Chagama
Semprot Kecil
- Daftar
- 11 May 2021
- Post
- 78
- Like diterima
- 984
PERKENALAN :
Jadi cerita ini aku buat berdasarkan pengalaman asli. Lebih tepatnya apa yang salah liat dan aku tau pas aku masih kecil dulu. Sebelumnya aku kenalin dulu nama ibuku itu Dewi (samaran). Umurnya 35 atau 36 tahun pada saat cerita ini akan aku ceritakan. Ibu ini sama seperti ibu-ibu pada umumnya sebagai ibu rumah tangga dengan kesehariannya memakai jilbab.
Bukannya di lebihkan, tapi memang jujur ibu terlihat cantik dan tubuhnya bagus dengan payudaranya yang masih terbilang kencang karena memang hanya pernah di pakai untuk menyusuiku yang anak tunggal ini. Ya patinya dengan juga menyusui bapak. Hehehehe...
Ukuran payudaranya juga terbilang agak besar meski tak besar-besar banget. Besarnya normal lah. Cerita ini mau menceritakan soal apa yang aku lihat dan aku tau saat cukup sering aku ikut menemani ibu pijat di salah satu tukang pijat. Ibu memang bukan sekali dua kali ke tempat pijat ini dan karena itu untuk pertama kalinya aku bisa melihat seperti apa persetubuhan itu.
Perlu di garis bawahi juga. 70% cerita ini memang aku ceritakan dari cerita asli. Sisanya, 30% yang aku tak tau, aku bawakan dengan imajinasiku sendiri. Nama tokoh dan tempat aku samarkan, begitu juga dengan mulustrasi hanya pemanis saja (bukan real) tapi tetap 11-12 sesuai dengan badan ibu.
Cerita ini aku bawakan dari dua sudut. Sudut diriku yang masih polos dan diriku yang sudah tau apa itu nafsu, seks serta lainnya. Dan cerita ini sudah sangat lama. Jadi aku tengah libur sekolah sebelum memulai sekolah lagi di kelas baru. Tapi saya bawakan dengan sudut pandang saat saya udah kelas 3 SMK waktu itu udah 18 tahun karna pernah ga naik kelas satu kali.
----------------------------
1. Pergi ke Tukang Pijat

Bapakku seorang kuli bangunan yang sering mengambil kerjaan di luar kota dan karena itu di rumah aku pastinya jauh lebih sering hanya dengan ibu. Pagi itu aku baru bangun tidur dan di ajak oleh ibu untuk sarapan nasi kuning yang ia beli di pasar. Saat aku memakannya sambil menonton acara kartun di TV, ada tetanggaku yang rumahnya tepat bersebelahan dengan rumah datang ke rumah untuk meminjam cobek.
Sambil menghabiskan sarapanku, aku tetap bisa mendengar obrolan ibu dengan tetanggaku ini. Sebut saja Bu S.
Bu S ke rumah untuk meminjam cobek dan oleh ibu di ambilkan, tapi saat ibu memberikannya, ibu berbicara atau mungkin lebih tepatnya curhat pagi ala ibu-ibu bahwa ibu katanya beberapa hari ini badannya pada sakit karena memang sebelumnya ada saudara kami yang menikah.
Dan selama itu ibu setiap hari membantu dari pagi sampai malam. Nah mendengar ibu bercerita bahwa badannya pada sakit, Bu S ini memberikan saran pada ibu.
“coba aja minta di pijat sama Bu Sri. Biasanya kalo aku badan pegal juga sama dia pasti langsung enakkan”
“kalo itu udah dua hari lalu tapi masih aja. Ini aja tadi ke pasar sebenarnya sambil nahan pegal-pegal”, keduanya lalu malah mengobrol soal pasar pagi ini, tapi tak lama topik obrolan kembali ke semula.
“atau ga coba aja ke pak Toto. Katanya orang yang kesana pada langsung enakkan badannya”
“pak Toto? Ga tau aku”
“wajar sih kalo ga tau. Aku aja tau dari orang di pasar. Tapi katanya emang manjur banget pijatan dia. Ya walau katanya juga bayarannya agak lebih mahal dadi tukang pijat biasa. Tapi kalo emang manjur ga masalah”
“lah aku aja ga tau rumahnya dimana. Emang kamu tau?”, Bu S menggeleng.
“tapi kalo memang mau coba kesana, nanti saya coba tanya alamat rumahnya”
Setelah obrolan itu dengan ditambah sedikit gosip, Bu S pamit pulang ke rumahnya sambil membawa cobek punya ibu. Pada sore hari nya saat aku juga baru pulang main, Bu S ke rumah lagi dengan mengembalikan cobek yang ia pinjam. Ia kembalikan cobek sambil kasih tau soal pak Toto yang sempat tadi pagi mereka obrolkan.
Mereka duduk di ruang tamu yang sebentarnya ruang tamu dan ruang tengah di rumahku tak ada, alias keduanya itu menyambung. Jadi lagi-lagi aku bisa mendengarnya.
“gimana, jadi ga ke tukang pijatnya pak Toto?”
“ya jadi-jadi aja kalo emang tau alamatnya dimana. Orang ga tau gimana mau kesana”
“jadi aku udah tanya dan aku ada alamatnya.... itu alamatnya”, ucap Bu S sambil memberikan sobekan kertas kecil. Sebagai anak rasa penasaran pastinya tinggi. Aku duduk di depan TV sambil coba melihat serta mendengar obrolan ibu dengan Bu S lebih jelas tapi sambil aku juga fokus pada tv.
“Ini di dekat terminal atau pasar sebelum terminal?”, tanya ibu setelah membacanya.
“itu sebelum pasar. Sebelum perempatan dari arah angkot atau sini itu ada di sebelah kiri jalan. Sebelum perempatan ada toko bangunan kan? Nah di samping toko bangunan itu ada gang kecil”
“gang yang sampingnya bekas rumah tapi udah di robohin?”, tanya ibu.
“iya, di depan gang juga ada papan namanya. Nanti dari gang itu masuk aja lurus sampe mentok. Ya pasti ga bakal bingung sih soalnya di dalam gang cuman ada rumah pak Toto aja”
“Terus biayanya berapa? Tadi pagi katanya lebih mahal?”
“variatif tergantung keluhannya. Tapi katanya antara 50-80 ribu”, pada saat itu segitu memang terbilang mahal.
“Ya buat jaga-jaga bawa aja 120 sama buat angkot bolak-balik juga udah cukup”
“kok emang agak mahal ya. Adanya 50, ini juga besok niatnya buat beli ikan”
“kaya sama siapa. Ini aku ada. Nanti bisa kamu balikin kalo suamimu dah kirim uang aja”
“nanti aja deh, biar aku pikir dulu”, disini ibu berpikir-pikir karena uang yang sedang pas-pasan mengingat bapak belum kirim uang mingguan.
Pada keesokan harinya saat aku sedang sarapan dan bersiap sekolah, ibu yang beberapa saat lalu baru dari pasar menghampiriku. Ya seperti ibu pada umumnya, ia menanyakan apa ada buku yang belum aku bawa atau belum dengan ibu membantu mempersiapkannya. Ia masukan juga bekal makanan untukku.
Sarapan sudah habis, aku buang bungkus nasi kuningnya dan ibu berkata bahwa nanti siang sepulang aku sekolah, ia akan mengajakku ke tempat pijat yang ternyata saat dari pasar dan sebelum ke rumah, ibu mampir ke rumah Bu S dulu untuk meminjam uang yang kemarin sore di tawarkan.
Sekitar jam sebelas aku pulang sekolah dan aku yang menang merasa senang saat di ajak bepergian tentu saja semangat. Aku juga suka naik mobil meski hanya angkutan umum. Aku dan ibu pun berangkat dan kurang lebih 40 menit karena naik angkutan umum dan pastinya beberapa kali berhenti, akhirnya kami sampai.
Kami turun dari angkot tepat di depan gang yang Bu S bilang. Aku juga melihat ada papan nama disana namun aku tak terlalu membacanya. Hanya tertulis cukup jelas, “Praktik pak Toto”.
Dengan arahan Bu S, ibu mengajakku memasuki gang itu. Gang yang samping kirinya tembok tinggi dari bangunan lainnya. Memang benar juga bahwa di gang ini tak ada rumah sayu pun. Full tembok. Hingga akhirnya terlihat di depan sana sudah mentok dengan tembok lainnya.
Di ujung gang ada satu rumah dengan cat warna putih dan bentuk rumahnya panjang sisi kanan dan kirinya. Rumah di dalam dan di ujung yang pastinya sekelilingnya di tutup oleh tembok dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Menyempil.
“Permisi”, ibu mengetuk pintu rumah yang sebenarnya sudah terbuka.
“bu, kita mau ngapain? Aku pengen jajan”
“jajan nanti dulu ya, kita baru sampai”, dan terlihat seorang pria berjalan dadi arah belakang rumah. Pria agak tua dengan rambut sudah ada beberapa helai yang beruban.
“Iya Bu, ada perlu apa? Mau pijat tau gimana?”
“ih iya. Sebelumnya ini benar kan tempat pijatnya pak Toto?”, pria itu membenarkan yang berarti memang dia yang di panggil pak Toto itu. Lalu aku dan ibu di suruh masuk.
“mau pijat? Keluhannya apa yang di rasakan”
“iya pak mau pijat. Jadi ini beberapa hari lalu saya bantu-bantu di rumah saudara yang nikahan. Setelah itu badan saya pegal padahal udah saya pijat juga tapi masih berasa”
“ohalah... Terus yang terasa di bagian mana?”
“punggung sama kaki pak”, pak Toto izin dengan ia membuatkan minum. Dari obrolan singkat itu ternyata rumah ini hanya tempat praktiknya, bukan rumah utamanya.
“saya Dewi pak. Ini anak saya Dafa. Saat dengar dari tetangga saya buat coba ke tempat bapak”, balas ibu setelah obrolan kembali di lanjutkan.
“udah pernah kesini berarti? Siapa? Mungkin saya masih ingat”
“kayaknya belum pernah pak. Tetangga saya juga dikasih tau sama orang di pasar”, pak Toto manggut-manggut. Sejak obrolan ini, aku beberapa kali kembali meminta jajan dan mungkin karena aku agak rewel.
“pak, izin dulu bentar ya”, pak Toto paham dan menganggukkan kepala.
“Hahaha.. iya Bu gapapa, namanya juga anak. Itu di samping toko bangunan depan ada warung. Saya biar siapkan dulu buat pijatnya”
Aku di ajak ibu ke warung dan sudah pasti ibu agak kesal karena aku sebelumnya sudah janji tak rewel tapi aku tetap saja rewel. Di warung aku dibelikan jajan dan juga aku yang melihat ada jajanan yang berisi hadiah mainan pun memintanya juga. Mau tak mau ibu membelikannya. Kami kembali dan aku serta ibu di suruh masuk ke salah satu kamar yang ada di depan.
Ya disini sudah jelas ibu akan mulai di pijat sesuai dengan tujuannya kesini. Waktu itu ibu memakai kaos dan sebuah rok panjang. Ibu di suruh tengkurap di atas kasur lantai yang ada di kamar ini dengan hari mengangkat bagian bawah roknya agak tinggi agar kakinya bisa mulai di pijat.
Dan setelah itu pak Toto mulai membasahi kaki ibu serta tangannya sendiri dengan minyak. Bagian pertama yang di pijat adalah kaki ibu. Aku juga sudah pernah di pijat membuatku bisa merasakan rasanya di pijat di bagian yang sakit, jadi aku tetap biasa saja saat ibu mulai mengeluarkan suara dan ekskresi seperti menahan sakit itu.
Mulai dari betis satu ke betis satunya lagi. Aku yang ada cemilan dan juga mainan membuatku agak tak terlalu memperhatikan tapi aku sesekali masih tetap mencoba melihat dengan perlahan aku lihat rok yang ibu pakai semakin di naikin sedikit demi sedikit.
“pantesan pegal Bu, kencang gini betisnya. Kemarin katanya udah dipijat?”, sambil memijat betis kanan.
“hem. Iya pak, udah. Awalnya emang mendingan tapi pas paginya, bangun tidur kerasa lagi”
“permisi Bu, mohon izin. Ini roknya agak di naikin lagi ya. Ini kalo betisnya kencang pasti pahanya juga”
“iya pak. Paha saya juga agak pegal gitu”, lalu tangan ibu sendiri yang mencoba menaikkan lagi bagian bawah roknya sampai pahanya agak terlihat.
“Permisi ya Bu”, ibu mengangguk dan tangan pak Toto mencoba mulai mengurut lebih atas. Aku lihat pak Toto mengurut bagian lekukan lutut ibu tapi perlahan mulai naik ke pahanya.
“Ah, iya itu pak. Disitu rasanya pegal”, walau aku tak berpikir aneh-aneh tapi jujur memang paha ibu terlihat putih mulus.
“Bagian yang ini ya?”, pak Toto mencoba mengurut agak keras bagian paha yang ibu maksud dan ibu merintih sakit.
“Aaakkkhhh... Iya pak”, aku yang sambil memainkan mainku yang ibu belikan, aku sampai tak sadar bahwa ternyata rok yang ibu pakai semakin naik sampai aku sedikit bisa melihat warna celana dalam yang ibu pakai. Warna hitam.
“Oh iya saya belum tau, Bu Dewi darimana ya?”, tanya pak Toto sambil tangannya tetap memijit dan kulihat pijatan tangannya sudah sampai menyentuh bulatan bawah pantat ibu.
“saya dari desa M pak”
“lumayan jauh juga ya Bu. Sekitar 40 menitan kalo ga salah. Disana juga saya ada kenalan”, aku mendengar ibu dan pak Toto mengobrol di saat proses pijatan itu masih berlangsung. Cukup lama kedua paha ibu di pijat.
“Sekarang coba punggung Bu Dewi. Bu Dewi coba naikkan bajunya biar ga kotor kena minyak”, ibu mencoba menaikkan bajunya tanpa melepasnya dengan posisinya masih tengkurap. Kali ini bagian belakang pengait bra ibu yang juga berwarna hitam terlihat jelas. Aku yang duduk tak terlalu jauh dari posisi ibu di pijat menyamping ke arahku membuat aku bisa melihat payudara ibu yang dibungkus bra tergencet oleh badannya sendiri.
“Permisi ya Bu, saya pijat juga punggungnya”, sopan pak Toto dan ibu mengangguk. Bagian punggung bawah ibu di tuangkan sedikit minyak dan mulai di pijat.
“anaknya baru satu yang ini aja atau gimana Bu?”, biar tak canggung dan sepi mungkin makanya pak Toto kembali mengajak mengobrol.
“Satu ini aja pak. Anak tunggal”
“pantesan di sayang banget. Kamu harus baik dan nurut ya sama ibu kamu”, ucapnya dan kali ini padaku. Aku mengangguk saja sambil mengunyah makananku.
Pak Toto terus saja memijat dengan pijatannya juga makin naik ke punggung ibu. Tapi sebelum memulai pijatannya, pak Toto kembali meminta izin untuk pengait bra ibu di lepaskan. Ibu memberikan izin lagi dengan kali ini pak Toto yang melakukannya sendiri. Tangannya yang basah oleh minyak mencoba membuka pengait bra ibu.
KLIK!!! Saat pengait terbuka, secara spontan pastinya kedua sisi belakang bra ibu langsung terpisah dengan cepat. Pengait bra ibu sudah terlepas dan punggung mulus itu juga terpampang jelas, siap untuk di pijat juga.
Memijat area punggung membuat gerakan tangan pak Toto terlihat lebih bebas. Ia usapkan tangannya ke punggung ibu dengan minyaknya itu berulang kali dengan ibu tampak menikmati pijatan pria itu meski sekali ibu di buat mengaduh karena mungkin pijatan itu tepat di titik sakitnya.
Sudah cukup lama hanya diam melihat membuatku bosan dan aku bilang pada ibu untuk main di depan. Ada mungkin sepuluh menit, aku kembali merasa bosan karena panasnya siang kembali lagi masuk ke dalam.
Saat aku masuk, ibu masih di pijat oleh pak Toto namun kali ini ibu tengkurap di pijat dengan rok serta bajunya sudah di lepaskan. Ibu hanya memakai celana dalam dan bra nya yang mana bra nya juga pengaitnya sudah di buka. Pak Toto memijat punggung ibu dengan ia setengah berdiri dengan kedua lututnya tepat mengangkangi kedua paha ibu.
Oh ia, pak Toto memakai celana pendek dan aku lihat pada bagian depan celananya terdapat sebuah tonjolan yang jelas. Gerakan pijatan pak Toto maju mundur membuat posisi setengah berdiri pak Toto juga ikut maju mundur dengan aku lihat beberapa kali bagian depan pak Toto bersentuhan dengan pantat ibu.
“gapapa, lemesin aja Bu biar ga terlalu sakit”, ibu mengangguk.
“Bu, kok di pijatnya telanjang gitu?”, disini aku bertanya bukan karena curiga atau apa pun, aku hanya merasa bingung aja.
“Bukan telanjang, ini ibumu masih pake kutang sama celana dalam. Lagian kaya gini biar ga kotor aja baju sama rok ibumu”, ucap pak Toto.
“kamu lapar ga? Tadi belum sempat makan loh. Itu ibu udah bawa makan buat kamu. Ada di tas”, sahut ibu.
Aku yang juga mulai lapar pun mengambil makanan itu. Tapi aku makan sambil tetap di kamar ini sambil melihat ibu di pijat.
“maaf pak, kayaknya lagi sepi ya pak”
“memang sepi Bu. Sekarang udah semakin jarang yang pijat disini. Mungkin karena sekarang udah mulai banyak panti pijat yang pijatnya perempuan. Ya gitulah, Bu Dewi pasti sudah bisa menebaknya panti pijat kaya apa”
“wah padahal pijatan pak Toto enak juga loh”
“kalo yang pijat memang sudah makin jarang Bu, tapi buat lainnya masih lumayan banyak”
“lainnya? Memang pak Toto bisa apa lagi selain pijat?”
Disini aku tak mendengar karena fokusku teralihkan saat ada kucing masuk dan ia seolah tertarik karena bau ayam yang ibu masak untuk laukku ini.
Apa yang tak aku dengar ini sebentarnya hal penting juga. Hal penting yang baru aku sadari saat aku sudah SMK nantinya. Karena saat SMK, sekolahku tak terlalu jauh dari tempat praktik pak Toto ini. Jalan kaki lima menit saja sudah sampai. Dari tempat sekolahku yang memang asli orang sekitar tempat pak Toto, aku jadi banyak tau tentang pak Toto ini.
Hal yang membuatku menjadi merasa curiga dan membuat imajinasi ini muncul untuk aku buat dalam cerita ini. Karena nantinya saat SMK banyak fakta yang terasa aneh dan janggal ketika mengingat saat ibuku di pijat oleh pak Toto dan apa yang terjadi selama ibu sering ke tempat pak Toto ini.
“geli pak”, aku yang sedang memberikan sedikit lauk ayam pada kucing ini kembali di buat menatap ibu.
“Hehehehe... Maaf bu. Harus dipijat juga soalnya”, aku lihat tangan pak Toto memijat bagian samping punggung ibu sehingga aku bisa melihat juga tangan itu ikut sesekali memijat bagian samping payudara ibu.
“beruntung ya suaminya dapat istri kaya bu Dewi”
“maksudnya pak?”
“sebelumnya maaf, bukan saya lancang atau kurang ajar. Tapi tetek bu Dewi rasanya masih kencang. Badannya bagus, wajahnya cantik pula”, mendengar itu aku biasa saja karena memang menanggap itu pujian. Sebagai seorang anak pasti aku juga merasa senang jika ibu di puji.
“ah pak Toto bisa aja. Udah punya anak mana ada kencang. Memangnya saya gadis perawan”
“tapi beneran kok Bu. Bu Dewi bukan perempuan pertama yang saya pijat. Dari pertama saya buka tempat ini, sudah puluhan perempuan yang saja pijat tapi bu Dewi yang paling bagus badan nya sama yang paling cantik”, ibu terlihat tersenyum saja.
Saat memijat, beberapa kali tangan pak Toto berhenti tepat di samping payudara ibu dengan tangan itu berhenti seperti sambil meraba. Setiap kali pijatannya berhenti karena pak Toto terlihat membenarkan celananya yang sejak tadi masih aku lihat ada tonjolan di baliknya. Setelah membenarkan, pak Toto melanjutkan pijatannya tapi dengan selangkangannya menempel di pantat ibu.
Aku masih sangat ingat pada saat aku melihat itu, cuaca di luar yang tadinya mulai mendung akhirnya menjatuhkan ratusan bahkan ribuan tetes hujannya. Saat itu memang sedang musim penghujan juga. Karena hujan mulai turun dan langsung cukup deras membuat aku tak terlalu mendengar suara obrolan mereka berdua.
Untung saja kucing yang tadi aku bagi lauk ayam ku masih di sekitarku jadi aku tak terlalu merasa bosan. Sambil bermain dengan kucing, aku sesekali masih mendengar dan melihat ke arah ibu.
“pakhhh....”, ucap ibu saat pak Toto memasukkan tangannya ke balik jilbab yang ibu kenakan. Tangan itu memijat tengkuk ibu. Namun gerakan tangannya yang seolah memijat tengkuk ibu di balik jilbabnya, pijatannya berhenti dengan tangannya tetap di tengkuk.
Aku tak tau pasti dan aku juga bingung menjelaskannya, tapi posisinya seperti tangan pak Toto mencengkeram tengkuk ibu dan saat itu aku lihat satu tangan pak Toto kembali memijat punggung ibu hingga turun lagi ke samping payudara ibu.
Sembari melakukan itu, pak Toto secara samar menggerakkan pantatnya membuat selangkangannya menggesek dan menekan pantat ibu. Tapi perlu digaris bawahi juga bahwa pak Toto masih menggunakan celananya dan tak tampak ada yang aneh selain dengan gerakan serta pijatannya itu.
“permisi ya Bu”, ucap pak Toto tapi aku tak tau maksudnya. Aku juga tak mendengar saat ibu seperti berbicara dengan pak Toto menggunakan nada lirihnya. Pak Toto menjawab lagi dengan nada yang sama. Suara mereka yang lirih dan suara hujan makin membuat aku tak bisa mendengarnya.
Belum juga tau apa yang mereka bicarakan, kucing yang tadi aku pegang berlari keluar kamar. Aku mengejar kucing itu dan aku tanpa sadar malah bermain di ruang depan kamar yang tadinya aku dan ibu duduk saat pertama kali datang.
Di depan kamar aku bermain dengan kucing kembali. Karena itu aku jadi tak bisa melihat lagi kala ibu di pijat. Walau tak melihatnya, namun sesekali aku bisa mendengar suara ibu yang seperti awal di pijat. Suara seperti menahan sakit, seperti menahan sesuatu dan kadang seperti orang mendesah juga.
Hujan di luar, rasa kenyang dan sejak tadi bermain dengan kucing membuatku ketiduran. Saat aku bangun, di luar masih hujan dan aku pergi lagi ke kamar tempat ini di pijat.
Saat aku masuk, ibu masih tengkurap namun aku melihat pantat pak Toto seperti bergerak maju mundur. Namun pak Toto masih memakai celana pendeknya. Awalnya hanya pengait bra ibu yang di lepas tapi bra masih ia pakai, namun yang aku lihat sekarang bra itu sudah terlepas dan di pegang oleh ibu.
Aku lihat juga celana dalam ibu masih di pakai, namun celana dalam itu tampak di samping kan karena sebelah bulatan pantat ibu terlihat sangat jelas.
“Lama banget Bu. Pengen pulang”, saat aku berkata, tampaknya pak Toto dan ibu tak sadar aku kembali masuk ke kamar. Sehingga saat mendengar suaraku, keduanya tampak kaget dengan aku lihat pak Toto dengan cepat menjauhkan selangkangannya dan pantat ibu.
Dengan cepat juga pak Toto seperti memegang sesuatu di depan celananya dan seolah memasukkannya lagi. Saat pak Toto lakukan itu, tebakanku serasa benar bahwa celana dalam ibu di sampingkan karena aku bisa melihat vagina ibu walau hanya sedikit.
“e-eh... Belum nak. Kamu udah lama disitu?”, tanya ibu menatapku dengan masih tengkurap dan aku menggeleng.
“Udah mau sore, nanti angkotnya ga ada Bu”
“ini sebentar lagi kok. Tadi bapak baru coba buat lemesin lagi yang terasa tegang di tubuh ibumu”, ucap pak Toto dan aku kembali duduk di tempatku tadi melihat dengan pak Toto juga kembali memijat seperti sebelumnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, barulah pijat pun selesai. Aku tak tau, tapi mungkin kurang lebih dua jam ibuku di pijat. Aku hanya tau ibu dipijat lama sampai akhirnya aku tertidur tanpa berpikir macam-macam.
Pijat selesai, pak Toto bangun dan berjalan untuk mencuci tangannya di belakang. Saat pak Toto pergi, ibu juga bangun dan dengan jelas aku bisa melihat kedua payudara ibu. Di depanku ibu memakai kembali bra nya dan semua pakaiannya.
Sudah jelas melihat hal itu aku biasa saja karena bahkan aku juga beberapa kali masih pernah mandi bareng dengan ibu. Reaksiku akan berbeda jika saja aku melihatnya saat sudah tau apa yang namanya nafsu.
Kami kembali ke ruangan depan dan ibu mengobrol sebentar dengan pak Toto sambil menunggu hujan agak lebih reda. Ibu menanyakan harga untuk jasa pijatnya dan seingatku pak Toto meminta bayaran 80 ribu tapi sebelum kami pulang, pak Toto memberikan jamu kepada ibuku.
“Ternyata memang enak pijatan pak Toto. Walau agak sakit tapi namanya dipijat juga pasti ada sakitnya”
“makasih Bu buat pujiannya. Ini saya ada jamu juga. Bu Dewi bisa konsumsi jamu ini kalo merasa pegal-pegal lagi. Itu jamu juga bisa kalo suami Bu Dewi mau”, ibu mengangguk dan memasukkan jamu yang pak Toto kasih ke tas nya.
“nanti kalo misal pengen pijat pasti saya kesini lagi pak”
“wah dengan senang hati Bu. Kalo langganan saya kasih potongan. Hitung-hitung buat penglaris soalnya udah jarang juga yang pijat”
Setelah itu aku dan ibu pun pulang dengan menggunakan angkutan umum yang kami tunggu sekitar lima menit. Sehari setelahnya, ibu mengobrol dengan Bu S dan ibu menceritakan bahwa pijatan pak Toto memang membuat rasa pegalnya jauh lebuh hilang dari sebelumnya dan ibu bilang bahwa ia mungkin ada ke tempat pak Toto lagi.
“Tapi kamu ga risih dipijat pria? Aku pernah pas tahun lalu pas suami keseleo itu. Liat suami di pijat aku jadi pengen di pijat. Jadi aku coba lihat juga dan yang pijat aku itu pria yang pijat kaki suamiku”
“oh yang waktu itu katanya pergi pijat ke dekat tempat wisata pemandian itu ya?”, Bu S mengangguk.
“iya itu. Aku dipijat pria itu. Sebenarnya sih biasa aja, tapi karena aku orangnya gelian dan baru pertama kalinya dipijat pria jadinya jadi sebentar aku minta udahan”
“kalo aku biasa aja sih. Ya meski kaya agak nakal aja pak Toto”
“eh!? Nakal gimana?”
“jangan mikir yang aneh-aneh, pak Toto orangnya baik kok. Maksudnya semuanya bisa dipijat sama dia. Kan yang pegang itu dari kaki sampai paha sama punggung, aku di suruh lepas baju. Aku di pijat cuman pake pakaian dalam”
“tak kira apaan. Ya orang dipijatnya disitu, ya jelas suruh lepas lah. Kalo ga di lepas yang ada pulang-pulang pakaian basah sama minyak”
.
.
.
Daftar Part :
2. Kembali
3. Di Tonton
4. Lecutan Birahi
.
.
.
Jadi cerita ini aku buat berdasarkan pengalaman asli. Lebih tepatnya apa yang salah liat dan aku tau pas aku masih kecil dulu. Sebelumnya aku kenalin dulu nama ibuku itu Dewi (samaran). Umurnya 35 atau 36 tahun pada saat cerita ini akan aku ceritakan. Ibu ini sama seperti ibu-ibu pada umumnya sebagai ibu rumah tangga dengan kesehariannya memakai jilbab.
Bukannya di lebihkan, tapi memang jujur ibu terlihat cantik dan tubuhnya bagus dengan payudaranya yang masih terbilang kencang karena memang hanya pernah di pakai untuk menyusuiku yang anak tunggal ini. Ya patinya dengan juga menyusui bapak. Hehehehe...
Ukuran payudaranya juga terbilang agak besar meski tak besar-besar banget. Besarnya normal lah. Cerita ini mau menceritakan soal apa yang aku lihat dan aku tau saat cukup sering aku ikut menemani ibu pijat di salah satu tukang pijat. Ibu memang bukan sekali dua kali ke tempat pijat ini dan karena itu untuk pertama kalinya aku bisa melihat seperti apa persetubuhan itu.
Perlu di garis bawahi juga. 70% cerita ini memang aku ceritakan dari cerita asli. Sisanya, 30% yang aku tak tau, aku bawakan dengan imajinasiku sendiri. Nama tokoh dan tempat aku samarkan, begitu juga dengan mulustrasi hanya pemanis saja (bukan real) tapi tetap 11-12 sesuai dengan badan ibu.
Cerita ini aku bawakan dari dua sudut. Sudut diriku yang masih polos dan diriku yang sudah tau apa itu nafsu, seks serta lainnya. Dan cerita ini sudah sangat lama. Jadi aku tengah libur sekolah sebelum memulai sekolah lagi di kelas baru. Tapi saya bawakan dengan sudut pandang saat saya udah kelas 3 SMK waktu itu udah 18 tahun karna pernah ga naik kelas satu kali.
Kala Ibu Di Tempat Pijat
----------------------------
1. Pergi ke Tukang Pijat

Bapakku seorang kuli bangunan yang sering mengambil kerjaan di luar kota dan karena itu di rumah aku pastinya jauh lebih sering hanya dengan ibu. Pagi itu aku baru bangun tidur dan di ajak oleh ibu untuk sarapan nasi kuning yang ia beli di pasar. Saat aku memakannya sambil menonton acara kartun di TV, ada tetanggaku yang rumahnya tepat bersebelahan dengan rumah datang ke rumah untuk meminjam cobek.
Sambil menghabiskan sarapanku, aku tetap bisa mendengar obrolan ibu dengan tetanggaku ini. Sebut saja Bu S.
Bu S ke rumah untuk meminjam cobek dan oleh ibu di ambilkan, tapi saat ibu memberikannya, ibu berbicara atau mungkin lebih tepatnya curhat pagi ala ibu-ibu bahwa ibu katanya beberapa hari ini badannya pada sakit karena memang sebelumnya ada saudara kami yang menikah.
Dan selama itu ibu setiap hari membantu dari pagi sampai malam. Nah mendengar ibu bercerita bahwa badannya pada sakit, Bu S ini memberikan saran pada ibu.
“coba aja minta di pijat sama Bu Sri. Biasanya kalo aku badan pegal juga sama dia pasti langsung enakkan”
“kalo itu udah dua hari lalu tapi masih aja. Ini aja tadi ke pasar sebenarnya sambil nahan pegal-pegal”, keduanya lalu malah mengobrol soal pasar pagi ini, tapi tak lama topik obrolan kembali ke semula.
“atau ga coba aja ke pak Toto. Katanya orang yang kesana pada langsung enakkan badannya”
“pak Toto? Ga tau aku”
“wajar sih kalo ga tau. Aku aja tau dari orang di pasar. Tapi katanya emang manjur banget pijatan dia. Ya walau katanya juga bayarannya agak lebih mahal dadi tukang pijat biasa. Tapi kalo emang manjur ga masalah”
“lah aku aja ga tau rumahnya dimana. Emang kamu tau?”, Bu S menggeleng.
“tapi kalo memang mau coba kesana, nanti saya coba tanya alamat rumahnya”
Setelah obrolan itu dengan ditambah sedikit gosip, Bu S pamit pulang ke rumahnya sambil membawa cobek punya ibu. Pada sore hari nya saat aku juga baru pulang main, Bu S ke rumah lagi dengan mengembalikan cobek yang ia pinjam. Ia kembalikan cobek sambil kasih tau soal pak Toto yang sempat tadi pagi mereka obrolkan.
Mereka duduk di ruang tamu yang sebentarnya ruang tamu dan ruang tengah di rumahku tak ada, alias keduanya itu menyambung. Jadi lagi-lagi aku bisa mendengarnya.
“gimana, jadi ga ke tukang pijatnya pak Toto?”
“ya jadi-jadi aja kalo emang tau alamatnya dimana. Orang ga tau gimana mau kesana”
“jadi aku udah tanya dan aku ada alamatnya.... itu alamatnya”, ucap Bu S sambil memberikan sobekan kertas kecil. Sebagai anak rasa penasaran pastinya tinggi. Aku duduk di depan TV sambil coba melihat serta mendengar obrolan ibu dengan Bu S lebih jelas tapi sambil aku juga fokus pada tv.
“Ini di dekat terminal atau pasar sebelum terminal?”, tanya ibu setelah membacanya.
“itu sebelum pasar. Sebelum perempatan dari arah angkot atau sini itu ada di sebelah kiri jalan. Sebelum perempatan ada toko bangunan kan? Nah di samping toko bangunan itu ada gang kecil”
“gang yang sampingnya bekas rumah tapi udah di robohin?”, tanya ibu.
“iya, di depan gang juga ada papan namanya. Nanti dari gang itu masuk aja lurus sampe mentok. Ya pasti ga bakal bingung sih soalnya di dalam gang cuman ada rumah pak Toto aja”
“Terus biayanya berapa? Tadi pagi katanya lebih mahal?”
“variatif tergantung keluhannya. Tapi katanya antara 50-80 ribu”, pada saat itu segitu memang terbilang mahal.
“Ya buat jaga-jaga bawa aja 120 sama buat angkot bolak-balik juga udah cukup”
“kok emang agak mahal ya. Adanya 50, ini juga besok niatnya buat beli ikan”
“kaya sama siapa. Ini aku ada. Nanti bisa kamu balikin kalo suamimu dah kirim uang aja”
“nanti aja deh, biar aku pikir dulu”, disini ibu berpikir-pikir karena uang yang sedang pas-pasan mengingat bapak belum kirim uang mingguan.
Pada keesokan harinya saat aku sedang sarapan dan bersiap sekolah, ibu yang beberapa saat lalu baru dari pasar menghampiriku. Ya seperti ibu pada umumnya, ia menanyakan apa ada buku yang belum aku bawa atau belum dengan ibu membantu mempersiapkannya. Ia masukan juga bekal makanan untukku.
Sarapan sudah habis, aku buang bungkus nasi kuningnya dan ibu berkata bahwa nanti siang sepulang aku sekolah, ia akan mengajakku ke tempat pijat yang ternyata saat dari pasar dan sebelum ke rumah, ibu mampir ke rumah Bu S dulu untuk meminjam uang yang kemarin sore di tawarkan.
Sekitar jam sebelas aku pulang sekolah dan aku yang menang merasa senang saat di ajak bepergian tentu saja semangat. Aku juga suka naik mobil meski hanya angkutan umum. Aku dan ibu pun berangkat dan kurang lebih 40 menit karena naik angkutan umum dan pastinya beberapa kali berhenti, akhirnya kami sampai.
Kami turun dari angkot tepat di depan gang yang Bu S bilang. Aku juga melihat ada papan nama disana namun aku tak terlalu membacanya. Hanya tertulis cukup jelas, “Praktik pak Toto”.
Dengan arahan Bu S, ibu mengajakku memasuki gang itu. Gang yang samping kirinya tembok tinggi dari bangunan lainnya. Memang benar juga bahwa di gang ini tak ada rumah sayu pun. Full tembok. Hingga akhirnya terlihat di depan sana sudah mentok dengan tembok lainnya.
Di ujung gang ada satu rumah dengan cat warna putih dan bentuk rumahnya panjang sisi kanan dan kirinya. Rumah di dalam dan di ujung yang pastinya sekelilingnya di tutup oleh tembok dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Menyempil.
“Permisi”, ibu mengetuk pintu rumah yang sebenarnya sudah terbuka.
“bu, kita mau ngapain? Aku pengen jajan”
“jajan nanti dulu ya, kita baru sampai”, dan terlihat seorang pria berjalan dadi arah belakang rumah. Pria agak tua dengan rambut sudah ada beberapa helai yang beruban.
“Iya Bu, ada perlu apa? Mau pijat tau gimana?”
“ih iya. Sebelumnya ini benar kan tempat pijatnya pak Toto?”, pria itu membenarkan yang berarti memang dia yang di panggil pak Toto itu. Lalu aku dan ibu di suruh masuk.
“mau pijat? Keluhannya apa yang di rasakan”
“iya pak mau pijat. Jadi ini beberapa hari lalu saya bantu-bantu di rumah saudara yang nikahan. Setelah itu badan saya pegal padahal udah saya pijat juga tapi masih berasa”
“ohalah... Terus yang terasa di bagian mana?”
“punggung sama kaki pak”, pak Toto izin dengan ia membuatkan minum. Dari obrolan singkat itu ternyata rumah ini hanya tempat praktiknya, bukan rumah utamanya.
“saya Dewi pak. Ini anak saya Dafa. Saat dengar dari tetangga saya buat coba ke tempat bapak”, balas ibu setelah obrolan kembali di lanjutkan.
“udah pernah kesini berarti? Siapa? Mungkin saya masih ingat”
“kayaknya belum pernah pak. Tetangga saya juga dikasih tau sama orang di pasar”, pak Toto manggut-manggut. Sejak obrolan ini, aku beberapa kali kembali meminta jajan dan mungkin karena aku agak rewel.
“pak, izin dulu bentar ya”, pak Toto paham dan menganggukkan kepala.
“Hahaha.. iya Bu gapapa, namanya juga anak. Itu di samping toko bangunan depan ada warung. Saya biar siapkan dulu buat pijatnya”
Aku di ajak ibu ke warung dan sudah pasti ibu agak kesal karena aku sebelumnya sudah janji tak rewel tapi aku tetap saja rewel. Di warung aku dibelikan jajan dan juga aku yang melihat ada jajanan yang berisi hadiah mainan pun memintanya juga. Mau tak mau ibu membelikannya. Kami kembali dan aku serta ibu di suruh masuk ke salah satu kamar yang ada di depan.
Ya disini sudah jelas ibu akan mulai di pijat sesuai dengan tujuannya kesini. Waktu itu ibu memakai kaos dan sebuah rok panjang. Ibu di suruh tengkurap di atas kasur lantai yang ada di kamar ini dengan hari mengangkat bagian bawah roknya agak tinggi agar kakinya bisa mulai di pijat.
Dan setelah itu pak Toto mulai membasahi kaki ibu serta tangannya sendiri dengan minyak. Bagian pertama yang di pijat adalah kaki ibu. Aku juga sudah pernah di pijat membuatku bisa merasakan rasanya di pijat di bagian yang sakit, jadi aku tetap biasa saja saat ibu mulai mengeluarkan suara dan ekskresi seperti menahan sakit itu.
Mulai dari betis satu ke betis satunya lagi. Aku yang ada cemilan dan juga mainan membuatku agak tak terlalu memperhatikan tapi aku sesekali masih tetap mencoba melihat dengan perlahan aku lihat rok yang ibu pakai semakin di naikin sedikit demi sedikit.
“pantesan pegal Bu, kencang gini betisnya. Kemarin katanya udah dipijat?”, sambil memijat betis kanan.
“hem. Iya pak, udah. Awalnya emang mendingan tapi pas paginya, bangun tidur kerasa lagi”
“permisi Bu, mohon izin. Ini roknya agak di naikin lagi ya. Ini kalo betisnya kencang pasti pahanya juga”
“iya pak. Paha saya juga agak pegal gitu”, lalu tangan ibu sendiri yang mencoba menaikkan lagi bagian bawah roknya sampai pahanya agak terlihat.
“Permisi ya Bu”, ibu mengangguk dan tangan pak Toto mencoba mulai mengurut lebih atas. Aku lihat pak Toto mengurut bagian lekukan lutut ibu tapi perlahan mulai naik ke pahanya.
“Ah, iya itu pak. Disitu rasanya pegal”, walau aku tak berpikir aneh-aneh tapi jujur memang paha ibu terlihat putih mulus.
“Bagian yang ini ya?”, pak Toto mencoba mengurut agak keras bagian paha yang ibu maksud dan ibu merintih sakit.
“Aaakkkhhh... Iya pak”, aku yang sambil memainkan mainku yang ibu belikan, aku sampai tak sadar bahwa ternyata rok yang ibu pakai semakin naik sampai aku sedikit bisa melihat warna celana dalam yang ibu pakai. Warna hitam.
“Oh iya saya belum tau, Bu Dewi darimana ya?”, tanya pak Toto sambil tangannya tetap memijit dan kulihat pijatan tangannya sudah sampai menyentuh bulatan bawah pantat ibu.
“saya dari desa M pak”
“lumayan jauh juga ya Bu. Sekitar 40 menitan kalo ga salah. Disana juga saya ada kenalan”, aku mendengar ibu dan pak Toto mengobrol di saat proses pijatan itu masih berlangsung. Cukup lama kedua paha ibu di pijat.
“Sekarang coba punggung Bu Dewi. Bu Dewi coba naikkan bajunya biar ga kotor kena minyak”, ibu mencoba menaikkan bajunya tanpa melepasnya dengan posisinya masih tengkurap. Kali ini bagian belakang pengait bra ibu yang juga berwarna hitam terlihat jelas. Aku yang duduk tak terlalu jauh dari posisi ibu di pijat menyamping ke arahku membuat aku bisa melihat payudara ibu yang dibungkus bra tergencet oleh badannya sendiri.
“Permisi ya Bu, saya pijat juga punggungnya”, sopan pak Toto dan ibu mengangguk. Bagian punggung bawah ibu di tuangkan sedikit minyak dan mulai di pijat.
“anaknya baru satu yang ini aja atau gimana Bu?”, biar tak canggung dan sepi mungkin makanya pak Toto kembali mengajak mengobrol.
“Satu ini aja pak. Anak tunggal”
“pantesan di sayang banget. Kamu harus baik dan nurut ya sama ibu kamu”, ucapnya dan kali ini padaku. Aku mengangguk saja sambil mengunyah makananku.
Pak Toto terus saja memijat dengan pijatannya juga makin naik ke punggung ibu. Tapi sebelum memulai pijatannya, pak Toto kembali meminta izin untuk pengait bra ibu di lepaskan. Ibu memberikan izin lagi dengan kali ini pak Toto yang melakukannya sendiri. Tangannya yang basah oleh minyak mencoba membuka pengait bra ibu.
KLIK!!! Saat pengait terbuka, secara spontan pastinya kedua sisi belakang bra ibu langsung terpisah dengan cepat. Pengait bra ibu sudah terlepas dan punggung mulus itu juga terpampang jelas, siap untuk di pijat juga.
Memijat area punggung membuat gerakan tangan pak Toto terlihat lebih bebas. Ia usapkan tangannya ke punggung ibu dengan minyaknya itu berulang kali dengan ibu tampak menikmati pijatan pria itu meski sekali ibu di buat mengaduh karena mungkin pijatan itu tepat di titik sakitnya.
Sudah cukup lama hanya diam melihat membuatku bosan dan aku bilang pada ibu untuk main di depan. Ada mungkin sepuluh menit, aku kembali merasa bosan karena panasnya siang kembali lagi masuk ke dalam.
Saat aku masuk, ibu masih di pijat oleh pak Toto namun kali ini ibu tengkurap di pijat dengan rok serta bajunya sudah di lepaskan. Ibu hanya memakai celana dalam dan bra nya yang mana bra nya juga pengaitnya sudah di buka. Pak Toto memijat punggung ibu dengan ia setengah berdiri dengan kedua lututnya tepat mengangkangi kedua paha ibu.
Oh ia, pak Toto memakai celana pendek dan aku lihat pada bagian depan celananya terdapat sebuah tonjolan yang jelas. Gerakan pijatan pak Toto maju mundur membuat posisi setengah berdiri pak Toto juga ikut maju mundur dengan aku lihat beberapa kali bagian depan pak Toto bersentuhan dengan pantat ibu.
“gapapa, lemesin aja Bu biar ga terlalu sakit”, ibu mengangguk.
“Bu, kok di pijatnya telanjang gitu?”, disini aku bertanya bukan karena curiga atau apa pun, aku hanya merasa bingung aja.
“Bukan telanjang, ini ibumu masih pake kutang sama celana dalam. Lagian kaya gini biar ga kotor aja baju sama rok ibumu”, ucap pak Toto.
“kamu lapar ga? Tadi belum sempat makan loh. Itu ibu udah bawa makan buat kamu. Ada di tas”, sahut ibu.
Aku yang juga mulai lapar pun mengambil makanan itu. Tapi aku makan sambil tetap di kamar ini sambil melihat ibu di pijat.
“maaf pak, kayaknya lagi sepi ya pak”
“memang sepi Bu. Sekarang udah semakin jarang yang pijat disini. Mungkin karena sekarang udah mulai banyak panti pijat yang pijatnya perempuan. Ya gitulah, Bu Dewi pasti sudah bisa menebaknya panti pijat kaya apa”
“wah padahal pijatan pak Toto enak juga loh”
“kalo yang pijat memang sudah makin jarang Bu, tapi buat lainnya masih lumayan banyak”
“lainnya? Memang pak Toto bisa apa lagi selain pijat?”
Disini aku tak mendengar karena fokusku teralihkan saat ada kucing masuk dan ia seolah tertarik karena bau ayam yang ibu masak untuk laukku ini.
Apa yang tak aku dengar ini sebentarnya hal penting juga. Hal penting yang baru aku sadari saat aku sudah SMK nantinya. Karena saat SMK, sekolahku tak terlalu jauh dari tempat praktik pak Toto ini. Jalan kaki lima menit saja sudah sampai. Dari tempat sekolahku yang memang asli orang sekitar tempat pak Toto, aku jadi banyak tau tentang pak Toto ini.
Hal yang membuatku menjadi merasa curiga dan membuat imajinasi ini muncul untuk aku buat dalam cerita ini. Karena nantinya saat SMK banyak fakta yang terasa aneh dan janggal ketika mengingat saat ibuku di pijat oleh pak Toto dan apa yang terjadi selama ibu sering ke tempat pak Toto ini.
“geli pak”, aku yang sedang memberikan sedikit lauk ayam pada kucing ini kembali di buat menatap ibu.
“Hehehehe... Maaf bu. Harus dipijat juga soalnya”, aku lihat tangan pak Toto memijat bagian samping punggung ibu sehingga aku bisa melihat juga tangan itu ikut sesekali memijat bagian samping payudara ibu.
“beruntung ya suaminya dapat istri kaya bu Dewi”
“maksudnya pak?”
“sebelumnya maaf, bukan saya lancang atau kurang ajar. Tapi tetek bu Dewi rasanya masih kencang. Badannya bagus, wajahnya cantik pula”, mendengar itu aku biasa saja karena memang menanggap itu pujian. Sebagai seorang anak pasti aku juga merasa senang jika ibu di puji.
“ah pak Toto bisa aja. Udah punya anak mana ada kencang. Memangnya saya gadis perawan”
“tapi beneran kok Bu. Bu Dewi bukan perempuan pertama yang saya pijat. Dari pertama saya buka tempat ini, sudah puluhan perempuan yang saja pijat tapi bu Dewi yang paling bagus badan nya sama yang paling cantik”, ibu terlihat tersenyum saja.
Saat memijat, beberapa kali tangan pak Toto berhenti tepat di samping payudara ibu dengan tangan itu berhenti seperti sambil meraba. Setiap kali pijatannya berhenti karena pak Toto terlihat membenarkan celananya yang sejak tadi masih aku lihat ada tonjolan di baliknya. Setelah membenarkan, pak Toto melanjutkan pijatannya tapi dengan selangkangannya menempel di pantat ibu.
Aku masih sangat ingat pada saat aku melihat itu, cuaca di luar yang tadinya mulai mendung akhirnya menjatuhkan ratusan bahkan ribuan tetes hujannya. Saat itu memang sedang musim penghujan juga. Karena hujan mulai turun dan langsung cukup deras membuat aku tak terlalu mendengar suara obrolan mereka berdua.
Untung saja kucing yang tadi aku bagi lauk ayam ku masih di sekitarku jadi aku tak terlalu merasa bosan. Sambil bermain dengan kucing, aku sesekali masih mendengar dan melihat ke arah ibu.
“pakhhh....”, ucap ibu saat pak Toto memasukkan tangannya ke balik jilbab yang ibu kenakan. Tangan itu memijat tengkuk ibu. Namun gerakan tangannya yang seolah memijat tengkuk ibu di balik jilbabnya, pijatannya berhenti dengan tangannya tetap di tengkuk.
Aku tak tau pasti dan aku juga bingung menjelaskannya, tapi posisinya seperti tangan pak Toto mencengkeram tengkuk ibu dan saat itu aku lihat satu tangan pak Toto kembali memijat punggung ibu hingga turun lagi ke samping payudara ibu.
Sembari melakukan itu, pak Toto secara samar menggerakkan pantatnya membuat selangkangannya menggesek dan menekan pantat ibu. Tapi perlu digaris bawahi juga bahwa pak Toto masih menggunakan celananya dan tak tampak ada yang aneh selain dengan gerakan serta pijatannya itu.
“permisi ya Bu”, ucap pak Toto tapi aku tak tau maksudnya. Aku juga tak mendengar saat ibu seperti berbicara dengan pak Toto menggunakan nada lirihnya. Pak Toto menjawab lagi dengan nada yang sama. Suara mereka yang lirih dan suara hujan makin membuat aku tak bisa mendengarnya.
Belum juga tau apa yang mereka bicarakan, kucing yang tadi aku pegang berlari keluar kamar. Aku mengejar kucing itu dan aku tanpa sadar malah bermain di ruang depan kamar yang tadinya aku dan ibu duduk saat pertama kali datang.
Di depan kamar aku bermain dengan kucing kembali. Karena itu aku jadi tak bisa melihat lagi kala ibu di pijat. Walau tak melihatnya, namun sesekali aku bisa mendengar suara ibu yang seperti awal di pijat. Suara seperti menahan sakit, seperti menahan sesuatu dan kadang seperti orang mendesah juga.
Hujan di luar, rasa kenyang dan sejak tadi bermain dengan kucing membuatku ketiduran. Saat aku bangun, di luar masih hujan dan aku pergi lagi ke kamar tempat ini di pijat.
Saat aku masuk, ibu masih tengkurap namun aku melihat pantat pak Toto seperti bergerak maju mundur. Namun pak Toto masih memakai celana pendeknya. Awalnya hanya pengait bra ibu yang di lepas tapi bra masih ia pakai, namun yang aku lihat sekarang bra itu sudah terlepas dan di pegang oleh ibu.
Aku lihat juga celana dalam ibu masih di pakai, namun celana dalam itu tampak di samping kan karena sebelah bulatan pantat ibu terlihat sangat jelas.
“Lama banget Bu. Pengen pulang”, saat aku berkata, tampaknya pak Toto dan ibu tak sadar aku kembali masuk ke kamar. Sehingga saat mendengar suaraku, keduanya tampak kaget dengan aku lihat pak Toto dengan cepat menjauhkan selangkangannya dan pantat ibu.
Dengan cepat juga pak Toto seperti memegang sesuatu di depan celananya dan seolah memasukkannya lagi. Saat pak Toto lakukan itu, tebakanku serasa benar bahwa celana dalam ibu di sampingkan karena aku bisa melihat vagina ibu walau hanya sedikit.
“e-eh... Belum nak. Kamu udah lama disitu?”, tanya ibu menatapku dengan masih tengkurap dan aku menggeleng.
“Udah mau sore, nanti angkotnya ga ada Bu”
“ini sebentar lagi kok. Tadi bapak baru coba buat lemesin lagi yang terasa tegang di tubuh ibumu”, ucap pak Toto dan aku kembali duduk di tempatku tadi melihat dengan pak Toto juga kembali memijat seperti sebelumnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, barulah pijat pun selesai. Aku tak tau, tapi mungkin kurang lebih dua jam ibuku di pijat. Aku hanya tau ibu dipijat lama sampai akhirnya aku tertidur tanpa berpikir macam-macam.
Pijat selesai, pak Toto bangun dan berjalan untuk mencuci tangannya di belakang. Saat pak Toto pergi, ibu juga bangun dan dengan jelas aku bisa melihat kedua payudara ibu. Di depanku ibu memakai kembali bra nya dan semua pakaiannya.
Sudah jelas melihat hal itu aku biasa saja karena bahkan aku juga beberapa kali masih pernah mandi bareng dengan ibu. Reaksiku akan berbeda jika saja aku melihatnya saat sudah tau apa yang namanya nafsu.
Kami kembali ke ruangan depan dan ibu mengobrol sebentar dengan pak Toto sambil menunggu hujan agak lebih reda. Ibu menanyakan harga untuk jasa pijatnya dan seingatku pak Toto meminta bayaran 80 ribu tapi sebelum kami pulang, pak Toto memberikan jamu kepada ibuku.
“Ternyata memang enak pijatan pak Toto. Walau agak sakit tapi namanya dipijat juga pasti ada sakitnya”
“makasih Bu buat pujiannya. Ini saya ada jamu juga. Bu Dewi bisa konsumsi jamu ini kalo merasa pegal-pegal lagi. Itu jamu juga bisa kalo suami Bu Dewi mau”, ibu mengangguk dan memasukkan jamu yang pak Toto kasih ke tas nya.
“nanti kalo misal pengen pijat pasti saya kesini lagi pak”
“wah dengan senang hati Bu. Kalo langganan saya kasih potongan. Hitung-hitung buat penglaris soalnya udah jarang juga yang pijat”
Setelah itu aku dan ibu pun pulang dengan menggunakan angkutan umum yang kami tunggu sekitar lima menit. Sehari setelahnya, ibu mengobrol dengan Bu S dan ibu menceritakan bahwa pijatan pak Toto memang membuat rasa pegalnya jauh lebuh hilang dari sebelumnya dan ibu bilang bahwa ia mungkin ada ke tempat pak Toto lagi.
“Tapi kamu ga risih dipijat pria? Aku pernah pas tahun lalu pas suami keseleo itu. Liat suami di pijat aku jadi pengen di pijat. Jadi aku coba lihat juga dan yang pijat aku itu pria yang pijat kaki suamiku”
“oh yang waktu itu katanya pergi pijat ke dekat tempat wisata pemandian itu ya?”, Bu S mengangguk.
“iya itu. Aku dipijat pria itu. Sebenarnya sih biasa aja, tapi karena aku orangnya gelian dan baru pertama kalinya dipijat pria jadinya jadi sebentar aku minta udahan”
“kalo aku biasa aja sih. Ya meski kaya agak nakal aja pak Toto”
“eh!? Nakal gimana?”
“jangan mikir yang aneh-aneh, pak Toto orangnya baik kok. Maksudnya semuanya bisa dipijat sama dia. Kan yang pegang itu dari kaki sampai paha sama punggung, aku di suruh lepas baju. Aku di pijat cuman pake pakaian dalam”
“tak kira apaan. Ya orang dipijatnya disitu, ya jelas suruh lepas lah. Kalo ga di lepas yang ada pulang-pulang pakaian basah sama minyak”
.
.
.
Daftar Part :
2. Kembali
3. Di Tonton
4. Lecutan Birahi
.
.
.
Terakhir diubah: