Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,5%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 539 70,7%

  • Total voters
    762


BAGIAN 21
PIKIRAN YANG NGAWUR



Pop Joko.


Flashback beberapa waktu yang lalu.

Jiancok. Hari ini pikiranku benar – benar dibuat gak karuan. Kalau saja gak ada Gilang, hari ini aku pasti sudah menghajar beberapa orang. Mulai dari Dani sikeparat yang ternyata anaknya Pak Danang, sampai manusia – manusia bajingan yang bermasalah dengan Satria digudang satu. Assuuu.

Aku sebenarnya sudah ingin keluar dan berhenti dari kantor ini. Tapi karena factor Gilang dan juga seorang wanita yang aku sukai dikantor ini, akhirnya aku mengurungkan niatku itu.

Kata – kata Dani tadi terus terang membuat harga diriku terusik dan kupingku panas mendengarnya. Kalau saja tadi kepalan tangan kananku atau injakan telapak sepatuku masuk sekali saja dibibirnya, mungkin aku bisa sedikit lega. Tapi gara – gara kesabaran Gilang, akhirnya aku hanya bisa terdiam seperti curut yang sembunyi dibalik lubang yang mengkerut. Jiampuutt.

Oke, oke. Sebelum aku melanjutkan kisahku, aku ingin bercerita sejenak tentang aku dan Gilang sahabatku.

Gilang Adi Pratama. Manusia tergathel dan manusia paling sabar yang menjadi sahabat perjalanan hidupku. Mulai aku menghirup udara pertama kali didunia ini, sampai detik ini. Mulai dari pertama kali sekolah sampai sekarang kuliah, kami selalu bersama.

Dia manusia yang paling luar biasa dan dia yang mengajarkan aku bagaimana menghadapi kerasnya kehidupan.

Ditengah kondisi keluarganya yang kurang mampu, dia tidak pernah mengeluh atau meratapi nasibnya. Dia bahkan bersemangat untuk merubah nasib keluarganya, dengan bermimpi untuk meraih gelar sarjana, lalu dia bekerja untuk merubah ekonomi keluarganya.

Mustahil sih sebenarnya. Tapi kemustahilan itu dihajar oleh semangatnya yang sangat luar biasa. Baginya kita itu harus bersemangat untuk menjalani kehidupan ini. sampai nyawa kita diambil kembali oleh Sang Pemiliknya. Istilah kerennya itu semongko, semangat nganti bongko.

Dalam menghadapi suatu masalah, didalam pikiran Gilang itu hanya ada dua kemungkinan. Gagal atau berhasil, pecundang atau pemenang.

Dan kalian pasti tau apa yang akan dipilih sahabatku yang gila itu. Berhasil dan menjadi pemenang. Kalaupun masalah itu tidak bisa diselesaikan, dia tidak akan menyerah sebelum masalah itu benar – benar diselesaikannya.

Baginya tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Semua masalah yang diberikan Sang Pemilik hidup, pasti sudah ditakar sesuai dengan kemampuan mahluk ciptaanNya itu sendiri.

Bersabar, berhenti sejenak, berpikir, lalu melangkah lagi. Ada kalanya mundur beberapa langkah bukan berarti menyerah, tapi mengalah sejenak untuk merebut kemenangan. Itu yang aku pelajari dari Gilang Adi Pratama.

Satu hal lagi yang aku pelajari dari Gilang. Walaupun dia mempunyai sikap yang sabar, bukan berarti dia tidak bisa marah dan meluapkan emosinya. Ada waktu dan tempat yang tepat ketika dia harus mengeluarkan semua ganjalan yang ada dihatinya. Dan ketika waktu itu telah tiba, marahnya bisa melebihi marahku dan emosinya bisa meledak daripada emosiku. Bajingan.

Pernah disuatu ketika kami mengamen ditetangga sebelah desa, aku yang kebelet buang air kecil mencari tempat yang tepat untuk menandai daerah kekuasanku. Bukannya aku asuu loh ya, bukan. Tapi biasanya kalau suatu daerah itu aku tandai dengan pipisku, kami akan mendapatkan uang yang banyak ketika mengamen.

Tapi dihari itu takdir berkata lain. Aku yang pipis dipojokan sebuah rumah, dituduh sebagai pencuri. Sipemilik rumah berteriak dan tetangganya keluar semua. Aku dihajar belasan orang dan Gilang yang berada dibeberapa rumah jaraknya dari aku, langsung berlari kearahku dan menyelamatkan aku.

Hari itu aku melihat amarahnya Gilang pertama kali. Wajahnya garang, buas dan menakutkan. Dia menghajar belasan orang yang mengeroyokku dengan membabi buta. Tidak ada ketakutan sedikitpun dimatanya dan justru warga desa itu yang ketakutan.

Hari itu selain amarah yang menggila, aku merasakan jiwa persaudaraan Gilang yang sangat kuat. Dia tidak meninggalkan aku ketika aku dihajar belasan orang. Padahal bisa saja kalau dia berlari dan meninggalkan aku didesa itu. Tapi itu bukan sifat dari seorang Gilang.

Lari meninggalkan sahabat yang sedang menghadapai masalah, itu ibaratnya “Mari neseng gak cewok, opo gak nggilani ngono cok.? Assuu.” (Habis berak gak cebok, apa gak menjijikan gitu cok.? Anjiinngg.)

Oh iya, namaku Joko, Joko Purnomo. Aku ini asli dari Desa Sumber Banyu dan tidak campuran dari manapun. Kalau Gilang itu ada campuran dari Desa Jati Bening, sementara aku murni asli dari desa ini.

Didesaku itu ada mata air dan airnya mengalir membelah Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening, serta beberapa desa lainnya dibawah sana. Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening itu, terkenal dengan orang – orang yang kuat dan sakti. Rahasia kesaktian kedua desa itu, penawarnya hanya ada di Desa Sumber Banyu. Tapi gak sembarangan orang bisa mendapatkan penawarnya itu, walaupun dia asli dari Desa Sumber Banyu. Hanya orang – orang terpilih dan orang itu harus bisa mengikuti ritual yang sangat berat sekali, baru bisa menguasai penawar kesaktian kedua desa itu.

Orang asli Desa Sumber Banyu itu sebenarnya kalem dan tidak suka membuat masalah. Kalau mereka – mereka yang sombong dan suka menghina itu, bukan asli dari desaku. Mereka – mereka itu dulunya pengungsi dari desa yang ada dipinggiran sana. Desa mereka tersapu terkena luapan air sungai dari arah desaku yang sangat dasyat. Mereka yang selamat akhirnya mengungsi dan lama – lama menetap didesaku secara turun menurun.

Keluarga Guntur, Trisno dan Kinanti itu, termasuk pendatang didesaku dan mereka sudah keturunan kelima, dari nenek moyangnya yang mengungsi di Desa Sumber Banyu.

Oh iya, kejadian yang maha dasyat masa lalu itu, tidak menyentuh Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening. Entah kenapa seperti itu, tapi yang jelas untuk desa – desa lainnya tersapu oleh ganasnya aliran air dari desaku.

Sekarang kembali lagi kepada diriku.

Kata orang disekelilingku, aku itu berbeda dari kebanyakan orang asli Desa Sumber Banyu yang kalem dan tidak suka membuat masalah. Kata orang aku itu emosian, ngawur dan tidak berpikir dulu ketika bertindak. Tapi kalau menurutku, apa yang aku lakukan sudah sesuai dengan apa yang ada didalam hatiku. Aku itu orangnya tidak suka berbasa basi dan selalu meluapkan sesuatu, apabila tidak sesuai dengan jalan pikiranku. Gilang yang tau bagaimana aku dan hanya dia yang bisa menenangkan aku beserta keliaranku.

Gilang itu panutanku dan gara – gara dia aku tidak mau mengemis dengan keluarga besarku, yang sebenarnya lumayan berada. Aku ingin menjadi ‘orang’ tanpa harus menadahkan kedua tanganku kepada orang tuaku atau Mbahku, walaupun jalannya agak nyeleneh.

Waktu aku ikut Gilang ke Kota Pendidikan, aku mengambil dua sapi Mbahku. Tapi ketika aku mengambil sapi itu, aku sudah berniat akan menggantinya dua kali lipat kalau aku sudah sukses nanti.

Sebenarnya apa yang aku lakukan itu tidak sepenuhnya salah, karena aku memang punya hak atas sapi itu. Mbahku dulu pernah bilang kepadaku, kalau setelah lulus STM nanti, aku akan diberi lima sapi. Waktu itu aku menolaknya, karena aku merasa tidak membutuhkannya dan belum terpikirkan kalau aku akan berkuliah.

Dan ketika aku mau kuliah, ‘kupinjam sebentar’ dua ekor sapi tanpa izin terlebih dahulu. Ingat hanya ‘kupinjam sebentar’, nanti pasti aku balikin lagi.

Setelah ‘menitipkan’ dua sapi Mbahku kepasar sapi, akupun mulai berpetualang ke Kota Pendidikan bersama Gilang. Tujuan kami berdua, ingin berkuliah dikampus negeri kota itu.

Dan petualangan kami di Kota Pendidikan, diawali ide gila oleh Gilang. Ide gila apa.? Kos dirumah yang berhantu. Jiancuukk.

Awalnya aku memang menolak kos ditempat itu, bukan karena takut. Aku menolak kos ditempat itu karena aku tidak ingin bermasalah dikemudian hari. Aku ini anak asli Desa Sumber Banyu, yang bisa melihat hal – hal ghaib dan kebanyakan orang tidak memiliki anugrah seperti aku ini.

Karena aku memiliki anugrah seperti itu, makanya aku menolak kos ditempat yang aku yakin pasti akan menimbulkan masalah bagi kami berdua.

Rumah yang tidak ditinggali dalam waktu yang lama, pasti ada suatu masalah didalamnya. Dan benar saja, kosan yang akan kami tempati itu, bekas tempat seorang wanita gantung diri karena hamil. Apa gak gila kalau seperti itu.?

Karena Gilang mempunyai uang yang pas – pasan, dia pasti mau saja tinggal ditempat itu. Padahal dengan uang hasil ‘titip sapi’ dipasar sapi, aku bisa tinggal dikosan yang kondisinya sangat baik. Bukan hanya aku sendiri, Gilangpun pasti bisa aku biayai kos ditempat yang layak seperti itu. Tapi apa mungkin Gilang mau aku biayai.? Pasti gak mungkinlah.

Akhirnya mau tidak mau, akupun mengikuti ide gila Gilang dan berangkat ketempat berhantu itu.

Sebenarnya aku sudah mengetahui siapa penghuni kosan berhantu itu, semenjak pertama kali aku melangkah masuk dihalaman teras rumah itu. Bayangan – bayangan ketika wanita itu gantung diri disebuah kamar depan, terlintas dipikiranku. Aku pun membulatkan tekatku untuk pergi meninggalkan kosan itu, tapi selalu dihalangi oleh Gilang.

Akhirnya akupun mengikuti kemauan Gilang dengan berat hati. Dan ketika masuk kedalam kosan berhantu itu, sengaja aku menjadi orang yang takut dan pura – pura tidak mengetahui, kalau kamar yang ditempati Gilang adalah kamar yang dipakai untuk bunuh diri.

Aku sengaja memilih kamar yang lain dan aku ingin berkonsentrasi dikamar itu. aku ingin memastikan lagi, tentang bayangan – bayangan yang terus bermain dikepalaku.

Dan ketika aku masuk kedalam kamarku, aku disambut sesosok wanita yang berdiri didekat kasur. Wanita itu sangat cantik dan dia adalah mahluk yang bergetayangan dirumah ini. Wanita itu yang bunuh diri dikamar depan dan wanita itu yang ditakuti oleh warga sekitar. Jiancuukk.

Apa aku takut.? Enggaklah, gak mungkin seorang Joko Purnomo takut dengan mahluk berbeda alam ini.

Aku hanya terkejut sebentar, lalu aku langsung menenangkan diriku.

Melihat aku yang tidak ketakutan ini, wanita yang sebelumnya menatapku dengan tajam itu, perlahan menatapku dengan penuh selidik. Dia seperti sedang membaca raut wajahku serta pikiranku.

“Kenapa kamu gak jadi dikamar depan.?” Tiba – tiba wanita itu bertanya kepadaku, tanpa basa basi.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, tapi aku mengambil rokok kretekku, lalu aku membakarnya.

“Hiuufftt, huuuu.” Aku menarik isapan rokokku lalu mengeluarkan asapnya.

“Karena aku tau kamu akan mengikuti aku kesini.” Jawabku sekenanya, setelah aku mengeluarkan asap rokokku.

“Bohong. Kamu gak kepengen temanmu itu curiga, kalau kamu sudah tau ada aku disinikan.? Kalau kamu menempati kamar itu, pasti gelagatmu akan dicurigai oleh sahabatmu. Ya kan.?” Ucap Wanita itu.

“Hehe. kamu itu sudah berada dialam lain, tapi masih cerewat aja.” Jawabku, lalu aku tersenyum dengan sinisnya.

“Kenapa kamu gak langsung pergi aja sih dari tempat ini.?” Tanya mahluk itu dengan ketusnya.

“Kamu gak usah usir aku, karena aku pasti akan meninggalkan tempat ini secepat mungkin.” Jawabku.

“Baguslah kalau begitu. Tapi karena temanmu sudah memilih tinggal dikamarku, dia akan bertahan dikosan ini.” Ucap wanita itu dan aku langsung melotot kearahnya.

“Kamu jangan macam – macam sama temanku ya. Kamu akan menyesal melakukan itu.” Ucapku dengan emosinya.

“Ya sudah, silahkan kamu ajak dia pergi dari sini secepatnya. Itupun kalau dia mau loh ya.” Jawab wanita itu dengan entengnya.

“Cuukkk. Kamu jangan macam – macam ya.” Ucapku yang semakin emosi.

“Siapa yang macam – macam.? Aku cuman mengatakan, silahkan ajak dia pergi kalau dia mau pergi. Itu saja.” Jawab wanita itu.

“Kamu mau coba aku ya.? Kamu dengar ya. Namaku Joko Purnomo dan aku asli Desa Sumber Banyu. Mahluk seperti kamu ini, bisa dengan mudah aku lenyapkan.” Ucapku sambil menatapnya dengan tajam.

“Hei. Jangan angkuh jadi manusia. Jalani saja takdirmu yang sudah menuntunmu ketempat ini dan aku akan tetap menjalankan takdirku yang lebih dulu tinggal ditempat ini.” Ucap wanita itu sambil menunjuk wajahku.

“Jangan berbicara takdir dihadapanku. Apa kamu mau mencari pembelaan diri, supaya kamu bisa menyeret aku dan temanku di jalan takdir hidupmu.?” Tanyaku.

“Kenapa kamu tanya seperti itu sama aku.? Kenapa kamu gak tanya Sang Pemilik Hidup yang sudah menuntunmu ketempat ini.? Apa semua ini mauku.? Apa aku yang menyuruh kalian berdua datang ketempat ini.?” Tanya wanita itu dan akupun langsung terdiam mendengar ucapannya.

“Kalau kamu sudah ditakdirkan ditempat ini, kamu mau apa.? Kamu mau memaksa merubah takdirmu dan pergi dari sini.? Silahkan, aku gak pernah menghalangi kok. Mungkin kamu bisa merubah takdirmu, tapi kamu gak bisa merubah takdir orang lain.” Ucap wanita itu dan langsung membuatku emosi.

“JIANCOOKKK,” Teriakku dengan emosinya.

“Ono opo cok.?” (Ada apa cok.?) Tanya Gilang yang berlari dari arah kamarnya dan berdiri didepan kamarku. Akupun langsung melihat kearah Gilang dan dia berdiri bersama Bi Ati pembantu ibu kos.

“Ono cecek nde njero lemari cok.” (Ada cicak didalam lemari cok.) Ucapku berbohong dan kebetulan pintu lemari didalam kamar ini terbuka.

“Asu, ngageti uwong ae cok.” (Anjing, ngagetin orang aja cok.) Ucap Gilang lalu dia berjalan kearah kamarnya lagi, sedangkan Bi Ati menggelengkan kepalanya kearahku.

“Gilo aku cok.” (Jijik aku cok.) Jawabku dan Bi Ati langsung menyusul Gilang kekamarnya.

Akupun melihat kearah wanita itu lagi dan dia sudah tidak ada ditempatnya berdiri tadi. Pikiranku makin berkecamuk dan aku semakin yakin untuk meninggalkan kosan ini.

Aku terus memaksa dan merayu Gilang untuk pergi, tapi dia tetap dengan pendiriannya untuk tinggal dikosan ini. Bajingann.

Tekadku semakin bulat, ketika aku melihat keanehan – keanehan yang lain dikosan itu. Pada saat aku ingin meraba kejadian awal wanita itu bunuh diri, ada kekuatan hitam yang mengaburkan pandanganku dan membuatku tidak bisa menjelajah lebih jauh. Entah kekuatan apa itu, yang pasti kekuatan itu jahat sekali.

Akupun memutuskan untuk tidak ingin terlibat dalam masalah itu dan aku memaksa Gilang untuk pergi. Lagi dan lagi Gilang tidak mau meninggalkan kosan itu dan bersikeras tetap tinggal disana. Jiancuukk.

Malam harinya Gilang mengajakku mengamen dan aku tau, dia pasti ingin mengalihkan pikiranku agar aku tidak mencari kosan lain.

Guathel Gilang itu. Kalau dia sudah punya satu kemauan, pasti susah sekali membujuknya.

Malam itu akhirnya kami mengamen dan tempat yang kami tuju rupanya berisi para bajingan kampus teknik kita. Dan yang menjadi pentolan dikosan itu, ternyata Mas Pandu yang berasal dari Desa Jati Bening.

Malam itu kami mengobrol dan Mas Pandu menyarankan agar kami mendaftar dikampus teknik kita, karena pendaftaran kuliah dikampus negeri telah ditutup.

Saran itu kelihatannya diterima oleh Gilang, walaupun dia tidak mengiyakan. Tapi dari gelagat cara berbicara dan ekspresi diwajahnya, dia terlihat ingin mendaftar dikampus teknik kita. Dan itu berarti keinginanku untuk merayu Gilang keluar kosan kami, semakin sulit. Posisi kosan kami itu lebih dekat dengan kampus teknik kita dan aku yakin Gilang pasti lebih mantap untuk tinggal disana. Bajingaann.

Setelah bertemu dengan Mas Pandu, kami berdua balik kekosan dan beberapa kejadian kecil terjadi kepada kami berdua. Mulai dari keributan didepan kampus teknik kita, sampai bertemu dengan kakek tua yang entah siapa dia. Tapi kalau menurutku, kakek itu juga berasal dari alam lain dan dia sengaja menemui aku dan Gilang. Entah apa tujuan kakek itu, karena aku tidak bisa merabanya lebih dalam.

Kekerasan hati Gilang yang tetap bertahan dikosan itu, akhirnya meluluhkan hatiku juga. Kami berdua akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan dikosan itu.

Karena aku sudah memutuskan tetap bertahan, aku pun siap untuk menanggung segala resiko yang pasti akan datang.

Aku datang bersama Gilang ke Kota Pendidikan dan aku harus pergi bersama Gilang. Kami berdua harus bisa mencapai impian dan gelar sarjana harus kami raih bersama, itu saja.

Hari demi hari kami lalui dan begitu banyak pengalaman yang kami dapatkan di Kota Pendidikan. Dimulai dengan mengamen ditempat baru dan suasana baru, bertemu tiga orang dari desaku yang membuat sakit mataku, lalu dilanjut pendaftaran sebagai mahasiswa baru, ospek dikampus teknik kita yang sangat gila, berkenalan dengan teman – teman baru termasuk empat sekawan, tradisi pertama kuliah yang lebih gila dari pada ospek, sampai nasib yang membawa kami bekerja dikantor Pak Danang.

Khusus untuk Gilang dan Intan (Nama wanita yang gantung diri dan sampai sekarang menjadi penghuni kosanku).

Pelan tapi pasti, aku mencium gelagat tidak enak dari dua mahluk berbeda alam itu. Mereka berdua itu seperti terlibat cinta yang terlarang. Mereka saling menyukai, padahal itu tidak seharusnya terjadi. Berkali – kali aku mengganggu mereka ketika sedang berduaan dikamar. Aku melakukan itu seolah – olah tidak mengetahui keberadaan Intan, supaya Gilang tidak curiga kepadaku. Tujuanku hanya satu. Aku tidak ingin Gilang tersesat dalam pusaran cinta yang aneh itu. Gilang sudah tersakiti oleh Kinanti dan aku tidak ingin dia tambah menderita, dengan mahluk yang jelas – jelas berbeda alam itu. Aku takut sahabatku itu gila dan aku juga pasti akan ikut gila.

Tapi lama – lama aku tidak tega, setelah melihat ketulusan cinta mereka. Apalagi ketika aku tau Intan rupanya ingin menjodohkan Gilang dan Gendhis. Aku melihat raut kekecewaan yang mendalam dimata Gilang dan juga Intan, karena permainan hati ini.

Oh iya, untuk Mas Pandu dan pondok merah. Awalnya aku hormat dan respek dengan mereka. Tapi makin lama dan makin kesini, hormat dan respek berkurang kepada mereka.

Mereka terlalu ganas pada saat ospek, tapi gak bersuara ketika tradisi gila hari pertama kuliah. Ada apa dengan mereka semua.? Apa mereka tidak berani menghentikan tradisi gila itu, sampai harus Gilang yang menghentikannya.? Terus ditambah dengan Mas Pandu yang tidak mau menyelidiki kematian Intan, padahal Intan itu sahabatnya sendiri. Yang membuat hatiku terusik itu, kenapa harus Gilang yang memecahkan mistery ini.? Gilang dan Gilang lagi yang harus turun tangan. Bajingaann.

Okelah, lupakan sejenak kejengkelanku dengan Mas Pandu dan pondok merah. Sekarang kita kembali keawal cerita.

Setelah seharian otakku tegang dengan kejadian dikantor dan dilapangan, aku menuju kekantor untuk menjemput wanita idamanku dikantor. Siapa lagi kalau bukan Mba Denok.

Mba Denok menyuruhku menjemputnya, ketika otakku sedang panas – panasnya atas hinaan Dani kepadaku dan Gilang. Entah apa tujuannya menyuruhku menjemputnya, padahal dia tau kalau aku sedang emosi. Apa itu hanya caranya saja untuk mengalihkan emosiku yang sedang berkobar ini.? Tapi untuk apa.? Apa dia beneran menyukai aku juga.? Seperti ucapannya pagi tadi pada saat bertemu aku dan Gilang didepan Kantor.?

“Katanya anak teknik itu nyalinya besar, katanya anak yang biasa hidup dijalan itu nekat, dan katanya anak yang biasa mandiri itu berani. Tapi kenapa temanmu itu pengecut sih.? Ngomong seperti itu saja, harus disampaikan orang lain.” Kata Mba Denok, ketika Gilang berbicara dengan polosnya tentang perasaan cintaku kepada Mba Denok. Bajingaann.

Tapi apapun itu, suara Mba Denok dan perintahnya untuk aku menjemputnya, langsung membuat emosiku mereda. Apa lagi ketika dia menyebut namaku dengan sebutan Mas Jo. Cuukkk. Itu kata – kata terindah yang pernah kudengar selama hidupku cuukkk, Jiancuukkk.

Mas Jo, sebuah kata yang singkat dan mampu membuat seluruh organ di dalam tubuhku bergejolak dengan hebatnya. Rongga mulut, lidah, tenggorokan, jantung, hati, empedu, lambung, limpa, pankreas, usus besar dan usus kecil, bekerja dengan cepatnya, sampai anusku pun berkedut – kedut dibuatnya. Bajingaann.

Aku benar – benar dibuat melayang tinggi oleh suara merdu wanita yang mampu menaklukan hatiku itu.

Demi alam semesta ini, aku bersumpah, aku benar – benar mencintainya sepenuh hatiku. Asssuuu.

Aku mengendarai kimba kekantor dengan pikiran yang terus melayang dan cintaku yang semakin membesar untuk Mba Denok.

Dan ketika aku sudah sampai dikantor Pak Danang, sesosok wanita yang ada dibayanganku selama perjalanan tadi, menungguku dengan senyum manis mengambang dibibirnya.



Denok



Trenteng, teng, teng, teng.

Aku duduk diatas kimba, sedangkan Mba Denok berjalan kearahku sambil membenarkan kacamata yang dipakainya.

Cuukkk. Cantik, manis, dan anggun banget cuukkk.

Akupun hanya bisa bersyukur kepada Sang Pencipta, karena aku diberi kesempatan untuk kenal dan dekat dengan bidadari tak bersayap ini. Dan aku akan lebih bersyukur kalau seandainya sayang dan cintaku ini bisa diterima Mba Denok. Tidak perlu dibalas, cukup diterima. Kalau dibalas tapi tidak diterima, aku pasti tersesat dalam pahitnya belantara cinta. Assuuu.

“Aku gak perlu minta maaf, karena aku menjemputmu memakai vespa kan.?” Tanyaku dengan hati yang berdebar – debar, ketika Mba Denok sudah berdiri didekatku.

Mba Denok menggeleng pelan sambil terus tersenyum dengan manisnya.

“Kamu tau gak Mas.? Cowo yang naik vespa itu, kelihatan maco dan gantengnya nambah loh.” Ucap Mba Denok dan aku langsung tersenyum sambil terus menatap wajahnya.

“Semoga aja gak ada yang ngiri, kalau aku digonceng Mas Jo.?” Ucap Mba Denok lagi.

“Kalau ada yang ngiri, kita nganan aja.” Jawabku dan aku sudah mulai agak tenang berbicaranya.

“Iiihhh Mas Jo ini. Ngiri yang aku maksud itu iri mas, bukan kekiri.” Ucap Mba Denok dengan gemas dan sedikit meraju.

“Hehehe. Naik Mba.” Ucapku, menyuruh Mba Denok naik ke kimba.

“Naik kemana.?” Tanya Mba Denok yang masih sedikit meraju.

“Mauku sih naik kepelaminan, biar tambah banyak yang ngiri.” Jawabku menggodanya.

“Apasih.” Ucap Mba Denok lalu mencubit paha kananku pelan.

Drett, drett, drett, drett.

Cubitannya dipahaku, langsung membuat seluruh tubuhku bergetar dan seluruh organ didalam tubuhku langsung bersorak dengan senangnya.

“Horeeee. Assuuu.” Mungkin seperti itulah teriakannya.

“Duhh, duhh, duhh.” Ucapku yang pura – pura kesakitan, padahal cubitan ini sangat nikmat banget.

“Maaf Mas. Sakit ya.?” Ucap Mba Denok dan sekarang telapak tangannya menyentuh pahaku yang dicubitnya tadi.

Dreeett, dreeett, dreeett, dreeett.

Getaran diseluruh tubuhku semakin menjadi dan sorakan didalam organ tubuhku semakin menggila.

“Horeeee. Jiancuukkk.”

“Enggak kok Mbak.” Ucapku dan aku tidak berani memegang tangannya yang masih diatas pahaku. Kedua tanganku masih memegang stang kimba dan aku memegang sangat erat, karena kedua tanganku juga bergetar.

“Ya udah, aku naik ya.” Ucap Mba Denok sambil mengangkat tangannya dipaha kananku.

Aku hanya mengangguk pelan dan Mba Denok langsung duduk dibelakangku. Mba Denok duduk mengangkang, karena dia memakai celana yang panjang. Kedua pahanya mengapit pahaku dan kedua telapak kakinya juga didekat kedua kakiku.

Hatiku berdebar – debar, apalagi ketika kedua telapak tangannya bertumpu pada kedua pahaku.

Dreeett, dreeett, dreeett, dreeett.

Getaran tubuhku semakin menguat ketika dadanya menempel di punggungku.

Cuukkk, enak bangett cuukkk. Jiancuukk.

“Matamu.” Teriak semua organ didalam tubuhku.

“Kapan jalannya Mas.?” Tanya Mba Denok mengejutkanku.

“Oh iya Mba.” Jawabku, lalu.

Kletek, Trenteng, teng, teng, teng.

Aku memasukan perseneling kimba, lalu menarik gasnya pelan, meninggalkan kantor dengan hati yang berbunga – bunga.

“Kemana kita Mba.?” Tanyaku, sambil menoleh kearah Mba Denok.

“Loh, katanya Mas Jo mau traktir aku.?” Mba Denok bertanya balik.

Cuukk. Iya – iya. aku memang mau traktir Mba Denok waktu terima gaji pertama dulu. Tapi aku gak berani bilang dan Gilang yang menyampaikan itu kepada Mba Denok.

“Makan dimana enaknya Mba.?” Tanyaku.

“Terserah Mas Jo aja.” Ucap Mba denok dan sekarang dagunya menempel dipundak kananku.

DREEETT, DREEETT, DREEETT, DREEETT.

DAG, DUG, DAG, DUG, DAG, DUG.

Getaran semakin kuat dan sekarang diiringi detak jantungku yang cepat dan kuat. Bajingaann.

Aku sesekali melirik kearah wajah samping Mba Denok, yang berada tepat disamping wajah kananku. Senyumnya mengembang dan wajahnya terlihat bahagia sekali.

Ini adalah perjalanan yang paling membahagiakan selama hidupku dan ini adalah perjalanan cintaku yang sangat indah sekali.

Trenteng, teng, teng, teng.

Suara merdu kimba, menambah kesyahduan perjalanan cinta ini.

Beberapa saat kemudian, aku menghentikan kimba disebuah gerobak yang menjual lalapan dipinggir jalan. Tempatnya sangat sederhana dan duduknya lesehan dengan beratapkan langit.

“Makan disini aja ya.” Ucapku dan kami berdua masih berada diatas kimba.

“Iya.” Jawab Mba Denok sambil memundurkan tubuhnya, lalu turun dari kimba.

Aku lalu memarkirkan kimba, setelah itu aku dan Mba Denok memesan makanan.

Kami lalu duduk lesehan dan berdampingan, sambil melihat kendaraan yang berlalu lalang dihadapan kami.

Dan beberapa saat kemudian, ada tiga orang pengamen yang datang dan berdiri tidak jauh dari hadapan kami.

“Loh, Mas iki maneh.” (Loh, mas ini lagi.) Ucap salah satu pengamen menegurku.

“Ambe ojob’e je.” (Sama pacarnya bro.) Sahut temannya.

“Cok, nggarai iri ae cok.” (Cok, bikin iri aja cok.) Sahut yang lain.

Mereka bertiga adalah pengamen yang bertemu aku di bakso kidul pasar siang tadi.

“Oyi tok wes.” (Iya aja pokoknya.) Ucapku sambil mengacungkan jempolku kearah mereka.

“Oke. Lagu ini special buat Mas sama pacarnya ya.” Ucap salah satu pengamen lalu memulai memainkan lagu.





Mba Denok tampak tersipu malu, karena aku juga ikut bernyanyi dengan suara yang pelan.

Setelah mereka menyanyikan lagi itu, mereka berkeliling untuk mengambil uang dari orang yang ada disekitarku. Tapi ketika didekatku, mereka hanya melewati saja, padahal aku sudah menyiapkan uang untuk mereka.

“Loh.” Ucapku yang terkejut.

“Duitku akeh.” (Uangku banyak.) Ucap salah satu dari mereka, sambil menunjukan selembar uang berwarna biru yang mungkin pemberianku siang tadi.

“Hahaha.” Akupun langsung tertawa dan mereka melambaikan tangan, lalu pergi meninggalkan kami.

“Banyak juga ya teman pengamen Mas disini.” Ucap Mba Denok.

“Hehehe.” Aku hanya tersenyum sambil melihat wajah manis Mba Denok yang tidak pernah membosankan ini.

“Kok lihatnya gitu sih.?” Tanya Mba Denok.

“Gak apa – apa, emang gak boleh.?” Tanyaku balik.

“Boleh, tapi kenapa harus begitu ngelihatnya.?” Ucap Mba Denok.

“Mba tau gak.? Aku itu lagi bayangin bayangin pasti banyak laki – laki yang iri, lihat aku duduk sama Mba disini.” Ucapku dan aku gak menjawab pertanyaan Mba Denok tadi.

“Bisa gak manggilnya kalau nama aja, gak usah pakai Mba gitu.?” Ucap Mba Denok.

“Bisa, apalagi kalau manggilnya ditambahin sayang. Bisa banget itu. hehehe.” Ucapku merayu Denok.

“Apasih Mas ini.” Ucap Mba Denok sambil mencubit pahaku.

“Aw.” Ucapku dan bertepatan dengan makanan kami yang datang.

Kami berdua lalu makan bareng dan haripun perlahan mulai gelap.

Setelah makanan kami habis, kami lalu mengobrol sebentar, setelah itu aku mengantarkan Denok kekosnya.

Denok ini berasal dari kota sebelah dan setelah selesai kuliah, dia tetap dikota ini dan lanjut bekerja dikantor Pak Danang.

Kos Denok terletak diperumahan elit dan kosnya juga terlihat mewah. Penghuninya pun hanya ada beberapa orang saja.

“Mas langsung balik ya.?” Tanya Denok dan dia berdiri didekatku yang duduk diatas kimba.

“Iya, aku mau keluar sama Gilang. Kami ada janji sama Pak Doni.” Ucapku.

“Mau pesta ya.?” Tanyanya dengan nada yang menggoda.

“Kelihatannya begitu.” Jawabku singkat.

“Ya sudah hati – hati.” Ucap Denok dengan tatapan sedikit sayu.

“Kok gitu ngomongnya.? Kayak aku mau kemana aja loh.” Ucapku.

“Ya wajar dong kalau aku ngomong begini. Soalnya kalau selesai proyek dan kontraktor ngajak pesta, biasanya pasti mabuk dan ada ceweknya juga.” Ucap Denok dan nandanya seperti agak berat.

“Ohh gitu. Jadi aku gak boleh berangkat nih.?” Tanyaku memancing rekasi Denok.

“Berangkat aja, aku gak ngelarang kok.” Ucapnya dan wajahnya berubah menjadi serius.

Cuukk. Kelihatannya dia berat melepaskan kepergianku untuk pesta bareng Pak Doni. Apa dia cemburu kalau aku sampai mendekati perempuan yang ada ditempat pesta itu.? Wah, kelihatannya Denok suka aku beneran nih. Apa aku tembak dia aja ya sekarang.? Tembak ajalah. Mau kapan lagi aku nembaknya.? Mumpung ada kesempatan.

“Nok.” Ucapku dan nadaku juga aku buat serius, sampai dia agak terkejut mendengarnya.

“Aku sayang kamu.” Ucapku tanpa basa - basi dan diapun makin terkejut mendengar ucapanku.

“Kok gitu ekspresinya.? Kamu gak suka caraku mengungkapkan perasaanku ya.?” Tanyaku yang agak bingung melihat ekpresi wajahnya.

“Gimana ya.? Aku tau kamu itu gak bisa romantis, tapi bisa gak kalau pakai basa – basi apa kah gitu.?” Ucap Denok.

“Kelamaan. Entar malah disambar orang.” Jawabku sekenanya.

“Ya ampuunn.” Ucap Denok lalu menunduk dan menggelengkan kepalanya pelan.

“Jadi gimana.? Diterima atau enggak.?” Tanyaku dan dia langsung mengangkat wajahnya dan melihat kearah wajahku.

“Harus sekarang jawabnya.?” Tanya Denok balik.

“Ya iyalah. Mau nunggu sampai kapan.? Medali emas olimpeade dari cabang bulu tangkis tunggal putra dan tunggal putri aja bisa disatukan dinegeri ini, masa kita berdua gak bisa bersatu.?” Ucapku dan Denok kembali terkejut dan terbengong.

Mulutnya menganga dan kedua matanya terbuka dengan lebar.

“Nok.” Ucapku sambil melambaikan tangan kananku ditepat didepan wajahnya.

“Ha.” Ucapnya yang terkejut, lalu dia memejamkan kedua matanya sambil menggelengkan kepalanya sejenak, dan tiba – tiba.

“Hihihi.” Dia tertawa sambil menutup mulutnya.

“Kok malah ketawa sih.? Gimana jawabannya.?” Tanyaku.

“Hihihi.” Denok terus tertawa.

“Nok. Kok ketawa terus.? Apa aku harus jadi pemain bulu tangkis dulu, supaya kamu mau menerima aku.?” Tanyaku yang kebingungan.

“Hihihi. Cukup Mas, cukup. Hihihi.” Ucap Denok yang terus tertawa.

“Ya sudahlah kalau kamu gak mau jawab.” Ucapku dengan wajah yang memelas.

Denokpun langsung menghentikan tawanya, lalu tiba – tiba,

CUUPPP.

Denok mengecup pipi kiriku dengan sangat lembutnya.

DREEETT, DREEETT, DREEETT, DREEETT.

DAG, DUG, DAG, DUG, DAG, DUG.

Tubuhku bergetar dengan hebatnya dan jantungku memompa dengan cepatnya. Sukmaku pun seakan mau melayang dan meninggalkan ragaku, karena terlalu bahagia sekali. Tapi dengan cepatnya aku memegang ubun – ubun kepalaku, supaya sukmaku tetap berada diragaku. Aku tidak ingin cepat mati, karena aku ingin merasakan kebahagiaan ini lebih lama lagi.

Aku ingin semua laki – laki diseluruh penjuru semesta ini ngiri kepadaku, karena aku telah dikecup wanita tercantik didunia ini. Aku senang hari ini, aku lega hari ini, aku bahagia hari ini dan aku akan bersuka cita dengan cintaku ini.

Tapi entar dulu, maksud kecupan ini apa ya.? Denok kan belum mengucapkan apa - apa.? Apa kecupan ini kode kalau dia telah menerima cintaku.? Kenapa harus pakai kode – kodean sih.? Kenapa gak pakai kode semaphore aja.? Atau morse, atau sandi rumput sekalian.? Bajingaann.

Akupun langsung melihat kearah Denok yang tersipu malu, dan aku memandangnya sambil memegang pipiku yang baru dikecupnya.

“Jadi diterima gak.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Ihhhh.” Ucap Denok yang tiba – tiba kesal, lalu dia berbalik dan menuju kearah pagar kosannya.

Ha.? Kok dia marah.? Emang salah ya pertanyaanku.? Bajingaannn.

“Nok.” Panggilku.

Denok langsung membalikan tubuhnya dan melihatku dengan tatapan yang tajam.

“Mas Jo boleh ikut pesta malam ini, tapi jangan banyak – banyak minumnya. Satu lagi. Kalau sampai aku dengar Mas Jo dekat sama perempuan disana. Ihhhhh.” Ucap Denok sambil mengepalkan tangan kanannya kearahku.

“Aku dulu itu atlit bulu tangkis mas. Jadi kalau ada perempuan yang berani dekatin Mas Jo, aku smash mukanya perempuan itu.” Ucap Denok, lalu dia masuk kedalam pagar kosannya tanpa melihat kearahku lagi.

Jiancuukk. Denok menerima aku cuk. Hahahaha.

Bajingaann. Aku bahagia banget dan belum pernah sebahagia ini cuukk. Asuuu.

Itulah cerita singkat tentang aku, Gilang, Denok yang menjadi cintaku di Kota Pendidikan., serta awal mula ketidak senanganku terhadap sikap pondok merah dan juga Mas Pandu.

Hari - hari selanjutnya, aku jalani dengan berbeda sekali. Setiap hariku selalu diisi oleh cintaku bersama Denok dan juga berbagai kisah tentang persabatanku dengan Gilang.

Sedangkan untuk Mas Pandu dan pondok merah, aku semakin tidak respek karena mereka semua sudah membantai empat sekawan dipondok merah. Walaupun pada akhirnya empat sekawan itu masuk kedalam keluarga besar pondok merah, tetap tidak mengurangi kejengkelanku dengan kosan yang sok berkuasa dikampus teknik kita itu.

Untuk mengurangi rasa kejengkelanku, aku menyibukan diri dengan berbagai kegiatan pekerjaan diproyek dan juga menyibukkan hatiku dengan cinta.

Sampai pada seminggu yang lalu ketika ada pendaftaran beasiswa, aku dan Gilang semakin menyibukkan diri dengan kegiatan itu. Kami berdua ingin mendapatkan beasiswa, agar kami bisa sedikit berkonsentrasi dengan kuliah tanpa memikirkan biaya.

Sebelum mendaftar program beasiswa itu, aku sempat mendapatkan tawaran untuk menjadi panita ospek penerimaan mahasiswa baru. Aku sebenarnya ingin menerima tawaran itu dan menjadi panitia, karena aku berniat ingin mengurangi kekerasan pada saat ospek dikampus teknik kita. Tapi Gilang menolak tawaran itu dan akhirnya aku juga menolak jadi panitia.

Kembali lagi kepada seleksi beasiswa. Setelah mengikuti beberapa kali seleksi dengan perjuangan yang keras, di akhir penentuan siapa yang berhak mendapatkan beasiswa, kami berdua justru pulang kedesa karena mendengar kabar Ibu Gilang sakit keras.

Tapi ternyata informasi yang diberikan oleh Guntur dan Trisno itu bohong. Aku sangat marah sekali kepada mereka berdua. Dan kesabaran Gilang, lagi – lagi membuat emosiku mereda.

Tapi ada juga sih untungnya kami berdua balik kedesa. Selain karena Ibu Gilang ternyata tidak sakit keras, aku juga bisa menyelesaikan permasalahanku dengan Mbahku tentang sapi yang aku titipkan dipasar sapi. Tentu saja Gilang ikut turun tangan, sehingga kedua orang tuaku dan Mbahku tidak jadi marah kepadaku.

Seminggu kami didesa dan kami harus menjalani hukuman, karena perbuatanku mengambil sapi Mbahku. Hukuman yang kami jalani adalah memberi makan seluruh sapi Mbahku yang berjumlah puluhan itu.




Oke. Mungkin itu cerita singkat tentang perjalanan hidupku. Sekarang aku telah kembali ke Kota Pendidikan dan bersiap untuk kekantor, setelah seminggu tidak masuk tanpa izin.

Untuk beasiswa itu sendiri, bisa dipastikan kami gagal mendapatkannya. Padahal aku berharap ada sebuah keajaiban yang bisa membuat hari terkahir pengumuman seleksi beasiswa itu diulang kembali. Tapi ini bukan cerita tentang dongeng, yang selalu menceritakan tentang mulusnya jalanku menuju impian. Ini adalah ceritaku tentang kerasnya meraih impian dan aku harus menjalaninya dengan ilmu sabar yang dimiliki Gilang.

Dan sekarang, aku dan Gilang sudah berada didalam ruang pengawasan. Kami berdua duduk dihadapan Pak Jarot yang diam saja dari tadi dan wajahnya terlihat dingin sekali. mungkin Pak Jarot marah, karena kami seminggu ini tidak masuk tanpa izin. Akupun sudah pasrah, kalau harus mendapatkan hukuman dari kesalahan kami itu. Paling juga dipotong gaji atau disuruh mengganti waktu kerja kami seminggu kemarin, dengan cara lembur dikantor. Terserah bagaimana enaknya saja, yang penting aku masih bisa dikantor ini dan terus berdekatan dengan kekasihku tercinta, Denok. Itu saja.



Pop Gilang.

“Kalian dipecat.” Ucap Pak Jarot sambil menyodorkan sebuah amplop kepadaku.

Aku dan Jokopun langsung terkejut dan saling melirik, setelah itu kami melihat kearah Pak Jarot lagi yang wajahnya terlihat sangat dingin sekali.

Aku hanya terdiam dan tidak mampu mengucapkan kata - kata sedikitpun. Ini adalah kata – kata yang paling membangsatkan, yang pernah aku dengar selama bekerja dikantor Pak Danang ini. Aku dan Joko tidak tau kesalahan besar apa yang kami lakukan, sampai tiba – tiba langsung diberhentikan seperti ini.

Bukan masalah tidak bekerja lagi yang membuatku terdiam. Tapi mistery tentang kematian Intan yang masih menggantung dan belum terpecahkan sampai detik ini, yang membuatku tidak bisa mengucapkan apa – apa.

Bibirku seolah terkunci dan aku tidak bisa berpikir lagi. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih, karena kejadian ini diluar dugaanku. Semua ini sangat tiba – tiba dan pasti sangat mengejutkan sekali.

“Salah kami apa Pak.?” Ucap Joko yang tidak terima dengan kejadian ini.

“Kalian terlalu malas dan kalian tidak masuk selama seminggu ini tanpa izin. Memangnya ini kantor Bapakmu.?” Ucap Pak Jarot dan tatapannya terlihat tajam sekali.

“Kami tidak masuk seminggu karena kami pulang kedesa Pak. Ibu Gilang sakit, makanya kami pulang tanpa pamit dan tidak izin kekantor.” Ucap Joko dengan nada yang meninggi.

“Saya gak perduli dengan alasanmu. Kamu disini bukan untuk main – main, tapi bekerja. Sekarang kalian keluar dari kantor.” Ucap Pak Jarot dengan penekanan kata yang sangat tegas sekali.

“Tapi Pak.” Ucap Joko dan aku langsung menepuk paha Joko pelan.

“Iya Pak. Kami terima keputusan ini, karena kami memang salah.” Ucapku dan kubuat setenang mungkin.

“Lang.” Ucap Joko dan aku langsung meliriknya.

“Cok.” Gumam Joko lalu terdiam dan aku melihat kearah Pak Jarot lagi.

“Mohon maaf atas kesalahan kami dan mohon maaf kalau ada sikap kami yang tidak berkenan. Terimakasih karena kami telah diberi kesempatan bekerja dikantor ini dan terimakasih atas bimbingan Bapak selama ini kepada kami.” Ucapku dan Pak Jarot hanya melihatku dan tidak mengucapkan apa – apa lagi.

Akupun langsung berdiri lalu menuju ke mejaku dan mengemasi semua barang – barangku. Joko mengikuti aku dibelakangku dan dari gerakannya, dia seperti masih tidak terima dengan semua ini.

Setelah barang – barangku aku masukan kedalam tas, aku melihat kearah Pak Jarot yang sedang membakar rokoknya.

“Tidak usah pamit dengan Pak Danang dan ini gaji kalian terakhir.” Ucap Pak Jarot sambil menunjuk amplop yang diserahkannya tadi.

“Terimakasih Pak. Saya tidak akan mengambil gaji saya, karena saya tidak masuk selama seminggu ini.” Jawabku, lalu aku tersenyum kepada Pak Jarot.

Aku lalu keluar ruangan pengawasan ini dan di ikuti Joko dibelakangku.

“COK.” Teriak Joko ketika kami sudah berada diluar kantor dan berdiri didekat kimba yang terparkir.

“Koen iku lapo muring – muring cok.?” (Kamu itu kenapa marah – marah cok.?) Tanyaku sambil mengeluarkan rokokku, lalu aku membakarnya.

“Aku gak trimo cok. gak trimo.” (Aku gak terima cok, gak terima.) Ucap Joko sambil melotot.

“Koen iki piye seh,? Mbiyen awakmu dewe seng ngomong kate leren, saiki keturutan kok malah muring – muring.?” (Kamu ini bagaimana sih.? Dulu kamu sendiri yang mau berhenti, sekarang terkabul kok malah marah – marah.?) Tanyaku lalu aku menghisap rokokku.

“Ta, ta, tapi gak ngene carane cok.” (Ta, ta, tapi gak begini caranya cok.) Ucap Joko yang mulai kebingungan.

“Terus karebmu piye.? Koen pengen seng ngomong PHK iku Mba Denok ta.? Opo gak tambah loro koen cok.?” (Terus maumu bagaimana.? Kamu kepengen yang ngomong PHK itu Mba Denok kah.? Apa gak tambah sakit kamu cok.?) Tanyaku yang ingin mengalihkan sejenak masalah yang membangsatkan ini.

“Cok, lapo ngelantur rono omonganmu cok.” (Cok, kenapa ngelantur kesana bicaramu cok.?) Ucap Joko yang terlihat makin emosi.

“Mas Jo.” Ucap Mba Denok yang berdiri didepan pintu kantor.

Aku dan Joko terkejut lalu melihat kearah Mba Denok, setelah itu kami saling berpandangan lagi.

“Hem.” Jawab Joko pelan, sambil melirik kearah Mba Denok.

“Sa, sabar ya.” Ucap Mba Denok terbata dan matanya terlihat berkaca – kaca.

Joko menggelengkan kepalanya pelan, lalu dia menunduk perlahan. Joko terlihat menahan emosinya, sampai dia mengepalkan kedua tangannya.

“Mas..” Panggil Mabak Denok dengan suara lembutnya.

Joko lalu melihat kearah Mba Denok dan Mba Denok menyambutnya dengan senyuman yang terlihat sangat menyedihkan.

“Hiuuffft, huuuu.” Joko menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Joko melakukannya sambil memalingkan wajahnya dari Mba Denok dan dia juga meraih rokoknya lalu membakarnya.

“Mas.” Panggil Mba Denok lagi dan sekarang air matanyapun mulai menetes.

“Iya Nok, iya. Aku sabar kok.” Ucap Joko pelan sambil melihat kearah Mba Denok lagi.

Mba Denok pun langsung berlari kearah Joko dan memeluk Joko dengan erat. Aku lalu melihat kearah yang lain dan memberi kesempatan mereka untuk saling menenangkan.

Bajingan. Ini ada apa ya sebenarnya.? Kenapa keputusan yang menjancokan ini bisa mendadak seperti ini.? Ya memang benar ini salahku, karena aku tidak izin dulu untuk pulang ke desa seminggu kemarin. Tapi itu aku gak sengaja dan aku tidak bersenang – senang disana. Sebenarnya aku ingin membantah, tapi sengaja aku redam semuanya didalam hati.

Jujur aku tidak terima dan aku emosi dengan semua ini. Tapi bagiku percuma berbicara ketika kepala sedang dikuasai emosi. Bukan kata - kata kebaikan yang akan keluar dari mulutku, tapi justru kata – kata yang tidak enak dan pasti akan memperkeruh suasana. Walaupun Pak Jarot dan kantor ini memperlakukan aku semena – mena seperti ini, tapi mereka juga pernah memperlakukan aku sangat – sangat baik sekali.

Pak Jarot dan kantor ini sudah mengajarkan aku banyak hal tentang kehidupan dan pekerjaan, walaupun endingnya sangat pahit seperti ini. Aku tidak ingin merusak kebaikan mereka yang sangat banyak itu, dengan setitik hal yang tidak baik ini. Lagi pula sekali lagi, ini adalah kesalahanku, jadi percuma kalau aku bersuara.

Terus bagaimana dengan mistery yang ingin aku pecahkan, kalau aku sudah dipecat seperti ini.? Aku pasti sangat sulit untuk mencari semua informasi yang aku butuhkan.

Hiuufftt, huuu.

Aku harus menenangkan diriku sejenak dan aku harus mencari jalan yang lain. Entah jalan kemana itu, tapi aku harus segera menemukannya. Kasihan kalau Intan terlalu lama didunia ini. Dia pasti akan terus tersiksa dan aku pasti tidak akan tenang selamanya. Biarkan aku yang menanggung sakitnya perpisahan nanti, dari pada aku harus melihatnya tersiksa didunia ini.

“Yo muleh.” (Yo pulang.) Ucap Joko yang mengejutkanku dari lamunan.

Joko telah berdiri disebelahku dan Mba Denok kembali berdiri didekat pintu kantor.

“Wes mari ta.?” (Sudah selesaikah.?) Tanyaku sambil melirik kearah Mba Denok yang lagi membersihkan air matanya.

“Lek gak ngale, gak mari – mari cok.” (Kalau gak pergi, gak selesai - selesai cok.) Ucap Joko dengan nada yang agak meninggi, tapi tidak seemosi tadi.

“Mas Jo.” Ucap Mba Denok.

“Iya sayang, iya. Aku gak marah.” Ucap Joko dengan nada yang sangat pasrah sekali.

Mba Denok pun langsung tersenyum sambil terus membersihkan sisa air matanya.

Aku lalu membuang rokokku, setelah itu menyalakan mesin kimba dengan hati yang sangat sedih sekali.

Kletek, kletek, kletek. Treng, teng, teng, teng.

Aku naik kekimba dan Joko duduk dibelakangku. Kami berdua lalu melihat kearah Mba Denok, yang melambaikan tangan dengan wajah yang sangat sayu sekali.

Kletek, treng, teng, teng, teng.

Aku memasuk perseniling kimba, lalu menarik gas kimba pelan, meninggalkan kantor yang penuh kenangan ini.

“Cok. Wes gak entok beasiswa, saiki malah dipecat cok.” (Cok. sudah gak dapat beasiswa, sekarang malah dipecat cok.) Gerutu Joko.

“Seng penting seger waras, terus jek dike’i kesempatan urip cok.” (Yang penting sehat, terus masih dikasih kesempatan hidup cok.) Jawabku sambil terus menarik gas kimba.

“Hehe, guyonane seng Nduwe Urip iki enak yo.” (Hehe, candaan yang Punya Hidup ini enak yo.) Ucap Joko dengan melasnya.

“Enak cok. Untung guyonane mek kerjoan ambe beasiswa seng dicabut. Lek seumpane guyonane nyowo iki seng di cabut, piye.? Opo gak bongko koen cok.?” (Enak cok. Untung candaannya cuman kerjaan sama beasiswa yang dicabut. Kalau seumpama candaannya nyawa ini yang dicabut, gimana.? Apa gak mampus kamu cok.?) Ucapku dengan santainya.

“Matamu cok, hehe.” Ucap Joko dengan sinisnya.

“Sudahlah. Pintu rejeki itu gak cuman satu. Masih banyak lagi pintu rejeki yang belum kita buka. Kalau hanya mikir untuk masalah biaya hidup dan biaya kuliah, sama aja kita menghina Sang Pencipta.” Ucapku menenangkan Joko.

“Ora masalah iku seng tak pikirno cok. Awak dewe iku biasa urip nde djalan. Rejeki iku gak kurang – kurang lek awak dewe gelem usaha.” (Bukan masalah itu yang aku pikirkan cok. Kita itu biasa hidup dijalan. Rejeki itu gak kurang – kurang kalau kita mau berusaha.) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Terus opo seng koen pikirno.?” (Terus apa yang kamu pikirkan.?) Tanyaku.

“Masalah Intan seng durung ketemu djalane iku loh cok.” (Masalah Intan yang belum ketemu jalannya itu loh cok.) Jawab Joko.

“Dipikir engko ae cok. aku kepengen ngamen saiki.” (Dipikir nanti aja cok. aku kepengen ngamen sekarang) Jawabku yang kubuat setenang mungin, walaupun pikiranku sangat berat sekali.

“Lambemu lek ngomong wuenak cok. pengen tapok ae rasane.” (Mulutmu enak kalau ngomong cok. kepengen ku pukul aja rasanya.) Ucap Joko.

“Hehe.” Dan aku hanya tertawa mendengar ucapan sahabatku ini.

Kami berdua berdiam diri beberapa saat, sambil menikmati udara Kota Pendidikan yang sangat segar ini. Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku mengulangi terus menerus, agar pikiranku yang carut marut ini bisa ditenangkan udara segar ini.

Kimba terus melaju dan kami berhenti diwarung kopi yang tidak jauh dari kampus teknik kita. Aku dan Joko beristirahat sejenak, sambil menikmati kopi dan isapan rokok kretek masing – masing.

“Kok iso Pak Jarot ngomong ngono yo.? Wingenane pas awak dewe ono masalah ambe Dani terus masalah ambe wong – wong Desa Utara nde gudang siji, Pak Jarot mbelani awak dewe. Lah kok saiki ono masalah seng gak sepiro ngene, langsung mecat ae. menurutmu ono seng aneh gak Lang.?” (Kok bisa Pak Jarot ngmong begitu ya.? Kemarin waktu kita ada masalah sama Dani terus ada masalah sama orang – orang Desa Utara digudang satu, Pak Jarot membela kita. Kok sekarang ada masalah yang gek seberapa begini, langsung pecat aja. Menurutmu ada yang salah gak Lang.?) Tanya Joko yang membahas masalah pemecatan kami lagi.

“Gak ngerti aku cok.” Jawabku singkat, lalu aku menghisap rokokku.

“Apa pemecatan kita ada hubungannya sama keluarga Jati lewat Mas Pandu.?” Tanya Joko yang mulai ngawur dan aku langsung meliriknya.

“Gak usah aneh – aneh. Mas Pandu itu banyak membantu kita. Dia membantu kita untuk masuk kekantor Pak Danang dan dia juga ngasih informasi tentang kematian Intan serta kematian Mas Hendra. Jadi gak usah ngawur pikiranmu itu.” Ucapku.

“Iya aku paham itu. Tapi kalau Mas Pandu tau nformasi tentang kematian Intan dan Mas Hendra, kenapa harus ngasih petunjuk tentang Dani yang membukakan jalan kita.? Kenapa gak Mas Pandu sendiri yang memecahkan masalah ini.? Toh Mas Hendra dan Intan itukan sahabatnya.” Ucap Joko.

“Masalah ini kan sudah dibahas dikamar Mas Pandu waktu itu, kenapa kamu tanya lagi sih.? Sudahlah. Gak usah mengaitkan sesuatu hal dengan hal yang lain, kalau kita sendiri tidak tau tentang kebenarannya. Kalau kita salah ya salah. Kalau akibat kesalahan itu kita harus dipecat, ya diterima aja. Gak usah cari pembenaran apalagi mencari kesalahan orang lain yang belum tentu dilakukannya. Paham gak.?” Ucapku.

“Iyo cok, iyo. Aku kan cuman mengira – ngira aja.” Jawab Joko.

“Ngira – ngiramu itu ngawur dan kalau gak cepat diluruskan, bisa jadi masalah besar.” Ucapku dan Joko langsung terdiam.

“Oh iya, kenapa sih akhir – akhir ini kamu selalu berpikiran buruk tentang Mas Pandu dan juga Pondok merah.?” Tanyaku dan Joko tidak menjawab pertanyaanku.

“Waktu itu kamu berpikiran jelek, karena mereka membantai Rendi Bule di pondok merah. Pikiranmu tambah tambah ngelantur, waktu Bung Toni, Wawan dan Bendu dibantai juga dipondok merah. Padahal Rendi datang kesana karena diundang dan Rendi dari dulu memang berniat duel sama Mas Pandu. Terus Bung Toni, Wawan dan Bendu, ngapain juga balas dendam dengan menyerang pondok merah. Ya cari mati lah mereka.”

“Semua ini memang sudah jalannya dan sekarang empat sekawan itu jadi keluarga besar pondok merah. Jadi pikiran burukmu tentang Mas Pandu gak terbukti kan.? Terus kenapa sekarang kamu malah mengaitkan pemecatan kita sama Mas Pandu.? Gendeng koen iku. (Gila kamu itu.)” Omelku.

“Itukan cuman pikiran jelekku yang salah.” Jawab Joko dengan entengnya

“Terus kalau pikiran jelekmu ini malah jadi kebencian yang membabi buta gimana.?” Tanyaku.

“Iyo cok, iyo. Aku salah.” Gerutu Joko.

“Hiuufftt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, setelah itu aku menghisap rokokku lagi.

Aku bingung dengan Joko beberapa minggu ini. Entah apa yang ada dipikirannya, sampai dia selalu berpikiran jelek tentang Mas Pandu dan juga pondok merah. Mereka tidak pernah mengganggu kami berdua dan mereka justru banyak membantu kami. Kalau masalah mereka yang menggunakan kekerasan kepada empat sekawan waktu itu, itu kan bagian dari cara mereka menyeleksi empat sekawan untuk masuk dikeluarga besar pondok merah, kenapa harus dipermasalahkan.? Terus kenapa juga pemecatan kami ini disangkutkan dengan keluarga Jati lewat Mas Pandu.? Apa karena PT milik Pak Danang ini berada digerbong Keluarga Jati.? Itu bukan alasan dan gak mungkin keluarga Jati ingin kami keluar dari kantor Pak Danang. Apa untungnya bagi mereka.?

Joko ini bukan hanya sahabat bagiku, bahkan dia melebihi saudaraku sendiri. Aku tidak mau dia terjerumus dalam pikiran – pikiran ngawurnya ini. Bukannya karena aku takut dengan nama besar keluarga Jati, bukan. Tapi memang mereka tidak pernah menyentuh kami atau mengganggu kami, bahkan mereka lewat Mas Pandu sering membantu kami. Jadi kami tidak punya alasan untuk membenci keluarga Jati, Mas Pandu, bahkan pondok merah.

Hiufftt, huuuu.







#Cuukkk. Kenapa permasalahan ini datangnya beruntun ya.? Terus bagaimana aku menyelesaikan semua masalah ini satu persatu, sementara pikiranku lagi ngawur dan tidak tenang.? Bajingaann.
 
Terakhir diubah:
Selamat malam Om dan Tante.
Updet tipis tipis ya.

Semoga masih bisa diterima dan semoga masih bisa dinikmati.
Mohon saran dan masukannya ya Om dan Tante.

Oh iya, dikesempatan ini saya mau menyampaikan beberapa hal.

1. Untuk cerita Matahari, biarlah dikunci sampai cerita ini Tamat. Karena walaupun cerita IMPIAN ini berdiri sendiri, tapi ada beberapa bagian yang berkaitan dengan cerita MATAHARI dan PMCDC.
2. Karena ada yang bertanya kepada saya tentang keikut sertaan saya digroup WA, entah group apa itu. Saya cuman mau menyampaikan, saya tidak pernah memberikan NO HP saya kepada siapapun didunia maya ini, apalagi ikut group didunia maya ini. Saya juga tidak pernah mengenal secara pribadi, kepada siapapun diforum ini atau diforum manapun.

Terimakasih, mohon maaf kalau ada yang tersinggung.
Tujuan saya memberitahukan ini, supaya nama kisanak87 tidak disalah gunakan. Mohon maaf sekali lagi.
:ampun::ampun::ampun:

Salam hormat dan salam persaudaraan.

:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd