Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT GELOMBANG NESTAPA

Ceritanya bagus suhu apalagi cerita awal saat anna selingkuhin anton, kok ane berasa sedih dan ane seperti berada di posisi anton. tapi kalau ane boleh keripik, banyak perubahan di cerita ini sperti sosok anton yg jadi emosian. Terus saat anton merkosa renata kyaknya kuras pas suhu, walaupun ane senang karna yg merawanin anton. Kayaknya tita ngga usah dibuatkan cerita deh soalnya dia udah jadi cewe murahan banget jadi ngga spesial. Overall cerita yg paling ane demen yaitu anna selingkuhin anton dan anton ngga marah tapi nangis, itu swdih banget suhu. Tolong dikembangin lagi cerita yg soal anna. Maaf suhu cuman kwripik hehehe.
Mskasih om u kripiknya... Mdah mudahan kedepannya bisa lebih baik lagi..
 
~~Episode 39~~
DENDAM DI ATAS CINTA (III)





Backsound : satu satunya (Iwan Fals feat Ryan D'masive)


Di malam yang sepi hanya suara jangkrik yang bernyanyi saling sahut menyahut sesekali kicauan burung malam.

Dengan hati gundah gulana, Anton berbaring di atas ranjang, tubuhnya tak bisa diam, terus berubah posisi tidurnya. Rasa gelisah, resah, takut kehilangan, sekaligus rindu,membuatnya tak bisa memejamkan matanya. Di pelupuk matanya, hanya terbayang Renata seorang.

"Mut, kenapa kamu pergi meninggalkan aku tanpa pesan dan kabar? Sebegitu marahnyakah kamu padaku? Aku tahu, aku bersalah padamu, tapi besarnya rasa salahku padamu, membuat aku semakinmenyayangi dan mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu, aku ingin selalu dekat denganmu, menjagamu seumur hidupku. Walaupun ini tak akan bisa menebus semua dosa dan salahku padamu. Pernahkah kamu merasakannya, semua sikap, perhatian dan kasih sayangku padamu selama ini?" gumam Anton dalam hati.

"Jika ada yang salah pada diriku, selain kejadian di Bandung, kenapa kamu tidak bilang? Kenapa kamu malah pergi meninggalkanku tanpa ada pesan sedikitpun?" lanjutnya membatin dalam hati.

Diangkatnya bantal lalu ditutupkan pada matanya...

"Ya Allah.... apa yang telah aku perbuat, sehingga perempuan yang kusayangi dan kucintai meninggalkanku?" ucap Anton merenung sejenak.

"Lalu Anna! Kenapa kamu juga ikut meninggalkanku? Kenapa.. Na?? Aku khawatir dan takut bila nanti terjadi apa-apa padamu! Aku tahu ini salah memberikan harapan padamu, tetapi aku melakukannya karena ingin menjagamu, menyayangi sebagai sahabat, mendampingimu sebagai kakak, sampai saatnya nanti kamu menemukan pendamping hidupmu sebagai penggantiku yang lebih baik! Aku mohon kamu jangan sampai melakukan tindakan yang bisa merugikanmu dan bayi dalam kandunganmu."

Anton terus bergumam, hingga tak terasa matanya terpejam, kini ia terbawa ke alam mimpi.


Di sebuah pantai yang indah di waktu senja, pemandangan lembayung mengiringi terbenamnya sang mentari, kesibukan para nelayan perahu layar yang sedang bersiap-siap mencari nafkah di bentangan laut biru, di tengah hiruk pikuk para nelayan terlihat tiga anak manusia yang sedang tertawa bercanda terlihat kemesraan di antara mereka,

Mereka adalah Anton, Renata dan Anna yang sedang berlibur, melepas penat dari masalah yang mereka hadapi. Perut Anna semakin terlihat membuncit menandakan usia kehamilannya yang semakin tua.

Anton sedang duduk di atas pasir pantai memandangi Renata dan Anna, mereka berdua sedang bermain-main di bibir pantai sambil berlari-larian. Pakaian mereka berdua basah, ketika keduanya bermain air. Anton tersenyum bahagia saat melihat kedua wanita yang ia sayangi, terlihat tertawa-tawa penuh kebahagiaan.

"Anton...! Ayo, sini turun !" seru Renata melambaikan tangannya mengajak Anton ikut bermain bersama mereka.

"Aku tidak ingin kehilangan senyum mereka berdua. Aku berjanji, akan membuat mereka berdua selalu tersenyum. Apapun akan kulakukan demi mereka berdua selalu tersenyum," gumam Anton sambil melambaikan tangannya ke arah mereka berdua.

Anna menjauh dari bibir pantai lalu dia menaiki sebuah batu karang yang besar.

"Anna, kamu jangan ke situ, nanti kamu jatuh, ingat kamu sedang hamil tua!" teriak Anton mengingatkan, tetapi Anna mengindahkan teriakan Anton. Anna menaiki batu karang itu.

Lalu.....

"Rena..... Anton, sini...! Lihat itu!" seru Anna dari atas batu karang itu, menunjuk sebuah kapal layar yang berbeda dengan kapal layar milik nelayan lainnya, sedang berlabuh di dermaga.

Renata berlari mendekati Anna, Anton hanya diam ditempatnya, cuma bisa berdiri mematung, seakan berat melangkah.

"Mut, ajak Anna ke sini! Jangan ke situ, nanti jatuh!" teriak Anton mengingatkan.

Mereka berdua tak menggubris, malah menjulurkan lidahnya, meledek Anton.

"Lihat, Ren! Ada gadis cilik cantik di sana! Dia melambaikan tangannya pada kita, Ren..!! Lihat itu, ditangannya ada sesuatu yang bergerak gerak! Iiih lucuuu.. Aku pengen tahu.. itu apa?" ujar Anna sambil menuruni batu karang itu, ia terus berlari ke arah dermaga, Renata hanya diam, dan hanya melambaikan tangannya pada Anna.

"Mut, kejar Anna! Jangan jauh-jauh, nanti kenapa-krnapa? Aku nggak mau," Anton yang masih tak bisa bergerak, mengingatkan Renata, tapi Renata hanya tersenyum menoleh sambil melambaikan tangannya pada Anna.

"Muut .. kejar dia..! Arrrgggh... kenapa ini? Kenapa dengan kakiku? Kenapa kakiku berat untuk melangkah?" gerutu Anton. Ia geram dengan dirinya, berusaha melangkah dengan menyeret kakinya.

Selangkah demi selangkah, Anton menyeret kakinya mengejar Anna, hingga sesampainya di dermaga, terlambat, kapal layar sudah mulai berlayar meninggalkan dermaga, masih terlihat Anna berbincang dengan gadis cilik yang memangku sesuatu berbulu putih pada lengannya, mereka berdua terlihat bahagia.

"Mut... kapal itu membawa Anna! Mut, kejar dia, Mut...! Kejar dia...!" teriak Anton sambil mencari kapal layar di sekitarnya, tapi tak satu pun terlihat.

"Mut.. gimana?" Belum sempat Anton menuntaskan perkataanya. Ia menoleh ke arah Renata, tetapi ia tidak melihat sosok Renata di sana! Padahal tadi Renata berdiri di atas batu karang itu. Anton celingak-celinguk mencari keberadaan Renata.

"Anna, ayo cepat turun. Rena hilang! Ayo turun, Anna!" teriak Anton, tapi Anna hanya berdiri di buritan kapal, terlihat gadis cilik memasuki ruangan di kapal layar, lalu Anna berteriak,

"Antoooon... aku selalu sayang kamu. Aku selalu mencintai kamu, maafkan kesalahan aku selama ini, kekhilafanku yang terbelenggu akan nafsu membuat kamu kecewa padaku. Ton, aku minta maaf. Ton, aku minta sesuatu pada kamu, jika aku ga kembali lagi nanti, aku minta kamu menjaga dan merawat anakku ini, rawatlah anakku ini bersama Renata nanti, rawatlah dengan sepenuh hati dengan rasa sayang seperti kamu menyayangi dan mencintaiku... Makasih, Ton, kamu telah membuatku bahagia selama ini! Sudah ya, aku dipanggil, dagh..!!" teriak Anna sambil tersenyum indah disorot lembayung senja.

"Anna.. jangan pergi..! Annna.... Muuut, dimana kamu? Mut, kamu jangan tinggalin aku. Anna kembali... Muttt kembali... Haaaa... Haaaa... " Anton menjerit menangis sambil menjambak rambutnya di dermaga.

Seiring mentari yang tenggelam di bentangan laut, Anton pun mulai kehilangan kedua wanita yang disayanginya
..

"Kak.. Bangun kak!" Bu Asih mengoyang-goyangkan tubuh Anton, membangunkannya dari mimpi.

Anton membuka matanya saat melihat siapa yang membangunkannya. Masih ada bulir airmata di kelopak mata Anton.

Lalu...

"Bu...! Hu... Hu.... Hu..." seru Anton langsung memeluk bu Asih yang duduk di samping ranjang lalu direbahkan kepalanya di pangkuan bu Asih.

"Kenapa kamu Kak, kamu mimpi buruk ya?" tanya Bu Asih sambil mengelus kepala Anton.

"Ada apa, sih? Kenapa dengan Anton..?" Soffie muncul di balik pintu kamar Anton, lalu duduk di samping Anton dan mengusap kakinya.

"Bu, Ma, Anton mimpi. Anna, Rena, Huu.. Hu. Hu.." Anton tak kuasa menceritakan mimpinya, ia menangis meluapkan beban hatinya, tak ada seorang pun yang menyangka sesosok Anton yang terlihat tegar, berwibawa, berani menghadapi semua masalah yang ada, tetapi kenyataannya kali ini dia sangat rapuh, seperti tak ada semangat pada dirinya untuk menghadapi semua masalah.

"Coba ceritakan pada Ibu! Kamu mimpi apa tadi, Kak?" Bu Asih bertanya dengan lembut. Anton menceritakan mimpinya dari awal hingga akhir.



...........




"Hmmm..." Bu Asih mendehem sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya. "Itu hanya bunga mimpi, Nak. Tidak usah dipikirkan, lebih baik kamu sembahyang lalu berdoa meminta keselamatan mereka berdua. Lagian sebentar lagi waktu Isya mau habis. Sudah jam setengah dua dini hari, bentar lagi mau Subuh!" ujar Bu Asih lembut menanggapi cerita Anton tentang mimpinya. Anton mengangguk lalu beranjak bangun dari atas pangkuan Bu Asih.

"Kak.." seru Soffie pada Anton. "Tadi kamu bilang, Anna pergi dengan gadis cilik, apa kamu kenal dia?"

"Anton nggak lihat jelas dia, Ma. Tapi Anton yakin dia tadi tersenyum pada Anton, seperti yang mengenal Anton," jawab Anton sambil ia terus mengingat-ingat wajah gadis cilik di dalam mimpinya.

Lalu Bu Asih dan Mamah Soffie berbarengan memeluk Anton. Mereka berdua mencoba menenangkan hati Anton.

Lalu....

"Bu, Ma, jangan tinggalin Anton lagi, Anton nggak mau kehilangan kalian berdua, cukup sampai saat ini Anton kehilangan yang Anton sayangi," Ucap Anton meneteskan airmatanya memperlihatkan kerapuhan hatinya.

"Maafin Mamah, Ton. Mamah sangat bersalah, Ma..." Ucap Mamah Soffie yang belum selesai berbicara.

"Sudahlah, Mbak," potong Bu Asih. "Masa lalu jangan diungkit-ungkit lagi, sekarang Mbak sudah bersama kami, mari kita hadapi semua masalah yang terus mendera keluarga kita, kita harus tetap bersama, dan Mbak musti janji, gak akan meninggalkan kita lagi."

Mamah Soffie menganggukkan kepala, lalu mereka berdua memeluk Anton lagi, menenangkan hati Anton.




Dibalik dinding pintu, Surya yang menyandar pada dinding sambil memeluk Putri dan Andi. Mereka bertiga terbangun akibat teriakan Anton yang bermimpi buruk.

Mendengar obrolan Asih, Soffie dan Anton di kamar, membuat Surya meneteskan air matanya. Ia memeluk erat Putri, sementara Putri membenamkan wajahnya pada tubuh Surya. Begitu pula dengan Andi, membalas pelukan Surya dengan memeluk lengannya.

Lalu...

"Put, Andi. Apapun yang terjadi dengan masalah keluarga kita, kita mesti terus bersama-sama untuk saling menjaga, rawatlah kebersamaan kita ini. Kita hadapi semua masalah bersama-sama, Papah mohon!" ujar Surya, dibalas dengan anggukkan kepala oleh Putri dan Andi.


_________________________________________



3 jam kemudian.....

Di pagi hari sekitar jam 5 lebih, saat mentari malu-malu menyinari dunia, Anton pergi meninggalkan rumah, tanpa sepengetahuan orangtuanya, tanpa membawa kendaraan. Melangkah sambil menggendong tas ranselnya, terus berjalan menyusuri jalan, dalam hatinya dia ingin mencari dan mengejar Renata.

Tak terasa beberapa menit berlalu, tiba tiba...

Kriiing... Kriiing...

Anton mengambil HP dari saku jaketnya , lalu ia melihat ke arah layar monitor HP-nya, melihat siapa yang sedang menghubunginya.


"Dai..!!?" seru Anton.

"Halo, ya Dai. Gimana? Ada apa?"

"Ya hallo, gini cing. Gue mau kasih kabar, Bang Iwan udah sampe di Jakarta. Dia mau bantu ancurin jaringan si Hendrik, kita bagi-bagi tugas, Bang Iwan sama Bang Jubed dia mau nyari tangan kanan si Hendrik, kalo gue ngawasin pergerakan si Hendrik."

"Hmmm gitu, Dai, bilang makasih dari gue, pada mereka."

"Ok, nanti gue sampein ke mereka, cing, bentar nich si Onet nelepon. Jangan loe tutup dulu."

"Ok."

Tak lama kemudian....

"Halo.. Cing, si Onet mau lapor nich, gue conference, yach"

"Ok."

.....

"Halo, Net. Ok, loe bicara nih, si cacing dah denger!"

"Halo, Net. Gimana, ada kabar?"

"Cing, gue dapat kabar baik, si Roni kebetulan dah ditangkap ama rekan Kang Jajang, sekarang gue mo ke tempat mereka."

"Bagus itu, Net, loe ga usah capek-capek, habisin aja dia."

"Jangan, Dai. Net, kalo bisa, bawa si Roni ke sini! Nanti si Roni biar Kang Iwan yang ngurus!"

"Ooo gitu, oke gue mo minta izin dulu ke Kang Jajang kalo gitu."

"Ya, gitu aja. Inget gue nggak mau loe bertindak, gue nggak mau loe bermasalah sama hukum!"

"Ya udah gue cabut sekarang"

"Ok, hati-hati, Net."


"Klik." Sakti pun menutup pembicaraannya.

"Dai..! Loe kasih kabar ini ke Bang Iwan, biar dia yang urus si Roni ini."

"Ok cing, kalo gitu gue cabut."

"Ok."

Klik


Anton pun mengakhiri pembicaraan dengan sahabatnya.

Di saat menerima telepon dari Dai dan Sakti, timbul keraguan di dalam hati Anton.

"Apa yang aku lakukan sekarang? Apa mesti aku mencari Renata dalam masalah aku yang pelik ini?" gumam Anton terus berpikir sambil berjalan.

Hingga beberapa saat, Anton telah bulat mengambil keputusan.

"Lebih baik aku bereskan dulu masalah Hendrik ini, karena biang masalah semua ini karena ulah dia, aku gak mau nanti si Hendrik ini mengganggu hubunganku dengan Renata. Mut, tunggu aku, aku pasti akan mencarimu jika semua masalah ini selesai, maafkan aku yang egois ini." gumam Anton, lalu ia melangkahkan kakinya yang berbelok berbeda arah dari tujuan sebelumnya.


_________________________________________



Beberapa jam kemudian jauh dari tempat Anton tadi,

"Duh, lapar gue, tadi gue lupa ganjal perut. Akh, itu ada cafe, gue ngopi dulu di sana!"

Akhirnya Anton menyeberangi jalan menuju cafe, hingga saat akan masuk, Anton melihat sosok Guntur yang sedang serius mengobrol dengan seorang wanita, hatinya bertanya dengan siapa Guntur mengobrol, diamatinya dengan sembunyi-sembunyi, lalu.....

"Tiit... Titta... Mau apa si Kebo ngobrol ama dia? Kelihatan serius amat?" gumam Anton. Ia mengendap-endap mendekati mereka, dan lalu menguping pembicaraan mereka di balik sekat dinding dimana Guntur dan Titta yang sedang mengobrol serius..








Lanjut ke bawah
 
Terakhir diubah:
Lanjutan




Beberapa jam sebelumnya, di pagi hari sekitar jam setengah tujuh, di sebuah rumah di bilangan kota Bandung yang suasananya masih asri.

Sakti sedang ngopi ditemani Kang Jajang, di teras depan rumah Kang Jajang, menikmati udara segar di pagi hari. Sesekali obrolan ringan terucap dari mulut mereka, hingga tiba-tiba Kang Jajang berbicara serius pada Sakti.

"Sak, Akang teh mau bilang sesuatu ka Sakti, kenapa Akang mau ngabantu Sakti untuk urusan Roni ini, Akang teh sakit hati ama kecewa ama kelompok Roni ini, lebih tepatnya yang jadi dalang dari semua kelompok Roni ini, dia dulu yang ngejebak Akang dan ngejerumusin anak Akang. Sakti tau yang namanya Ko Acong ama Hendrik..?" tanya Kang Jajang sambil menerawang ke depan jalan.

"Iya, Kang, Sakti tau nama-nama itu..." jawab Sakti disertai dengan anggukan.

"Mereka orang licik dan jahat, apalagi si Hendrik, seorang perwira polisi yang menyalahi jabatannya demi keuntungan pribadi, dulu sebelum Akang mengenal Pak Surya ama si Hendrik, ketika si Hendrik jadi atasan Pak Surya sedang mengamati pergerakan Ko Acong di Bandung ini, dia minta bantuan ke Akang dalam keadaan terluka tertembak pada paha ketika mengejar Ko Acong, kebetulan Akang bersama rekan melintas, Akang membantu dia dan meringkus Ko Acong, dan pertemanan Akang dan Hendrik pun dimulai dari situ sampe Akang mengenal Pak Surya. Tujuh bulan kemudian, si Hendrik meminta bantuan Akang untuk mencarikan tempat alasannya untuk keponakannya tinggal, dan Akang membantunya dengan mengontrakkan rumah Akang di wilayah utara padanya, tapi kenyataannya, kost-kost-an itu digunakan untuk lokalisasi terselubung ditambah tempat transaksi narkoba, hingga suatu saat rumah itu digerebek dan diperparah dengan Akang yang dijebak, kedapatan membawa narkoba di mobilnya, tanpa sepengetahuan Akang, semua bukti menyudutkan Akang, hingga Akang di tahan selama 2 tahun. Akang pun mengusut siapa dalang semua ini, dan ternyata semua mengarah pada Ko Acong dan si Hendrik bajingan ini. Ternyata mereka sudah menjalin kerjasama selama Ko Acong ditahan. Kalau saja bukan atas bantuan Pak Surya, mungkin Akang akan ditahan lebih lama. Pak Surya meringkus orang yang menjebak Akang, hingga hukuman Akang pun berkurang. Hingga suatu kejadian setahun yang lalu, anak Akang, si Dadang pun jadi korban mereka, anak Akang dibunuh seseorang dan Akang baru tahu beberapa bulan yang lalu, orang yang menyuruh membunuh anak Akang ternyata si Hendrik, karena anak Akang mengetahui bahwa Hendrik ini mo ngejebak Akang lagi, dan akan menguasai peredaran narkoba di kota Bandung ini. Sak, meskipun Akang orang brengsek, bukan orang bener, tapi mereka tahu bahwa Akang ga suka dengan apapun yang berhubungan dengan narkoba, dan Akang pasti akan menghancurkan perederannya di Bandung ini, itu yang membuat mereka ingin menghancurkan Akang. Makanya, sekarang mungkin saatnya Akang akan hancurkan jaringan Ko Acong sampe ke akar-akarnya, sebelum mereka bertindak lebih jauh, tapi untuk si Hendrik, Akang mungkin sedikit kesulitan karena notabene dia sebagai anggota kepolisian, Akang pasti akan sulit mendekatinya," tutur Kang Jajang, sambil berdiri ketika melihat seseorang mendekati dia.

Lelaki itu berbisik pada Kang Jajang, dengan anggukan dan senyuman lantas menepuk pundak dia,

"Nuhun, Den, jig tiheula, engke Akang nyusul," ujar Kang Jajang. Lantas lelaki tadi meninggalkan Kang Jajang. Dan Kang Jajang pun kembali ke tempat duduknya.

"Ada apa, Kang?" tanya Sakti.

"Barusan temen Akang ngasih kabar, si Roni inceran kamu dah kami ringkus, sekarang ada di gudang daerah Gedebage sana, jadi kamu ga usah repot-repot nyari dia," papar Kang Jajang

"Kok bisa, Kang? 'Kan baru tadi malem saya ngasih tau... dan meminta bantuan Akang mencari dia...??" tanya Sakti keheranan.

"Seperti Akang bilang tadi, Akang mau ngancurin jaringan Ko Acong di Bandung ini, dan itu dah Akang lakukan beberapa bulan yang lalu, sampe Akang ngedenger ada orang baru tangan kanan Ko Acong yg memimpin disini, usut punya usut ternyata si Roni. Di saat Akang mau habisin dia, kamu muncul dan kebetulan kamu juga cari dia."

"Kebetulan yah, Kang... Makasih banyak sebelumnya, Kang."

"Ya udah, kita sekarang ke sana, bentar Akang pamit dulu ama yang di rumah.., Aaaammmbu... Neeeenggg... Aaabbahhh angkaat heullaa.. Attii atiii di bumi..!!" teriak Kang Jajang ke dalam rumah.

"Kela, abah..." terlihat istri Kang Jajang tergopoh gopoh ke depan, "Bade kamana, Kang..?"

"Ieu Abah bade nganter Sakti ka rerencangAnna, moal lami. Ari si neng kamana..!!" jawab Kang Jajang sambil mengasongkan tangannya.

"Nuju ka warung, Kang, atuh ati-ati, Bah, tong sakaba-kaba akh, Ambu mah hariwang.. Sakti, Ambu nitip Abah ya?" sambil mencium tangan Kang Jajang, lalu melirik Sakti.

"Iya, Bu, maaf kalo Sakti ngerepotin ibu dan Kang Jajang."

"Teu nanaon, ngan eta weh, tong ngalakukeun nu aneh-aneh, awas, Bah. Ambu mah ambek geura. Ati ati!!"

"hehe moal, Ambu... nuhun Ambu, hayu Sak. Kita pergi."






Di perjalanan menuju tempat yang dituju, Sakti menelepon Dai untuk melaporkan yang ia dapat pagi hari ini.

"..Halo.."

...

".. Dai.. Kebetulan si Roni dah diringkus ama Kang Jajang, sekarang gue mau liat dia..!!"


...


"..ya.."


....


"Cing, gue dapat kabar baik si Roni kebetulan dah ditangkap ama rekan Kang Jajang, sekarang gue mo ke tempat mereka.."

...


"ooo gitu..,oke gue mo minta izin dulu ke Kang Jajang kalo gitu.."

...


"ya udah gue cabut sekarang"

...

Klik..

...
Setelah menutup HP-nya,

"Ada apa, Sak, menyebut-nyebut Akang barusan?"

"Gak Kang, itu Dai dan Anton bilang kalo bisa si Roni ini dibawa ke sana, biar yang ngasih pelajaran Bang Iwan, makanya Sakti bilang mo minta izin ke Akang selaku pihak yang menangkap si Roni.."

"hmmm.. si Iwan, yach.."

"Akang kenal dia..?"

"Pasti atuh, saha nu teu kenal Bang Iwan, dia yang megang di Medan sana. Pernah Akang ketemu dia dulu sama si Juned, tapi Akang masih berkomunikasi ama dia sampe sekarang!!"

"Ya , soalnya si Roni itu bekas anak buah dia... Gitu, Kang"

"hmmm, kalo gitu, Akang setuju, buat apa Akang ngotorin tangan Akang buat orang kayak si Roni.."

"Makasih, Kang."




Beberapa jam kemudian di sebuah bangunan mirip sebuah gudang dengan tumpukan barang barang rongsok.

Mobil yang membawa Kang Jajang, Sakti dan ketiga temannya, memasuki area parkir bangunan tersebut.

Terlihat di depan pintu masuk gudang berdiri 3 orang yang menjaga pintu, tak terlihat dari wajah mereka yang terlihat garang, tapi hanya roman mereka yang dingin yang membuat Sakti dan temannya sedikit gentar.

Salah seorang dari mereka mendekati mobil, dengan gerakan yang waspada pada mobil yang membawa Sakti.

"Sak, buka kaca jendelanya," perintah Kang Jajang.

Lalu..

"Eh... Abah.. Dikinten teh saha. Tos diantos Kang Dedi di lebet," dia menyapa dengan santun pada Kang Jajang, kalo orang yang sekilas pasti tak menyangka bahwa orang yang berkata santun ini merupakan salah satu sosok yang ditakuti di kelompok Kang Jajang.

"Ayo Sak, kita turun," Kang Jajang mengajak Sakti dan temannya turun.

Sakti pun menyapa ketiga penjaga dan menyalami mereka,

"Kenalin, Sak, dia Jaka, anak sulung Akang.. Dan itu," Kang Jajang menunjuk seseorang yang keluar dari dalam gudang.

"Kenalin ini Dedi, kepercayaan Akang, Dedi dan Jaka boleh dibilang mereka ini salah satu tangan kanan Akang."

"Sakti.." Sakti memeperkenalkan diri.

"Jaka..!!"

"Dedi..!! Ayo Kang, di lebet..!!" ajak Dedi.

"Kalian tunggu di sini, ama mereka biar gue yang masuk," perintah Sakti pada ketiga temannya, yang dibalas dengan anggukan..

Sakti melangkah masuk. Ketika berada dalam ruangan yang luas di dalam bangunan gudang, terlihat di tengah ruangan, beberapa orang mengelilingi 6 orang, 5 orang yang tergeletak dan satu orang dengan posisi tangan tergantung, dengan kaki yang terlihat lemas, seluruh tubuhnya berlumuran darah, sebagian wajah dari orang orang tersebut hampir tak dikenali karena luka lebam dan darah menutupi wajah mereka.

Kang Jajang mendekat.

"Maneh, nu ngarAnna Roni, tangan kanan si Hendrik," ujar Kang Jajang sambil menjambak rambutnya.

"Uuugghh.. Huuk huuk... Aaaammmpuun, Baaang," ujar lelaki yang disebut namanya Roni.

Jaka, anak Kang Jajang , lalu memukul perut Roni dari samping Kang Jajang.

Bugg..

"Ugghhh aaaammmpun hueekk" ujar Roni sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Jawab, siah, sia sangeunahna datang ka Bandung bari rek ngaruksak, teu cukup sia ngaruksak adi kami... Ded.." lelaki tersebut memberi isyarat pada Dedi.

Ketika Jaka memberi isyarat ke Dedi, Dedi pun menunjuk beberapa anak buahnya, tanpa banyak bicara mereka menyeret dan menarik kaki salah seorang dari kelima anak buah Roni yang tergeletak tanpa rasa iba ke arah peti kemas yg berada tak jauh dari mereka. Lalu mereka membawa anak buah Roni ke dalam peti kemas lalu menutup pintu peti.

Tak lama

Arrggggghhhhhh....


terdengar lolongan keras dari dalam peti, lalu hening seketika.

Kreekkkk...

Pintu peti kemas terbuka, keluar salah seorang anak buah Kang Jajang yang tubuhnya berlumuran darah segar sambil menenteng sepasang kaki, lalu dilemparkan ke hadapan keempat orang yg tergeletak, dengan mata sayu dan rasa takut yg sangat keempat tubuh anak buah Roni beringsut merapatkan tubuh mereka.

"Ammmmpun, Bang, kkami hanya aanak buah Bang Roni, biarkan kkami pergi, maafin kkami, Bang, kami masih pengen hidup," mereka memelas meminta ampunan sambil menahan sakit dan kengerian.

Roni hanya menelan ludahnya melihat nasib salah seorang anak buahnya yang tak jelas, hanya potongan tubuhnya yang ada di hadapan dia.

"Sia tong mikiran anak buah sia, sia mah tinggal mikiran hirup sia...!!" kata Jaka sambil mengambil ancang-ancang akan memukul Roni.

"Bang Jaka, cukup Bang, biar saya yang bicara dengannya, tolong Bang Dedi lepaskan talinya," cegah Sakti, lalu Dedi mengangguk dan melepaskan tali yang menggantung tangan Roni, dan...

bruukkk....

Tubuh Roni ambruk, topangan kakinya tak mampu menahan berat tubuhnya.

"Loe yang namanya Roni bedul anak buah Hendrik, yang dulu jadi anak buah Ko Acong, ayoo jawab!" hardik Sakti sambil jongkok di hadapan Roni, Roni memandang sayu tak menjawab.

"Hmm.. hebat, loyal sekali ini tangan kanan si Hendrik, ga mau buka mulut, kelihatannya loe emang dah siap nyusul anak buah loe. Bang Ded, lanjutin tugas Abang ama dia, dia emang dah siap mati," sambil berdiri, lalu Roni memeluk kaki Sakti.

"Aaammmpunnnn, Baangg... Iya saya Roni, anak buah boss Hendrik, ammpunin saya, saya ga punya masalah sama semua yg ada di sini," Roni memelas

"Ga punya masalah, kata loe. Emang Anjing, loe. Lagi jaya, loe mengonggong memperlihatkan taringnya, pas terluka, loe hanya bisa terkaing-kaing. Denger, nama gue Sakti, gue anak buah Anton. Loe tau Anton, keterlaluan kalo loe ga tau Anton, nyawa loe di Medan sana dah diselamatkan ama dia, tp loe malah ngejebak dia di Bandung ini, punya nyali loe. Gue rasa, minta maaf pun, nyawa loe ga akan selamat," ujar Sakti memaki sambil tersenyum sinis.

Mendengar Sakti mengaku sebagai anak buah Anton, Roni tersentak, membuat dia merinding akan nasibnya. Tubuhnya menggeser menjauhi, lalu meringkuk karena sangat ketakutan.

"Aaampunnn, Baanggg, akku cumma disuruh boss Hendrik dan euuu .....Titta temannya Bang Anton... Hiiiks ammmpunin aku, Bang, aku masih pengen hidup," jawab Roni, mulai terdengar isakan tangis.

"Titta... Titta.... Titta???? Apa mungkin dia gadis yang dulu diceritakan Guntur...??" ujar Sakti berdiri sambil berfikir, lalu dia mengeluarkan HP dan meninggalkan Roni yg meringkuk, lalu menelepon.

"Hahaha sia kalahkah mewek, mana kawani sia nu kamari, hudang siah maneh!" ujar Jaka mendekat lalu menendangi tubuh Roni, saat Sakti meninggalkannya.

"Ammpunnn, Banggg, ammmpun, Bang maafin saya, Bang. Saya cuma disuruh uggh," ujar Roni sambil terus meringkuk menahan rasa sakit atas tendangan Jaka.

Saat Sakti menelepon,

"Hallo," ujar seseorang menjawab.

"Hallo... Kebo bunting, loe dah bangun.."

Ternyata Sakti menelepon Guntur.

"Loe tuch yach, ngeledek ga bosen bosen, udah dari tadi my man,... sekarang gue lagi jalan, mau cari info ama cari makan, ada apa, net?" jawab Guntur

"Hahaha... dikira lo masih ngeringkuk. Gini, loe dulu pernah cerita, saat loe ngegerebek Anna, loe bilang disana ada seorang cewek lagi namanya Titta??"

"Hmm iya, ada apa emang?"

"Gue dah nangkep si Roni, anak buah si Hendrik di Bandung, saat gue tanya dia, ternyata kejadian Anton dijebak itu ulah Hendrik ama Titta..!!"

"...................."

"Halo... Hallo, Kebo, loe masih disitu...? Haloo...?"

"Eh iya, Net. Gue denger...!!"

"Iya yang jebak Anton ama Renata itu Hendrik ama Titta, loe kenal kan, gue minta loe..." belum juga beres Sakti berkata,

"OK, Net, makasih infonya, sorry gue buru buru, ntar gue nelepon..!!"

Klik...


"Brengsek si Kebo, telepon gue dimatiin.." kesal Sakti.

"Gimana, Sak, urusan si Roni?" tiba-tiba Kang Jajang berada di sampingnya. Sakti menoleh lalu menatap Ronni dan anak buahnya.

"Hmm... Ronni saya bawa, Kang, biar Anton ama Bang Iwan yang nentuin nasib dia. Untuk anak buahnya, terserah mau Akang apakan, gue gak butuh mereka, mereka cuma anjing kurap yang ga punya nyali, hanya bisa sembunyi di balik lubang pantat bosnya!!" jawab Sakti.

"Ded, bawa si Roni ke bagasi mobil Sakti, nu lainna bereskeun kabeh," perintah Kang Jajang.

"Mangga, Kang. Ayo semua, denger ceuk Kang Jajang," ujar Dedi memerintah anak buahnya, lalu sebagian besar mereka pun menyeret anak buah Roni, terdengar jerit anak buah Roni yang meminta ampun, tapi tak mereka hiraukan, sisanya menyeret Roni, saat melewati Kang Jajang, Kang Jajang mendekati tubuh Roni yang diseret.

"Sia geus ngaganggu kami, pamingpin sia geus ngaganggu keluarga kami, geus ngaganggu Anton, anak junjungan kami, geus pasti hirup didinya taruhanna, tapi aing teu sudi kudu nyangkalak sia, euweuh hargana nyawa sia di hareupeun aing, jig si Iwan nu nangtukeun hirup didinya, mun sia masih bisa hirup keneh, inget aing, Jajang, moal mere ampun moal mere hirup pangedar jiga sia di Bandung ieu, geus bawa si Roni, geuleuh aing nempona.. Cuuah!!" ujar Kang Jajang keras, sambil meludahi wajah Roni, dan Roni pun kembali digusur ke mobil Sakti.



__________________________________________





Beberapa jam sebelumnya di pagi buta, di sebuah kamar di bilangan pinggiran ibu kota,

"Guntuuuuur , bangun.. Buruan sholat keburu habis waktunye..!!!"

"Iye, yak. Aye dah bangun dari tadi. Ini baru kelar sholatnye..!!"

"Tumben lu, Tong, dah bangun biasanya lu kayak kebo susah dibangunin," Enyaknya Guntur.

"Duh Enyak segitunye ke aye, gini-gini juga aye tuch anak Enyak. Malah diledek, berarti Enyak ga bersyukur punye anak seperti aye," Guntur merengut.

"Ceiiile... segitunya lu marah ke Enyak..." Enyak Guntur masuk ke dalam kamar Guntur dan tersenyum melihat Guntur yang sedang merapihkan alat solat, sambil membawa piring gorengan dan teh manis.

"Kalo Enyak ga bersyukur trus ga suke ke lu, Enyak ga akan nyuruh lu solat, Tong, Enyak ga akan bawain nih gorengan kesukaan lu, Enyak buang aja lu dulu waktu berojol, hihi..." Enyak Guntur sambil duduk di dipan Guntur untuk membereskan selimut yang habis dipakai Guntur.

"Iye... Iye.. aye tau Nyak, hehe.. Enyak sayang ama aye..!!"

"Tong, kapan Enyak punya mantu, buat bantuin Enyak?. Kapan lu ngelamar Vidya? Enyak dah ga sabar pengen punya mantu die. Babe lu juga dah pengen punya cucu dari lu!" Enyak sedikit merengut.

"Duh, Nyak, kalo aye kawin mo dikasih makan ape anak bini aye , Nyak..?"

"Lah.. lu kan bisa nerusin usaha angkutan Babe, Tong.. Siapa lagi yang nerusin.. Lu kan anak laki satu-satunya Babe..!!"

Dengan tersenyum, Guntur mendekati Enyak dan duduk lalu memeluk dari belakang tubuh Enyaknya.

"Enyak, aye ngucapin terima kasih banyak ke Enyak.. Babe... Dah banyak hutang aye ke Enyak Babe, aye bukannya ga mau nerusin usaha Babe.. Pasti kok aye nerusin usaha Babe, tapi aye mo nyoba sendiri dulu Nyak gimana susahnye cari kerjaan, cari duit tanpa bantuan Enyak Babe, untuk masalah Vidya, Enyak ga usah takut, nanti juga die jadi mantu Enyak, aye dah janji, kalo aye dah kerja, aye akan lamar die, dan die juga dah janji ke aye, mo nunggu aye ..!!

"Tong, Enyak tuch bersyukur punye anak kayak lu, meskipun lu bengal, keras kepala, manja... Tapi kalo Enyak liat, lu tuh laki yang tanggung jawab, mandiri, dan ngehormati perempuan, Enyak bangga punya anak kayak lu, kayak Babe ama Engkong lu.."

"Akh Enyak bisa aje, aye gini kan didikan Enyak juga.. Dah akh, aye mo ke air dulu, gerah."

Selang beberapa menit,


"Nyak... Aye mo pergi dulu."

"Bentaran lu, mo kamane, Tong?"

"Bentaran, Nyak, aye ada janji ama orang, ntar siang aye pulang lagi, soalnya musti jemput Vidya, Nyak.."

"Duh... kalo jemput si Vidya, lu nyempet-nyempetin, kl Nyak minta anter, susahnya minta ampun."

"Haha... kan Enyak dah ada pacar yang mesti antar jemput Enyak, tuh Babe, die ada di gerasi, haha!!" sambil mencium tangan Enyaknya.

"Lu tuh, Tong, bisa aje jawabnya, ati ati dijalan."

"Iya Nyak, amiiin, Nyak aye pergi"





Beberapa jam kemudian, di seputaran Senen Jakarta. Guntur yang berjalan menyusuri jalan tak henti-henti bergumam,

"Ke mana gue cari informasi jaringan si bajingan Hendrik ini, dah muter-muter gue lom dapet info sedikit pun. Gue juga gebleg, kenapa gue malah menyusuri jalan, mo dapat info dari mana? Yang ada, gue jadi kurus karena cape. Bener kata si Bimbim, emang bego gue... Heeeeuu.." gumam Guntur sambil menepuk jidat.

Kriiiiing

"Sapa sich yang nelepon gue, ga tau gue lagi kesel...??... Si Onet, mo apa die...??" setelah Guntur mengamati nomor yang masuk, setelah tau siapa yang meneleponnya.


"Hallo" ujar Guntur.

"Hallo... Kebo bunting, loe dah bangun.." tanya Sakti.

"Loe tuch yach, ngeledek ga bosen bosen, udah dari tadi, sekarang gue lagi jalan mau cari info ama cari makan, ada apa, Net?" jawab Guntur dengan sedikit mangkel akibat diledek.

"Hahaha... dikira lo masih ngeringkuk. Gini, loe dulu pernah cerita, saat loe ngegerebek Anna, loe bilang di sana ada seorang cewek lagi namanya Titta??"

"Hmm iya, ada apa emang?" jawab Guntur sedikit acuh, tiba-tiba matanya menatap seseorang yang turun dari taksi, tak jauh darinya.

"Gue dah nangkep si Roni anak buah si Hendrik di Bandung, saat gue tanya dia, ternyata kejadian anton dijebak itu ulah Hendrik ama Titta..!!"

"...................." Guntur yang merasa kaget, serasa mendapati momen yang serba kebetulan, saat Sakti yang menanyakan Titta, sesosok yang baru turun dari taksi adalah Titta yang berpakaian tak biasanya, dia memakai mantel panjang menutupi seluruh tubuhnya dan kacamata gelap, seakan Titta sedang menyamar, dan terlihat juga Titta yang berjalan gontai, karena Guntur merasa ga yakin akan dugaannya, akhirnya Guntur mendekatinya saat menelpon Sakti. Dan,

"Halo... Hallo, Kebo, loe masih di situ...? Haloo...?"

"Eh iya, Net... Gue denger...!!" suara Sakti membuyarkan pikiran tentang Titta di hadapannya.

"Iya, yang jebak Anton ama Renata itu Hendrik ama Titta, loe kenal kan, gue minta loe..." belum juga selesai Sakti berkata,

"OK Net, makasih infonya, sorry gue buru buru, ntar gue nelepon..!!" Guntur buru buru menutup telepon saat dia yakin di hadapannya adalah Titta, ketika melihat wajah wanita itu saat membuka kacamata hitamnya.

Klik...


"Ta... kamu Titta kan..?" tanya Guntur sambil menepuk pundaknya.

"Eh... Kaaaakk... Kak Guntur, ada apa, Kak?" jawab Titta.

Guntur merasa bingung untuk mengorek informasi Titta, di satu sisi Guntur telah mengenal lama Titta, di sisi lain Guntur tahu permasalahan antara Titta dengan Anton dan Anna, ditambah lagi info yang didapat dari Sakti barusan,

"Sebenernya, gue ga tega mengorek dia, tapi gue musti korek info tentang hubungan dia dengan si Hendrik," dalam pikiran Guntur.






Lanjut di bawah
 
Terakhir diubah:
Lanjutan



Di hari yang sama, di pagi yang cerah, sinar mentari yang menyelusup dalam kamar Titta di sela-sela gorden, menyoroti tubuh Titta yang masih tergolek lemas di atas ranjang.

Dengan enggan, Titta menarik selimut menutupi tubuhnya dari sorot sinar matahari.

Tit.. Tit.. Titt..

Bunyi alarm pada HP, terus berbunyi seakan ikut mengingatkan pemiliknya untuk bangun.

Dengan tubuh yang lemas, Titta akhirnya bangun dari pembaringannya. Begitu Titta berdiri tubuhnya goyah, tumpuan kakinya terasa lemas tak bertenaga, saat akan melangkah tubuhnya limbung dan akan terjatuh, dengan respons yang cepat, tangan Titta menopang pada sisi meja yang berada tak jauh darinya.

Dengan berpegangan pada perabotan yang ada di sekitar dirinya, dengan susah payah. Titta mencoba merayap menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri. Setelah selesai membersihkan tubuhnya, dengan tubuh tak berbalut pakaian, Titta keluar dari kamar mandi dengan merayap pinggiran tembok menuju meja rias.

Saat dirinya bercermin pada kaca, tak terasa dari sudut matanya mulai tergenang air mata, di bayangan cermin begitu jelas perubahan yang terjadi pada tubuhnya, ruam di wajahnya mulai merah menghitam, begitu pula di leher dan lengannya.

"Ya Allah, beri aku waktu sedikit saja, aku ingin bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya," gumam Titta sambil mengusap airmatanya.


Diraihnya pakaian yang tergeletak tak jauh darinya, setelah selesai berdandan dengan kondisi yang lemas, dia mempersiapkan diri untuk memeriksakan kondisi tubuhnya, ke tempat di mana dulu dia berobat.

Kriiiiing... Kriiing..

"Om Arief, mau apa dia menelepon, apa belum cukup dia menghancurkan hidup aku..?"

"Hallo, Om, ada apa?" sahut Titta dengan lemas.

"Heh, lonte... gue dapet perentah dari bos Hendrik. Loe ntar ke hotel *****, loe mesti layanin tamu Om Hendrik ntar siang."

"Maaf, Om... Titta ga bisa, Titta lagi ga enak badan, Titta engga maauu..!!"

"Loe mulai ngalawan perentah Om, apa loe mau kedua orang tua loe ama tante loe tau kelakuan loe selama ini, anaknya yang dibangga-banggakan hanya seorang lonte..?"

"Cukup, Om. Titta mohon, cukup.."

"Heh lonte, loe musti inget, siapa yang mengurus loe waktu loe digerebeg. Haaa... loe ngemis-ngemis supaya bokap dan nyokap loe ga tau, termasuk tante. Om hanya minta, loe mesti menuruti apa yang Om mau. Awas kalo engga, loe taaau akibatnya..!!"

"Cukup, Om. Mulai saat ini, Om jangan pernah menghubungi aku lagi, dan mulai saat ini, Titta ga akan pernah mau memenuhi perintah Om lagi, Titta ga mau jadi budak nafsu Om lagi, Titta udah lelah, terserah Om mau laporin Titta, Titta dah ga peduli. Maaf, Om..!!"

"Bajingan, kamu. Dasar lonte ga tau terima kasih, kamu dah berani membangkang. Tunggu di situ. Aku mau jemput ka....!!"

Klik

Titta langsung menutup telepon, enggan meladeni panjang lebar omnya ini. Dan dengan terburu-buru, segera menelepon taksi agar menjemput dirinya sekarang. Karena takut suami tantenya itu terlanjur datang menjemput dirinya.


Tak lama kemudian, taksi yang dipesan pun datang, Titta dengan bergegas bersiap-siap untuk pergi, beberapa potong pakaian dia siapkan dalam travel bag-nya, lalu diambilnya mantel dan syal dan dililitkan untuk menutupi ruam merah pada wajah dan lehernya, tak lupa memakai kacamata hitam agar di perjalanan nanti tak ada yang mengenal dirinya. Ya, sekarang Titta memantapkan untuk pergi dari kost-annya, agar terlepas dari cengkraman Om Arief dan Om Hendrik

Sesaat sebelum menaiki taksi,Titta menoleh, menatap kosong pintu kamar kost-annya, di balik mata sayunya.

Lalu...

"Bang, antarkan aku ke RS daerah Senen," lalu Titta memasuki taksi.


Saat dalam perjalanan menuju RS untuk memeriksakan kondisi kesehatannya yang beberapa minggu terakhir ini mulai dirasakan menurun,

"Ya Allah... kenapa hidup aku selama ini selalu menderita? Kenapa aku tidak pernah diberikan kebahagiaan?" ratap Titta dalam hati, sambil menatap ke luar jendela taksi.

"Semua orang yang dekat denganku hanya menginginkan tubuhku saja. Dan orang yang aku cintai hanya mempermainkanku saja. Ingin rasanya aku bertemu dengan kedua orangtuaku saat ini dan mengatakan bahwa aku lelah, dan ingin segera menemukan kebahagiaanku. Tapi, dari mana aku harus memulai ini semua?"
Lama Titta menatap kosong ke arah luar jendela mobil.

Namun tiba tiba Titta tersadar saat taksi yang ditumpanginya berhenti.

"Mbak, kita dah sampe," ujar supir taksi.

"Makasih, Bang. Ambil kembaliannya, Bang..." jawabnya sambil memaksakan tersenyum.

Saat dirinya akan turun dari taksi,

"Aku harus kuat menghadapi semua ini sendiri...aku harus kuat!" gumam Titta menyemangati dirinya, sambil menyeret koper dan tubuhnya yang semakin lemah.

Saat akan masuk ke pelataran Rumah Sakit, sejenak Titta berdiam diri, lalu dilepaskannya syal dan kacamata yang menutupi wajahnya.

"Sekian lama aku tak kembali ke sini, akhirnya aku mesti kembali lagi ke sini, aku harap ini bukan kunjungan aku yang terakhir," dengan menarik nafas sambil mengingat semua kenangan indah , ketika kakinya akan melangkah.


Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk pundaknya.



"Ta... kamu Titta, kan? Bener kamu Titta, kan?" tanya Guntur sambil menepuk pundaknya.

"Eh... Kaaaakk... Kak Guntur, kok Kakak ada disini, ada apa, Kak?" gagap Titta terkejut saat ada yang mengenali dirinya, meski telah sengaja memakai pakaian yang tertutup.

Guntur terdiam sambil mengamati dirinya,

"Titta, mau ke mana kamu?" tanya Guntur.
"Kamu sedang sakit, ya?"

"Eh... enggak kok, aku ke sini mau nengokin temen lama aja," jawab Titta.

"Ohhh gitu ya, Ta... kirain kamu sedang sakit."

"Lama ga nanti kamu nengokin temenmu? Soalnya aku ingin ngomong sesuatu sama kamu, tentang sesuatu yang sejak lama ingin aku tanyakan," tanya Guntur dengan sedikit hati-hati.

"Hmmm.... soal apa?" tanya Titta, mencoba mengalihkan perhatian Guntur.

"Ya banyaklah, gue harap loe mau ngobrol sebentar," paksa Guntur.

"Ya sudah, sekarang aja kita ngobrol dulu, takutnya nanti kita susah ketemu lagi. Tuh, di sana," jawab Titta tersenyum, sambil menunjuk kebangku taman RS.

"Tapi kan kamu mau nengokin temen kamu dulu? Apa sebaiknya nanti sepulang dari sana?" ucap Guntur.

"Gapapa, nanti selesai kita ngobrol, aku nengokin dia. Ayo?" tanya Titta,menyeret langkah kakinya dengan berat, sambil menarik koper travel bag-nya. Melihat kondisi Titta, membuat Guntur jadi bertanya-tanya di dalam hati.

"Ta, loe kenapa? Kayak sakit. Loe sakit? Lemes banget. Atau kita ke RS dulu, kita periksa loe dulu.." ajak Guntur.

"Gak Kak, mungkin aku belom sarapan, jadi bikin pusing ama lemes nih badan," ujar Titta sambil berpura-pura memegang perutnya.

"Ooo, ya udah, kita ke Kafe sebelah RS aja yuk, biar kita enak ngobrolnya, sambil menganjal perut loe, Ta...." ucap Guntur.

"Oke tuh, sarannya. Ayo, sekarang kita ke sana," dengan tersenyum menerima tawaran, agar mencairkan kecurigaan Guntur padanya.


Mereka pun akhirnya pergi ke Kafe yang ada di sebelah RS **, tak disadari sesosok bayangan yang tak sengaja menguping obrolan mereka dan mengikuti mereka berdua daribelakang.




Akhinya mereka pun tiba di Kafe, dan lalu memesan makanan yang ada.

"Nah, sekarang kita udah santai, apa sih yang mau diomongkan denganku, sepertinya penting sekali ya?" ucap Titta tersenyum, sambil sesekali mengaduk-aduk minuman di hadapannya.

"Hmmm.... banyak Ta, yang gue ingin tanyakan ke loe. Tapi, sebelumnya gue mau nanya, loe sakit, ya? Kok gue lihat wajah loe terlihat pucat dan sepertinya gue melihat ada merah-merah di wajah loe, Ta..." Guntur mengamati wajah Titta.

"Gak kok, aku ga lagi sakit, semua baik baik saja, kalo merah di wajah, ini karena aku sedang alergi aja, kemaren aku makan seafood sedangkan aku memang alergi seafood. Ga usah Kakak pikirkan, ini dah biasa," sambilmengusap wajahnya.

"Oh iya, tadi mau berbicara apa sih, keliatannya serius banget?" Titta berusaha mengalihkan pembicaraan soal sakitnya itu.

"Oke... jadi loe baik baik aja, kan Ta? Ya udah, kalo gitu, gue mau langsung ke intinya ya, biar ga terlalu lama," ujar Guntur sambil mengubah posisi duduknya.

"Oke," jawab Titta.

"Ta... gue mengenal loe sejak awal perkuliahan. Gue ingat, waktu itu kamu berjalan sendirian sambil melihat-lihat ruangan kampus kita, dari awal gue bertemu loe, gue suka dengan pembawaan loe yang ramah, akrab, riang dan tentunya, loe cantik, Ta."
"Gue tahu, di kampus, loe adalah cewek yang banyak disukai para lelaki," ucap Guntur sambil tersenyum, membuat Titta tersipu malu, lalu menundukkan kepalanya.

"Gue selalu mengikuti perkembangan loe, dari pertama loe cari tau tentang Anton, tapi gue sangat kaget ketika sebulan kemudian, gue denger kabar tak mengenakkan tentang loe, di kampus beredar kabar bahwa loe itu perek yang bisa dipake gratisan, sebelumnya gue masih ga percaya sama kabar itu, sampe saat gue ngegerebeg rumah loe, dan gue kaget mengetahui kalo loe lagi dipake Bobby, ternyata kabar itu beneran. Kenapa sih Ta, loe jadi seperti itu?" ucap penasaran Guntur dengan nada tinggi.

"Kak, aku harap Kakak jangan ikut campur ama kehidupan Titta, biar Tiita aja yang menanggung semua, lagian semua orang ga peduli kok dengan aku.." ujar Titta, memandang ke arah jalan. Tanpa disadari mereka, obrolan mereka didengarkan oleh dua pasang telinga berbeda tempat di balik sekat dinding di mana meja yang mereka duduki.

Saat Guntur yang diam tak berbicara itu menatap wajah Titta, tanpa terasa butiran airmata jatuh di pipi Titta, dia tidak kuasa menahan airmata tersebut.

"Maaf Ta, gue harus ngomong ini ke loe. Gue tahu, pasti loe tersinggung dengan ucapan gue. Tapi gue ngerasa kepribadian loe itu tidak mencerminkan bahwa loe itu seorang perek. Gue tahu, pasti semua ini ada alesannya, Ta. Kenapa Ta, loe jadi seperti ini...?"
"Gue ga nyangka sama sekali, Ta , ketika gue dan Anton saat itu menemukan loe sedang bermain sexparty dengan si Bobby cs..."
"Gue ga habis fikir, kenapa loe bisa seenaknya memberikan kehormatan diri loe kepada laki laki yang tidak baik, Ta.... kenapa Ta?" ucap Guntur dengan nada tinggi, tapi terasa mengiris hati.

"Ta... gue minta maaf, kalo loe tersingggung dengan semua omangan gue. Aku ngerasa yakin, pasti ada sesuatu dibalik semua ini. Dan gue yakin, ini semua berhubungan dengan sahabat gue.... Anton," anjut Guntur pelan, membuat hati Titta berdetak kencang, saat Guntur menyebutkan nama orang yang dia idamkan selama ini.

Tiba tiba Titta pun berdiri,

"Buat apa Kakak ingin tau semua itu, haah..?" ucap Titta dengan nada tinggi.

"Kalo memang di mata Kakak, aku adalah perek atau lonte atau apalah, ya sudah, Kakak ga usah pedulikan aku. Apa untungnya buat Kakak? Dan apa maksud Kakak bahwa semua berhubungan dengan Kak Anton? Lalu, kalo emang aku ini perek, maksud Kakak, mau booking gue untuk Kakak cicipin tubuh aku? Apa Kakak dibayar Kak Anton, untuk nge-book..?"
mulut Titta bergetar tak bisa melanjutkan ucapannya menyebut nama Anton.

"Aku memang perempuan ga bener, aku akui itu, tapi apa semua ini bisa mengubah segalanya? Pasti jawabmu hanya kasihan!! Kenapa sih, orang-orang tidak mau mengerti aku? Kenapa sih, orang-orang ga mau sama sekali peduli aku?"
"Lalu, kenapa Kakak tiba-tiba hadir menanyakan ini, di saat aku sudah jauh seperti ini? Apa yang bisa Kakak kasih ke aku? Sedangkan aku tipikal orang yang tidak mau dikasihani oleh siapapun?"
"Kenapa kamu baru datang sekarang, melarangku untuk melakukan semua ini, di saat aku sudah kotor sekarang ini?" cecar Titta sambil menangis. Membuat sekeliling yang ada di cafe memandang mereka, saat mendengar suara Titta yang kencang karenaluapan emosi hatinya.

Guntur tertegun saat Titta mengatakan itu semua, dan seketika suasana tiba-tiba hening, saat itu Titta hanya bisa terisak, menangis meratapi nasib hidupnya.
Guntur terdiam seolah tidak percaya bahwa ternyata Titta selama ini hidup tertekan, dan Guntur tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini.

Di balik dinding, salah seorang yang menguping pembicaraan mereka merasa terenyuh hatinya mendengar luapan emosi Titta. Ya, dialah Anton, yang tak sengaja menguping pembicaraan Guntur dan Titta, saat melihat mereka di cafe ini.

Dia tidak menyangka kalo Titta sangat menderita dengan keadaan ini.

"Gue yakin ada sesuatu yang disembunyikan Titta selama ini, gue harus tahu semua ini," dalam hati Anton.

"Ta.." tiba tiba Guntur memecahkeheningan.

"Loe minum dulu nih, biar tenang," sambil memberikan minuman kepada Titta.

"Maaf kalo gue membuat loe terluka dengan semua omongan gue tadi, Ta. Tapi gue semakin yakin bahwa semua ini karena ada hubungannya dengan Anton."
"kalo Loe percaya sama gue, ceritakanlah semuanya ke gue, biar loe tidak menanggung beban seberat ini. Mungkin saat ini gue masih belum bisa bantu, karena gue belum tahu semuanya, tapi jika gue sudah tahu, jika memang gue bisa bantu, pasti gue bantu, Ta. Karena gue percaya, bahwa selama ini, loe tuh orang yang baik..." ucap Guntur hati-hati.

"Hiks...hiks...hiks... semuanya sudah terlambat, tidak ada seorang pun yang bisa bantu aku sekarang. Aku memang ditakdirkan untuk menjadi orang yang menderita seperti ini. Hidupku pun mungkin tidak akan lama lagi. Jadi sudah, biarlah semuanya seperti ini," ucap Titta dalam tangisnya sambil menerawang.

"Ta.... jangan begitu, loe harus optimis dalam menghadapinya, percaya semua akan ada solusinya, Ta," ucap Guntur.

"Loe ceritakan saja semuanya pada gue. Gue janji, gue pasti akan bantu loe, Ta, gue janji..."ucap Guntur dengan sungguh-sungguh.

Titta hanya membalas tatapan Guntur dan akhirnya luluh.

"Kakak bisa aku percaya, kan?"

"Ya, gue akan selalu jaga kepercayaan loe, Ta... swear," ucap Guntur.

"Oke... aku bakal ceritain ke kamu, semuanya. Karena cuma Kakak aja yang bakalan tau semua ini," ucap Titta.

Di meja lain, Anton semakin tertarik ingin mengetahui semua cerita ini, dia pun sedikit menggeser posisi duduk agar bisa dengan jelas mendengarkan apa yang akan disampaikan Titta kepada Guntur.
Karena Anton yakin, apa yang akan Titta ceritakan pada Guntur pasti ada hubungannya dengan Anna. Begitu juga sepasang telinga yang satu lagi, begitu penasaran dalam diamnya.

"Ta.... loe baik baik saja, kan?" tanya Guntur tiba-tiba.
"Gue ngelihat wajah loe ko makin pucat, ya...? Sakit ya kamu, Ta?" tanya Guntur sambil terus memandangi wajah Titta.

"Gak, kok...aku ga sakit. Ga usah Kakak pikirin, pucat ini karena mungkin dari tadi aku banyak menangis..." Titta pun berbohong kembali, padahal saat itu sebenarnya kondisi Titta sedangdemam tinggi, lemas dan pusing sekali.

"Oke, sebelum loe cerita, gue pengen loe minum dulu teh manis ini agar loe bisa terlihat fresh," Guntur pun kembali memberikan minuman ke Titta.

"Makasih..." jawab Titta.

Titta pun mencoba minum kembali teh manis hangat pemberian Guntur.
"Memang akhir-akhir ini badanku mudah lelah, mungkin karena aku sedang stress dengan semua masalahku ini."

Titta pun akhirnya mulai bercerita sambil menerawang....

"Dulu aku seorang perempuan yang sakit-sakitan dan sangat dimanja oleh kedua orangtuaku, apapun yang aku inginkan pasti mereka penuhi. Tapi dengan semua itu, tidak membuatku bahagia karena di balik rasa sayang mereka terlalu sibuk dan jarang ada di rumah, keseharianku selalu didampingi oleh seorang pembantu rumah tangga, bernama Bi Irah, di saat penyakitku kambuh, dia yang selalu merawat dan memberiku kasih sayang, lebih dari kedua orangtuaku...hiks hiks.. dan hampir rutin setiap minggu, aku mesti memeriksa kondisi tubuhku ini, tak jarang aku mesti dirawat di rumah sakit ini."

Titta pun menangis saat mulai bercerita sambil memandang ke arah depan RS,

Menginjak remaja, tepatnya SMP, aku tumbuh menjadi gadis yang pendiam dan tak banyak teman yang kupunya, hanya Bi Irah dan suster yang terus menemani keseharianku.

Hingga suatu saat, aku mulai menyukai seorang bocah yang usianya tak jauh di atas usiaku, yah di saat aku meratapi kesendirian dan nasibku di halaman tengah RS, datanglah bocah tersebut, mencoba menghibur aku, mengajak aku bermain saat aku dirawat, tak terasa rasa kesepianku hilang menjadi masa yang sangat indah bersamanya, hampir tiap hari dia menemaniku hingga membuat... aku jatuh cinta pada bocah itu... hiks hiks.."

Kata orang, jatuh cinta saat masih SMP itu sama dengan cinta monyet ya...


Titta pun tersenyum sambil mengingat kenangan indah bersama bocah itu dulu.

Tapi tidak untuk aku. Bocah itu bisa membangkitkan semangatku dan aku sangat menyukainya, dia yang membuat diriku bisa bertahan sampai saat ini.

Saat Titta sedang bercerita, di mejanya, Anton tampak sedang mengingat-ingat sesuatu,

"Kenapa ya, cerita Titta mengingatkanku akan cerita masa lalu, seperti suatu kebetulan yang sama, atau jangan-jangan Titta adalah.....?" dalam benak Anton.




Bersambung




NEXT -----> Episode 40
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd