras dengan tekstur seperti batu. Warna abu-abu menuju biru tersebar merata di seluruh permukaan kulitnya. Pada beberapa bagian tubuhnya, rangka belulang tampak menonjol, nyaris mencuat keluar dari permukaan kulit. Matanya berwarna merah gelap. Namun aku masih mengenali tatap mata itu. Tatap mata yang masih diliputi kesadaran seorang remaja yang mengenali ibunya.
Tanganku masih terulur ke arahnya, berhenti dan mematung, menunggu reaksinya.
Nance bangkit setengah berdiri, lehernya bergerak mengeluarkan sebentuk suara,
“M-Mom…,” panggilnya pelan, dengan suara seperti gemuruh terowongan.
“Ya, sayang, ini Mom…,”
“Tolong aku, Mom….”
Tangannya terulur ke arahku. Telapak kami saling menyentuh di udara. Nance melangkah ke arahku seolah hendak menghambur, namun langkahnya hanya berupa gerakan maju yang diseret. Sekilas kurasakan ancaman, namun aku harus bergeming agar dia merasa aman. Dalam setiap langkah kecilnya, kuamati tubuh Nance mengerut. Berangsur-angsur rona wajah dan kulit tubuhnya kembali normal, juga ukuran badannya.
Nance terjatuh sebelum tiba dalam jangkauanku sepenuhnya. Dengan sigap kutangkap tubuhnya, Kutarik selembar selimut dari lantai, melingkupi tubuhnya yang gemetar.
Nance meringkuk, telanjang dan menangis terisak-isak di pelukanku, pada akhirnya.
“Maafkan aku, Mom…,” katanya di sela isak tangisnya.
“Aku tidak bisa mengendalikan diri ketika melihat David menerima telepon dari cewek lain.… Maafkan aku, Mom.… Aku monster yang berbahaya….”
“Bukan, sayang…. Kau putriku yang cantik, dan kau aman, sekarang…”
Dari bawah, terdengar beberapa gumaman dan langkah kaki. Divisi reaksi cepat SHIELD sudah tiba dan mulai melakukan tugasnya.
Maria Hill muncul di pintu kamar Nancy. Setelah menggumamkan beberapa instruksi, Mary menyentuh bahuku dari belakang.
[/URL]
“Nate, kita harus membawanya ke mark-,”
“Tidak,” sergahku.
“Nance tetap denganku,”
“Nate,”
“Mary, kau seorang ibu sepertiku. Kau paham, yang Nancy butuhkan adalah orangtuanya, bukan kurungan berpengaman tinggi di sana,” kataku nyaris menangis.
“Aku harus menemukan Bruce, Mary. Hanya dia dan aku yang dibutuhkan Nancy saat ini….,” lanjutku memohon.
Maria terdiam. Dia dihadapkan pada pilihan antara seorang sahabat dan tanggung jawab kepada agensi dan masyarakat. Dia menghela napas saat kami bersitatap,
“Zephyr One[sup](13)[/sup]. Hanggar XT-8. Akan kukirimkan koordinatnya nanti,”
“Thanks, Mary.”
Maria menepuk bahuku lalu beranjak pergi.
***
Terakhir diubah: